30 Jun 2012

TUHAN KITA ALLAH SWT

Oleh: Adian Husaini, MA

imageimageKaum Pluralis mengatakan, semua agama menuju Tuhan yang satu. Padahal kelompok-kelompok Kristen berbeda penggunaan nama Tuhan mereka.

Salah satu pandangan yang senantiasa dilempar oleh kaum Pluralis Agama dalam 'mengelirukan' pemikiran kaum Muslim, adalah mengatakan, "semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang satu".

Mereka mengatakan, soal nama "Yang Satu" itu tidaklah penting. Yang Satu itu dapat dinamai Allah, God, Lord, Yahweh, The Real, The Eternal One, dan sebagainya. Bagi mereka, nama Tuhan tidak penting. Ada yang menulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang, Tuhan Segala agama."

Kita ingat, dulu, ada cendekiawan terkenal yang mengartikan kalimat syahadat dengan: "Tidak ada tuhan (dengan t kecil), kecuali Tuhan (dengan T besar).

Tradisi yang tidak tahu dan tidak mempersoalkan nama Tuhan bisa kita telusuri dari tradisi Yahudi. Kaum Yahudi, hingga kini, masih berspekulasi tentang nama Tuhan mereka.

Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy."

Karena tidak memiliki tradisi sanad yang sampai kepada Nabi Musa a.s. maka kaum Yahudi tidak dapat membaca dengan pasti empat huruf "YHWH". Mereka hanya dapat menduga-duga, empat huruf konsonan itu dulunya dibaca Yahweh. Karena itu, kaum Yahudi Ortodoks tidak mau membaca empat huruf mati tersebut, dan jika ketemu dengan empat konsonan tersebut, mereka membacanya dengan Adonai (Tuhan).

Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang "nama Tuhan" yang sangat beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Mesir dan kawasan Timur Tengah lainnya, kaum Kristen menyebut nama Tuhan mereka dengan lafaz "Alloh", sama dengan orang Islam; di Indonesia mereka melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah"; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord".

Bagi orang Kristen, "Allah" bukanlah nama diri, seperti dalam konsep Islam. Tetapi, bagi mereka, "Allah" adalah sebutan untuk "Tuhan itu" (al-ilah). Jadi, bagi mereka, tidak ada masalah, apakah Tuhan disebut God, Lord, Allah, atau Yahweh. Yang penting, sebutan itu menunjuk kepada "Tuhan itu". Ini tentu berbeda dengan konsep Islam.

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kelompok-kelompok Kristen yang menolak penggunaan nama "Allah" untuk Tuhan mereka dan menggantinya dengan kata "Yahwe". Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi. Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.''

Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah".

Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." (Tentang kontroversi penggunaan nama Allah dalam Kristen, bisa dilihat dalam buku-buku I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-3).

Itulah tradisi Yahudi-Kristen dalam soal penyebutan nama Tuhan. Sayangnya, oleh sebagian kaum Muslim atau orientalis Barat, tradisi Yahudi dan Kristen ini kemudian dibawa ke dalam Islam. Pada berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, kita menemukan tindakan yang tidak tepat, yaitu menerjemahkan semua lafaz Allah dalam Al-Quran menjadi "God". Dalam konsep Islam, Allah adalah nama diri (ismul 'alam/proper name)dari Dzat Yang Maha Kuasa.

Maka, seharusnya, lafaz "Allah" dalam Al-Quran tidak diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik diterjemahkan dengan "Tuhan", "God", atau "Lord".

Beberapa terjemahan Al-Quran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God. Misalnya, Abdullah Yusuf Ali – dalam The Holy Qur'an -- menerjemahkan "Bismillah" dengan "In the name of God".

Begitu juga, "Alhamdulillah" diterjemahkan dengan "Praise be to God", dan "Qul Huwallahu ahad" diterjemahkan dengan "Say: He is God, the One and Only". Kasus yang sama – penerjemahan nama Allah menjadi God – juga bisa dilihat dalam Terjemah al-Quran bahasa Inggris yang dilakukan oleh J.M.

Rodwell (terbitan J.M. Dent Orion Publishing Group, London, 2002. Terbit pertama oleh Everyman tahun 1909). Harusnya, kata Allah dalam al-Quran tidak diterjemahkan, karena "Allah" adalah nama. Seperti halnya kita tidak boleh menerjemahkan kata "President Bush" dengan "Presiden semak", atau nama Menlu AS "Rice" dengan "Menteri Nasi".

Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sesuai dengan konsep Pandangan Hidup Islam (Islamic worldview) yang bersifat otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final.

Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).

Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath-Thahawi (239-321H), dan disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: "Naquulu fii tawqiidillaahi mu'taqidiina – bitawfiqillaahi: Innallaaha waahidun laa syariikalahu." Dalam Kitab Aqidatul Awam – yang biasa diajarkan di madrasah-madrasah Ibtidaiyah – ditulis bait pertama kitab ini: "Abda'u bismillaahi wa-arrahmaani—wa bi-arahiimi daa'imil ihsani." Ayat pertama dalam al-Quran juga berbunyi "Bismillahirrahmaanirrahiimi", dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam Al-Quran.

Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad – yang sampai pada Rasulullah saw – maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah.

Dengan demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT – melalui Al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" -- Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah". Syahadat Islam ini tidak boleh diterjemahkan dengan "Tidak ada tuhan kecuali Tuhan dan Yang Terpuji adalah utusan Allah".

Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda – juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen Armstrong menulis dalam bukunya:

"Al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan." (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), 2001), hal. 199-200).

Bagi kaum Pluralis Agama, siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena biasanya mereka memandang, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu, tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah menuju Tuhan yang satu, siapa pun nama-Nya. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan, bahwa:

"... setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama." (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (1999), hal. xix).

Seorang Pluralis pendatang baru, juga menulis dalam buku terbarunya, "Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah."

Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah, adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, di kalangan Kristen saja, muncul perdebatan sengit tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai nama Tuhan. Sebagaimana kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama Tuhan' secara khusus. Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau menggunakan lafaz "Allah" sebagai nama Tuhan mereka.

Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan "Allah" sama dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh Al-Quran. (Al-Quran memang menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka akan menyebut "Allah". (Lihat QS 29:61, 43:87).

Tetapi, perlu dicatat, bahwa Al-Quran menggunakan kata yang sama namun dengan konsep yang berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata, Uza, Hubal, dan sebagainya. Karen Armstrong menyebut, ketika Islam datang, 'Allah' dianggap sebagai 'Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno'. (Lihat, Karen Armstrong, op cit, hal. 190).

Karena itu, dalam pandangan Islam, mereka melakukan tindakan syirik terhadap Allah. Sama dengan kaum Kristen, yang dalam pandangan Islam, juga telah melakukan tindakan syirik dengan mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad saw – sesuai dengan ketentuan QS al-Kafirun – menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara bergantian.

Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tentulah Nabi Muhammad saw akan memenuhi ajakan kafir Quraisy.

"Katakan, hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS 109).

QS al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa karena konsep Tuhan yang berbeda – meskipun namanya sama, yaitu Allah -- dan cara beribadah yang tidak sama pula, maka tidak bisa dikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy menyambah Tuhan yang sama. Itu juga menunjukkan, bahwa konsep Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga cara (jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi Muhammad dilarang mengikuti ajakan kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian menyembah Tuhan masing-masing.

Sebagai Muslim, kita meyakini, Islam adalah agama yang benar. Tuhan kita Allah, yang nama-Nya diperkenalkan langsung dalam Al-Quran. Tidaklah patut kita membuat teori-teori yang berasal dari spekulasi akal, dengan menyama-nyamakan Allah dengan yang lain, atau menserikatkan Allah dengan yang lain, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Pluralis Agama.

Islam Oferdosis

Fulan adalah lulusan perguruan tinggi negeri yang sempat menjadi karyawan sebuah kantor pemerintah. Beberapa bulan lalu, dia dipecat kantornya karena terlampau sering bertengkar (bukan berdiskusi) soal-soal agama dengan teman sesama kantor, bahkan beberapa kali adu jotos. Pemegang kebijakan di kantor melihat kelakuan Fulan sudah tidak dapat ditolerir, dan menganggapnya sudah tidak pantas dipertahankan lagi sebagai karyawan.

Usut punya usut, persoalan bermula ketika belakangan si Fulan aktif terlibat dalam kegiatan agama yang terlampau banyak menjejalkan klaim-klaim kepada jemaahnya. Fulan terlampau sering mendengar indoktrinasi klaim-klaim kebenaran agama yang tidak memberi peluang buat orang lain mendebatnya. Agama yang dikenal Fulan adalah agama yang penuh klaim, bukan agama yang menyapa akal sehatnya.

Sebatas itu tidak jadi soal. Hanya saja, Fulan tidak mencukupkan versi kebenaran yang ia terima untuk dirinya sendiri, tapi berkali-kali menyalahkan pihak lain yang tidak sepaham dengannya secara sengit. Dalam fantasinya, hanya dia yang konsisten mengikut jejak para leluhur Islam yang saleh (salafush shâleh)—dan dengan begitu cukup dia saja yang punya tiket ke surga—sementara yang lain tidak. Itulah yang berulang-ulang dipersoalkan Fulan.
Tidak hanya teman kantor yang merasa kejanggalan mental dan kejiwaan Fulan. Isterinya pun heran karena Fulan tak pernah menyesal kehilangan mata pencarian. Dia tetap kokoh, dan menafsirkan semua petaka itu sebagai konsekuensi jihad yang tak akan luput dari cobaan duniawi. Baginya itu bukan soal, sampai pun isteri dan anaknya harus ikut menanggung akibat. Isterinya mengeluh, karena perlakuan Fulan terhadap dirinya kini semakin otoriter, bahkan Fulan semakin ringan tangan. Tapi Fulan tak perduli; dia tetap berkelana membawa paham agamanya; makin jarang tinggal di rumah, apalagi memberi nafkah.

Sulit mencari istilah yang tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi pada si Fulan. Penjelasan psikologi agama mungkin membantu. Agama bagi para psikolog, ada kalanya menjadi sumber penyakit mental, dogmatisme, prasangka rasial, dan tindakan kekerasan. Bahkan, agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat (atau yang mungkin kita sebut sebagai kesalehan) berkorelasi sangat signifikan dengan gangguan emosional. Sebaliknya, orang yang sehat secara emosional, sebagaimana ditulis Jalaluddin Rakhmat dalam Psikologi Agama, selalu bersifat lunak, terbuka, toleran, dan bersedia berubah. Sedangkan orang yang sangat religius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah.


(Dikutip dari Website Jaringan Islam Liberal http://www.islamlib.com,/ "Overdosis" Agama OLEH NOVRIANTONI 07/03/2005)

Bertengkar soal agama dikantor bahkan sampai adu jotos, otoriter dalam rumah tangga sampai bertindak ringan tangan dengan istri, tidak bertanggung-jawab menafkahi keluarga seperti kelakuan si Fulan, ini benar-benar ‘Islam overdosis’ namanya. Karena sesuai contoh dari Rasulullah, perilaku Islam yang benar berbeda dengan si Fulan. Bersikap sopan santun merendahkan suara, suka menolong orang lain yang kesusahan, banyak mewakafkan harta, menjaga perasaan istri dan anak-anak, giat mencari nafkah karena menafkahi keluarga memang tuntutan dalam Islam buat setiap laki-laki, menghormati tetangga, semua itu merupakan perilaku Islam seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah, salah satunya adalah cerita Nabi yang tidur di emperan pintu rumahnya karena pulang telat, tidak tega membangunkan istrinya untuk membuka pintu, demikianlah perilaku Islam..

Namun gejala ‘Islam overdosis’ tidak hanya seperti kelakuan si Fulan, ada juga si ‘Fulan jilid dua’ yang terkena gejala overdosis. Sudah jelas dikasih tahu adanya ‘jalan yang lurus, luas dan lebar’ namun si ‘Fulan jilid dua’ ini masih berjalan terhuyung-huyung, berbelok-belok ke kiri dan ke kanan layaknya orang mabuk. Memang dia tidak meributkan orang lain, tidak bertengkar atau marah-marah, tapi berjalannya sudah tidak terarah dan ngawur.

Si ‘Fulan jilid dua’ ini menganggap perkawinan beda agama diperbolehkan, sekalipun ada ayat : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”.

Dia juga beranggapan bahwa tidak dibolehkan poligami padahal tertulis ayat : maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…. Yang membolehkan poligami dengan beberapa syarat.

Si ‘Fulan jilid dua’ ini juga mabuk dengan hukum waris yang jelas-jelas mencantumkan bagian-bagian untuk istri, suami anak laki-laki dan perempuan, pembagian satu banding dua dalam Al Qur’an dirobah menjadi satu banding satu, saking mabuknya si ‘Fulan jilid dua’ ini tidak menghiraukan ayat yang menyertai hukum waris ini : (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.

‘ Fulan jilid dua’ juga mengatakan bahwa jilbab bukan ajaran Islam tetapi hanyalah budaya Arab, seakan-akan lupa bahwa ada ayat yang berbunyi : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.

Soal kebenaran agama, dia menganggap semua agama adalah benar dan semua kitab suci juga benar, jelas-jelas Al Qur’an mengecam orang-orang yang mempersekutukan Allah dan menyuruh setiap muslim untuk menjadikan Al Qur’an sebagai ‘batu ujian’ kitab-kitab suci yang lain.

