20 Jan 2012


Hukum Dan Adab Ziarah Kubur Bagi Wanita
 (Analisis Yuridis dari buku)
Muhammad Ali bin Ismail Piliang Al Medani


Ziarah kubur merupakan perkara yang disyariatkan dalam agama kita dengan tujuan agar orang yang melakukannya dapat mengambil pelajaran dengannya dan dapat mengingat akhirat. Syaratnya adalah dengan tidak mengatakan di sisi kuburan tersebut ucapan-ucapan yang bisa membuat Allah Subhanahu wa Ta'ala murka, seperti berdoa kepada si ‘penghuni’ kuburan, memohon pertolongan kepadanya, memberi tazkiyah (jaminan) kepada penghuni kuburan, dan memastikan dia masuk Surga atau sejenisnya. (Ahkamul Janaiz halaman 227)
Sebelum kita berbicara tentang adab ziarah kubur bagi wanita, terlebih dahulu perlu sekali kita tahu hukumnya. Boleh atau tidak? Sebab tidak ada gunannya kita berbicara tentang adab bagi wanita kalau ternyata hukum syariat tidak membolehkannya.
Sunnahnya Ziarah Kubur
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Dulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian. Karena ziarah kubur akan mengingatkan kepada akhirat. Dan hendaklah berziarah itu menambah kebaikan buat kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah silakan berziarah dan janganlah kalian mengatakan perkataan yang bathil (hujran).” (HR. Muslim, Abu Dawud, Al Baihaqi, An Nasa’i, dan Ahmad)
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Majmu’ 5/310 : “Hujran artinya ucapan yang bathil. Larangan pertama (untuk ziarah kubur, pent.) karena masih barunya mereka meninggalkan kejahiliyahan dan mungkin karena mereka suka mengatakan ucapan jahiliyah. Maka ketika telah kokoh dasar-dasar Islam, kuat hukum-hukumnya, dan menyebar tanda-tandanya, dibolehkan berziarah bagi mereka.”
“Tidak diragukan lagi bahwa apa yang dilakukan orang-orang awam dan selainnya ketika berziarah dengan berdoa kepada si mayit, beristighatsah kepadanya, dan meminta kepada Allah dengan haknya mayit adalah ucapan bathil (hujran) yang paling besar. Maka wajib bagi ulama untuk menjelaskan hukum tentang itu. Juga menjelaskan cara ziarah yang sesuai dengan syariat kepada mereka dan tujuan ziarah itu.” Demikian yang ditegaskan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz halaman 227.
Imam Shan’ani rahimahullah menyatakan dalam Subulus Salam 2/162 setelah menyebutkan hadits-hadits tentang ziarah dan hikmahnya : “Semuanya menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur dan menerangkan hikmahnya yaitu untuk mengambil pelajaran … . Dan jika kosong dari hal ini (maka) tidak terpenuhi tujuan syariat.”
Sebenarnya masih banyak lagi hadits tentang ziarah kubur namun kami cukupkan penyebutan satu hadits di atas.
Wanita Sama Dengan Pria Dalam Disunnahkannya Ziarah Kubur
Tentang persamaan hukum ziarah kubur antara wanita dan pria ini, Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz halaman 229 menyatakan : [ Itu karena beberapa bentuk atau sisi :
Pertama, karena keumuman perintah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “ … maka berziarahlah kalian ke kubur.” Berarti wanita juga termasuk di dalamnya. Penjelasannnya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tatkala melarang ziarah kubur pada awalnya tidak diragukan lagi bahwa larangan itu juga mencakup pria dan wanita sekaligus. Maka ketika beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Aku dulu melarang kalian berziarah ke kubur.” Dipahami bahwa yang dimaukan beliau adalah jenis pria dan wanita secara pasti. Dan beliau memberikan khabar kepada mereka tentang awal kejadian dengan melarang pria dan wanita. Jika perkaranya demikian, maka pasti ucapan kedua (yakni pembolehan) juga mencakup jenis pria dan wanita. Dan yang menguatkan pendapat ini adalah lanjutan dari hadits tersebut yang diriwayatkan oleh Muslim, yaitu : “Dulu aku melarang kalian tentang daging sembelihan yang lewat tiga hari maka peganglah apa-apa yang tampak pada kalian. Dulu aku juga melarang nabiz untuk diminum maka minumlah sekarang semuanya dan jangan meminum yang memabukkan.” Saya (Al Albani) katakan : Ucapan semua ini juga berlaku terhadap dua jenis (yakni pria dan wanita) secara pasti, sebagaimana ucapan pertama : “Dulu aku melarang kalian.” Jika ada yang berkata, ucapan dalam kalimat “sekarang berziarahlah” adalah khusus untuk pria maka akan rusak susunan bahasa dan keindahannya. Juga tidak pantas hal itu ditujukan kepada pemilik ucapan (Jawami’ul Kalim) yang singkat padat ini. (Jawami’ul Kalim yakni Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
Kedua, saling berserikatnya para wanita dengan pria dalam ‘illat (penyebabnya) yang karena itu disyariatkan ziarah kubur yaitu dalam riwayat : “Karena ziarah kubur bisa melunakkan hati, meneteskan air mata, dan mengingatkan kepada akhirat.”
