31 Mar 2012

BAB II AT TSAWABIT DAN AL MUTAGHAYYIRAT "Materi Kuliah Muhammad Hadidi"


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia sudah mengenal syariat (undang-undang) sejak zaman dahulu kala. Tidak ada satu komunitas manusia pun yang lepas dari kenyataan ini, bahkan sebuah peradaban juga memerlukan aturan. Ini karena syariat dengan segala perangkatnya merupakan perkara penting dan aturan utama yang menjadi kebutuhan demi keberlangsungan hidup manusia, menjadi suatu keniscayaan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, menjadi sebuah keharusan untuk menghasilkan pertumbuhan dan kestabilan dalam menjalin berbagai bentuk hubungan sesama manusia dalam setiap aspek kehidupan. Jika manusia menjalankan urusannya tanpa ada syariat atau aturan sebagai payung hukum, niscaya akan menjadi konflik dan hubungan sosial yang terputus. Manusia tidak ubahnya seperti binatang di hutan, yang kuat memakan yang lemah dan pada ahirnya mereka hidup dalam perseteruan yang tidak akan pernah berhenti sepanjang mereka hidup.
Dengan perkembangan jaman maka berkembang pulalah pola hidup atau gaya hidup manusia yang semakin modern, Masyarakat senantiasa mengalami perubahan, dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, social ekonomi dan lainnya. Undang-undang (syariat) yang dibuat haruslah sesuai dengan keadaan keadaan seperti itu, maka syariat dituntut untuk melakukan pembaharuan hukum islam. Pembaruan hukum Islam telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta dengan tuntutan zaman. Hal ini disebabkan oleh karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh sudah tidak mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang pada masa kitab-kitab fiqh itu ditulis oleh para fuqaha, dimana masalah baru yang berkembang saat ini belum terjadi. Dan untuk membahas dan memahami permasalahan tersebut di pelajarilah At Tsawabit dan Al Mutaghayyirat.

B.     Rumusan masalah
1.      Apakah At Tsawabit dan Al Mutaghayyirat?
2.      Apa ruang lingkup dari At Tsawabit dan Al Mutaghayyirat?
3.      Bagaimanakah At Tsawabit dan Al Mutaghayyirat dalam syariat Isl
BAB II
AT TSAWABIT DAN AL MUTAGHAYYIRAT
A.    Definisi At Tsawabit dan Al Mutaghayyirat
Tsawabit adalah masalah-masalah prinsip yang berdalil qath’i (mutlak dan pasti), baik qath’iyyuts-tsubut (kehujjahannya mutlak dan pasti serta tidak diperselisihkan diantara para ulama), maupun qath’iyyud- dilalah (makna dan pengertiannya mutlak, pasti dan tidak diperdebatkan di antara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah). Adapun mutaghayyirat, ia adalah hal-hal yang mungkin mengalami penggantian, perubahan, takwil, dan pengembangan. Dan perubahan di dalamnya bukanlah merupakan pelanggaran terhadap hal-hal pokok (ushul) dan asasi. Ia merupakan hal yang fleksibel. Sebab, perubahan waktu dan tempat menuntut adanya fleksibilitas, adaptasi, dan respon, sembari tetap menjaga tsawabit. Allah swt telah menitipkan dalam Islam tsawabit yang menjamin keberlangsungan dan mutaghayyirat yang menjamin kelaikan dan kesesuaian dengan segala kondisi dan situasi.
B.     Dimensi At Tsawabit Wal Mutaghayyirat :
1. At tsawabit
Ruangan ini bersifat tertutup, tidak boleh menerima pembaharuan, ijtihad dan perubahan dengan sembarangan. Termasuk dalam ruangan ini adalah perkara-perkara akidah, prinsip-rinsip umum, hukum-hukm qath’i (hukum yang jelas melalui dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah yang tidak boleh ditakwilkan lagi) yang menyatukan fikiran,perasaan dan suluk (peradaban ummah). Ia adalah tonggak kepada kesatuan umat ini, oleh karena itu ia tidak boleh berubah berdasarkan zaman dan tempat. Seperti :
v  ‘Aqaid (masalah-masalah keimanan)
v  Ibadah (rukun Islam yang lima)
v  Akhlaq (kumpulan pekerti yang utama seperti kejujuran, ihsan,
keikhlasan, keberanian, dsb)
Namun di dalam at tsawabit tidak menutup kemungkinan akan adanya hal-hal mutaghayyirat, baik dalam dalam aqaid, ibadah, maupun akhlak. Karena dalam tiga hal ini di dalamnya masih terbagi lagi secara lebih spesifik dalam hal yang prinsip dan tidak prinsip. Contoh hal mutaghayyirat dalam aqaid adalah jumlah sifat-sifat allah yang wajib diketahui. Menurut asy’ariah jumlah sifat allah yang wajib diketahui ada dua puluh sifat, yang mustahil ada dua puluh sifat, ditambah satu sifat jaiz. Yang dikenal dengan istilah aqaid lima puluh. (ditambah empat sifat wajib rasul, empat sifat mustahil dan satu sifat jaiz). Adapun sifat allah yang wajib diketahui menurut ulama selain as’ariah adalah tak terhingga dan tak terbilang jumlahnya, karena sifat kesempurnaan bagi allah tidak bisa disebutkan jumlahnya. Pada prinsipnya kedua kubu ulama ini sama, karena menurut as’ariah aqaid lima puluh tersebut hanya yang wajib diketahui saja, jadi perbedaannya hanya sebatas jumlah bilangan. Perbedaan dalam hal ini tidaklah merusak akidah orang islam karena perbedaannya hanya pada hal-hal yang tidak prinsip. Dan masih banyak contoh-contoh mutaghayyirat lain baik dalam aqaid, ibadah, dan akhlaq.
2. al mutaghayyirat
Ruangan yang boleh menerima perubahan, pembaharuan dan ijtihad. Ruangan ini amat luas sekali. Kebanyakan hukum syara’ dan urusan kehidupan dunia termasuk dalam ruangan ini seperti mana yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w;
"Kamu lebih tahu tentang urusan dunia kamu".
Begitu juga termasuk dalam ruangan ini ialah perkara-perkara yang tidak ada nashnya atau sekedar mempunyai nash-nash umum dan nash-nash khusus yang boleh ditafsirkan dan difahami berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad yang dimaklumi. Berikut adalah hal-hal yang biasa berubah :

