19 Jun 2012

Mendamaikan Pertikaian



Nama : Muhammad Hadidi
Nim    : 201010020311017
Tugas Tafsir Ahkam Qs. Al-Hujurat:9-10
Artinya:
9. Dan jika ada dua golongan dari kalangan orang-orang mukmin bertikai, maka damaikanlah antara keduanya itu. Kemudian jika salah satu diantara keduanya itu menganiaya (menyerang) golongan yang lain, maka perangilah golongan yang menganiaya itu sehingga mereka kembali kepada hukum Allah. Kemudian jika mereka itu sudah mau kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku jujurlah kamu karena sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang  yang jujur. 10. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka buatlah kedamaian antara saudaramu itu, dan takutlah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.(Qs. Al-Hujurat 9-10)
                                              
Asbabun Nuzul dari ayat 9-10 yaitu:
a.       Riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Jarir dan lain-lain dari Anas r.a yang mengatakan sebagai berikut: “ Ada seorang menyarankan kepada Nabi saw. Untuk pergi ke tempat Abdullah bin Ubay , lalu beliau pun pergi sambil menunggang himar yang dikawal beberapa orang sambil berjalan kaki. Setelah Nabi saw. Sampai Abdullah bin  Ubay berkata : Jangan mendekat, karena bau busuknya ontamu iti mengganggu aku. Lalu ada sahabat anshar menjawab : Demi Allah onta Rasulullah saw. Lebih harum baunya daripada kamu. Mendengar ucapan semacam itu, salah seorang dari kelompok Abdullah marah, dan disusul dengan kemarahan orang Anshar. Akhirnya terjadilah perkelahian antara kedua golongan tersebut. Lalu turunlah ayat: “Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin itu bertikai….dan seterusnya…”
b.      Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwa Usamah bin Zaid r.a menceritakan, bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. Menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah yang sedang sakit, melewati sekelompok manusia yang sedang duduk-duduk, yang di situ terdapat Abdullah bin Ubay dan Abdullah bin Rawahah. Tiba-tiba Abdullah bin Ubay menutup mukanya dengan selendang, seraya berkat: Jangan kalian mengotori kami dengan debu. Lalu Abdullah bin Rawahah menjawab: Sungguh himar Rasulullah saw. Lebih harum baunya daripada engkau. Mendengar suara itu, masing-masing golongan bangkit rasa ta’assubnya sehingga terjadilah perkelahian antara mereka, ada yang memukul dengan sandal, tangan dan pelepah kurma. Lalu turunlah ayat tersebut.
c.       Hadis tentang asbanun nuzul Qs. Al-Hujurat: 9
حَدَّثَنَامُسَدَّدٌحَدَّثَنَامُعْتَمِرٌقَالَسَمِعْتُأَبِيأَنَّأَنَسًارَضِيَاللَّهُعَنْهُقَالَقِيلَلِلنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَلَوْأَتَيْتَعَبْدَاللَّهِبْنَأُبَيٍّفَانْطَلَقَإِلَيْهِالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَوَرَكِبَحِمَارًافَانْطَلَقَالْمُسْلِمُونَيَمْشُونَمَعَهُوَهِيَأَرْضٌسَبِخَةٌفَلَمَّاأَتَاهُالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَقَالَإِلَيْكَعَنِّيوَاللَّهِلَقَدْآذَانِينَتْنُحِمَارِكَفَقَالَرَجُلٌمِنْالْأَنْصَارِمِنْهُمْوَاللَّهِلَحِمَارُرَسُولِاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَأَطْيَبُرِيحًامِنْكَفَغَضِبَلِعَبْدِاللَّهِرَجُلٌمِنْقَوْمِهِفَشَتَمَهُفَغَضِبَلِكُلِّوَاحِدٍمِنْهُمَاأَصْحَابُهُفَكَانَبَيْنَهُمَاضَرْبٌبِالْجَرِيدِوَالْأَيْدِيوَالنِّعَالِفَبَلَغَنَاأَنَّهَاأُنْزِلَتْ {وَإِنْطَائِفَتَانِمِنْالْمُؤْمِنِينَاقْتَتَلُوافَأَصْلِحُوابَيْنَهُمَا}
Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’tamar yang berkata aku mendengar ayahku yang berkata bahwa Anas radiallahu ‘anhu berkata dikatakan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] seandainya anda menemui Abdullah bin Ubay maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berangkat dengan menaiki keledai sedangkan kaum muslimin berjalan kaki di tanah yang tandus. Ketika Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menemuinya, Abdullah bin Ubay berkata “menjauhlah dariku demi Allah bau keledaimu mengaggangguku”. Seseorang dari kaum Anshar dintara mereka berkata “demi Allah keledai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lebih harum darimu” maka orang dari kaumnya Abdullah marah dan mencacinya. Kemudian setiap orang dari kedua kelompok menjadi marah. Dan diantara mereka terjadi saling pukul dengan pelepah kurma, tangan dan sandal kemudian sampai kepada kami bahwa turun ayat “jika dua kelompok kaum mukminin berperang maka damaikanlah antara keduanya” [Shahih Bukhari 3/183 no 2691]
Asbabun nuzul Al Hujurat ayat 9 di atas terkait dengan dua kelompok yang saling berselisih sehingga terjadi saling pukul diantara mereka.
  1. Kelompok pertama adalah kelompok yang membela Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diantaranya salah seorang dari kaum Anshar dan sahabatnya.
  2. Kelompok kedua adalah yang membela Abdullah bin Ubay. Kelompok ini termasuk di dalamnya Abdullah bin Ubay berserta sahabat-sahabatnya.
Kedua kelompok ini tetap disebut Allah SWT dengan “kaum mukminin” padahal pada kelompok kedua terdapat Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya yang masyhur dikenal sebagai munafik. Apakah kaum munafik ini yang disebut “kaum mukminin”?. Jelas tidak, maka yang dapat dipahami dari lafaz tersebut adalah diantara mereka yang membela Abdullah bin Ubay terdapat kaum mukminin yang terpengaruh oleh Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya yang munafik.
Ayat ini membuktikan bahwa jika dalam suatu kelompok terdapat orang-orang mukmin dan sebagian kecil orang munafik maka kelompok tersebut masih disebut sebagai kelompok kaum mukminin.Dari sini dapat diterima bahwa walaupun di dalam kelompok Muawiyah terdapat orang yang munafik maka itu tidak bertentangan dengan hadis Imam Hasan di atas.
Tafsir:
1.      Perkataan “Dan jika ada dua golongan dari kalangan orang-orang mukmin bertikai”. Bahwa kata “thaifah” (golongan) adalah tunggal (mufrad) tetapi berarti banyak (jama’), karena “golongan” itu menunjukkan pada sejumlah manusia. Oleh karena itu, kata berikutnya dengan mempergunakan “iqtataluu”(mereka bertikai) guna menjaga arti. Karena setiap thaifah dari kedua thaifah itu adalah suatu jama’ah. Kemudian berikutnya Allah berfirman ”maka damaikanlah antara keduanya”, tidak dikatakan “antara mereka”, guna menjaga kemurnian lafal. Sedang titik utama dalam suasana pertingkaian, berarti terjadilah fitnah, sedangg mereka itu bercampur baur. Justru itu dhamir dalam kata “ashlihu” itu dijamakkan. Kemudian dalam kondisi damai itu, masing-masing kelompok bersepakat, sehingga mereka bagaikan dua golongan. Untuk itu, maka “bainahuma” itu diduakan (mustanna).
2.      Imam Fakhrur Razi berkata: Allah mengatakan “minal mukminin”, bukan “minkum”, padahal yang dituju adalah orang-orang mukmin, adalah karrena sebelumnya telah disebut kalimat “hai orang-orang yang beriman” yang terasa sangat jelek kalau disebutkan “minkum”, sekaligus untuk menghilangkan kesalahpahaman, dikiranya orang yang diseru itu adalah lain dari orang-orang mukmin yang dimaksud terdahulu. Sebagaimana seorang tuan mengatakan pada hambanya:”Kalau engkau meliahat salah seorang hambaku berbuat sesuatu yang kurang baik, maka cegahlah”. Omongan seperti itu berarti melarang orang yang diajak omong tersebut dari melakukan perbuatan serupa. Ini adalah suatu cara yang sangat baik. Begitu jugalah halnya firman Allah,”jika ada golongan orang-orang mukmin yang bertinkai….dan seterusnya” di sini, tidak dipakainya kata “minkum” (dari antara kamu), adalah maksdunya melarang kamu bertikai. Jadi maksudnya persis seperti seorang tua yang berbicara dengan hambanya tadi.

