15 Apr 2012

HUKUM KENCING BERDIRI


   Untuk memudahkan kita dalam memahami hukum tentang kencing berdiri maka penulis mengutip lima buah hadis Nabi Muhammad Saw. yang membicarakan tentang hukum kencing berdiri. Tiga hadis dinilai shahih. Sedangkan dua hadits lainnya  ada yang berpendapat hadis itu  dho’if (lemah). Untuk itu marilah kita bahas tentang hukum kencing berdiri menurut kajian hadits  dibawah ini
A.    Hadits pertama: Hadits ini menceritakan bahwa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengingkari kalau ada yang mengatakan bahwa Nabi  S.A.W. pernah kencing sambil berdiri.Dari Aisya r.a:

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُوْلُ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ قَاعِدًا     
Artinya: “ Dari Aisyah r.a berkata:” Barang siapa mengatakan Rasulullah Saw kencing sambil berdiri janganlah kamu benarkan tak pernah Nabi kencing sambil berdiri Beliau selalu kencing sambil jongkok” ( HR.Ahmad, An-Nasa’I,At-Turmudzi dan Ibnu Majah)
   Hadis di atas asbabul wurutnya yaitu suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada  Aisyah mengenai perihal Nabi apakah Nabi perna kencing berdiri maka Aisyah menjawab Bahwa Nabi tidak perna kencing berdiri kalaulah ada Nabi kencing berdiri maka janganlah kalian benarkan. Dari sebab ini maka  Aisyah mengatakan sepengetahuannya bahwa Nabi Tidak Perna Kencing Berdiri.
    Komentar terhadap hadis ini Abu Isa At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang lebih bagus dan lebih shahih dari hadits lainnya tatkala membicarakan masalah ini.”Hadits ini menceritakan bahwa Nabi Saw  tidak pernah kencing sambil berdiri.
Ø  Hadits di atas adalah larangan kencing sambil berdiri
Ø  Hadis ini dari Aisya yang meriwayatkan


B.     Hadits kedua :  Dari Husaifa r.a

فَبَالَ قَائِمًا ، فَدَعَا بِمَاءٍ ، فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ ، فَتَوَضَّأ
َ أَتَى النَّبِىُّ ، ( صلى الله عليه وسلم ) ، سُبَاطَةَ قَوْمٍ ،
   
     Artinya:“ Dari Husaifah ra berkata “ bahwa  Nabi S.a.w pergi disuatu tempat yaitu tempat orang mengumpulkan kotoran binatang maka Rasul kencing di tempat itu sambil berdiri, Aku menjauhkan dariku dari padanya (kotoran). “Ketika itu rasul berkata dekatlah kemari” Maka akupun mendekatinya, sehingga berdirilah aku di tumitnya, sesudah beliau kencing dan bersuci, Beliau mengambil Air untuk shalat dan menyapu atas sepatunya (kuffanya)” (HR. Bukhari dan Muslim).
 Asbabul Wurud Hadis diatas adalah pada suatu ketika Rasulullah bepergian(mengunjungi) suatu kaum dengan beberapa orang sahabatnya dalam kampung tesebut Rasulullah mengunjungi beberpa tempat dan ada sebuah tempat di kampung kaum yang di kunjungi yaitu tempat pengumpulan kotoran binatang maka Rasululah pergi ke tempat itu  maka Rasul kencing di tempat itu sambil berdiri karena tidak memungkinkan duduk untuk menghindari kotoran yang ada di sekitarnya, kemudian Abu Husaifa datang dan Rasul memanggilnya dekatklah kemari maka husifa mendekat dan berdiri di dekat Nabi setelah itu Nabi Bersuci dan mengambil air whuduk dengan tidak membuka alas kaki (sepatu) hanya mengusapnya diatasnya.
 Komentar An-Nawawi menyatakan : banyak hadits yang diriwayatkan tentang haramnya kencing sambil berdiri, tapi selain hadis dari Aisyah di atas tak ada satupun yang Shahih perlulah kita kumpulkan keduanya yaitu menetapkan bahwa kencing berdiri makruh jika tidak uzur.

