5 Feb 2012

 Muhammadiyah Malang

Hudzaifah.org - Menikah memang dianjurkan dalam Islam terutama mereka yang masih muda usia. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai para pemuda, siapa diantar kalian yang telah mampu, maka menikahlah."

Namun bila belum mampu baik secara finansial maupun juga dari segi-segi yang lain, maka menikah bukan merupakan solusi yang terbaik. Karena harus menambah beban kehidupan yang lebih banyak. Karena pernikahan itu tidak lain adalah tanggung-jawab.

Karena itu sikap tawazun adalah lebih utama. Memang banyak sekali orang yang menganjurkan menikah dini dengan disertai dengan beragam dalil serta contoh. Untuk beberapa kasus dan kondisi, bisa saja menjadi solusi tepat, tetapi bukan berarti menikah dini menjadi satu-satunya solusi tetap. Bahkan bila salah perhitungan, bukan solusi yang didapat melainkan masalah baru. Karena itu Rasulullah SAW pun menganjurkan para pemuda untuk menikah dengan terlebih menyebutkan bila sudah mampu dan siap. Hadits itupun juga menjelaskan bagaiman bila belum siap, yaitu disunnahkan untuk berpuasa.

Artinya, menikah muda memang sebuah solusi pada suatu kasus tapi bukan berarti berlaku pada semua kasus. Ada kondisi tertentu dimana seseorang memang belum siap untuk pernikahan, karena itu ada solusi lain yang ditawarkan dalam hadits itu.

Jadi pertimbangkan masak-masak dan minta juga penilaian orang-orang yang telah menikah, pikirkan susah dan senangnya, terutama juga restu dari orang tua yang tentunya punya sekian banyak harapan. Bila ternyata semua memberi lampu hijau dan kita yakin dengan kemampuan kita, maka bismillah, segera menikah.

Sebaliknya, bila tentangan dan tantangannya jauh lebih banyak, maka berpikir dua tiga kali lebih bijaksana ketimbang sekedar memaksakan kehendak. []




Sumber : www.syariahonline.com




:: Aku Dimakamkan ::
Muhammad Hadidi
Universitas Muhammadiyah Malang


Perlahan tubuhku ditutup tanah
Perlahan semua pergi meninggalkanku
Masih terdengar jelas langkah langkah terakhir mereka
Aku sendirian di tempat gelap yang tak pernah terbayang
sendiri ... menunggu keputusan

Kekasih belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
Kawan dekat .. rekan bisnis ... atau orang-orang lain,
aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.

Kekasihku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
Mereka menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,

Tangan kananku menghibur mereka,
kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
tetapi aku tetap sendiri, disini
menunggu perhitungan

Menyesal sudah tak mungkin,
Tobat tak lagi dianggap,
dan ma'af pun tak bakal didengar
aku benar-benar harus sendiri

Tuhanku,
[entah dari mana kekuatan itu datang, setelah sekian lama aku tak lagi dekat denganNya]

Jika Kau beri aku satu lagi kesempatan,
Jika Kau pinjamkan lagi beberapa hari milikMu
beberapa hari saja

Aku harus berkeliling, memohon ma'af pada mereka,
yang selama ini telah merasakan zalimku,
yang selama ini sengsara karena aku,
yang tertindas dalam kuasaku.
yang selama ini telah aku sakiti hati nya
yang selama ini telah aku bohongi

Aku harus kembalikan, semua harta kotor ini,
yang kukumpulkan dengan wajah gembira,
yang kukuras dari sumber yang tak jelas,
yang kumakan, bahkan yang kutelan.
Aku harus tuntaskan janji janji palsu yg sering ku umbar
dulu

Dan Tuhan,
beri lagi aku beberapa hari milikMu
untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta
teringat kata kata kasar dan keras yg menyakitkan hati
mereka

maafkan aku ayah dan ibu
mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayang mu
beri juga aku waktu,
untuk berkumpul dengan kekasihku
untuk sungguh sungguh beramal soleh

Aku sungguh ingin bersujud dihadapMu,
bersama mereka ....
begitu sesal diri ini
karena hari hari telah berlalu tanpa makna
Penuh kesia - siaan
Kesenangan yang pernah kuraih dulu
Tak ada artinya sama sekali
Mengapa ku sia sia saja, waktu hidup yang hanya sekali itu
Andai ku bisa putar ulang waktu itu

Aku dimakamkan hari ini
Dan aku harus sendiri
Untuk waktu yang tak terbayangkan

Macam-macam Qiyas


    Qiyas  dibagi menjadi dua, Iqtirani (silogisme katagoris) dan Istitna’I (silogisme hipotesis),sesuai dengan definisi qiyas diatas,satu qadhaiyyah atau beberapa qadhaiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhaiyyah baru, Jadi untuk memberikan hasil(konklusi) diberikan beberapa qadhaiyyah yang saling berkaitan dan itulah yang namanya qiyas sebagai kumpulan dari beberapa qadhaiyyah  yang berkaitan yang jika benar maka dengan sendirinya(li dzatihi) akan menghasilkan qadhaiyyah yang lain.
1.      Pertama adalah qiyas iqtirani (silogisme katagoris): qiyas atau silogisme yang mana mawdlu’ dan mahmulnya itu natijahnya(hasilnya terpisah pada dua muqaddimah) 
Contohnya :
-          Tembaga adalah barang tambang (Mukaddimah Shugra)  
-          Setiap barang tambang konduktor yang baik untuk panas (Mukaddimah kubra)
-          Tembaga adalah konduktor yang baik untuk panas (Natijah)
Yang paling berperan dalam qiyas penghubung antara mawdhu’ mukaddimah- shugra dengan mahmul mukaddimah kubra dan penghubung itu di sebut had- awsath. Jadi yang menjadi had awsath disini adalah barang tambang(ma’dinun) 

Dilihat dari kedudukkan had awsathnya pada Mukaddimah shugra dan qubra ada empat bentuk:
1.      As Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi makmul pada mukaddimah shugra dan menjadi mawudu’ pada mukaddimah kubra.
Contoh:
-          Setiap Nabi itu ma’shum
-          Setiap  orang   ma’shum adalah teladan yang baik
-          Maka  “setiap nabi adalah teladan yang baik”
-          Ma’shum adalah awsath,yang menjadi mahmul pada mukaddimah suhugra dan menjadi mawdhu’ pada mukaddimah kubra.

2.      Syakl kedua adalah qiyas  yang had awshat-nyal  menjadi mahmul pada kedua mukaddimah-nya.Misalnya”Setiap Nabi ma’shum”,dan “Tidak satupun pendosa itu ma’shum”,Maka “tidak satupun dari nabi itu pendosa”
Tetapi disini kita tidak akan banyak membahas tentang Syakl kesatu dan syakl kedua,tetapi kita akan membahas tentang Syakl ketiga dan ke empat dan syarat-syaratnya untuk menjadi sebua argumentasi.



3.      As Syakl yang ketiga  adalah qiyas yang mana had awsathnya menjadi maudhu’ pada mukaddimanya,mukaddimah sughra ataupun kubra.
Contohnya :
-Setiap Nabi ma’shum
-Setiap Nabi adalah imam
-Sebagian orang ma’shum adalah imam

Syarat-syarat Syakl yang ketiga adalah:
 a.Mukaddimah shugra harus berupa mujabah (setiap nabi ma’shum)
 b.Salah satu dari kedua mukaddimah harus kulliyah.

4.      As Syakl yang ke empat adalah qiyas yang mana had awsathnya menjadi maudhu’ pada mukaddimah shugra dan menjadi mahmul pada mukaddimah kubra

Contoh:
               -Setiap Ma’shum adalah nabi
               -Setiap nabi adalah teladan yang baik dan ma’sum
               -Maka setiap yang ma’sum adalah teladan yang baik

         Syarat-syarat Syakl keempat :
a.      Kedua mukaddimahnya  harus mujabah
b.      Mukaddimnah shugra harus kulliyah
c.       Kedua mukaddimah harus berbeda kualitasnya(kaif)
d.      Salah satu dari keduanya harus kulliyah



 Muhammad Hadid
Universitas Muhammadiyah  Malang
 
Pendahuluan
     Manusia terlahir dalam keadaan bodoh tidak tahu suatu apapun, kemudian tuhan menciptakan indra untuknya, baik indra penglihat, pendengar perasa atau indra-indra lain. Dengan indra-indra di atas manusia belum ada bedanya dengan hewan, akhirnya tuhan menciptakan akal sebagai alat untuk berfikir, dengan akal inilah ada perbedaan antara menusia dan hewan. Namun di sana tuhan juga menciptakan kekuatan-kekuatan internal atau eksternal yang dapat mempengaruhi keberadaan akal tersebut dalam berfikir, sehingga terkadang bahkan seringkali mereka melakukan kesalahan, karena itu Ilmu Mantiq ada untuk menanggulaginya dengan meletakkan batas-batas tertentu dalam berfikir, sehingga manusia menjadi terjaga dari kesalahan tersebut.

    Doktor Muhammad Rabi’ al-Jauhary, doktor al-Azhar fakultas Ushuluddin menyebutkan dalam bukunya”Dhowabitu al-Fikr” bahwa kecendrungan, pengaruh, kebiasaan, taklid dan kepentingan pribadi seringkali mempengaruhi akal dalam berfikir. Beliau juga menyebutkan dalam buku tersebut bahwa seandainya manusia hanya dibekali akal saja tanpa adanya pengaruh-pengaruh di atas, maka Ilmu Mantiq tidak perlu untuk diterapkan.

Ibnu Sina mengatakan bahwa Mantiq adalah alat untuk berfikir yang dapat mengantarkan kita untuk mengetahui keabsahan Had atau Qiyas Burhany. Dengan kata lain kalau kita sudah mengetahui penjabaran sesuatu secara sempurna dengan pelantara Had, maka kita berarti telah mencapai drajat permulaan ilmu. Dan bila kita mengetahui Qiyas Burhany, berarti kita telah sampai pada puncak pengetahuan.
Difinisi Ilmu Mantiq

    Mantiq(Bahasa Arab)mempunyai dua sinonim kata, pertama Logic(Bahasa Inggris). Kedua Laguque(Bahasa Prancis) yang keduanya diambil dari kata”Logos” bahasa Yunani. Adapun difinisinya ada dua, pertama, difinisi yang meninjau dzat dan pembahasan(Maudu’) Ilmu Mantiq yang dikenal denganTa’rif Haddy. Yaitu ilmu yang membahas batas-batas dalam berfikir. Kedua, difinisi yang meninjau hasil dan tujuan ilmu tersebut yang dikenal dengan Ta’rif Rasmy. Yaitu alat yang berbentuk peraturan yang dapat menjaga kesalahan dalam berfikir. Di sana juga ada difinisi-difinisi lain meninjau para ulama’nya :
· Aristotales. Ilmu Mantiq adalah alat sebuah ilmu. Sementara yang dibahas(al-Maudu’) adalah ilmu itu sendiri atau bentuk ilmu, yang dikenal dengan Tashawwur Qadim bagi Mantiq.

· Ibnu Sina. Mantiq adalah produk pemikiran yang dapat mengetahui keabsahan had shahih yang diberi nama penjabaran(Ta’rif) dan keabsahan Qiyas yang diberi nama Burhan

· Ghazali. Mantiq adalah undang-undang yang dapat membantu kita untuk mengetahui keabsahan Had dan Qiyas. Dan sebenarnya masih banyak difinisi-difinisi lain. Lihat kitab”Mi’yaru al-Ulum” karangan al-Ghazaly, “al-Shury Mundzu Aristotales Hatta Ushurina al-Hadhir karangan Imam Ali al-Nassyar.


Macam-Macam Ilmu Mantiq
Mantiq apabila ditinjau dari sisi perkembangannya dibagi menjadi dua bagian, pertama, Mantiq Qadim. Kedua Mantiq Hadits(baru). Mantiq Hadits ini adalah wujud baru bagi Ilmu Mantiq. Dalam dua mantiq ini banyak sekali perbedaan yang mencolok, seperti Tashowur. Tashowur kalau dalam Mantiq al-Qadim adalah menjadi pokok yang sangat berharga, berbeda dalam Mantiq al-Hadits. Contoh lain adalah metode percobaan(Manhaj al-Tajriby) dan penelitian(Manhaj al-Istiqra’ie) yang menyalahi metode berfikir(Manhaj al-Nadhory) atau Qiyas

Sementara bila ditinjau dari sisi Tabi’atnya mantiq dibagi dua bagian juga, pertama Mantiq al-Shury. Kedua Mantiq al-Mady. Dua pembagian ini adalah salah satu masalah terpenting yang dikaji dalam Ilmu Mantiq. Adapun Maudu’ dari Mantiq al-Shury adalah kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengan akal pikiran sebagai peletaknya. Kinerja Mantiq ini adalah menawarkan kaidah-kaidah yang kita butuhkan agar nanti kesimpulan yang kita dapatkan bisa benar. Sementara yang dibahas(maudu’) dalam Mantiq al-Mady adalah kaidah-kaidah yang sesuai dengan kenyataan. 

Aristotales membagi Mantiqnya menjadi dua bagian juga Mantiq Shoghir(Logica Minor) yang kita kenal sekarang dengan Mantiq Shoghir al-Dhoyyiq dan Mantiq Kabir(Logica Utens, Logica Major). Mantiq shoghir adalah Mantiq yang mempelajari tentang peraturan(kaidah-kaidah) dalam berfikir, sementara Mantiq Kabir adalah Mantiq yang mempelajari kinerja akal yang mencocoki pengetahuan(Ilmu). Pemikiran ini kemudian diusung oleh Ibnu Sina karena beliau adalah termasuk ulama’ yang benar-benar memahami mantiqnya Aristotales.Dua mantiq ini adalah nama lain dua mantiq sebelumnya(Mantiq Shury dan Mady). Pembagian mantiq ini bisa lebih jelas kita ketahui dengan mempelajari buku-buku Aritotales atau mempelajari perkembangan mantiq-mantiq sebelum Aristotales, seperti mantiqnya Plato dan Socrates.
Perkembangan Ilmu Mantiq

    Kaum shopisme(al-Sufsatho’iyun) berpandangan bahwa panca indra alat tunggal yang dapat mengetahu segala sesuatu, sementara akal tidak. Kebenaran segala sesuatu adalah kebanaran yang dianggap indra benar, menyalahi indra berarti meninggalkan kebenaran dan tak akan pernah menemukan kebenaran. Untuk menyebarkan pandangannya tersebut mereka menggunakan kata-kata yang tersusun rapi Cuma mengandung racun yang menyesatkan. Mereka benar-benar meresahkan masyarakat pada saat itu, masyarakat Yunani. Namun langkah mereka dicegat oleh Socrates.

     Socrates adalah pengajar pertama filsafat yang berfilasafat selama hidupnya. Beliau lahir di Athena tahun 469 SM. Dalam mantiqnya beliau berbicara dua Maudu’ Ilmu Mantiq, yaitu penjabaran(Ta’rif, Qaulu al-Syareh) dan pengusutan(Istiqra’). Dengan keberadaan beliau akhirnya bangsa Yunani kembali seperti semula.
Kemudian misi Socrates tersebut diteruskan oleh muridnya, Plato. Beliau juga lahir di Athena tahun 327-347 SM. Beliau datang untuk memperjelas keberadaan dua pembahasan(Maudu’) Ilmu Mantiq, (Istiqra’ dan Ta’rif) yang dibawa oleh Socrates guru beliau, namun beliau menambahkan dua pembahasan lain dari pembahasan Ilmu Mantiq, yaitu al-Qismah al-Aqliyah dan al-Qismah al-Manthiqiyah.

    Kemudian di tahun 384 SM di Athena juga datanglah Aristotales. Beliau dikenal sebagai”Saikhul Islam”, karena beliau adalah orang pertama yang menyusun dan membukukan Ilmu Mantiq di abad ke empat sebelum kelahiran Isa AS. Dalam bermantiq beliau terpengaruh oleh orang-orang sebelum beliau(Socrates dan Plato). Bukunya tentang mantiq terdiri dari delapan bagian yaitu: Categori(membahas tentang genus dan bagian-bagiannya), Hermeneutika (tentang proposisi), Sylogisme (tentang Qiyas), Demonstrasi (tentang Qiyas yang menyimpulkan keyakinan), Dialektika (ilmu debat), Sofistika (Qiyas yang menyesatkan), Retorika (seni agitasi masa) dan Poetica (seni menyusun kata-kata puitis).

Mantiq Dalam Islam
Sebelum kemunculan Islam orang Arab tidak mengenal Ilmu Mantiq, walaupun kaidah-kaidah Mantiq tersebut bisa kita temukan dalam Syair-syair mereka dalam bentuk yang berbeda, seperti syair Zuhair Bin Abi Salma :
لسان الفتى نصف ونصف فؤاده * فلم يبق الا صورة اللحم والدم
Lisan pemuda adalah sebagian, sementara sebagian yang lain adalah hatinya * maka tidak ada yang tersisa kecuali sebentuk daging dan darah
Syair ini berbicara tentang mantiq yaitu penjabaran akan Insan. Manusia adalah hayawan yang berfikir. Syair ini berbicara tentang Fasl dan keistimewaannya.
Kemudian dalam perkembangannya Mantiq ini diambil alih oleh Umat Islam, yaitu di masa-masa penaklukan sebagai kebutuhan untuk membentengi Aqidah Islam dan melawan cercaan terhadap pondasi islam dari kaum Majusi, Yahudi, Nasrani yang juga menggunakan Mantiq dan Falsafah untuk mempertahankan keyakinannya. 

    Di awal-awal masa kekhalifahan Abbasiyah Ilmu Mantiq itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, namun masih tercampur dengan sekat-sekat filsafat Yunani sehingga menghawatirkan bila dikonsumsi orang awam, baru setelah kedatangan al-Ghazali sekat-sekat Yunani dalam mantiq tersebut akhirnya dibersihkan, yaitu di abad ke 5 H yang beliau tuangkan dalam kitabnya”Mi’yaru al-Ulum”. Karena itu tidak ada alasan bagi para ulama’ untuk mengharamkan mempelajari Ilmu Mantiq.

    Terkait dengan hukum Ilmu Mantiq ada dua sisi yang perlu diperhatikan, Aqidah dan bahasa. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pada awal-awal Mantiq itu tercampur dengan filsafat sehingga ulama’ berselisih pendapat tentang hukum mempelajarinya yang mana perselisihan tersebut nantinya kembali pada dua sisi di atas, Aqidah dan Bahasa:

1. Wajib mempelajarinya dengan alasan tidak adanya perbedaan antara Mantiq dan Islam dan sebagai kebutuhan untuk membentengi akidah islam. Pendapat ini adalah pendapat para filusuf islam, seperti al-Kindy, al-Faraby, Ibnu Sina dan filusuf–filusf islam lainnya.
2. Haram mempelajarinya, karena pokok-pokok dalam mantiq menyalahi poko-pokok islam. Di antara ulama’-ulama’ islam yang mengingkari keberadaan Ilmu Mantiq adalah Ibnu Qutaibah dalam karangannya”Muqaddimatu Adabi al-Katib” dan Ibnu Atsir.
3. Boleh mempelajarinya, tapi husus bagi sesorang yang sudah kuat akidahnya.
Empat perbedaan hukum mempelajari Ilmu Mantiq di atas bila kita cermati kembali pada sisi yang berhubungan dengan akidah. Di sana juga ada perbedaan lain namun meninjau bahasa. Disebutkan bahwa imam Syafi’ie sangat mengingkari keberadaan Ilmu Mantiq dengan berlandaskan ilmu tersebut bersandar pada bahasa Yunani yang kebanyakan menyalahi pokok-pokok dalam Bahasa Arab, karena itu tidak mungkin memberlakukan ilmu mantiq tersebut dalam dalam islam.
Faidah Mempelajari Ilmu Mantiq
Dari uraian di atas jelas bagi kita akan urgensitas Ilmu Mantiq tersebut sebagai satu bidang ilmu yang menawarkan batas-batas dan peraturan dalam berfikir, sehingg pemikiran kita dapat terjaga dari kesalahan. Dan sangat penting rasanya penulis sebutkan Faidah-faidah yang dapat kita rasakan sebab mempelajari ilmu tersebut, yaitu sebagai berikut :
·         Membantu kita untuk mengetahui esesnsi pemikiran kita dan tabi’at akal kita.
·         Membantu kita menjahui kesalahan dalam berfikir kalau kaidah-kaidah mantiq ini benar-benar diterapkan.
·         Membantu konsisten dalam kebenaran dan menjauhi kesalahan berfikir dan mengungkap kesalahan akan apa yang kita pikirkan.
·         Tidak fanatik dalam berpendapat.
·         Tidak tunduk pada kecendrungan dan hawa nafsu.
·         Menolak syubhat dari pendebat.
·         Dapat mengetahui keabsahan sebuah dalil.


Referensi :
1. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al al-Tahdzib, cet, 3
2. Doktor Muhammad Rabi’ al-Jauhary, Dhowabitu al-Fikr, cet,5
3. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al al-Tahdzib, cet, 3
4. Al-Ghazali, Mi’yaru al-Ulum
5. Doktor Ali al-Nassyar, al-Shury Mundzu Aristotales Hatta Ushurina al-Hadhir
6. Al-Tadzhib ala Tahdzibi al-Mantiq, muqarrar fakultas ushuluddin, termin pertama