Maka si ‘Fulan jilid dua’ ini juga tidak ada bedanya dengan si Fulan yang lainnya, sama-sama kena gejala overdosis. Kalau yang satu gejalanya marah, ngamuk dan bertengkar, yang satu lagi jalan sepoyongan, nabrak kiri kanan dan ngocek tidak karuan

Dalam Tulisanya Menjawab islam Liberal

Oleh: Dr. Sanihu Munir MPH
Gencarnya Propaganda Teologi Pluralis (Kajian Utan Kayu, Jawa Pos) Bagaikan Dewa Penolong Bagi Para Pemimpin Gereja dan Penginjil Ditengah Kritikan dan Gempuran Para Pakar Sejarah Yang Menyatakan Kepalsuan Ajaran Kristen.

Pagi itu hari Senin, di Kantor saya tergeletak koran lokal, Kendari Pos. Di halaman 4, persis seperti halaman yang disediakan Jawa Pos, mata saya kembali tertuju pada tulisan dari kelompok Kajian Utan Kayu, yang sedang gencar-gencarnya melakukan kampanye Teologi Pluralis yang pada prinsipnya menganggap semua agama adalah benar.

Kalau saya mengamati di berbagai kota di Indonesia, rupanya kelompok Jawa Pos saat ini sudah menjadi alat propaganda paham Teologi Pluralis yang dimotori Kelompok Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), untuk menggiring umat Islam agar mau menerima bahwa agama lain pun sama benarnya dengan Islam. Untuk memutuskan siasat ini, mereka tidak segan-segan menyerang kelompok-kelompok Islam lainnya yang ingin menegakkan Islam sebagai agama yang haq dan rahmatan lil alamin yang ingin meluruskan kesesatan agama-agama lainnya terutama agama Kristen. Salah satu kelompok Islam yang menjadi sasaran mereka adalah Laskar Jihad yang mereka golongkan sebagai simbol Islam Radikal.

Saya merasa sedih karena untuk mendukung kampanye Teologi Pluralis ini, Harian Jawa Pos telah mengabaikan tanggung jawabnya untuk berlaku adil terhadap pemberitaan yang berimbang. Saya merasa didzalimi ketika surat tanggapan terhadap tulisan Sdr Budhy Munawar Rahman dan Syafii Anwar pada Harian tersebut, terbitan hari Minggu tanggal 6 Januari 2002, tidak dimuat dan tidak pula ditanggapi, baik oleh Harian Jawa Pos maupun kedua penulis. Padahal surat tanggapan tersebut saya antar sendiri ke Kantor Pusat Harian Jawa Pos di gedung Graha Pena Surabaya, pada hari Jum'at tanggal 10 januari 2002.

Saya tidak sepakat dengan cara kelompok KIUK yang meminta agar tanggapan atas tulisan mereka, dikirim ke alamat. Ini tidak adil, karena yang terjadi adalah informasi sepihak yang sangat merugikan umat Islam yang tidak setuju dengan pendapat mereka. Seharusnya, kalau Jawa Pos memuat tulisan mereka yang menyerang kelompok tertentu, maka Jawa Pos berkewajiban menyediakan kolom yang sama besar dan sama kualitasnya untuk memuat tanggapan korban atau obyek penderita atas tulisan mereka.

Dengan cara yang mereka lakukan seperti saat ini, kelihatannya Jawa Pos ikut-ikutan bersama kelompok KIUK, mengindoktrinasi umat Islam dengan ajaran-ajaran yang mereka inginkan. Oleh karena itu, andaikata tulisan saya ini -sekali lagi -tidak dimuat oleh Harian Jawa Pos, semoga para pembaca Harian Jawa Pos, akan dapat membacanya pada Harian atau media massa lainnya.

Dalam tulisan ini, saya ingin menjelaskan kepada umat, khusus tentang kedudukan agama Islam dan Kristen untuk menjadi bahan dalam menilai benar tidaknya kampanye dan propaganda Kelompok KIUK yang selalu saja ingin mengatakan bahwa kedua agama tersebut sama benarnya.

Mengapa Islam Kristen?


Sub judul ini cukup menarik. Mengapa kita memfokuskan pembahasan kita pada dua agama dominan di dunia ini, yang juga tercermin di negara kita?

Kita mengenal berbagai agama yang ada di dunia ini seperti Islam, Kristen, Yahudi, Shinto, Budha, Hindu, Kong Hu Chu dan lain lain. Dari kesemua agama yang ada ini, Agama Islam dan Agama Kristen merupakan dua agama yang berkaitan erat, karena agama Kristen dan tokoh mereka Yesus (Nabi Isa AS) sangat banyak di bahas dalam Al Qur'an.

Agama Yahudi termasuk agama yang juga dibahas secara intensif dalam Al-Qur'an, namun karena penganut agama Yahudi di Indonesia ini praktis tidak ada, sehingga kita tidak menemukan persoalan dengan penganut agama ini, walaupun gerakan Zionis Internasional ikut pula mengobok-ngobok negara kita. Sementara, Al-Qur'an tidak berbicara secara khusus tentang agama-agama lain seperti Budha, Hindu, Shinto dan lain lain.

Kaitan antara Agama Islam dan Agama Kristen menjadi lebih kuat, karena ajaran Kristen memiliki dampak langsung terhadap keimanan umat Islam, antara lain :

Umat Islam memuliakan Yesus (Nabi Isa a.s.) sebagai salah seorang Rasul Allah untuk bani Israil, sementara umat Kristen menjadi oknum bersama Yesus, sebagai Tuhan dan Juru selamat.

Umat Islam taat pada ajaran Tauhid murni yang diajarkan Nabi Isa a.s. (Yesus) dan Nabi-nabi Allah lainnya sebagaimana yang disempurnakan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW, sementara umat Kristen mengikuti ajaran yang bertentangan dengan Tauhid yang diajarkan Yesus, dengan mengatakan bahwa itu adalah perintah Yesus.

Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Muslim yang diutus untuk seluruh umat manusia dan Yesus adalah Nabi Muslim yang diutus khusus untuk bani Israil. Namun tiba-tiba umat Kristen mengatakan bahwa Gereja memerintahkan untuk mengkristenkan seluruh bangsa di muka bumi ini.

Inilah antara lain beberapa persoalan yang ditemui antara Agama Islam dan Agama Kristen yang tidak ditemukan antara Agama Islam dan Agama-agama lainnya.

Mencari Pembenaran Sejarah


Ketika orang-orang Romawi mengangkat Sol Invictus atau Heracles menjadi Tuhan, ketika orang-orang Persia melantik Mithra menjadi Tuhan, atau ketika orang-orang Mesir menyembah Dewa Tammuz sebagai Tuhan, umat Islam tidak memusingkannya.

Ketika orang-orang Romawi mengatakan bahwa Heracles dan Sol Invictus adalah Tuhan yang turun ke bumi untuk menyelamatkan manusia, tidak satupun manusia di muka bumi ini yang dapat memperlihatkan bukti-bukti sejarah, di mana Tuhan tersebut hidup di dunia ini. Demikian pula orang-orang Mesir mengatakan bahwa Dewa Tammuz mati dan bangkit kembali untuk menebus dosa manusia, mereka sesungguhnya tidak tahu di mana dia lahir, mati, dan bangkit kembali.

Namun ketika orang-orang Kristen mengatakan bahwa Yesus putra Mariam, saudara Yacobus yang lahir tahun 4 SM, tuan guru Yahudi dan khatib di Bait Allah di zaman Gubernur Pilatus, adalah Tuhan dan Juruselamat yang mati dan bangkit kembali, maka umat manusia di muka bumi ini, khususnya umat Islam, tidak dapat menerimanya.

Hukum alam mengatakan bahwa manusia melahirkan manusia, bukan melahirkan Tuhan. Dalam semua kitab para Nabi Allah tidak satupun yang mengatakan atau meramalkan bahwa seorang manusia akan melahirkan Tuhan! Manusia yang mengatakan dirinya bukan Tuhan adalah normal. Tetapi manusia yang mengatakan dirinya Tuhan adalah sinting, dan siapa saja yang mengatakan bahwa Tuhan telah lahir dari rahim seorang wanita adalah pendusta.

Kalau kemudian Yesus yang dilahirkan dari rahim Mariam tiba-tiba diakui sudah menjadi Tuhan, tentu orang akan menuntut bukti-bukti, kapan dia menjadi Tuhan? Siapa yang membuat SK ketuhanannya, serta kapan ditetapkan? Mengapa sejak bayi ibunya tidak menyembah sebagai Tuhan? Mengapa dimasa kanak-kanak sampai dewasa adik-adiknya tidak pernah menyembahnya sebagai Tuhan? Mengapa ketika dia berkhotbah di Bait Allah, jemaat Bait Allah tidak menyembahnya sebagai Tuhan? Mengapa ketika dia di tangkap di taman Getsemani murid-muridnya tidak menyembahnya sebagai Tuhan, tetapi malah lari meninggalkan dirinya?

Kalau semua pertanyaan di atas berembel-embel tidak, tidak dan tidak, lalu pertanyaan baru yang mucul: Siapa yang mempromosikan, memprogandakan ketuhanaan Yesus serta memaksakan, mengintimidasi, menganiaya, dan membantai siapa saja yang tidak mau menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat ?

Tolong ini di jawab secara jujur dan kesatria.

Marilah kita memahami sejarah dengan sungguh-sungguh, agar kita tidak di kibuli dan dininabobokan oleh dongeng kristen.

Berbagai macam pertanyaan ini muncul karena Yesus adalah manusia riil yang hidup di dunia ini dalam kurun waktu tertentu (fixed period), dalam lingkungan masyarakat tertentu (fixed social environment), berinteraksi dengan orang-orang tertentu (fixed social interaction) dan dicatat bersama orang-orang penting tertentu, oleh orang-orang tertentu (fixed historical background). Kesemuanya ini menyebabkan orang (khususnya para pemimpin Gereja) tidak boleh mem"permak" sejarah hidup Yesus untuk di "setel" dan disesuaikan dengan keinginan mereka.

Ketika para sejarahwan dan para astronom tidak pernah memberikan indikasi akan adanya bintang yang menuntun orang-orang Majusi ke rumah Yesus, mereka mengatakan bahwa bintang itu berhenti di atas rumah Yesus. Ini suatu kebohongan! Kalau orang-orang di zaman Yesus menganggap bintang-bintang di langit hanya sebesar bola tennis yang melompat tidak beraturan dari suatu tempat ke tempat yang lain, masih dapat dimaklumi. Tetapi kalau para pemimpin Gereja di Milennium ke III ini masih mau mempertahankan dan malah mengkampanyekan pendapat seperti ini, sesungguhnya sama saja mereka menuju ke jalan kematian (Spong).

Ketika para sejarahwan memperlihatkan bahwa Yesus tidak pernah menyingkir ke Mesir, mereka mengatakan bahwa Yesus menyingkir ke Mesir, hanya karena sangat ingin mempersamakan Yesus dengan Nabi Musa as. Demikian pula ketika orang-orang Yahudi menganggap Yesus si tukang kayu yang berkhotbah setiap hari Sabat sebagai seorang nabi, umat kristen mengatakan bahwa dia adalah Tuhan. Dan ketika mereka tidak menemukan Yesus dalam goa kuburan, mereka mengatakan bahwa Yesus bangkit dari antara orang mati.
Akumulasi persoalan yang dihadapi umat Kristen ini menyebabkan mereka harus berakrobat untuk menghadapi dunia yang menghadang dan mulai membongkar satu persatu borok kebohongan mereka. Dalam keadaan seperti inilah mereka sensitif, over aktif dan mudah emosi. Berbagai cara mereka lakukan utnuk menutup-nutupi kebohongan yang sudah terlanjur mereka kampanyekan sebagai "kebenaran Kristen."

Andaikata segala keinginan, angan-angan, dan ambisi ini dicantelkan pada diri Sol Invictus, Mithra, Heraclus atau Tammuz, persoalannya tidak akan sedemikian parah. Ketika para penyembah berhala mengatakan bahwa Dewa Matahari Sol Invictus dan Mithra lahir pada tanggal 25 Desember, tidak secuilpun catatan sejarah yang dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran atau kesalahannya.

Namun ketika Gereja bersama Kaisar Romawi yang melantik manusia Yesus mejadi Tuhan dan Kristus, mengatakan bahwa Yesus lahir tanggal 25 Desember 0001, mereka telah menabrak informasi dalam Al qur'an, Naskah Laut Mati, maupun Al Kitab mereka sendiri. Keinginan Gereja yang menggebu-gebu untuk mempertuhankan Yesus serta mempersamakannya dengan para Dewa Penyembah berhala ini, menyebabkan mereka harus memetik setiap embel-embel yang dimiliki Dewa Penyembah Berhala untuk diselamatkan pada diri Yesus.

Kebohongan-kebohongan ini merupakan penyebab turunnya secara drastis penganut ajaran Kristen terutama di Eropah. Dari pengalaman saya berjumpa dengan orang-orang Eropah di berbagai negara memperlihatkan bahwa walaupun mereka mangaku Kristen, tetapi sesungguhnya mereka sudah tidak percaya dengan ajaran Kristen. Di banyak kesempatan berdiskusi denga para pastor dan pendeta Filipina dalam perjalanan antara Filipina dan Indonesia, mereka sering kecewa dan kecele.

Ketika mereka ingin mencari dukungan untuk membenarkan ajaran kristen dari para wisatawan Eropah dan Amerika, ternyata para wisatawan tersebut, yang rata-rata adalah orang-orang Kristen, malah dengan tegas mengatakan bahwa ajaran Kristen adalah keliru, dan sudah ketinggalan zaman sehingga tidak dapat dipertahankan lagi.

Oleh karena itu, ketika para pakar Kristen dan sejarawan Internasional mengatakan bahwa ajaran Kelompok Yesus adalah ajaran Tauhid murni sebagaimana yang diajarkan para nabi Allah, dan ketika mereka menemukan bahwa para pemimpin Gereja telah melakukan penyelewengan dan penyesatan ajaran Tauhid murni Yesus dengan menciptakan ayat-ayat palsu untuk mendukung ajaran penyembahan berhala, kok tega nian orang-orang yang mengaku Islam dengan maksud-maksud tertentu berusaha menutup-nutupi kebusukan ini dengan mengatakan bahwa agama Islam dan agama Kristen sama-sama benar.