 

C.     Hadis Ketiga Dari : Abdurrahman bin Hasanah mengatakan: Hadits berikut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil duduk. Berbunyi:

خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ فِي يَدِهِ كَهَيْئَةِ الدَّرَقَةِ قَالَ : فَوَضَعَهَا ، ثُمَّ جَلَسَ فَبَالَ إِلَيْهَا
    Artinya :“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar bersama kami dan di tangannya terdapat sesuatu yang berbentuk perisai, lalu beliau meletakkannya kemudian beliau duduk lalu kencing menghadapnya.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)
  Kometar Syaikh Al Huwainiy  (ulama hadits terkemuka) mengatakan :“Ibnul Mundzir berkata bahwa hadits ini tidak shahih. Adapun Asy Syaukani sebagaimana dalam As Sail Al Jaror mengatakan bahwa As Suyuthi telah menshohihkan hadits ini Boleh jadi As Suyuthi melihat pada riwayat Ibnu Hibban. Lalu beliau tidak menoleh sama sekali pada tadlis yang biasa dilakukan oleh Ibnu Juraij. Sebagaimana kita ketahui pula bahwa As Suyuthi bergampang-gampangan dalam menshohihkan hadits. Kemudian hadits ini dalam riwayat Ibnu Hibban dikatakan dari Ibnu ‘Umar. Namun sudah diketahui bahwa hadits ini berasal dari ‘Umar (ayah Ibnu ‘Umar). Saya tidak mengetahui apakah di sini ada perbedaan sanad ataukah hal ini tidak disebutkan dalam riwayat Ibnu Hibban?!” (Al Fatawa Al Haditsiyah Lil Huwainiy, 1/174)
D.    Hadis Keempat Dari Umar Bin Khatab r.a : Hadits  ini membicarakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Umar kencing sambil berdiri, namun hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).yang berbunyi:

رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ
يَا عُمَرُ لاَ تَبُلْ قَائِمًا ». قَالَ فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ.
    Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku kencing sambil berdiri, kemudian beliau mengatakan, “Wahai ‘Umar janganlah engkau kencing sambil berdiri.” Umar pun setelah itu tidak pernah kencing lagi sambil berdiri. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Ø  Komentar Syaikh Al Albani ( Ulama Ahli Hadis) mengatakan: “Hadits ini dho’if (lemah). yang tepat, tidaklah mengapa seseorang kencing sambil berdiri asalkan aman dari percikan kencing.
Ø  Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fath mengatakan: “Tidak terdapat dalil yang shahih yang menunjukkan larangan kencing sambil berdiri.” Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar, beliau berkata, “Aku tidak pernah kencing sambil berdiri sejak aku masuk Islam”. Sanad hadits ini shahih. Namun dari jalur lain, dari Zaid, beliau berkata, “Aku pernah melihat ‘Umar kencing sambil berdiri”. Sanad hadits ini juga shahih. Oleh karena itu, hal inilah yang dilakukan oleh ‘Umar dan ini menunjukkan telah jelas bagi ‘Umar bahwa tidak mengapa kencing sambil berdiri”.” (As Silsilah Adh Dho’ifah no. 934)
E.     Hadis Kelima Buraidah ra yaitu hadits ini menunjukkan bahwa kencing sambil berdiri adalah termasuk perangai yang buruk, Dari Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
,
ثلاثٌ مِنَ الجَفاءِ أنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قائِماً أوْ يَمْسَحَ جَبْهَتَهُ قَبْلَ أنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاتِهِ أوْ يَنْفُخَ في سُجُودِهِ

    Artinya:“Tiga perkara yang menunjukkan perangai yang buruk: [1] kencing sambil berdiri, [2] mengusap dahi (dari debu) sebelum selesai shalat, atau [3] meniup (debu) di (tempat) sujud.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam At Tarikh dan juga oleh Al Bazzar)
 Komentar Ulama Hadis mengenai kualitas  Hadis di atas adalah sebagai berikut :
Ø  Syaikh Al Huwaini –hafizhahullah- mengatakan, “Yang benar, hadits ini adalah mauquf (cuma perkataan sahabat) dan bukan marfu’ (perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Di tempat sebelumnya, Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa hadits ini ghoiru mahfuzh artinya periwayatnya tsiqoh (terpercaya) namun menyelisihi periwayat tsiqoh yang banyak atau yang lebih tsiqoh. (Lihat Al Fatawa Al Haditsiyah Lil Huwainiy, 1/295-297). Jika demikian, hadits ini adalah hadits yang lemah (dho’if).

Ø  Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah). (Shahih wa Dho’if Al Jaami’ Ash Shogir no. 6283).
Dari hadits-hadits di atas, yang membicarakan dalil tentang hukum kencing berdiri maka penulis mengajak kita melihat pendapat para ulama hadis yang pada kenyataanya para ulama akhirnya berselisih pendapat mengenai hukum kencing sambil berdiri menjadi tiga pendapat.
[Pendapat pertama] Dimakruhkan tanpa ada udzur. Inilah pendapat yang dipilih oleh ‘Aisyah, Ibnu Mas’ud, ‘Umar dalam salah satu riwayat (pendapat beliau terdahulu), Abu Musa, Asy Sya’bi, Ibnu ‘Uyainah, Hanafiyah dan Syafi’iyah.
[Pendapat kedua] Diperbolehkan secara mutlak. Inilah pendapat yang dipilih oleh ‘Umar dalam riwayat yang lain (pendapat beliau terakhir), Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Umar, Sahl bin Sa’ad, Anas, Abu Hurairah, Hudzaifah, dan pendapat Hanabilah.
[Pendapat ketiga] Diperbolehkan jika aman dari percikan dan jika tidak aman, hal ini menjadi terlarang. Inilah madzhab Imam Malik dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir. (Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 1/96)
Pendapat Terkuat
Pendapat terkuat dari pendapat yang ada adalah kencing sambil berdiri tidaklah terlarang selama aman dari percikan kencing. Hal ini berdasarkan beberapa alasan:
1. Tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing sambil berdiri selain dari hadits yang dho’if (lemah).

2. Hadits yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil duduk tidaklah bertentangan dengan hadits yang menyebutkan beliau kencing sambil berdiri, bahkan kedua-duanya diperbolehkan.


3. Terdapat hadits yang shahih dari Hudzaifah bahkan hadits ini disepakati oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri
.
4. Sedangkan perkataan ‘Aisyah yang mengingkari berita kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu kencing sambil berdiri hanyalah sepengetahuan ‘Aisyah saja ketika beliau berada di rumahnya. Belum tentu di luar rumah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak kencing sambil berdiri. Padahal jika seseorang tidak tahu belum tentu hal tersebut tidak ada. Mengenai masalah ini, Hudzaifah memiliki ilmu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri. Jadi, ilmu Hudzaifah ini adalah argumen bagi ‘Aisyah yang tidak mengetahui hal ini.
v  Dintajawan Medis mengenai manfaat kencing berdiri Sbb :
Kencing berdiri mencegah kanker  Serviks.
Sejauh ini, oleh  Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendeteksi awal adanya penyakit kanker serviks bisa dilakukan dengan dua cara, yakni pap smear dan vaksin. Ternyata, ada cara lain dan sedikit unik yang  bisa mencegah timbulnya kanker serviks, yaitu standing pee atau kencing berdiri.

    Menurut pakar kesehatan, dr Ananto Sidohutomo MARS menyebutkan pilihan kencing berdiri ini tidak hanya berguna mencegah kanker. Tapi juga memungkinkan setiap wanita mendapat prasarana membuang air kecil secara higienis, nyaman, dan meminimalkan penggunaan sanitasi dan air yang banyak ditemukan bakterinya, jamur, parasit, dan virus "Pencegahan bisa dilakukan dari sisi apa saja.
    Untuk mencegah dan mengantisipasi kanker serviks, ada kartu skor deteksi dini kanker serviks, ada pap-smear, ada vaksinasi HPV, ada valeri, dan 'standing pee' ,"kata Ananto.Posisi kencing, kata dr Ananto, mempengaruhi aliran rembesan urin ke vagina. Menurut dr. Ananto, urin bukan cairan yang bersih. Urin termasuk sisa metabolisme tubuh






DAFTAR PUSTAKA
1.     Al-Muntaqa 1;55syarah Muslim III:166, Nailll Authar 1 hal:107-180 majmu’
2.     Al-Muharrar : hal 22-23.
3.     Subussalam 1:110
4.     Amir Assidiqi hal;101-103
5.     Blog spot.(www.islamic )

HUKUM WARISAN







Oleh 
Muhammad Hadidi S.H.I

Pengertian:
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak men-jadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Sumber hukumnya:
  1. AlQur an surat Al Nisa’ ayat 7-12, 33 dan 176 dan AlAhzab ayat 4;
  2. Al Hadits;
  3. Kompilasi Hukum Islam;
  4. Pendapat para ulama dan ahli hukum;
  5. Yurisprudensi.
Asas –asas
  1. Adanya kematian sehingga belum terjadi apabila belum terjadi kematian;
  2. Ijbari ;
  3. Bilateral tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan,besar dan kecil ,tua dan muda;
  4. Keadilan yang berimbang sesuai dengan ketentuan;
  5.  Indvidual sesuai dengan kedudukan masing-masing ahli waris;
  6. Adanya pengakuan hak milik peribadi.
Hikmahnya:
1.      Adanya silturrahim;
2.      Tidak rakus terhadap harta

Syarat-syarat menerima waris:
  1. Meninggalnya pewaris secara hakiki atau hukmi;
  2. Hidupnya ahli waris secara hakiki atau hukmi;
  3. Adanya harta waris baik harta bergerak,harta tidak bergerak maupun hak-hak yang akan diperoleh;
  4. Tidak ada mani’(halangan) yang muabbadah /hijab hirman atau hijab nuqshan.

Sebab-sebab menerima waris:
1.         Nasab;
2.         Perkwinan;
3.         Memerdekan budak.

Rukun:
1.          Pewaris;
2.          Ahli waris;
3.          Harta waris.

Mani’(halangan) menerima waris :
  1. Berlainan agama;
  2. Murtad;
  3. Memfitnah/membunuh pewaris;
  4. Sama-sama meninggal yang tidak diketahui mana yang lebih dahulu;
  5. Budak;
  6. Adanya hijab /tertutup /terhalang dengan hijab hirman
dan hijab nuqshan :
a.       Kakek (bapak dari bapak) terhalang oleh bapak
b.      Nenek (ibu dari bapak) terhalang oleh bapak dan ibu.
c.       Nenek ( ibu dari ibu ) terhalang oleh ibu.
d.      Cucu (anak laki-laki/perempuan dari anak laki-laki) terhalang oleh anak laki-laki.
e.       Saudara kandung laki-laki/perempuan terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki (anak laki-laki dari laki-laki) dan bapak
f.       Saudara sebapak laki-laki/perempuan terhalang oleh anak-laki, cucu laki-laki, bapak dan saudara kandung laki-laki.
g.      Saudara seibu laki-laki/perempuan terhalang  oleh anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak dan kakek.
h.      Anak laki-laki saudara kandung laki-laki terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, kakek, saudara kandung laki-laki dan saudara sebapak laki-laki.
i.        Anak laki-laki saudara sebapak laki-laki terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, kakek, saudara sekandung laki-laki, saudara sebapak laki-laki dan anak laki-laki saudara sekandung laki-laki.
j.        Paman sekandung (saudara kandung bapak laki-laki) terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, kakek, saudara kandung laki-laki, saudara sebapak laki-laki, anak laki-laki saudara kandung laki-laki dan anak laki-laki saudara sebapak laki-laki.
k.      Paman sebapak (saudara bapak laki-laki) terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki saudara sekandung laki-laki dan anak laki-laki saudara sebapak laki-laki serta paman sekandung.
l.        Anak laki-laki paman sekandung terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki- laki, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki saudara sekandug laki-laki, anak laki-laki saudara sebapak laki-laki, paman sekandung dan paman sebapak.
m.    Anak laki-laki paman sebapak terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki- laki, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki saudara sekandug laki-laki, anak laki-laki saudara sebapak laki-laki, paman sekandung dan paman sebapak serta anak paman sekandung laki-laki.
n.      Mu’tiq (orang yang memerdekakan) terhalang  oleh a-m
o.      Cucu laki-laki atau perempuan terhalang oleh 2 (dua) anak perempuan.