Ketiga, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membolehkan bagi wanita untuk berziarah ke kuburan. Dalam dua hadits yang dihapal oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah radliyallahu 'anha disebutkan :
Dari ‘Abdullah bin Abi Mulaikah ia berkata : Sesungguhnya ‘Aisyah pulang dari pekuburan pada suatu hari. Maka aku bertanya kepadanya : “Wahai Ummul Mukminin, darimanakah engkau?” Ia menjawab : “Dari kuburan ‘Abdurrahman bin Abi Bakar.” Maka aku katakan kepadanya : “Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melarang ziarah kubur?” Ia menjawab : “Benar, tapi kemudian beliau menyuruh berziarah ke kubur.” (HR. Hakim, Al Baihaqi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Majah, dan Ibnu Abi Dunya. Al Hakim mendiamkan hadits ini. Adz Dzahabi berkata shahih, Al Bushiri berkata dalam Az Zawaid 1/988 : Sanadnya shahih, rijalnya tsiqat. Saya (Al Albani) berkata : Hadits ini keadaannya memang seperti yang mereka berdua katakan)
Dari Muhammad bin Qais bin Makramah bin Al Muththalib, ia berkata pada suatu hari : Maukah kalian kuceritakan tentangku dan tentang ibuku? Maka kami mengira dia memaksudkan ibu yang melahirkannya. Dia berkata : ’Aisyah pernah berkata : “Maukah kalian aku ceritakan tentangku dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam?” Maka kami menjawab : “Tentu.” ‘Aisyah lalu berkata : Ketika pada malam giliranku, beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ada bersamaku. Beliau berbalik meletakkan selendang dan melepaskan dua sandalnya serta meletakkannya di bawah kakinya. Kemudian membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidur. Lalu berbaring. Tidak berapa lama setelah itu beliau mengira aku telah tidur. Maka beliau memakai selendang dan sandalnya secara pelan-pelan. Setelah itu beliau membuka pintu dan menutupnya kembali dengan pelan. Maka akupun melepas pakaian rumah dan memakai tutup kepala serta bertopeng dengan sarungku. Lalu pergi membuntuti beliau sampai tiba di Baqi’. Beliau tegak dengan lama di tempat itu dan mengangkat kedua tangannya tiga kali. Kemudian beliau berpaling (berbalik untuk kembali ke rumah), akupun berpaling. Beliau berjalan cepat, aku juga berjalan cepat. Beliau berlari, aku juga berlari. Hingga beliau akan sampai (ke rumah), aku juga demikian. Maka akupun mendahului beliau lalu masuk ke rumah dan berbaring. Kemudian beliau masuk dan berkata : “Ada apa denganmu, wahai ‘Aisyah? Seakan-akan isi perutmu terangkat karena berlari cepat?” Aku menjawab : “Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah.” Beliau berkata : “Engkau katakan atau Allah yang akan menceritakan sebenarnya kepadaku.” Aku berkata : “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku.” Maka aku ceritakan kejadiannya. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata : “Berarti engkau benda hitam yang kulihat di depanku tadi?” Aku menjawab : “Benar.” Maka beliau memukul dadaku dengan pukulan yang menyakitkanku, lalu beliau bersabda : “Apakah engkau mengira Allah akan berbuat aniaya kepadamu dan Rasul-Nya juga berbuat demikian?” Aku berkata : “Bagaimanapun disembunyikan oleh manusia akan diketahui juga oleh Allah.” Beliau berkata : “Jibril mendatangiku kemudian memanggilku maka aku menjawabnya. Dan dia tidak mau masuk karena ada engkau karena engkau sudah melepas pakaianmu. Aku mengira engkau telah tidur dan aku tidak suka membangunkanmu. Aku khawatir engkau merasa tidak senang. Maka Jibril berkata : ‘Sesungguhnya Rabbmu menyuruhmu datang ke penghuni Baqi’ dan memohonkan ampun untuk mereka’.”
Aku (‘Aisyah) berkata : “Apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kuburan) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Katakanlah :
Semoga keselamatan tercurah bagi para penghuni kuburan ini dari kalangan Mukminin dan Muslimin. Dan semoga Allah merahmati orang yang terdahulu dan orang yang belakangan dari kita. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim, An Nasa’i, Abdurrazzaq, dan Ahmad)
Hadits ini dijadikan dalil oleh Al Hafidh dalam At Talkhish 5/248 tentang bolehnya berziarah bagi wanita. Dan ini adalah dhahir hadits. Hadits ini menguatkan pendapat bahwasanya rukhshah untuk berziarah kubur setelah sebelumnya dilarang juga mencakup para wanita. Dan kisah itu terjadi di Madinah karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah tinggal bersama ‘Aisyah. Sedangkan larangan ziarah kubur terjadi ketika masih di Makkah. Kita tetap menegaskan hal ini walau kita tidak tahu sejarah yang menguatkannya karena kesimpulan yang benar menguatkan hal tersebut yaitu ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Dulu aku melarang kalian.” Sabda Nabi ini tidak bisa dipahami bahwa larangan ziarah kubur ditetapkan di Madinah bukan di Makkah yang memang di sana kebanyakan yang disyariatkan adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan tauhid dan akidah. Dan larangan ziarah ketika itu adalah untuk menutup pintu bahaya (saddudz dzari’ah) menuju kesyirikan dan jelas dicetuskan ketika periode Mekkah sebab para shahabat baru meninggalkan jahiliyah dan baru masuk Islam. Hingga ketika tauhid telah kokoh di dalam hati-hati mereka dan setelah mereka tahu jenis-jenis syirik yang mengakibatkan kerusakan tauhid maka setelah itu beliaupun membolehkan ziarah kubur. Adapun kalau beliau membiarkan mereka selama periode Makkah dalam kebiasaan mereka berziarah kemudian beliau melarang mereka untuk melakukan hal itu di Madinah maka ini jauh sekali dari hikmah syariat. Oleh karena itu kita menetapkan bahwa larangan tersebut dilontarkan ketika masih di Makkah. Jika demikian maka ijin beliau kepada ‘Aisyah untuk berziarah di Madinah adalah dalil yang jelas tentang apa yang kita sebutkan.
Perhatikanlah, karena hal itu membuat sesuatu dalam hati. Dan saya (Al Albani) belum melihat ada yang mensyarah seperti ini. Jika saya benar itu dari Allah, jika salah dari diriku.
Keempat, ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada seorang wanita yang beliau lihat berada di sisi kuburan, dalam hadits Anas radliyallahu 'anhu :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah melewati seorang wanita yang menangis di sisi kuburan maka beliau bersabda : “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah … .” (HR. Bukhari dan lain-lain)
Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari : “Sisi yang dijadikan argumen dari hadits ini adalah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak mengingkari duduknya wanita tersebut di sisi kuburan dan ucapan beliau adalah hujjah.”
Dalam Al Umdah 3/76, Al ‘Aini rahimahullah berkata : “Dalam hadits ini ada pembolehan ziarah kubur secara mutlak. Sama saja apakah yang berziarah pria atau wanita dan apakah yang diziarahi Muslim atau kafir. Karena tidak adanya pemisahan dalam hal itu.” Al Hafidh juga menyebutkan demikian di akhir ucapannya tentang hadits di atas.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwasanya Jumhur berpendapat ‘boleh’ yakni ziarah kubur bagi wanita. Pengarang Al Hawi (Abul Hasan Al Mawardi rahimahullah) berkata : “Tidak boleh menziarahi kuburan orang kafir.” Dan ini adalah pendapat yang salah. ] (Ahkamul Janaiz halaman 229-234)
Syaikh Mushthafa Al Adawi hafidhahullah dalam Jami’ Ahkamin Nisa’ setelah membawakan alasan kedua belah pihak (yang melarang dan yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita) berkata : [ Kesimpulan dalam hal ini --dan ilmunya hanya pada Allah-- dan melihat dalil-dalil yang membolehkan dan melarang adalah kita berpendapat sebagai berikut :
Pertama : Hadits-hadits yang membolehkan lebih shahih daripada hadits-hadits yang melarang. Dan tidak ada hadits yang kuat dalam melarang kecuali hadits :
“Semoga Allah melaknat wanita-wanita yang sering ziarah kubur.”