Dengan propaganda gencar para pendukung Teologi Pluralis ini, para pemimpin Gereja dan Penginjil merasa seperti kejatuhan dewa penolong dalam menghadapi gempuran para Sejarawan, Pakar Alkitab dan Naskah Laut Mati serta Al Qur'an yang membongkar segala kesesatan dan tipu muslihat mereka.

Persoalan Islam Kristen


Persoalan kedua yang dihadapi umat Kristen adalah: mereka dituntut untuk membuktikan bahwa Yesus, nabi Muslim untuk Bani Israil yang diimani umat Islam adalah benar-benar Tuhan dan Juru Selamat yang memerintahkan setiap penginjil untuk mengkristenkan bangsa-bangsa di dunia.

Setiap penginjil akan merasa bangga dan mengaku bahwa Yesus telah memerintahkan mereka untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk.

"Pergilah ke seuluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk" (Markus 16:15)
Kemudian diikuti lagi dengan perintah berikut ini.: "Karena itu pergilah, jadikanlah semua murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama bapa dan Anak dan Roh Kudus" (Matius 28:19)
Secara ilmiah perintah ini ditolak oleh umat Islam karena tidak masuk akal. Kalau Yesus belum linglung, dia tentu masih ingat bahwa dia sudah memerintahkan dan mewanti-wanti murid-muridnya untuk hanya berdakwah kepada bani Israil.

"Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel" (Matius 10:5-6)
Al Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa Yesus adalah nabi yang diutus hanya untuk bani Israil:
"Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil" (Q. S. Ali Imran: 49)
Kerasulan Yesus ini didukung pula oleh Prof. Alvar Ellegard dalam bukunya Jesus One Hundred Years before Christ, (1999), hal. 191:
"We thus have further support for the view begore the campaigns Paul and his colleagues, there were churhes of God that regarded Jesus simply as a teacher and prophet, not yet as the messiah"

(Dengan demikian kita memperoleh dukungan yang lebih kuat terhadap pandangan bahwa sebelum Paulus dan pendukung-pendukungnya berkampanye (bahwa Yesus adalah Tuhan dan Kristus), sudah ada Bait Allah yang menganggap Yesus hanya sekedar guru dan nabi/rasul, dan belum menganggapnya Mesias)

Selanjutnya Marcus J. Borg dalam bukunya Meeting Jesus Again for the First Time mendukung pandangan Al Qur 'an ini dengan mengatakan :
"Jesus was deeply Jewish. It is important to emphasize this obvious fact. Not only he Jewish by birth and socialization but he remain a Jew all of his life?He did not intend to establish a new religion but saw himself as having a mission within Judaism"
(Yesus adalah penganut Yahudi yang kental. Fakta yang jelas ini sangat perlu untuk dikemukakan. Bukan hanya terlahir dan dibesarkan sebagai seorang Yahudi, tetapi dia tetap sebagai seorang Yahudi sepanjang hidupnya?Beliau tidak pernah berniat untuk membangun suatu agama baru, akan tetapi melihat dirinya sendiri sebagai pengemban misi dalam agama Yahudi)

Oleh sebab itu kalau ada yang mengatakan bahwa Yesus telah memerintahkan murid-muridnya untuk menyebarkan ajaran penyembahan berhala kepada para penyembah berhala di Kerajaan Romawi untuk menyembah dirinya dalam kesatuan Trinitas, tidak perlu heran.
A.N. Wilson menjelaskan kemudahan ini adalam bukunya Jesus A Life (1992), hal. 19: "The Gentiles og This period who had no perconceived idea about the Messiah, it would have been much easier to think, not in term of Israel's Anointed One, but of a demigod or a god incarnate?the Gentiles would have no difficulty in turning Jesus into God"
(Para penyembah berhala di masa dimana mereka tidak mengenal ide tentang mesias, akan lebih mudah berfikir, bukan dalam kerangka yang diurapi untuk Israel, tetapi sebagai dewa atau jelmaan Tuhan?para penyembah berhala ini tidak mengalami kesulitan untuk merobah (manusia) Yesus menjadi Tuhan)

Pertanyaan yang muncul adalah siapakah gerangan yang merekayasa proyek kemusyrikan ini? Ternyata tangan-tangan kotor para pendukung Paulus dengan sengaja telah menyelipkan ayat-ayat palsu (Matius 28:16-20 dan Markus 16:9-20) tersebut di atas untuk melegitimasi keinginan para penyembah berhala yang makan babi, tidak bersunat serta menyembah Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat (Robert Funk dan Ray W.Hoover,1993;Hugh J.Schonfield,1998;Paul Tillich,1968)

Umat yang mempertuhankan Yesus dituntut untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar adalah pengikut setia ajaran Yesus. Pada kenyataannya, ketika umat Islam beriman dan beramal saleh seperti yang diperintahkan Nabi Isa as (Yesus), umat Kristen justru tidak mentaati perintah-perintah Yesus.

"Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa (markus 12:29)

Umat Kristen malah beriman kepada Kristus Yesus.

"Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena imam dalam Yesus Kristus. (Galatia 2:16)

Ketika orang-orang Israel sepakat bahwa tiada Tuhan selain Allah.
"Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia (Allah) esa, dan bahwa tidak ada (Tuhan) yang lain kecuali Dia (Allah)


Umat Kristen malah mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan.
"Tuhan dan Juruselamat kita Yesus Kristus" (2 Petrus 3:18)

Yesus disunat,

"Dan ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan" (Lukas 2:21)
sementara umat Kristus dilarang bersunat atas perintah Paulus.

"Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak berguna bagimu"(Galatia 5:2)

Yesus tidak makan babi sebagaimana dijelaskan Marcus J.Borg, sementara umat Kristen mengatakan bahwa Yesus telah menghalalkan babi

"Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal" (Markus 7:19)

Dari ayat-ayat Al Qur'an, Alkitab, maupun fakta-fakta sejarah hasil penelitian para pakar, memperlihatkan bahwa umat Kristen melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari perintah Allah yang disampaikan oleh Yesus, yang kemudian disempurnakan dan ditegaskan kembali oleh Nabi Muhammad SAW. Persoalannya menjadi parah karena Gereja dengan segala daya upaya, bukannya mengoreksi kesesatan ini, tetapi malah melegalisasi penyimpangan ini dengan mengatasnamakan Nabi Isa AS (Yesus). Pernyataan demi pernyataan mereka ciptakan lalu mereka suapkan ke mulut Yesus untuk diucapkan.

Perbuatan keji para pemimpin Gereja ini dijelaskan oleh John Davidson dalam bukunya The Gospel of Jesus (1995), hal.64:
"Crediting Jesus with the words that he never spoke is a caharacteristic not only of later New Testament manuscripts, but also of the earlier Christian literature, including the original gospels themselves"
(Menyuapkan ke mulut Yesus pernyataan-pernyataan yang tidak pernah dia ucapkan, merupakan ciri khas bukan hanya dalam salinan-salinan Kitab Perjanjian Baru, tetapi juga dalam buku-buku karangan para pemimpin Gereja terdahulu, termasuk naskah asli Injil-injil dalam Alkitab)

Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Robert Funk dan Roy W.Hoover dalam buku mereka The Five Gospels (1993),hal.23: "The evangelists frequently attribute their own statements to Jesus"
(Para penginjil sering menyuapkan pernyataan mereka ke mulut Yesus untuk diucapkan)
Inilah alam nyata Krsiten yang ada saat ini. Kebiasaan buruk ini telah dicela oleh Al Qur 'an sejak 15 abad yang lalu.

"Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Alkitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Alkitab, padahal ia bukan dari Alkitab dan mereka mengatakan: 'Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahuinya" (Ali Imran: 78)

Apa mereka tidak malu dengan Al Qur 'an? Apakah para jurkam Teologi Pluralis tidak malu dengan ayat Al Qur'an ini? Beranikah kita menyatakan bahwa yang dusta sama dengan yang tidak dusta? Beranikah kita mengangkat muka dihadapkan para sejarawan dan para Alkitab yang membeberkan kedustaan persoalan seperti ini. Umat Islam memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang besar untuk meluruskannya. Inilah salah satu tugas dakwah Islam.
"Ini (Al Qur'an) adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman" (Al A'raaf 7:2)
Setiap upaya untuk menutup-nutupi kebohongan dan kesesatan ini dengan mengatakan bahwa ajaran Kristen sama benarnya dengan ajaran Islam adalah tindakan dzalim yang tidak menaruh belas kasihan sedikitpun. Disamping itu, tindakan serupa dapat meyeret umat Islam yang sudah teguh imannya menjadi goyah dengan menganggap bahwa menyembah Allah sama benarnya dengan menyembah Yesus atau menyembah Allah ditambah dengan menyembah Yesus.

Dengan propaganda gencar yang dilakukan oleh Kelompok KIUK, bukannya mereka menolong umat Kristen keluar dari alam kegelapan iman, tetapi nampaknya mereka malah ikut berkomplot bersama para pemimpin Gereja, untuk membiarkan jemaat mereka terbenam dalam lumpur kemusyrikan.

Perbuatan yang tidak terpuji ini sangat dicela oleh DR Robert Funk, mantan Guru Besar Ilmu Perjanjian Baru di Harvard University yang dikutip oleh Russed Shorto dalam bukunya Gospel Truth:
"Jesus was nothing more than a man with a vision - for decades they (the scholars) have taught it to generation of priests and ministers, who do not pass it along to their flocks because they fear the backlash of anger. So the only ones left in the dark are ordinary Christians"
(Yesus hanyalah seorang manusia yang berpandangan luas - selama berpuluh-puluh tahun, mereka (para pakar Alkitab) telah mengajarkannya kepada para pastor dan pendeta yang pada gilirannya (para pastor dan pendeta ini) tidak menyampaikan kepada jemaat mereka karena takut didamprat. Oleh karena itu umat Kristianilah yang dibiarkan tetap berada dalam kegelapan)

Orang-orang yang berfikiran waras seharusnya menyadari hal ini. Apa yang mereka lakukan bukannya memberikan obat penawar, tetapi malah menebaran racun kemusyrikan. Mengatakan dan mengakui bahwa menyembah manusia Yesus sebagai Tuhan adalah sama benarnya dengan menyembah Allah sebagai Tuhan, merupakan tindakan yang sangat mengerikan.

"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam', padahal Al Masih sendiri berkata: 'Hai bani Israil, Sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu' sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun" (Al Maaidah 5:72)

"Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran" (An Naml 27:60)

Kekafiran orang-orang yang mempertuhankan Yesus ini bukan hanya pernyataan Al Qur'an. Hugh J Schonfield, nominator pemenang hadiah Nobel tahun 1959, mendukung pernyataan Al Qur'an di atas yang ditegaskannya dalam bukunya, The Passover Plot (1996), hal. 24:
"Jesus as much as any other Jew would have regarded ad blasphemous the menner in which he is depicted, for instance, in the fourth Gospel"
(Yesus sebagaimana orang-orang Yahudi lainnya akan mengkafirkan orang-orang yang menganggapnya sebagai (Tuhan) seperti (yang mereka artikan) dalam Injil Yohanes)
Memang kita menyadari bahwa dunia saat ini sedang mabuk dengan berbagai istilah-istilah persamaan, persaudaraan, cinta kasih, toleransi, pluralis, inklusif dan lain sebagainya.

Para penginjil berkeliling dunia mengumandangkan perlunya cinta kasih, perlunya mengatasi kemiskinan, perlunya menolong mereka yang sakit, perlunya toleransi dan lain lain. Namun mereka tidak sekalipun dalam hidup ini, mau membuktikan dengan jujur kepada jemaat bahwa selama ini mereka telah berdusta. Mereka tidak pernah mau mengungkapkan dengan jujur bahwa pertolongan dan bantuan yang mereka berikan ini, bukan sekedar bantuan cuma-cuma tetapi harus dibayar mahal dengan melepaskan agama yang haq ikut tercebur dalam kesesatan.

Kelicikan mereka ini diterangkan oleh Allah dalam Al Qur'an :
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah." (Q. S. Al Anfaal: 36)

Islam tidak mempersoalkan istilah apa saja yang ingin diperkenalkan. Silahkan! Tetapi Islam sangat berkepentingan dengan niat dan kejujuran.

Ketika seseorang berilusi atau bercita-cita untuk bersamaan, persaudaraan, cinta kasih, dan toleransi yang dilandasi oleh kejujuran lilahi taala, Islam tidak pernah melarang, malah mengajurkannya. Tetapi kalau usaha-usaha ini dilakukan untuk mencampur adukkan yang hak dan yang bathil, mengaburkan jalan yang lurus dan mempromosikan kesesatan, membenamkan kebenaran sejarah dan mendukung kepalsuan, tentu tidak bisa di toleransi, tetapi harus dilawan dengan tegas. Memerangi kemungkaran dan kesasatan adalah inti perjuangan Islam.

"Jika engkau melihat kemungkaran, robahlah dengan tanganmu, kalau tidak mampu, robahlah dengan lidahmu, dan kalau masih juga tidak mampu, robahlah dengan hatimu, walaupun ini adalah selemah-lemahnya iman." (Hadits)

Di sinilah peranan dakwah Islam untuk menunjukkan bukti-bukti yang haq dan yang bathil. Andaikata ajaran Kristen untuk menyembah Yesus sebagai Tuhan adalah benar, berarti ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang mengkafirkan mereka yang mempertuhankan Yesus, adalah ajaran yang salah, dan Nabi Muhammad SAW datang ke dunia ini sebagai pengacau (Nauzubillah). Tetapi kalau ajaran Kristen menyembah Yesus sebagai Tuhan adalah ajaran sesat, maka Nabi Muhammad benar-benar diutus ini antara lain untuk meluruskan kesesatan ajaran Kristen.

"Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesunggunya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira kepadamu dari pada-Nya." (Q. S. Huud:2)

Namun anehnya, pada saat umat Islam melakukan perlawanan terhadap upaya penyesatan dan pendangkalan akidah ini, mereka berteriak bahwa yang melakukan perlawanan ini adalah Islam Radikal!

Kalau umat Islam yang memerangi kemungkaran dan kebathilan yang ingin menyesatkan umat yang beriman disebut Islam Radikal, berarti Tuhan memerintahkan agar kita semua menjadi Islam Radikal! Jangankan nabi Isa as (Yesus), Nabi Musa AS sendiri kalau masih hidup saat ini akan memeluk agama Islam.

"Apakah engkau masih ragu wahai Ibnul Khattab? Bukankah aku telah membawa agama yang putih bersih? Sekiranya saudaraku Musa as hidup sekarang ini maka tidak ada keluasan bagiya kecuali mengikuti syariatku" (Hadits).

Pernyataan Rasulullah SAW ini sangat mirip dengan diagram agama-agama di dunia yang dibuat oleh Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln dalam buku mereka The Messianic Legacy, (1986).

Memang kebathilan adakalanya sukar dideteksi, karena para pemimpin Gereja, terutama para penginjil, selalu berusaha sekuat tenaga untuk menutup-nutupinya, walaupun jauh dilubuk hati mereka, terjadi pertarungan antara kebenaran yang mereka sudah ketahui dan kesesatan yang mereka harus ucapkan di hadapan jemaat. Allah telah menetapkan garis demarkasi yang tegas antara yang haq dan yang bathil. Mencampuradukkan yang haq dan yang bathil, atau menganggap yang haq sama dengan yang bathil adalah perbuatan dzalim terhadap kemanusiaan.

"Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dan yang bathil, dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu ketahui." (Q. S. Al Baqarah: 42)

Islam tidak membutuhkan dolar untuk membuktikan kebenaran ajarannya, walaupun Gereja harus menyediakan jutaan dolar untuk menutupi kesesatan dan kepalsuan ajaran mereka. Oleh karena itu jangan heran kalau Gereja sangat membenci Al-Qur'an dan ajaran Islam, karena satu-satunya Kitab di muka bumi ini yang menjelaskan kesesatan ajaran Kristen dalam ratusan ayat-ayatnya hanyalah Al Qur'an.

Oleh karena itu, wahai umatku! Kalau saat ini kita menderita dan dicabik-cabik, ini hanyalah sekedar pengulangan peristiwa demi peristiwa dalam sejarah panjang kemusyrikan yang ingin memudarkan cahaya Al-Qur'an dan menghapuskan La Ilaha Ilallah dari muka bumi.

Memang sangat menyakitkan bagi mereka, bahwa pernyataan-pernyataan Al-Qur'an tentang kesesatan dan kepalsuan ajaran Kristen, bukan hanya tidak mampu mereka bantah, tetapi malah sebaliknya, para sejarawan, pakar Alkitab, termasuk sebagian tokoh-tokoh agama mereka sendiri, ikut mendukung pernyataan Al-Qur'an.

Kembalinya sedemikian banyak tokoh dunia dan ilmuwan internasional yang semula beragama Kristen ke pangkuan Islam, membuktikan bahwa ajaran Islam hadir untuk mengoreksi kesesatan ajaran Kristen serta memberikan solusi yang terbaik.

Jadi saya memaklumi kalau Gereja dan antek-anteknya saat ini gencar mempropagandakan Teologi Pluralis. Semua lini dan front harus mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk melumpuhkan Islam dan mamudarkan cahaya Al-Qur'an.

"Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai." (Q. S. At-Taubah: 32).

Bukankah pepatah pepatah yang bijak mengajarkan:
"If you can not beat them, join them"
(Kalau engkau tidak sanggup mengalahkan mereka, bersatulah dengan mereka)
dan wujud nyata dari upaya penyatuan Islam-Kristen ini adalah melalui siasat Teologi Pluralis.

"Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta." (Q. S. Al Baqarah: 9-10).

Oleh karena itu saya tidak dapat membayangkan ketika Allah mengajarkan kita berdoa :
"Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni'mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Kristen)." (Q. S. Al Fatihah: 6-7).

Masih saja ada yang punya nyali mengatakan bahwa Islam sama dengan Kristen, bahwa jalan yang lurus sama dengan jalan yang sesat!
(Seperti Kajian Utan Kayu, di Media Jawa Pos, pent)

Wahai umat Islam!


Andaikata ajaran Islam adalah ajaran yang sesat, dan ajaran Kristen adalah ajaran yang lurus, jangan pernah berharap bahwa Gereja dan antek-anteknya akan mempropagandakan Teologi Pluralis.

Sedangkan kita umat Islam berada di jalan yang lurus saja, mereka sudah berusaha memporakporandakan kita. Apalagi kalau ajaran yang kita anut adalah ajaran yang sesat. Pasti kita tidak akan pernah berjumpa dengan istilah Teologi Pluralis di dunia ini.

Sebelum mengakhiri tulisan ini perlu kiranya saya mengemukakan bahwa kalau saya menyatakan bahwa ajaran Kristen sesat dalam tulisan ini, tidak secuilpun kebencian yang melandasinya. Ini semata-mata kenyataan sejarah, yang diungkapkan Al-Qur'an sejak 15 abad yang lalu dan didukung hasil penelitian para sejarawan dan pakar Alkitab internasional.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk membuka wawasan dalam memahami kedudukan agama Islam dan Kristen.

Kesimpulan


Setelah mengupas serba latar belakang kehadiran agama Islam dan Kristen di dunia ini, maka kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan-penjelasan diatas adalah sebagai berikut :
Sesungguhnya agama semua nabi-nabi Allah adalah agama Islam.

Agama Islam dalam garis besarnya adalah sebagaimana yang didakwah oleh para nabi Allah yakni :

Beriman hanya kepada Allah.

Beramal saleh taat pada perintah Allah

Paulus menciptakan Agama Kristen yang menyimpang dan menyeleweng dari ajaran nabi Allah (Isa as atau Yesus) untuk kepentingan para penyembah berhala di Kerajaan Romawi.

Nabi muhammad dengan Al Qur'annya diutus ke dunia ini antara lain untuk meluruskan penyelewengan dan kesesatan agama Kristen yang dilakukan oleh Paulus dan pendukung-pendukungnya.