Ahli waris:
a. Ahli waris laki-laki:
1.      Anak laki-laki;
2.      Cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki);
3.      Bapak;
4.      Kakek;
5.      Saudara laki-laki sekandung
6.      Saudara laki-laki sebapak;
7.      Saudara laki-laki seibu;
8.      Anak laki-laki saudara sekandung;
9.      Anak laki-laki saudara sebapak;
10.      Paman sekandung;
11.      Paman sebapak;
12.      Anak laki-laki paman sekandung/sepupu;
13.      Anak laki-laki paman sebapak;
14.      Zauj/suami dan
15.      Orang laki-laki yang memerdekakan.

Apabila yang ada hanya ahli waris laki-laki saja, maka yang berhak menjadi ahli waris dan memperoleh waris adalah:
1.      Ayah
2.      Anak laki-laki
3.      Suami







b. Ahli waris perempuan:
1.   Anak perempuan ;
2.   Cucu perempuan;
3.   Ibu;
4.   Nenek /ibunya ibu;
5.   Nenek/ibunya bapak;
6.   Saudara perempuan sekandung;
7.   Saudara perempuan sebapak;
8.   Saudara perempuan seibu;
9.   Zaujah/isteri dan
10.   Mu’tiqah/orang perempuan yang memerdekakan.


Apabila yang ada hanya ahli waris perempuan saja, maka yang berhak menjadi ahli waris dan memperoleh waris adalah:
1.      Ibu
2.      Anak Perempuan
3.      Cucu Perempuan
4.      Saudara perempuan sekandung/sebapak
5.      Isteri










 


Jumlah ahli waris baik laki-laki maupun perempuan 25 orang (lihat bagan)
 



c. Dzawul arham.
  1. anak dari anak perempuan ;
  2.anak saudara perempuan ;
  3.anak perempuan saudara laki-laki ;
  4.anak perempuan saudara bapak laki-laki /paman;
  5.paman seibu ;
  6.saudara laki-laki ibu/mamak ;
  7.saudara perempuan ibu/bibik ;
  8. saudara bapak perempuan;
  9.bapak ibu/kakek;
 10.ibu dari bapak ibu ;
 11.anak saudara seibu.

     Apabila semua ahli waris tersebut ada/masih hidup maka  yang menjadi waris utama adalah :
  1. Anak laki-laki
  2. Anak perempuan;
  3. Bapak;
  4. Ibu dan
  5. Suami/isteri.

Besarnya bagian waris:
  1. Ashabah ialah orang yang memeroleh sisa harta atau seluruh harta:
1.  ashabah binafsihi/ashabah dengan sendirinya;
2.  ashabah bighairihi/ashabah sebab orang lain menjadi ashabah;
3.  ashabah ma’alghair/ashabah bersama orang lain.

  1. Ashabul Furudl:
1.1/8;
2.1/6; 
3.1/4;
4.1/3;
5.1/2;
6.2/3.

Adapun yang memperoleh:
 1. 1/8 adalah isteri apabila suami (almarhum) meninggalkan anak atau cucu;
         2. 1/6 adalah :
              a. Bapak apabila yang meninggal meninggalkan anak atau cucu;
              b. Datuk apabila si mati meninggalkan anak atau cucu dan tidak meninggalkan bapak;
              c. Ibu apabila si mati meninggalkan anak atau cucu ;
              d. nenek (ibunya ibu) apabila si mati meninggalkan anak atau cucu dan tidak meninggalkan  ibu;
              e. nenek (ibunya bapak) apabila si mati meninggalkan anak atau cucu dan tidak meninggalkan bapak dan ibu;
              f. cucu perempuan seorang atau lebih apabila bersama seorang anak perempuan dan tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki;
             g. Saudara perempuan sebapak seorang atau lebih bersama seorang saudara perempuan sekandung apabila si mati tidak meniggalkan anak, cucu, bapak, saudara laki-laki sekandung/sebapak;
             h. seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan apabila si mati tidak    meninggalkan anak,cucu,bapak dan datuk;

       3.  ¼ adalah :
              a.   Suami apabila almarhumah meninggalkan anak atau cucu;
              b. Isteri seorang atau lebih apabila suami tidak meninggalkan anak atau cucu;