Hukum yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah:

Dari ayat ini kita bisa mengambil sepuluh pelajaran penting, di antaranya sebagai berikut:

1.      Meskipun iman memang bisa mencegah konflik, tetapi kalau itu terjadi di tengah-tengah masyarakat mukmin maka itu hanyalah peristiwa insidentil dan bukan kebiasaan mereka. Kerana kata-kata iqatatalû tidak menunjukkan hal yang terjadi secara terus menerus, berbeza dengan kata yaqtatiluna yang menunjukkan kebiasaan yang sering mereka lakukan.
2.      Etika mengajarkan kepada kita untuk menisbatkan segala kekurangan dan kesalahan kepada diri peribadi dan bukan kepada orang lain. Ayat ini tidak mengatakan bahawa dua kelompok dari kalian tapi mengatakan dua kelompok orang-orang mukmin, iaitu seolah-lah mengatakan kalian tidak akan melakukan demikian.
3.      Perang biasanya tidak hanya mengambil nyawa pihak-pihak yang bertempur  tetapi juga mengorbankan pihak ketiga yang tidak terlibat. Kata-kata iqtatalû dalam bentuk plural untuk menujukkan semua pihak.
4.      Orang-orang Muslim harus memiliki pendapat yang tegas terhadap orang-orang yang berperang dan jangan membiarkan itu terjadi berlarut-larut. Maka damaikanlah!
5.      Bersikaplah proaktif untuk mendamaikan peperangan di antara komuniti Muslimin. Preposisi fa di dalam frasa fa ashlihû menunjukan erti segera dan cepat.
6.      Kalau salah satu kelompok kaum mukminin berperang melawan para pemberontak, maka semua pihak harus membantu peperangan ini untuk melumpuhkan kaum pemberontak. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang berbuat zalim itu, maka perangilah yang berbuat zalim itu.
7.      Untuk memelihara stabilitas dan keamanan serta demi tegaknya keadilan, kalau perlu perangilah dan bunuhlah orang-orang yang zalim.
8.      Kekerasan dapat dilawan dengan kekerasan lagi. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang berbuat zalim itu, maka perangilah yang berbuat zalim itu. Namun Islam juga menyuguhkan hukuman untuk memberi kesempatan dan waktu kepada kaum yang memberontak (zalim) itu.
9.      Untuk melumpuhkan kaum yang zalim kita tidak boleh bersikap lembut.
10.  Dalam melumpuhkan orang-orang yang zalim, kita tidak boleh membabi buta menyerang keluarga, isteri, dan anak-anaknya. Kita hanya mendatangi orang yang bersalah tersebut.
11.  Ketika melumpuhkan kelompok para pembangkang, janganlah memikirkan pertimbangan-pertimbangan lain apakah orang itu dari kalangan sendiri ataukah dari orang luar.  Maka perangilah orang-orang yang zalim (memberontak).
12.  Kebangkitan masyarakat Muslim dilandasi oleh tujuan-tujuan yang suci.
13.  Berjuang itu dari awal sampai akhir, tidak diikat oleh bulan dan waktu tertentu. Seperti lamanya seorang pasien yang harus berada dalam penanganan doktor begitu juga dengan obat-obatan yang harus dikonsumsi,  ia harus terus melakukan itu sampai sihat kembali.     
14.  Perjuangan melumpuhkan para pemberontak bukan kerana dipicu oleh kepentingan-kepentingan ras, bangsa, kaum, atau untuk membalas dendam atau untuk mencari popularitas tetapi tujuan yang ingin dicari adalah mengembalikan mereka ke jalan yang benar.
15.  Dalam situasi peperangan ketika kita tidak mengetahui mana pihak yang menyerang, maka kita harus berusaha mati-matian untuk menghentikan fitnah tersebut dan mencari solusi damai. Namun untuk selanjutnya ketika kita mengetahui pihak pemberontak, maka  usaha-usaha untuk menghentikan fitnah dan menciptakan perdamaian diarahkan demi membela hak-hak yang mazlum dan mengambil hak itu dari yang zalim.
16.  Tugas komuniti Muslim berbeza-beza tergantung situasi dan kondisi. Kadang-kadang mereka harus menawarkan perdamaian kadang-kadang mereka juga harus berperang. Di dalam ayat ini kata damaikanlah (ashlihû) dan  perangilah disebut dua kali. 
17.  Manakala pihak-pihak yang berperang berhasil didudukkan secara bersama-sama, maka kerugian-kerugian harus ditanggung oleh pihak agresor. Imam Ali as mengatakan, “Umat yang tidak mahu mengembalikan hak yang lemah dari yang kuat maka umat itu tidak memiliki martabat.”
18.  Ketika suasana dicekam oleh kemarahan dan anarki, maka sampaikan kata-kata nasihat secara bertahap.
19.  Perdamaian itu sangat penting kerana dapat mengembalikan hak yang hilang, sementara sikap diam atas peperangan itu banyak kerugiannya kerana mengorbankan sekian nyawa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar