19 Jun 2012

WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI”



TAFSIR AHKAM II
“WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI”





Oleh

 Muhammad Hadidi
201010020311017
Al- Ahwal Asy-Syakhsiyyah





Universitas Muhammadiyah Malang
2012


بسم الله الرحمن الرحيم
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 ÇÊÒÈ   ÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ   y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ šcõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ   Ÿwur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä šÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$Ÿ2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ   ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ   * àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uŽöxî šúüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpŸÒƒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇËÍÈ  
19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
20. Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?
21. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
22. Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
A. Asbabun Nuzul
Pada ayat-ayat ini Allah SWT memperingati ahli waris agar jangan mewarisi bekas istri dari keluarga yang meninggal dengan paksa atau mengambil hartanya bila dia kawin dengan laki-laki lain.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dari Abu Daud bahwa pada mulanya adat masyarakat jahiliyah ialah ahli waris seorang yang meninggal dunia disamping mewarisi harta bendanya, juga memiliki kekuasaan penuh terhadap janda-jandanya. Jika ahli waris itu menghendaki ia dapat menikahinya sendiri, atau menikahi dengan orang lain atau tidak memperbolehkan janda itu menikah selama-lamanya. Ahli waris lebih berkuasa dari keluarga janda itu sendiri. Maka turunlah ayat ini untuk menghapus cara yang tidak baik itu.
B. Makna Ayat
(19). Ayat ini tidak berarti bahwa mewariskan perempuan tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut sebagian adat arab jahiliyah apabila seseorang meninggal, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dinikahi sendiri atau dinikahkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan menikah lagi.
Kaum muslimin dilarang meneruskan adat jahiliyah yang mewarisi dan menguasai kaum perempuan dengan paksa. Hal demikian sangat menyiksa dan merendahkan martabat kaum perempuan. Juga tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang menyusahkan dan memudharatkan perempuan seperti mengharuskan mereka mengembalikan mahar yang pernah diterima dari suaminya ketika perkawinan dahulu kepada ahli waris almarhum suaminya itu sebagai tebusan bagi diri mereka, sehingga mereka boleh kawin lagi dengan laki-laki yang lain.
 Ayat diatas menjelaskan larangannya dengan melarang menikah dengan mereka dan tidak boleh kaum muslimin mengambil apa saja yang pernah diberikannya kepada istri atau istri salah seorang ahli waris, kecuali apabila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, seperti tidak taat, berzina, mencuri dan sebagainya. Kecelakaan yang dilakukannya juga kadang kala disebabkan oleh harta tersebut.
(20). Apabila diantara para suami ingin mengganti istrinya dengan istri yang lain, karena ia tidak dapat lagi mempertahankan kesabaran atas ketidaksenangannya kepada istrinya itu, dan istri tidak pula melakukan tindak kejahatan, maka janganlah suami mengambil barang atau harta yang telah diberikan kepadanya.
Bahkan suami wajib memberikan hadiah penghibur kepadanya sebab perpisahan itu bukanlah atas kesalahan ataupun permintaan dari istri, tapi semata-mata karena suami mencari kemaslahatan bagi dirinya sendiri. Allah memperingatkan: apakah suami mau menjadi orang yang berdosa dengan tetap meminta kembali harta mereka dengan alasan yang dicari-cari? Karena tidak jarang suami membuat tuduhan-tuduhan jelek terhadap istrinya agar ada alasan baginya untuk mnceraikan dan minta kembali harta yang telah diberikannya.
(21). Bagaimana mungkin suami akan mengambil kembali harta tersebut karena perpisahan itu semata-mata memperturutkan hawa nafsunya belaka, bukan untuk menurut aturan-aturan yang digariskan Allah, sedangkan antara suami istri telah terjalin suatu ikatan yang kukuh, telah bergaul sebagai suami istri sekian lamanya dan tak ada pula kesalahan yang diperbuat oleh istri. Disamping itu, istri telah pula menjalankan tugasnya dan memberikan hak-hak suami dengan baik dan telah lama pula ia mendampingi suami dengan segala suka dukanya. Jadi tidak lah ada alasan bagi suami untuk menuntut yang bukan-bukan dari harta yang telah diberikan kepada istrinya itu.
(22). Haram hukumnya menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh bapak kecuali terhadap perbuatan yang telah lalu sebelum turunnya ayat ini, maka hal itu dimaafkan oleh Allah. Allah melarang perbuatan tersebut karena sangat keji bertentangan dengan akal sehat sangat buruk karena dimurkai Allah dan sejahat-jahatnya jalan menurut adat istiadat manusia yang beradab.
(23). Perempuan lain yang juga haram dinikahi:
1. Dari segi nasab (keturunan)
a. Ibu, termasuk nenek dan seterusnya ke atas.
b. Anak, termasuk cucu dan seterusnya ke bawah.
c. Saudara perempuan, baik sekandung, sebapak atau seibu.
d. Saudara perempuan dari bapak maupun dari ibu.
e. Kemenakan perempuan baik dari saudara laki-laki atau dari saudara perempuan.
2. Dari segi penyusunan:
a. Ibu yang menyusui (ibi susuan).
b. Saudara-saudara perempuan sesusuan.
c. Dan selanjutnya perempuan-perempuan yang haram dikawini karena senasab haram pula dikawini karena sesusuan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب. متفق عليه
Diharamkan karena susuan apa yang diharamkan karena nasab.” (Hadits Muttafaq ‘alaih).
3. Dari segi perkawinan:
a. Ibu dari istri (mertua) dan seterusnya keatas.
b. Anak dari istri (anak tiri) yang ibunya telah dicampuri, dan seterusnya ke bawah.
c. Istri anak (menantu) dan seterusnya ke bawah seperti istri cucu.
(24). Kata Al-Muhsanat dalam al-qur’an memilki empat pengertian, yaitu:
1. Perempuan yang bersuami, itulah yang dimaksud dalam ayat ini.
فإذا احصن
... Apabila mereka telah bersuami ... (An-Nisa 4:25).
2. Perempuan yang merdeka, seperti yang tercantum dalam firman Allah:
ومن لم يستطع منكم طولا أن ينكح المحصنات المؤمنات فمن ما ملكت ايمانكم من فتياتكم المؤمنات
“Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki ... (An-Nisa 4:25).
3. Perempuan yang terpelihara akhlaknya, seperti dalam firman Allah:
محصنات غير مسافحات
“Perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina (An-Nisa 4:25).
4. Perempuan-perempuan muslimah.
Termasuk perempuan yang haram dinikahi adalah perempuan yang memilki suami. Perempuan yang tertawan dalam perang agama dan telah menjadi budak, terpisah dari suaminya, boleh dinikahi oleh tuannya dengan syarat-syarat tertentu.
Suami wajib membayar mahar yang telah ditetapkan (Musamma) kepada istrinya sebelum akad nikah, atau sebelum dukhul (dicampuri). Bila maharnya belum ditentukan, maka suami diwajibkan membayar mahar misil yaitu mahar yang biasa berlaku dikalangan keluarga istri.
Mahar yang telah ditetapkan jumlahnya boleh ditambah, dikurangi atau dihapuskan atas kerelaan kedua belah pihak.
Nikah Mut’ah pernah dibolehkan oleh Rasulullah saw dalam waktu perang. Kemudian beliau melarang nikah mut’ah, dan larangan itu berlaku selama-lamanya.
C. Makna Mufradat
1. Karhan كرها (An-Nisa 4:19)
Dalam Al-Qur’an, kata karh(an) sering diungkapkan untuk mengimbangi tau’(an), misalnya dalam Surah Ali ‘Imran/3:83, At-Taubah/9:53, Ar-Ra’d/13:15, dan Fussilat/41/11. Kata tau’an wa karhan, dalam surah Ali-‘Imran/3:83 diartikan dengan “baik dengan suka maupun terpaksa.” Tetapi, kata karh(an) dalam Surah An-Nisa/4:19 ini berarti “dengan jalan paksa.” Maka terjemah ayat tersebut: “Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa.”
2. Maqt مقت (An-Nisa 4:22)
Al-Qur’an tidak menyebutkan satu kali pun dalam bentuk kata kerja (Fiil), kecuali dalam bentuk masdar (Infinitif), yaitu maqt(an) atau maqt(un). Kata ini dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak enam kali. Dua kali kata maqt(an) disebutkan setelah penyebutan kabura, yaitu dalam Surah Gafir 40:35 dan As-Saff 61:3. Kata kabura maqtan berarti berarti “amat besar kebencian atau kemurkaan.” Dengan demikian, kata maqt(an) dalam ayat ini mengawini perempuan yang pernah menjadi istri ayah kandung merupakan perbuatan keji, dan kata maqt(an) yang ditegaskan dalam konteks ini untuk menunjukkan bahwa perbuatan mengawini bekas istri ayah merupakan tindakan yang dibenci dan dimurkai Allah. Hal tersebut wajib dihindari oleh setiap muslim tanpa kecuali.
3. Al-Muhsanat المحصنت (An-Nisa 4:24)
Kata Al-Muhsanat adalah jamak dari kata al-muhsanat yang berarti perempuan yang telah menikah (telah bersuami), yang diambil dari kata ihsan, yang berarti menikah, iffah, memelihara diri, dan merdeka. Arti kata dasarnya (al-hisn- الحصن) ialah menjaga, memelihara, menyimpan, benteng. Dinamakan hisn karena bisa menjaga orang yang ada didalamnya. Orang laki-laki yang sudah menikah dikatakan al-muhsin karena ia telah memelihara dirinya dari melakukan zina. Sedangkan makna al-muhsanat adalah perempuan-perempuan yang telah bersuami (telah menikah) yang dilindungi oleh suaminya dan terpisah dari laik-laki lainnya. Ayat ini menjelaskan bahwa diharamkan mengawini al-muhsanat/perempuan-perempuan yang sudah bersuami atau masih terikat dalam status perkawinan. Larangan ini terkait dengan kebiasaan wanita pada zaman jahiliyah yang bersuami lebih dari seorang yang disebut الضماد. syari’at islam mengharamkan perempuan bersuami lebih dari satu orang.




DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid II, Jakarta, Lentera Abadi, 2010.
Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990.