      4. 1/3 adalah:
       a. Saudara seibu 2 orang/lebih apabila si mati tidak meninggalkan anak, cucu dan bapak atau datuk;
       b. Ibu apabila si mati tidak meninggalkan anak, cucu, saudara lebih dari seorang;
 c.  Ibu apabila bersama bapak;

       5.1/2 adalah:    
      a.  Seorang anak perempuan apabila tidak ada anak laki-laki;
          b.  Seorang cucu perempuan apabila tidak ada anak laki-laki, anak perempuan dan   cucu laki-laki;
          c.   Seorang saudara perempuan sekandung apabila tidak ada anak, cucu, bapak, datuk dan saudara laki-laki sekandung;
            d.   Seorang saudara perempuan sebapak apabila  tidak ada anak, cucu, bapak, saudara sekandung, datuk dan saudara sebapak laki-laki;
            e.   Suami apabila isteri tidak punya anak atau cucu.

        6. 2/3 adalah:
            a. 2 0rang/lebih anak perempuan apabila tidak ada anak laki-laki;
      b. 2 orang/lebih cucu perempuan apabila tidak ada anak dan cucu laki-laki;
      c. 2 orang/lebih saudara perempuan sekandung apabila tidak anak, cucu, bapak, datuk dan   saudara sekandung laki-laki;
      d. 2 orang /lebih saudara perempuan sebapak apabila si mati tidak meninggalkan anak, cucu, bapak, datuk, saudara sekandung dan saudara sebapak laki-laki.

        c.Dzawul arham (kerabat jauh) :
           1. Anak perempuan dari anak perempuan;
           2. Anak saudara perempuan;
           3. Anak perempuan saudara laki-laki;
           4. Anak perempuan paman;
           5. Paman seibu;
         6. Paman (saudara ibu laki-laki);
         7. Bibi (saudara ibu perempuan);
         8. Saudara bapak perempuan;
         9. Bapak ibu ;
        10. Ibu dari bapak ibu dan
CONTOH PERHITUNGAN
(Berbagai Ahli Waris)

     A meninggal dunia meninggalkan ahli waris bapak,ibu, seorang anak laki-laki , 2 orang anak perempuan, kakek,nenek, 2 orang saudara perempuan sekandung  dan 2 orang saudara laki-laki sebapak serta ibu mertua,dengan meninggalkan harta bersama,perkawinan sejumlah Rp 60.000.000,00

 Buatlah bagan/silsilahnya, siapa ahli warisnya dan  berapa bagian masing-masing!

      Jawab:
                            Bagan silsilah


       Kakek                  Nenek


                            Bapak              Ibu                 Ibu Mertua













 Sdr Lk    Sdr Lk    Sdr Per   Sdr Per     A           isteri A
                                                             2005           2003                                            
                                                                                                  
         Anak perempuan  anak perempuan  anak laki-laki

Penyelesaiannya :
            Warisan ini Munasakhah karena itu perlu penyelesaian sebagai berikut:
1.          Ahli Waris Isteri:
a.           Suami            : 1/4
b.          Ibu Isteri       : 1/6
c.           1 Anak laki-laki dan 2 anak perempuan asshabah bi ghairih
§   Harta waris Isteri : ½ dari harta bersama = ½ x Rp. 60.000.000,00 = Rp. 30.000.000,00
§   Bagian masing-masing =
a. Suami        = ¼ x Rp. 30.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00
b. Ibu Isteri = 1/6 x Rp. 30.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
c. 1 Anak laki-laki dan 2 anak perempuan asshabah bi ghairih = Rp. 30.000.000,00 – (Rp. 7.500.000,00 + Rp. 5.000.000,00) = Rp. 17.500.000,00
²  1 Anak laki-laki = ½ x Rp. 17.500.000,00 = Rp. 8.750.000,00
²  1  anak perempuan = ¼ x Rp. 17.500.000,00 = Rp. 4.375.000,00
²  1  anak perempuan = ¼ x Rp. 17.500.000,00 = Rp. 4.375.000,00