Kedua : Telah diterangkan bahwa lafadh ‘zawwarat’ maknanya adalah wanita yang sering ziarah kubur, maka tidak termasuk di dalamnya wanita yang hanya berziarah sekali-kali.
Ketiga : Hadits : “Semoga Allah melaknat wanita-wanita yang sering ziarah kubur.” Disebutkan oleh sebagian ulama bahwa hadits ini telah mansukh (dihapus) dengan hadits : “Dulu aku pernah melarang kalian berziarah ke kubur, sekarang berziarahlah, karena ziarah kubur akan mengingatkan kepada akhirat.” Dan wanita jelas juga butuh mengingat akhirat seperti pria.
Keempat : Apa yang dipahami oleh ‘Aisyah radliyallahu 'anha dan dia adalah seorang wanita --bahkan ibu para wanita dan ibu kita (kaum pria)-- yang perintah berkaitan dengan mereka (para wanita) juga menerangkan bahwa Rasulullah mengajarkan apa yang harus diucapkannya jika datang ke kuburan. Dan ‘Aisyah sendiri juga berziarah ke kubur saudaranya. Semua ini menunjukkan bolehnya seorang wanita berziarah ke kubur dan ini menguatkan pendapat yang membolehkan itu. Wallahu A’lam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/580)
LARANGAN BAGI WANITA UNTUK SERING-SERING BERZIARAH
Syaikh Al Albani menyebutkan : [ Akan tetapi tidak boleh bagi para wanita untuk sering-sering berziarah kubur karena itu akan membawa kepada hal-hal yang melanggar syariat, seperti : Berteriak-teriak, tabaruj, menjadikan kubur sebagai tempat pertemuan, dan menyia-nyiakan waktu dengan ucapan-ucapan yang sia-sia sebagaimana tampak pada hari ini di sebagian negeri kaum Muslimin. Insya Allah inilah yang dimaukan dalam hadits yang masyhur :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dalam riwayat lain : Allah) melaknat wanita-wanita yang sering berziarah ke kubur. (Hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat seperti Abu Hurairah, Hasan bin Tsabit, dan ‘Abdullah bin Abbas radliyallahu 'anhum. Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain)
Imam Tirmidzi rahimahullah berkata : “Hadits ini hasan shahih.” Sebagian ulama berpendapat bahwa ini sebelum dibolehkannya berziarah oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Ketika ziarah kubur telah diperbolehkan maka masuk dalam kebolehan itu pria dan wanita. Sebagian mereka (ulama) berkata bahwa beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memakruhkan wanita untuk berziarah karena kurangnya kesabaran mereka dan sukanya mereka berkeluh kesah. ]
Setelah Syaikh Al Albani rahimahullah membahas tentang lafadh dan beliau berkata : [ Dari takhrij hadits jelas bahwa yang lebih kuat adalah lafadh (yakni wanita yang sering ziarah).
Jika masalahnya demikian, lafadh ini (wanita yang sering ziarah) menunjukkan bahwa yang dilaknat hanyalah wanita yang banyak ziarah sedangkan wanita yang tidak sering ziarah tidak terkena laknat. Maka tidak boleh hadits yang khusus ini membantah hadits-hadits umum yang menunjukkan disunnahkannya ziarah kubur bagi wanita. Masing-masing dari hadits-hadits tersebut diamalkan pada tempatnya. Cara penjama’an (dikompromikan) ini lebih bagus daripada cara naskh (penghapusan salah satunya), dengan cara seperti ini segolongan ulama berpendapat.
Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Laknat yang tersebut dalam hadits adalah bagi wanita yang sering berziarah larena bentuk katanya demikian. Mungkin sebab yang membawa ke sana adalah wanita itu akan menyia-nyiakan hak suami dan bertabaruj serta timbulnya suara jeritan dan sejenisnya. Ada yang berkata : ‘Jika telah aman semua itu, tidak ada halangan untuk mengijinkan mereka karena mengingat mati dibutuhkan oleh pria dan wanita’.”
Dalam Nailul Authar 4/95 Imam As Syaukani rahimahullah berkata : “Dan ini adalah ucapan yang pantas untuk dijadikan pegangan di dalam mengkompromikan hadits-hadits yang bertentangan dalam bab ini secara dhahirnya.” ] (Ahkamul Janaiz 235-237)
Telah berkata Syaikh Mushthafa Al Adawi hafidhahullah : [ Perhatikan :
1.     Jika diketahui dari keadaan para wanita kalau mereka pergi ke kubur akan berteriak-teriak, meratap-ratap, dan melakukan bid’ah dan keharaman maka haram ketika itu bagi mereka untuk berziarah ke kubur. Menolak bahaya lebih didahulukan daripada mendapatkan kebaikan.
2.     Jika diketahui dari keadaan mereka yang demikian itu bahwa kalau mereka pergi ziarah ke sebagian orang yang dianggap shalih dan wali Allah mereka akan melakukan permohonan untuk dihilangkan bahaya, menunaikan keperluan, dan menghilangkan kesusahan serta yang sejenisnya maka ini adalah syirik. Dan ketika itu diharamkan bagi para wanita untuk berziarah.
3.     Jika para wanita pergi dengan tabaruj dan menggunakan parfum maka juga haram bagi mereka untuk keluar ziarah.
4.     Jika para wanita mengkhususkan untuk berziarah ke kubur pada hari itu sebagaimana yang terjadi dengan mengkhususkan hari Jum’at dan hari-hari besar atau sejenisnya maka ini termasuk bid’ah yang Allah tidak menurunkan keterangan atasnya. Semoga Allah memberikan bimbingan untuk kita dalam mengikuti Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/581)
Dari keterangan-keterangan di atas jelas bagi kita bahwa dibolehkan bagi para wanita untuk ziarah kubur dengan adab-adab sebagai berikut :
1.      Tidak sering-sering.
2.      Tanpa bertabaruj.
3.      Tidak mengeluarkan kata-kata yang salah, seperti meratap, menjerit-jerit, terlebih lagi melakukan kesyirikan seperti meminta kepada si mayit, beristighatsah kepadanya, dan lain-lain.
4.      Menunaikan adab seperti adab wanita Muslimah keluar rumah.
5.      Mengambil pelajaran dan untuk mengingat akhirat. Dan dibolehkan bagi wanita berziarah ke kuburan keluarganya yang kafir hanya untuk mengambil pelajaran dengan dalil :
Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berziarah ke kubur ibunya. Kemudian beliau menangis dan tangisan itu membuat orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau berkata : “Aku memohon ijin kepada Allah untuk memohonkan ampunan bagi ibuku tapi Allah menolaknya. Dan aku meminta ijin untuk menziarahi kuburnya maka diijinkan. Berziarahlah kalian ke kubur karena itu akan mengingatkan kepada mati.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan lain-lain)
6.      Tidak melakukan bid’ah-bid’ah seperti :
a.    Berziarah dengan dikhususkan hari-harinya.
b.    Tegak di depan kubur dan meletakkan tangan seperti orang shalat kemudian duduk.
c.     Tayammum untuk berziarah.
d.    Membaca Al Fatihah untuk si mayit.
e.    Membaca surat Yasin untuk si mayit.
f.      Bertahlil ketika melewati kubur.
g.    Kirim salam kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melalui orang yang berziarah ke kubur beliau.
h.    Menghadiahkan pahala kepada si mayit.
i.       Menghadiahkan pahala kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
j.      Dan lain-lain, yang jelas kalau tidak dicontohkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam ibadah jangan dilakukan.
7.      Jika menziarahi kuburan orang kafir jangan mengucapkan salam tapi memberikan kabar dengan neraka kepadanya. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Di mana saja engkau melewati kuburan orang kafir berikan kabar gembira dengan neraka kepadanya.” (Lihat As Shahihah : 18)
8.      Tidak berjalan di antara kuburan Muslim dengan memakai sandal berdasarkan hadits Basyir bin Khushashiyah yaitu ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melihat ada yang memakai sandal, beliau bersabda :
“Wahai yang memakai sandal dari kulit lemparkanlah keduanya!” Maka orang itu melihat, ketika dia tahu bahwa itu adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dia lepaskan sandalnya dan melemparkan keduanya. (HR. Ashhabus Sunan)
Al Hafidh berkata dalam Fathul Bari 3/160 : “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan di antara kuburan dengan memakai sandal. Ibnu Hazm telah melakukan keganjilan dengan menyatakan diharamkan berjalan di antara kuburan dengan memakai sandal kulit, adapun yang selain itu boleh! Ini adalah kedangkalan berfikir (jumud) yang parah.” (Ahkamul Janaiz halaman 252)
TUJUAN ZIARAH KUBUR
Ziarah kubur memiliki dua tujuan, yaitu :
Pertama, penziarah mengambil manfaat dengan mengingat mati dan orang yang mati. Dan tempat mereka ke Surga atau ke neraka.
Kedua, si mayit mendapat kebaikan dengan perbuatan baik dan salam untuknya serta mendapat doa permohonan ampunan. Dan ini khusus untuk mayat yang Muslim. (Ahkamul Janaiz halaman 239)
DOA-DOA ZIARAH KUBUR
Ada beberapa doa yang shahih yang dituntunkan untuk diucapkan ketika berziarah ke kubur, namun kami cukupkan dengan menyebutkan dua saja di antaranya :
“Semoga keselamatan tercurah bagi kalian wahai penghuni tempat kaum Mukminin. Kami dan kalian serta apa yang dijanjikan besok adalah orang yang ditangguhkan. Dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah ampunilah penghuni kubur … .” (HR. Muslim, Nasa’i, dan lain-lain)
“Semoga keselamatan tercurah kepada penghuni kubur ini dari kalangan Mukminin dan Muslimin dan semoga Allah merahmati orang yang telah duluan dari kami dan yang belakangan dan kami insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim dan lain-lain)
(Lihat Ahkamul Janaiz halaman 239-240)
Wallahu A’lam Bis Shawab.Ditulis Muhammad Hadidi Jurusan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang



Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
penulis 
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah 
Universitas Muhammadiyah Malang
 
      Ayah dan ibu adalah dua orang yang sangat berjasa kepada kita. Lewat keduanyalah kita terlahir di dunia ini. Keduanya menjadi sebab seorang anak bisa mencapai Surga. Do’a mereka ampuh. Kutukannya juga manjur. Namun betapa banyak sekarang ini kita jumpai anak-anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Panti jompo menjamur di mana-mana, ini menunjukkan tidak mengertinya sang anak akan 'harga' kedua orang tua. Mereka titipkan kedua orang tuanya di sana dalam keadaan sengsara dan kesepian melewati masa-masa tuanya, sementara mereka bersenang-senang di rumah mewah. Kejadian seperti ini juga akibat kesalahan orang tua yang tidak memberikan pendidikan agama kepada anaknya.
Nash yang berbicara tentang perintah dan anjuran berbuat baik kepada kedua orang tua :
Dari Al Qur’anul Karim
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua … .” (An Nisa’ : 36)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di atas : “Kemudian (setelah menyuruh bertauhid, pent.) Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Karena Allah menjadikan mereka berdua sebagai sebab keluarnya engkau dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Dan banyak sekali Allah menggandengkan perintah beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua.”
Katakanlah : “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Rabb kalian, yaitu janganlah mempersekutukan sesuatu dengan Dia dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua.” (Al An’am : 151)
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya ucapan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah : “Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al Isra’ : 23-24)
“Dan Kami wajibkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kalian kembali lalu Aku khabarkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (Al Ankabut : 8)
Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan-Nya itu adalah kedhaliman yang besar.” Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku-lah kalian kembali maka Ku-beritahukan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan. (Luqman : 13-15)
Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia dewasa dan umurnya telah sampai empat puluh tahun, ia berdoa : “Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku termasuk orang yang berserah diri.” Mereka inilah orang-orang yang Kami terima dari mereka amalan yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka bersama penghuni-penghuni Surga sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka. (Al Ahqaf : 15-16)
Ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang agung di atas memberikan pelajaran kepada kita betapa besarnya kedudukan kedua orang tua. Kita wajib mematuhi keduanya selama keduanya menyuruh kepada kebaikan dan ketaatan kepada Allah.
Dari Hadits-Hadits Khairul Anam (Rasulullah, ed.) Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radliyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Ridla Allah terletak pada ridla orang tua. Dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan orang tua.” (HR. Tirmidzi 1899, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash berkata : Datang seseorang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kemudian dia meminta ijin kepada beliau untuk berjihad. Maka beliau bersabda : “Apakah kedua orang tuamu masih ada?” Orang itu berkata : “Ya!” Beliau bersabda :
“Maka kepada keduanya, berjihadlah engkau.” (HR. Bukhari nomor 5972 dan Muslim nomor 2549)
Masih dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash ia berkata : Seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kemudian berkata : “Aku datang untuk berbaiat kepadamu untuk hijrah dan aku tinggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis.” Mendengar hal itu, Nabi bersabda :
“Kembalilah engkau kepada keduanya. Maka buatlah keduanya tertawa sebagaimana sebelumnya engkau telah membuatnya menangis.” (HR. Abu Dawud nomor 2528 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud nomor 2205)
Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, ia berkata : Seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kemudian berkata : “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku sikapi dengan baik?” Beliau bersabda : “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi : “Kemudian siapa?” Beliau menjawab : “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi : “Kemudian siapa?” Beliau menjawab : “Ibumu.” Lalu orang itu bertanya lagi : “Kemudian siapa?” Beliau berkata : “Ayahmu.” (HR. Bukhari nomor 5971 dan Muslim nomor 2548)
Abu Hurairah radliyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Seorang anak tidak bisa membalas kebaikan orang tuanya kecuali jika dia mendapati orang tuanya sebagai budak, kemudian ia beli dan membebaskannya.” (HR. Muslim nomor 1510)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallahu 'anhu, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Amalan apakah yang paling disukai Allah?” Beliau menjawab : “Shalat tepat pada waktunya.” Aku katakan : “Kemudian apa?” Beliau menjawab : “Birrul Walidain (berbuat baik kepada orang tua).” Aku katakan : “Lalu apa?” Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari nomor 5970 dan Muslim nomor 139)
‘Abdullah bin Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Semoga terhina, semoga terhina, semoga terhina, orang yang mendapati kedua orang tuanya telah tua salah satunya atau keduanya tapi dia tidak bisa masuk Surga (karena keduanya, pent.).” (HR. Muslim nomor 2551)
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendoakan orang seperti itu agar terhina, maka bagaimana lagi kalau Nabi sudah berdoa?
Hadits-Hadits Yang Melarang Berbuat Durhaka Kepada Kedua Orang Tua
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radliyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tiga orang yang tidak akan dilihat Allah di hari kiamat adalah orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayyuts (pria yang membiarkan istrinya bermaksiat). Dan tiga jenis orang yang tidak masuk Surga adalah orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, peminum (pecandu) khamr, dan pengungkit-ungkit pemberian bila diberi.” (Lihat Shahihul Jami’ nomor 3066 dan Ash Shahihah nomor 674)
Dari Mughirah bin Syu’bah radliyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada para ibu, mengubur anak wanita hidup-hidup, tidak mau menunaikan yang wajib, dan mengambil yang bukan haknya dari barang milik orang lain.” (HR. Bukhari nomor 5975 dan Muslim nomor 539)
Abu Bakrah menceritakan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar?” (Beliau mengulanginya sampai tiga kali). Maka kami berkata : “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda : “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Ketika itu beliau bersandar kemudian duduk sambil berkata : “Ketahuilah begitu juga dengan ucapan dusta dan saksi dusta.” Beliau terus mengulang-ulangnya hingga kami berkata : “Semoga beliau diam.” (HR. Bukhari nomor 2653 dan Muslim nomor 87)
Dari Muadz bin Jabbal radliyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memberiku sepuluh wasiat, beliau bersabda : “Janganlah engkau mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun walau engkau dibunuh dan dibakar hidup-hidup, jangan sekali-kali engkau durhaka kepada kedua orang tuamu walau keduanya menyuruhmu keluar dari keluargamu dan hartamu … .” (HR. Ahmad, dihasankan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihut Targhib nomor 567)
Contoh Dari Para Nabi
Ketika menuju Hudaibiyah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melewati daerah bernama Abwa’ yang di tempat itu ibunya dikuburkan. Saat itu beliau ditemani oleh para shahabat dan pasukan yang berjumlah seribu penunggang kuda berbaju besi. Maka beliau menyempatkan ziarah ke kubur ibunya dan menangis sehingga para shahabat di sekitar beliau ikut menangis. Beliau bersabda :
“Aku meminta ijin kepada Rabbku agar diperbolehkan memohonkan ampun untuk ibuku. Tapi Dia tidak mengijinkan. Dan aku meminta ijin untuk menziarahinya dan diijinkan. Maka ziarahilah kubur karena itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim nomor 976 dan Abu Dawud nomor 3234 dan lain-lain)
Subhanallah, rasa kasih dan sayang Nabi kita Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam muncul ketika melewati tempat dikuburnya sang ibu yang wafat pada saat usia beliau masih kanak-kanak, empat tahun. Oleh karena itu beliau menangis. Dan tangis beliau membuat seribu pasukan ikut menangis. (Dari kitab Wabil Walidaini Ihsana, karya Su’ad Muhammad halaman 32)
Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, bapaknya para Nabi begitu lemah lembut menasehati dan mendakwahi ayahnya kepada hidayah walau sang ayah telah menyakitinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan ucapan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam kepada ayahnya :
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang padaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku. Niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam : 43)
“Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir engkau akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka engkau menjadi kawan bagi syaithan.” (Maryam : 45)
Kata ‘ya abati’ adalah kata yang paling tinggi dalam penghormatan kepada ayah. Dan dengan kata ini, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam berbicara dengan ayahnya.
Mengapa Engkau Menyembunyikan Kebaikan?
Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah sikap yang mulia. Keutamaan keduanya telah lewat keterangannya. Ingatlah ketika engkau lemah.
Wahai Rabbku! Rahmatilah keduanya sebagaimana keduanya telah menyayangiku di waktu kecil.
Ibumu telah mengandungmu di perutnya selama sembilan bulan dalam penderitaan yang berganda. Ia mengandungmu dalam keadaan susah dan melahirkanmu dalam keadaan payah. Umurmu yang bertambah semakin menambah berat baginya. Ketika melahirkanmu seakan-akan kematian ada di depan matanya. Tapi ketika dia melihatmu di sisinya, sirnalah dengan cepat semua rasa sakit dan susahnya. Ia gantungkan padamu semua harapannya … . Ia melihat padamu ada cahaya hidup dan keindahannya … .
Kemudian ibumu sibuk melayanimu siang malam. Ia korbankan kesehatannya untukmu. Air susunya menjadi makananmu … . Pelukannya menjadi rumahmu. Tangan, punggung, dan dadanya menjadi tempat tungganganmu. Ia menjaga dan mengawasimu. Ia rela lapar asal engkau kenyang. Rela begadang asal engkau tidur. Ia sangat cinta dan sayang padamu.
Jika ia hilang darimu, engkau memanggilnya. Jika kau tertimpa sesuatu yang menyusahkan, kau minta tolong padanya. Dalam anggapanmu, setiap kebaikan ada padanya. Engkau anggap bahaya tidak akan menimpamu jika engkau dalam pelukannya atau kalau ia memperhatikanmu.
Adapun ayahmu, karena kamu, ia menjadi penakut dan kikir. Ia berusaha untukmu. Agar engkau tidak tersakiti, ia berpindah-pindah bepergian jauh. Ia tempuh daerah datar dan tinggi sambil menghadapi bahaya. Hanya untuk mencari sesuap nasi kehidupan untuk diberikan padamu. Ia merawat dan mendidikmu. Jika engkau datang padanya, engkau merasa senang dan ia pun senang. Jika ia keluar, engkau merasa bergantung padanya. Jika ia pulang, engkau peluk pinggangnya dengan erat … . Kau takut-takuti orang dengan ayahmu. Dan kau ancam mereka dengan perbuataan ayahmu … .
Itulah mereka berdua dan itu masa bayi dan kecilmu, maka mengapa engkau enggan berbuat baik? Mengapa engkau jadi kaku dan kasar? Seakan-akan hanya engkau yang diberi nikmat.
Sesungguhnya perangai yang jahat dan kecelakaan serta kerugian kalau orang tua dikejutkan dengan perbuatan anak yang enggan berbuat baik kepada mereka. Keduanya telah berbuat baik, tapi orang yang celaka ini pura-pura lupa kelemahan dan masa kecilnya. Dia merasa sombong dengan keadaan dan keahliannya. Dia tertipu dengan ilmu dan wawasannya. Menyombongkan wibawa dan kedudukannya. Dia menyakiti ibunya dengan kata-kata yang pedas dan gerutu. Menyikapi keduanya dengan jelek dan dengan ucapan yang keji. Dia bentak dan hardik keduanya. Bahkan kadang-kadang dia tega menampar dan menendang keduanya. Keduanya berharap sang anak hidup, tapi sang anak berharap keduanya cepat mati. Seakan-akan keduanya berharap jadi pasangan yang mandul saja dulunya.
Rasa Hormat Menangisi Keduanya
Hai orang yang celaka! Bukankah kalau telah tua keduanya butuh kepadamu? Tapi kau sia-siakan mereka?! Kau lebih mendahulukan yang lain dari keduanya dalam berbuat baik. Dan kau lupakan keduanya … . Apakah kau tidak tahu bahwa orang yang berbuat baik kepada kedua orang tua nantinya akan ditaati oleh anaknya? Dan sebaliknya kalau dia durhaka kepada kedua orang tuanya, anaknya nanti juga akan durhaka kepadanya. Kau juga nantinya akan butuh kepada kebaikan anak-anakmu. Dan mereka akan memperlakukanmu seperti perlakuanmu kepada kedua orang tuamu. Sebagaimana engkau bersikap, demikian juga engkau disikapi. Dan balasan itu karena amalan. (Dinukil dari Wabil Walidaini Ihsana halaman 37-39)
Dikisahkan, suatu hari ada seorang ayah yang tua diajak pergi ke sebuah lembah oleh anaknya. Ketika sampai di lembah sunyi itu, sang anak berkata : “Wahai ayah, aku akan menyembelihmu di sini.” (Subhanallah, anak menyembelih anaknya!!) Maka sang ayah berkata : “Wahai anakku, sebelum engkau menyembelihku, kuberitahukan kepadamu bahwa dulu aku pernah menyembelih ayahku di sini!” (Dinukil dari kaset Hakadza ‘Allamatnil Hayah)
Memang … .
“Bagaimana engkau bersikap, demikian engkau akan disikapi.”
Beberapa Contoh Dari Para Salaf
Ibnul Munkadir berkata : “Saudaraku ‘Umar menghabiskan malamnya dengan shalat, tapi aku menghabiskan malamku dengan mengurut kaki ibuku. Dan malamku dengan seperti itu lebih aku sukai dari malam saudaraku itu.” (Dari kitab Siyar A’lamin Nubala’ 5/405)
Ibnul Hasan At Tamimi ingin membunuh seekor kalajengking tapi ternyata hewan itu masuk ke lubang. Maka Ibnul Hasan memasukkan jarinya ke lubang itu untuk membunuhnya, akhirnya dia disengat. Maka ada yang bertanya kepadanya. Dia menjawab : “Aku takut kalau hewan itu keluar dan menyengat ibuku.” (Siyar A’lamun Nubala’ 541)
Ibnu ‘Aun Al Muzani pernah dipanggil ibunya maka suaranya mengalahkan suara ibunya (lebih tinggi). Karena perbuatan tersebut, dia membebaskan dua budak. Qurrah bin Khal berkata : “Kami ketika itu kagum kepada sifat wara’-nya Muhammad bin Sirrin, maka perbuatan Ibnu ‘Aun membuat kami lupa kepadanya.” (Tahdzib Siyar A’lamin Nubala’ 544)
‘Abdullah bin Ja’far bin Khaqun Al Marwadzi berkata : “Aku hendak keluar (setelah mengumpulkan hadits Bashrah) namun ibuku melarangku. Maka aku taat padanya sehingga aku diberkahi karenanya.” (Siyar A’lamin Nubala’ 12/145)
Kata Ja’far Al Khalidi, Abbar adalah seorang ulama hadits di Baghdad dan dia seorang yang zuhud. Suatu saat dia meminta ijin kepada ibunya untuk rihlah (safar menuntut ilmu) ke Qutaibah. Tapi sang ibu tidak mengijinkannya. Kemudian ibunya wafat. Maka mereka mengunjunginya karena itu. Ia berkata : “Ini buah ilmu, yaitu aku memilih ridla ibuku.” (Siyar A’lamin Nubala’ 13/443)
Ibnul Jauzi berkata : “Sampai kepada kami cerita tentang ‘Umar bin Dzarr. Ketika anaknya wafat, ada yang bertanya kepadanya : “Bagaimana bakti anak itu padamu?” Dia menjawab : “Kalau di siang hari, dia selalu jalan di belakangku. Dan kalau malam hari dia selalu jalan di depanku. Dia tidak pernah tidur di tempat yang lebih tinggi dariku.”
Abu Hurairah, jika keluar dari rumahnya selalu berhenti di depan pintu ibunya sambil berkata : “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibuku!” Dan ibunya menjawab : “Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh, wahai anakku!” Abu Hurairah lalu berkata : “Semoga Allah menyayangimu sebagaimana engkau telah mendidikku di waktu kecil.” Maka ibunya berkata : “Semoga Allah juga menyayangimu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepadaku di masa tuaku.”
Anas bin An Nadhr berkata : “Ibunya Ibnu Mas’ud meminta air kepadanya di sebagian malam, maka ketika dia datang membawa air dia dapati ibunya telah tidur. Maka dia tetap memegang air di arah kepalanya sampai pagi.”
Al Hasan bin ‘Ali tidak mau makan bersama ibunya. Dan dia adalah orang yang paling baik kepada ibunya. Ketika ada yang menanyakan kepadanya tentang hal itu, dia menjawab : “Aku khawatir kalau aku makan dengan ibuku karena aku tak tahu kalau sampai aku memakan makanan yang disukainya.” (Dinukil dari kitab Birul Walidain Ibnul Jauzi halaman 53-55 dan Wabil Walidaini Ihsana halaman 40-43)
Antara Orang Tua Dan Istri
Sering kita dengar seorang pria tertipu hingga dia menganggap istrinya sebagai tempat akhir pemuliaan, sementara itu dia meremehkan ibunya dan dia memandang ibunya dengan pandangan permusuhan.
Karena ikatan anak dengan kedua orang tua adalah ikatan darah, nyawa, cinta, dan keturunan. Sedangkan ikatan dengan istrinya hanya ikatan cinta, kasih, dan sayang, maka janganlah dia lebih mementingkan istrinya dan mengabaikan kedua orang tuanya. Dia wajib berusaha sekuat tenaga untuk menimbulkan sikap saling mengerti. Dan hendaknya sang istri mengalah karena hak kedua orang tua lebih besar dan agung dan agar sang suami tidak terpaksa menceraikannya.
Ada seseorang datang kepada Abu Darda’ radliyallahu 'anhu sambil berkata : “Ayahku terus bersamaku hingga dia menikahkanku. Dan sekarang dia menyuruhku untuk menceraikan istriku.” Abu Darda’ berkata : Aku tidak menyuruhmu untuk durhaka kepada kedua orang tuamu dan tidak menyuruhmu untuk menceraikan istrimu. Kalau kamu mau aku akan beritakan kepadamu apa yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Beliau pernah bersabda :
“Ayah adalah tonggak dari pintu-pintu Surga. Maka jagalah pintu itu jika kau ingin atau tinggalkan.” (HR. Tirmidzi nomor 1900 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi)
Janganlah seorang lelaki menganggap ucapan istrinya dan khabar-khabar darinya dengan pasti hingga dia menetapkan hukum atasnya. Khususnya kalau ucapan itu mengandung pencelaan kepada seseorang, apakah dalam keluarga atau di luar anggota keluarga. Tapi hendaklah dia meneliti benar atau salah sebelum dia mempercayainya. Dan dia bisa lihat dalam Al Qur’an bahwa kesaksian dua wanita sebanding dengan satu pria, sebagai peringatan dan nasehat. (Wabil Walidaini Ihsana halaman 56-57)
Jika Kedua Orang Tua Telah Tiada
Bila kedua orang tua telah tiada maka kita berbuat baik kepada teman-temannya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Siapa yang ingin menyambung hubungannya dengan ayahnya di kubur, hendaklah ia menyambung hubungan dengan teman-teman ayahnya sepeninggalnya.” (Lihat Ash Shahihah nomor 1432)
Ibnu ‘Umar radliyallahu 'anhu berkata : Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kemudian berkata : “Aku telah berdosa besar, maka apakah aku bisa bertaubat?” Beliau bersabda : “Apakah engkau memiliki ibu?” Orang itu menjawab : “Tidak.” Beliau bersabda lagi : “Apakah engkau masih memiliki bibi (saudara wanita ibu)?” Orang itu menjawab : “Ya.” Lalu Nabi bersabda : “Kepadanyalah engkau berbuat baik.” (HR. Tirmidzi nomor 1905. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi)
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah berkata :
“Bibi itu kedudukannya seperti kedudukan ibu.” (HR. Bukhari nomor 4251)
Ibnu Dinar menceritakan bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallahu 'anhuma bila keluar ke Makkah menunggangi keledai dan memakai sorban di kepalanya. Pada suatu hari ketika dia berada di atas keledainya, ia melewati seorang Arab Badui, maka orang itu berkata kepadanya : “Bukankah engkau fulan anak fulan?” Abdullah bin ‘Umar menjawab : “Benar.” Lalu Ibnu ‘Umar turun dan memberikan keledai dan sorbannya kepada orang itu seraya berkata : “Naikilah keledai ini dan ikatlah kepalamu dengan sorban ini.” Mengetahui kejadian itu, sebagian teman-teman Ibnu ‘Umar berkata kepadanya : “Semoga Allah mengampunimu, engkau berikan keledaimu dan sorban di kepalamu kepada orang itu sedangkan engkau membutuhkannya?” Maka ia menjawab : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya sebaik-baik kebaikan adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dicintai ayahnya setelah dia (ayah) wafat.” Dan ayahnya orang Badui ini adalah temannya ‘Umar radliyallahu 'anhu. (HR. Muslim)
Aisyah radliyallahu 'anha berkata : “Aku tidak pernah cemburu kepada para istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam seperti cemburuku kepada Khadijah, walau tidak pernah sekalipun aku melihatnya. Tapi Nabi sering menyebut-nyebutnya. Kadang beliau menyembelih kambing kemudian mengambil beberapa potong dan beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah. Pernah aku berkata kepada Nabi : “Seakan-akan tidak ada di dunia ini kecuali Khadijah!” Maka beliau bersabda : “Dia demikian dan demikian dan aku mendapat anak darinya.” (HR. Bukhari 7/102-103 dan Muslim nomor 2435 dan 2437)
Beberapa Nasihat Tentang Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua
1.      Berbicaralah kepada kedua orang tua dengan adab. Dan janganlah engkau membentak keduanya. Dan ucapkanlah perkataan yang mulia.
2.      Taatilah kedua orang tuamu selain dalam perkara maksiat, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah.
3.      Berlaku lembutlah kepada keduanya dan janganlah engkau bermuka masam dan jangan melihat dengan marah.
4.      Jagalah nama baik, kehormatan, dan harta kedua orang tuamu. Dan jangan engkau mengambil tanpa ijinnya.
5.      Lakukanlah apa yang menyenangkan keduanya walau tanpa perintah keduanya, seperti membantu pekerjaan, belanja keperluan, dan bersungguh-sungguh dalam belajar.
6.      Bermusyawarahlah dengan keduanya dalam semua pekerjaanmu dan mintalah maaf kepada mereka kalau kau terpaksa tidak cocok.
7.      Penuhi panggilan keduanya dengan cepat disertai wajah penuh senyuman dan berkatalah ‘ya abi’, ‘ya ummi’, dan jangan dengan ‘ya papa’, ‘ya mama’. Karena itu bahasa ajnabi (asing).
8.      Muliakan tamu mereka dan kerabat mereka ketika mereka hidup dan setelah wafat.
9.      Jangan kau debat dan jangan salah-salahkan mereka dan gunakan adab untuk menerangkan yang benar kepada mereka.
10. Jangan kau lawan mereka. Dan jangan kau tinggikan suaramu melebihi suara mereka. Diamlah kalau mereka berbicara. Beradablah kepada keduanya dan jangan engkau membentak saudara-saudaramu karena menghormati keduanya.
11. Sambutlah kedua orang tuamu kalau mereka datang dan kecuplah kening keduanya.
12. Bantulah ibumu di rumah dan jangan terlambat membantu ayahmu.
13. Jangan kau pergi kalau keduanya tidak mengijinkan walau untuk urusan yang penting. Jika kau terpaksa mintalah udzur kepada mereka. Dan jangan putus dalam menulis surat kepada mereka.
14. Jangan kamu masuk ke dalam kamar keduanya tanpa seijin keduanya, terlebih waktu tidur dan istirahat.
15. Jangan mengambil makanan sebelum mereka. Muliakan mereka dalam makan dan minum.
16. Jangan mendustai keduanya. Jangan engkau cela bila keduanya berbuat yang tidak menyenangkanmu.
17. Jangan kau lebih memuliakan istri dan anak-anakmu melebihi mereka. Mintalah keridlaan mereka dalam segala sesuatu. Karena ridla keduanya adalah juga keridlaan Allah dan kemurkaan keduanya adalah kemurkaan Allah.
18. Jangan engkau membangga-banggakan jabatanmu kepada ayahmu, walau engkau menyandang jabatan yang tinggi. Dan hati-hatilah kalau sampai mengingkari kebaikan keduanya atau menyakiti mereka walau dengan sepatah kata.
19. Jangan bakhil dalam memberi nafkah kepada kedua orang tuamu hingga akibatnya mereka mengadu kepadamu. Ini suatu aib bagimu. Dan itu akan engkau lihat dan alami pada anak-anakmu. Sebagaimana engkau bersikap, seperti itu juga engkau akan disikapi.
20. Sering-seringlah mengunjungi dan memberi hadiah kepada keduanya. Dan berterimakasihlah kepada mereka karena mereka telah mengasuhmu dengan susah payah. Dan contohkanlah itu kepada anak-anakmu.
21. Manusia yang paling berhak untuk engkau utamakan adalah ibumu kemudian ayahmu. Dan ketahuilah bahwa Surga berada di bawah telapak kaki ibu.
22. Hati-hati, jangan sampai engkau durhaka kepada mereka. Dan jangan membuat mereka marah, karena engkau akan celaka di dunia dan di akhirat. Dan anak-anakmu kelak akan menyikapimu seperti sikapmu terhadap orang tuamu.
23. Bila engkau meminta sesuatu kepada mereka mintalah dengan lembut dan berterimakasihlah kalau diberi. Dan mohon maaflah kalau tidak diberi, janganlah banyak meminta agar keduanya tidak merasa susah.
24. Jika kamu mampu mencari rejeki di waktu pagi, kerjalah dan bantulah mereka.
25. Sesungguhnya kedua orang tuamu memiliki hak atasmu. Dan istrimu juga. Berilah setiap yang berhak akan haknya. Usahakan merukunkan keduanya bila berselisih.
26. Jika keduanya bertengkar dengan istrimu, jadilah orang yang bijaksana dan pahamkan istrimu bahwa engkau di pihaknya kalau dia benar dan engkau terpaksa agar keduanya ridla.
27. Jika istrimu berselisih dengan orang tuamu dalam masalah nikah dan talak, maka berhukumlah dengan syariat karena itu sebaik-baik pembantu kalian.
28. Doa orang tua terkabul dalam perkara yang baik maupun yang jelek, maka hati-hatilah terhadap doa jelek mereka.
29. Beradablah terhadap manusia, karena siapa yang mencela manusia, dia juga akan mendapat cela dari mereka. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Termasuk dosa besar adalah anak mencela kedua orang tuanya, yaitu dia mencela ayah orang lain, maka orang itu balas mencela ayahnya. Dan dia mencela ibu orang lain, maka orang itu mencela ibunya.” (HR. Bukhari 10/330 dan Muslim nomor 90)
30. Kunjungilah kedua orang tuamu ketika masih hidup. Perbanyaklah berdoa untuk mereka dengan mengucap :
“Wahai Rabbku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Wahai Rabbku, rahmatilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku di waktu kecil.” (Taujihat Islamiyyah karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu halaman 71-74)
Penutup
Aku berharap dengan tulisan ini agar menjadi :
·         Pengajaran bagi yang tidak mengerti hak-hak kedua orang tua.
·         Peringatan bagi yang lupa tentang salah satu pintu dari pintu-pintu menuju Surga yang hampir tertutup.
·         Bantuan bagi yang meremehkannya.
·         Ancaman bagi yang durhaka yang hampir terjerumus ke jurang neraka.
Aku berlindung kepada Allah dari durhaka kepada orang tua.
Dah aku berharap kepada-Mu, Ya Allah, agar mengampuni kedua orang tuaku dan merahmati mereka sebagaimana keduanya mendidikku di waktu kecilku.
Dan agar Engkau memberikan balasan yang baik kepada kedua orang tuaku seperti apa yang Engkau berikan kepada kedua orang tua karena anaknya.
Dan agar Engkau mengampuni kesalahan-kesalahan, kekeliruan-kekeliruan, kelancangan, dan kekuranganku.
”Maha Suci Engkau, Ya Allah dan segala pujian untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada illah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau. Aku mohon ampun pada-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.”
(Dinukil dari Wabil Walidaini Ihsana halaman 74)
Wallahu A’lam Bis Shawab.
(Kuhadiahkan tulisan ini untuk ayah dan ibuku yang aku cintai : Muhammad Hadidi)
Malang,21 januari 2012