v  Politik
v  Sosial
v  Ekonomi
v  Pendidikan
Sebagaimana hal mutaghayyirat  dalam persoalan at tsawabit, hal yang sama juga terjadi dalam mutaghayyirat, yakni ada  hal-hal tsawabit dalam ranah politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan. Yang demikian karena dalam hal-hal tadi terdapat hal pokok yang menjadi dasar dan pondasi yang diatur oleh syari’ yang tidak bisa di tafsir dan menerima ijtihad seperti kaidah “ kebijakan pemerintah terhadap rakyat di orientasikan pada mashlahat” dalam hal politik, atau kewajiban menghormati tamu dalm hal social, dan banyak contoh-contoh lain yang tidak kami sebutkan semuanya disini.

C.    Urgensi At Tsawabit dan Mutaghayyirat Dalam Syariat Islam
Andai tidak ada tsawabit, maka niscaya kita akan mendapatkan banyak umat di dalam satu umat, banyak peradaban dalam peradaban Islam. Dan jadilah Islam bagaikan adonan yang dapat dibentuk setiap orang sekehendak hati masing-masing. Jadilah pada setiap masa ada persepsi khusus dan Islam khusus. Setiap negara mempunyai Islam tersendiri. Setiap jamaah mempunyai Islam sendiri. Dan kita tidak mempunyai satu Islam yang mempersatukan umat Islam yang menjadi pijakan peradaban, melainkan banyak Islam sebanyak jumlah penggalan masa, tempat, negeri, jamaah, bahasa, dan lapisan masyarakat. Jika demikian, maka akan tercapailah target musuh-musuh Islam. Mereka akan mengatakan kepada orang-orang, “Sesungguhnya Al-Quran datang untuk hanya satu penggalan masa tertentu, yakni masa Rasulullah saw. Jadi Islam bukanlah agama yang abadi. Dan Al-Quran bukanlah kitab yang diperuntukkan bagi seluruh manusia. Makanya Islam tidak mempunyai peradaban yang mapan.” Padahal sesungguhnya, risalah Islam datang untuk membimbing semua aspek kehidupan seluruh manusia sepanjang zaman, dan bukan hanya untuk umat tertentu saja.
Secara garis besar, dapat kita katakan bahwa tsawabit dalam Islam adalah apa- apa yang dijelaskan oleh Allah secara tekstual dan dengan cara yang tegas, yang tidak memberikan celah untuk ijtihad (multi-interpretasi). Ia tidak berubah meskipun zaman, tempat, lingkungan, dan manusia berubah. Dan hukum-hukum yang bersifat tsawabit itu dijelaskan dengan rinci agar tidak mengundang perdebatan. Hukum-hukum itu dibangun di atas latar belakang yang tidak akan berubah sepanjang zaman. Contoh tsawabit adalah wajibnya shalat, zakat, dan puasa; hukum waris yang telah menetapkan porsi para ahli waris; haramnya perbuatan fahs ya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, seperti: zina, menuduh orang lain berzina, minum minuman keras, memakan harta orang lain secara tidak sah, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan, makan bangkai, makan daging babi; dan pokok akidah, masalah-masalah iman.
Demikian pula wajibnya melaksanakan apa yang Allah turunkan, wajib mengamalkan hadits shahih; wajibnya berperangai dengan akhlak mulia dan wajib meninggalkan akhlak tercela. Atau dengan kata lain,tsawabit adalah hukum-hukum yang dijelaskan oleh nash-nash Al Quran dan Sunah mutawatir yang qath’i (tegas, pasti) baik dari sisi tsubut (keabsahannya sebagai dalil) maupun dari sisi dalalah (hukum yang dikandungnya). Baik hukum-hukum itu menyangkut hal yang aksiomatik dalam Islam, maupun hukum-hukum yang samar bagi sebagian orang seperti pembagian waris. Atau hukum yang merupakan ketentuan-ketentuan syar’i yang tidak ada celah untuk masuknya pendapat dan ditentukan oleh Sunah Mutawatir, seperti bilangan rakaat dalam setiap shalat, waktu-waktu shalat, dan lain sebagainya. Di samping itu semua, masuk dalam kategori tsawabit adalah ijma’ (konsensus) yang bersifat eksplisit yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, dan tidak memperkenankan kita berijtihad. Bahkan, adalah kufur orang yang menentang hukum yang telah ditetapkan oleh ijma’ yang qath’i ini, bila hukum itu menurut satu dari tiga pendapat para ulama termasuk hal yang aksiomatik dalam Islam.
Karenanya, tsawabit ini adalah pemberi kata putus dan pembeda antara perilaku dan keyakinan pemeluk agama Islam dengan yang lainnya. Sebab ia merupakan akidah yang wajib diikuti oleh setiap orang. Maka siapa yang menolaknya adalah keluar dari Islam, berdasarkan kaidah-kaidah hokum syara’. Dan dengan itulah seorang mukmin dibedakan dari yang lainnya. Karenanya tidak boleh keluar dari lingkaran yang qath’i itu. Berbeda halnya dengan hukum-hukum yang bersifat zhanni (asumtif), atau yang berubah-ubah, atau yang mempunyai multi penafsiran. Maka dalam hal ini siapa yang mengambil salah satu penafsirannya tetap berada dalam kawasan Islam dan tidak dianggap keluar Islam.
Mutaghayyirat merupakan lahan berpikir, perenungan, dan ijtihad dalam bingkai tsawabit yang qath’i untuk akal. Sebab, mutaghayyirat bersifat zhanni. Maka siapa yang mengingkari pemahaman dari sebuah ayat yang memang dikandung oleh ayat itu – sebagaimana juga ayat itu mengandung pemahaman lain – maka ia tidaklah keluar dari Islam. Sebab, ia telah beriman kepada tsawabit yang bersifat qath’i dan tidak keluar darinya. Ia hanya menolak salah satu penafsiran dari hukum yang bersifat zhanni yang menjadi kawasan ijtihad. Setiap mujtahid boleh mengikuti apa yang dalam pandangannya lebih kuat. Jika ia memang berkompeten untuk melakukan ijtihad, maka para pengikutnya pun berada dalam kebenaran.
Jika semua dalil bersifat qath’i, itu sama saja dengan pembelengguan dan pembekuan akal manusia. Manusia akan hidup dalam kesempitan dan kesulitan. Kita akan tidak berdaya menghadapi berbagai problem yang senantiasa berkembang menuntut manusia untuk mengetahui hukumnya. Penyikapannya tidak mungkin dilakukan secara optimal, kecuali jika para mujtahid melakukan kajian terhadap nash yang bersifat zhanni dan mengambil kesimpulan hukum-hukum atas kasus-kasus baru itu darinya. Dengan demikian, syariat ini dapat berinteraksi dengan kepentingan manusia di segala tempat dan waktu. Bahkan, andai nash-nash itu semuanya bersifat qath’i niscaya akan ada orang berkata, “Mengapa nash-nash itu tidak fleksibel sehingga kita, di hadapannya, menjadi mesin yang tidak punya kemauan, pilihan, dan pemfungsian akal. Oleh karena itu, perbedaan pandangan dalam masalah fiqih yang muncul sebagai buah dari ijtihad dalam mutaghayyirat tidaklah membahayakan. Bahkan, itu merupakan keleluasaan untuk umat dalam melakukan pilihan dan beramal. Mereka dapat mengambil dari hukum-hukum itu apa yang dapat mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan sesuai dengan tuntutan kehidupan mereka, serta menghilangkan kesulitan dan kesempitan dari mereka. Bahkan perbedaan pandangan – dalam hal mutaghiyyirat – itu merupakan kekayaan agung perundang-undangan Islam dan pusaka fiqih yang indah. Ia mencakup segala kebutuhan manusia dalam naungan syariat Islam yang abadi selama kita memelihara hal yang qath’i dan baku.
Dalam hal ini ‘Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan, “Tidak membuat saya gembira jika para sahabat tidak berbeda pandangan. Sebab jika mereka bersepakat atas satu pendapat lalu ada orang yang berbeda dengan kesepakatan itu, maka ia adalah sesat. Sedangkan jika mereka berbeda pendapat, lalu ada orang yang mengambil pendapat ini dan yang lain mengambil pendapat itu, itu menunjukkan dalam hal itu ada keleluasaan.” Karenanya Imam Ahmad mengatakan, “Perbedaan pendapat itu merupakan keleluasaan.” Yahya Bin Sa’id mengatakan. “Orang yang berilmu adalah orang yang memiliki keleluasaan. Dan selagi para pemberi fatwa berbeda pendapat, yang satu menghalalkan ini dan yang lain mengharamkan itu, maka tidak boleh saling mencela selama semua pihak berpegang pada tsawabit sedangkan ijtihad mereka terjadi dalam mutaghayyirat.”





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas kita melihat bahwa al tsawabit adalah hal-hal yang pokok dalam agama dan adapun al mutaghayyirat adalah hal-hal yang dinamis. Dua hal di atas saling berkaitan satu sama lain saling berhubungan erat sehingga Islam bisa bersifat dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. Kemajuan zaman yang pesat dan menuntut maka hal ini diakomodir oleh agama sendiri sehingga adanya al mutaghayyirat adalah salah satu solusi dari jawaban tersebut. Dalam al tsawabit dapat dilihat bahwa terdapat kesatuan kaum muslimin dalam permasalahan pokok dan prinsip.
B.     Saran
Selesainya makalah ini, maka akan menjadi bahan bacaan bagi pembaca dan referensi yang sangat bermanfaat yang menyangkut hal-hal yang pokok dan hal-hal yang yang dinamis dalam agama serta mampu mangamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari. Karena dengan makalah ini diharapkan pembaca bisa membedakan hal yang prinsip dan tidak prinsip, yang bisa di interpretasi dan yang non interpretasi sehingga bisa meminimalisir konflik dalam masyarakat dan mendewasakan masyarakat dalam menyikapi perbedaan-perbedaan dalam hal mutaghayyirat dan memantapkan diri dalam memahami dan mengamalkan hal-hal at tsawabit, amien.

Tujuan syariah oleh Muhammad Hadidi


MAQASID AL SYARIAH
Suatu waktu Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad itu dilanggar oleh para sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi Muhammad bersabda, "Sekarang simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya".
Dari kasus tersebut terlihat, adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan tujuan syariat dapat dicapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari dusun-dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi SAW.
Dari ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi Muhammad, Maqasid Al Syariah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Upaya demikian terlihat jelas dalam beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar Ibn al Khattab. Kajian Maqasid Al Syariah ini kemudian mendapat tempat dalam ushul fiqh, yang dikembangkan oleh para ushuli dalam penerapan qiyas, ketika berbicara tentang Masalik Al Illah. Kajian demikian terlihat dalam beberapa karya ushul fiqh, seperti Ar-Risalah oleh Al Syafii, Al-Musthafa karya Al Ghazali, Al-Mu'tamad karya Abu Al Hasan Al Bashri, dan lain-lain. Kajian ini kemudian dikembangkan secara luas dan sistematis oleh Abu Ishaq Al Syathibi.1
Dalam kelanjutannya, Maqasid Al Syariah malah menjadi bahasan yang kurang populer atau bahkan diabaikan dalam banyak buku referensi yang berbicara tentang ushul fiqh. Penelusuran tentang bahasan Maqasid Al Syariah menjadi tidak mudah didapat. Sejauh ini pembahasan Maqasid Al Syariah lebih banyak diidentikkan dengan Abu Ishaq al Shathibi.
Sedikitnya kitab-kitab ushul fiqh salaf terutama dari ulama madzhab Syafi'i yang membicarakan Maqasid Al Syariah atau bahkan mengabaikannya dalam pokok bahasan mereka, tersebab keterkaitan bahasan ini dengan teologi yang diyakininya.
Sebagaimana dijelaskan Shatibi, doktrin Maqasid Al Syariah menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.2 Teologi Islam menerima pengertian umum dan lahir dari mashlahah ini, tetapi mereka saling berbeda pendapat jika mashlahah dipahami dalam kerangka kausalitas. Kaum Asy'ariah menolak secara eksplisit maupun implisit, kausalitas dalam hubungannya dengan Tuhan. Bagi mereka, premis ini mengimplikasikan bahwa Tuhan diwajibkan karena pertimbangan mashalah, untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Karena kewajiban semacam itu berarti membatasi kemahakuasaan Tuhan, maka kaum Asy'ariah menolak ide bahwa mashlahah adalah 'Illal Al Syar'i. Kendatipun demikian, mereka menerima premis ini dengan menafsirkan mashlahah sebagai 'rahmat' Tuhan, dibanding sebagai 'sebab' bagi tindakan-tindakanNya. Di sisi lain kaum Mu'tazilah walaupun juga mempertahankan kemahakuasaan Tuhan. Tetapi menyakini bahwa Tuhan berkewajiban melakukan kebaikan. Sebagai konsekwensinya, mereka menerima premis diatas, mengenai mashlahah sebagai 'Illat Al Syariah.
Argument-argumen teologis yang merambat ke dalam ushul fiqh ini, karena banyak penulis dalam bidang ushul fiqh juga menulis di bidang teologi.3 Namun demikian, ushul fiqh menuntut suatu cara berpikir dan metode penalaran yang berbeda dari metode kalam. Pemikiran hukum mengharuskan bahwa kehendak bagi tindakan-tindakan sukarela manusia harus dihubungkan dengan manusia itu sendiri jika ia secara hukum harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Karena ketaatan kepada perintah-perintah Tuhan tergantung pada kehendak manusia, maka perintah itu harus diperlihatkan dimotivasi oleh perkembangan kepentingan-kepentingan manusia. Sebagai konsekwensinya, premis mashlahah harus diterima dalam ushul fiqh dalam kerangka sebab, motif dan tujuan.
Perdebatan mengenai Maqasid Al Syariah ini, tidak saja terkait dengan teologi, tetapi juga terkait dengan kehujjahan Maqasid Al Syariah sebagai sumber pengembangan hukum. Metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqasid Al Syariah seperti istihsan dan mashlahah murskalah,4 adalah metode pengembangan yang diperselisihkan keberadaannya. Imam Syafi'i contohnya, atas istihsan dia menyatakan:
من إستحسن فقد تشرع
"Barang siapa yang menggunakan istihsan maka ia telah benar-benar mencipta syara'".5
Pengertian dan Cakupan Maqasid Al Syariah
Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam.6 Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.7 Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.8
Maqasid Al Syariah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan, menurut al Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al syari' (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek, yaitu:9
1.                       Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
2.                       Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3.                       Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
4.                       Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.
Begitu pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek pula, yaitu:10
1.                       Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan relativitas atau keabsolutannya.
2.                       Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan oleh juris lain. Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguistik dan kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah (bisa dipahami orang awam).
3.                       Analisa pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan, kesulitan dan lain-lain.
4.                       Penjelasan aspek huzuz dalam hubungannya dengan hawa dan ta'abud.
Mayoritas peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua macam, kemashlahatan akhirat yang dijamin oleh akidah dan ibadah dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh muamalat. Tetapi dalam pembahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang mengharuskan untuk memperhatikan pembagian ini. Karena pada hakekatnya segala hal yang terkait dengan akidah, ibadah dan muamalat dalam syariat Islam menjamin segala kemashlahatan umat baik sisi dunia maupun akhirat.11
Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.12
Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.13

Kebutuhan dhoruriyat
Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas:
ولكم فى القصاص حياة يأولى الألباب لعلكم تتقون
"Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa"14
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.
Kebutuhan al hajiyat
Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
Kebutuhan al tahsinat
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.

Al Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal:15
1.                       Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain.
2.                       Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60 oarang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama.
3.                       Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.


Batasan Maslahah
Al Syatibi memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:16
·  Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di akhirat.
·  Syari' menghendaki masalih harus mutlak
Alasan bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam hubungannya dengan segala macam kewajiban (takalif), subjek hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal).
Ketiga karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan universal. Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi, keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan individu. Semua pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah akan makna relatif dan subjektif, yang bukan merupakan pertimbangan syari' dalam mashlahah, meski mungkin dipertimbangkan dalam budaya adat.
Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf (memperkecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan berdasarkan ketentuan universal bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak dapat menahan diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi validitas ketentuan umum tentang hukuman.
Kemashlahatan asasi bagi al Buthi, sebenarnya hanyalah satu yaitu terciptanya penghambaan seorang mukallaf kepada Allah dan ma'rifat billah.17 Al Buthi mendasarkan pada dalil:
وابتغ فيما أتاك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا.......
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi …".18
Al Buthi menandaskan bahwa mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa pernyataan la tansa nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia yang berfaedah bagi akhiratnya.
Dalam memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan dua hal yang keluar dari kriteria mashlahah:19
·  Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima hal contoh melepaskan ketentuan diri dari ketentuan ibadah, menginginkan kenikmatan berzina, melampaui batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang dibenarkan syara' dan lain-lain.
·  Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan substansi mashlahah tetapi menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik berdasar hadits: "innamal a'malu binniyat".
Kehujjahan Maqasid Al Syariah (mashlahah)
Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Al Qur'an, Al Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.
Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal:20
·  Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.
·  Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.
Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al Hadits.21
Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, sebagaimana disinggung dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi.






BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN.
Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Seperti yang kita ketahui bahwa dasar ditetapkannya sayariah yaitu untuk kemashlahatan ummat manusia. Mayoritas peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua macam, kemashlahatan akhirat yang dijamin oleh akidah dan ibadah dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh muamalat. Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.

              Al Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal:15
1.                        Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas.

2.                   Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan.

3.                   Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya

Maqasid Al Syariah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan, menurut al Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al syari' (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf).

Batasan Maslahah
Al Syatibi memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:16
·  Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di akhirat.
·  Syari' menghendaki masalih harus mutlak.

Kehujjahan Maqasid Al Syariah (mashlahah).

Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Al Qur'an, Al Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar kemashlahatan saja.


B.   SARAN.

Dengan adanya penulisan makalah ini, maka penulis berharap mahasiswa bisa memahami apa itu Maqasid Al-Syariah dan agar mahasiswa bisa mengembangkan pembahasan tentang Maqasid Al-Syariah yang pada saat ini sangat sulit dicari referensinya.

C.   Referensi
1 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999, hal.42-43
2 Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal. 225
3 Ibid. hal 226
4 Taufik Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3 hal.294
5 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2 hal 748
6 Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit, hal. 292
7 Wahbah Zuhaili, op.cit. hal.225
8 Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal. 225
9 Nasrun Rusli, op.cit hsl 43
10 Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf Qardhawi, _Al Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta: Robbani Press, 1997 hal 251
11 Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992 halaman 71.
12 Ibid. hal. 110.
13 Ibid, baca juga: Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit, hal 292-294.
14 Al Qur'an, surat Al Baqarah ayat 179.
15 Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal 153
16 Muhammad Khalid Mas'ud, Op.cit. hal. 238.
17 Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.
18 Al qur'an: Al Qashash 77.
19 Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.
20 Ibid, hal 108.
21 Taufik Abdullah (ketua editor), op cit. hal 294.
From: http://maqasid-syariah.blogspot.com/2009/01/maqasid-al-syariah.html