2.          Ahli waris Suami dan bagiannya :
1. Bapak                             1/6 ;
2. Ibu                                   1/6 ;
3. Seorang anak laki           ashabah ;
4. 2 anak perempuan   ashabah bersama anak laki – laki    dengan ketentuan bagian anak laki-laki 2 x anak perempuan

o     Harta waris suami = Rp. 30.000.000,00 + Rp. 7.500.000,00 = Rp. 37.500.000,00
o     Bagian masing-masing:
1.      Bapak dan ibu yang telah memperoleh ketentuan diberi lebih dulu sehingga untuk
§ Bapak = 1/6 x Rp. 37.500.000,00 = Rp 6.250.000,00
§ Ibu = 1/6 x Rp. 37.500.000,00 = Rp 6.250.000,00
2.      Sedangkan anak laki-laki dan anak perempuan memperoleh sisanya = Rp. 37.500.000,00 – (Rp.  Rp 6.250.000,00 + Rp 6.250.000,00) = Rp. 25.000.000,00
Kemudian sisa tersebut dibagi 2 = Rp. 25.000.000,00: 2 = Rp. 12.500.000
§ Untuk anak l laki-laki orang = Rp. 12.500.000,00 
§ Untuk 1 orang anak perempuan 1/2 x Rp. 12.500.000,00 = Rp. 6.250.000,00 dan
§ Untuk 1 orang anak perempuan 1/2 x Rp. 12.500.000,00 = Rp. 6.250.000,00
                      
Kesimpulan:
1.   Ibu mertua                                                       = Rp. 5.000.000,00
2.   Bapak                                                              = Rp. 6.250.000,00
3.   Ibu                                                                   = Rp. 6.250.000,00
4.   1 Anak laki-laki
      (Rp. 8.750.000,00+Rp. 12.500.000,00)       = Rp.21.250.000,00
3.      1 Anak perempuan
(Rp. 4.375.000,00+Rp. 6.250.000,00)         = Rp.10.625.000,00
4.      1 Anak perempuan
(Rp. 4.375.000,00+Rp. 6.250.000,00)        = Rp.10.625.000,00
                                                     JUMLAH     =  Rp. 60.000.000,00
                                                                

Ada beberapa masalah dalam hukum waris:
1.  Masalah kakek dengan saudara-saudara
a.   Pendapat Imam Hanafi menyatakan bahwa kakek menduduki kedudukan ayah apabila ayah telah meninggal dunia, sehingga dapat menutup saudara-saudara.
b.  Pendapat Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad mengatakan bahwa kakek tidak menutup saudara-saudara kerena kakek sederajat dengan saudara, sehingga cara pembagiannya.
1.      Apabila kakek hanya bersama saudara-saudara saja tanpa ada ahli waris lain mengambil diantara dua cara yang menguntungkan:
a.       memeroleh 1/3 atau
b.      dibagi sama rata (muqosamah)
2.      Apabila kakek bersama saudara dan ahli waris yang lain, maka mengambil tiga cara yang menguntungkan:
a.       1/6 dari harta waris
b.      1/3 sisa setelah dibagikan kepada ahli waris yang mempunyai bagian tertentu
c.       dibagi bersama (muqosamah) antara kakek dan saudara-saudara setelah dibagikan untuk ahli waris yang mempunyai bagian tertentu dengan ketentuan bagian laki-laki 2 kali bagian perempuan

2.      Masalah akdariyah
3.      Masalah kharkoh
a.   pendapat Abu Bakar ash-Shidiq dan Abbas
b.  pendapat Ali bin Abi Thalib
c.   pendapat Usman
d.  pendapat Umar
e.   pendapat Zaid bin Tsabit
4.      Masalah mubahalah (pendapat Ibnu Abbas)
5.      Masalah ummul furukh
6.      Masalah ghoro’
7.      Masalah mimbariyah
8.      Masalah Zaidiyah 4
a.  Zaidiyah asriyah
b.  Zaidiyah isriniyah
c.   Zaidiyah mukhtasharah
d.  Zaidiyah tis’iniyah
9.      Masalah dinariyah
a.  dinariyah shughra
b.  dinariyah shughra-sughra
c.   dinariyah kubra
10.      Masalah imtikhaniyah
11.      Masalah anak dalam kandungan
12.      Masalah khuntsa/wadam/bencong
13.      Masalah kecelakaan/musibah (darat, laut, dan udara)
14.      Masalah takharruj
15.      Masalah harta bersama
16.      Masalah waris poligami, dll.