Allahu A'alam.
Oleh: Dr. Sanihu Munir MPH, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Centre Pusat Kendari


 

BAB 18 : ORIENTALIS DAN AL-QURAN



 BAB 18 :  ORIENTALIS DAN AL-QURAN
The History of The Qur'anic Text  hal 337 - 343

Kontroversi seputar tulisan Arab kuno dan Mushaf Ibn Mas'ud sudah dibahas, sekarang kita alihkan perhatian pada spektrum yang lebih luas mengenai serangan Orientalis terhadap Al-Qur'an dalam berbagai dimensi untuk dapat menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan Barat dalam mencemarkan kemurnian teks Al-Qur'an menggunakan sumber-sumber tidak etik dan penipuan.
1. Perlunya Pembuktian Penyimpangan dalam Al-Qur'an
 
Dengan maksud hendak membuktikan moralitas dan superioritas teologi Barat, Bergtrasser, Jeffery, Mingana, Pretzl, Tisdal dan banyak lagi lainnya, telah mencurahkan seluruh kehidupannya guna menyingkap perubahan teks Al-Qur'an yang, katanya, tidak mereka dapatkan dalam kajian kitab Injil. Seperti tampak dalam bab sebelumnya, banyak sekali perbedaan yang memenuhi halaman-halaman dalam Kitab Injil, "Cette masse enorme depasse ce dont on dispose pour n'import quel texte antique; elle a fourni quelque 200,000 variantes. La plupart sont des variants insignifiantes... Deja Wescott et Hort, en donnant ce chiffre, constataient que les sept 6uitieme du texte etaient assures... Il  y en a pourtant".1 Jika lihat secara keseluruhan, tampak melemahkan isu-isu penting dalam teologi dan menimbulkan keprihatinan mengenai adanya cerita-cerita palsu yang disisipkan ke dalam teks melalui pengaruh masyarakat umum. Sementara desakan untuk membuktikan keadaan yang sama terhadap Al-Qur'an mulai menggejala semenjak beberapa tahun lalu disebabkan oleh perubahan peta politik Timur Tengah, namun upaya-upaya dalam bidang ini kebanyakan telah dimulai lebih awal dari perhatian mereka. Di antara karya-karya sebagaimana sejarah telah mencatat:
  1. A. Mingana and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly Pre-'Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914;
  2. G. Bergtrasser, "Plan eines Apparatus Criticus zum Koran", Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7;
  3. O. Pretzl, "Die Fortfuhrung des Apparatus ('riticus zum Koran", Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5; dan
  4. A. Jeffery, The Qur'an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York, 1952.
Jeffery barangkali yang paling banyak menguras tenaga dalam masalah ini.
 
2. Kritikan Orientalis Terhadap Kompilasi AI-Qur'an
 
Tampaknya terdapat beberapa pintu gerbang yang digunakan sebagai alat penyerang terhadap teks AI-Qur'an, salah satunya adalah menghujat tentang penulisan serta kompilasinya.2 Dengan semangat ini pihak Orientalis mempertanyakan mengapa, jika Al-Qur'an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad `Umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada peperangan Yamamah, memberi tahu Abu Bakr akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka.3 Lebih jauh lagi, mengapa bahan­bahan yang telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri? Jika demikian halnya, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan dalam menyiapkan Suhuf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.
Mungkin karena kedangkalan ilmu, berlaga tolol (tajahul), atau pengingkaran terhadap kebijakan pendidikan kaum Muslimin merupakan permasalahan sentral yang melingkari pendirian mereka. Katakanlah terdapat satu naskah Al-Qur'an milik Nabi Muhammad mengapa beliau lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Besar kemungkinan, di luar perhatian, tiap nasikh-mansukh, munculnya wahyu baru, ataupun perpindahan urutan ayat-ayat tidak akan tecermin dalam naskah di kemudian hari. Dalam masa[ah ini, beliau akan membuat informasi keliru dan melakukan sesuatu yang merugikan umatnya; kerugian yang ada dirasa lebih besar dari manfaatnya. Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakr? Sebelumnya, telah saya kemukakan bahwa guna mendapat legitimasi sebuah dokumen, seorang murid mesli bertindak sebagai saksi mata dan menerima secara langsung dari guru pribadinya. Jika unsur kesaksian tidak pernah terwujud, adanya buku seorang ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan kehilangan nilai teks itu. Demikianlah apa yang dilakukan oleh Zaid bin Thabit. Dalam mendikte ayat-ayat Al-Qur'an kepada para Sahabat, Nabi Muhamtnad , melembagakan sistem jaringan jalur riwayat yang lebih tepercaya didasarkan pada hubungan antara guru dengan murid; sebaliknya, karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.4
Tetapi jika keseluruhan Al-Qur'an telah direkam melalui tulisan semasa kehidupan Nabi Muhammad dan disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat, mengapa pula `Umar takut kehilangan Al-Qur' an karena syahidnya para huffaz? Hal ini, sekali lagi, menyangkut tentang hukum persaksian.
Dengan jumlah yang ribuan, para huffaz memperoleh ilmu pengetahuan Al-Qur'an mela]ui satu-satunya otoritas yang saling beruntun di muka bumi ini yang, akhirnya, sampai pada Nabi Muhammad Setelah beliau wafat, mereka (para sahabat) menjadi sumber otoritas yang juga saling beruntun; kematian mereka hampir-hampir telah mengancam terputusnya kesaksian yang berakhir pada Nabi Muhammad , yang mengakibatkan untuk mendapat ilmu yang diberi otoritas kurang memungkinkan. Demikian juga apabila mereka mencatat ayat-ayatnya menggunakan tulisan tangan akan kehilangan nilai sama sekali, karena pemiliknya sudah masuk ke liang lahat dan tidak dapat memberi pengesahan tentang kebenarannya. Kendati mungkin terdapat secercah bahan tulisan yang secara tak sengaja persis sama dengan Al-Qur'an seperti yang dihafal oleh yang lain, selama masih terdapat saksi utama yang sesuai, ia akan menjadi paling tinggi, menempati urutan ke tiga dari dokumen yang sah. Itulah sebabnya dalam membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang bukan saja mesti membawa ayat, melainkan juga dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu datang langsung dari Nabi Muhammmad (kita temukan hukum kesaksian ini juga dihidupkan kembali di zaman pemerintahan `Uthman). Ayat-ayat yang telah ditulis tetap terpelihara dalam rak-rak dan lemari simpanan, baik tanah Yamamah itu mengisap darah para huffaz ataupun tidak, akan tetapi otoritas saksi yang merupakan poin paling penting dalarn menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen, yang paling dijadikan titik sentral kekhawatiran ' Urnar.
 
3. Perubahan Istilah Islam pada Pemakaian Ungkapan Asing
 
Pintu gerbang kedua masuknya serangan terhadap Al-Qur'an adalah melalui perubahan besar-besaran studi keislaman menggunakan peristilahan orang Barat. Dalam karyanya Introduction to Islamic Law, Schacht membagi fiqih Islam kepada judul judul berikut: orang (persons), harta (property), kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain.5 Susunan seperti ini sengaja diperkenalkan hendak mengubah hukum Islam pada hukum Romawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan topic bahasan serta pembagi­annya yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam. Wansbrough melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur'an dengan membagi Quranic Studies menurut ketentuan berikut: Prinsip-prinsip penafsiran (Principles of Exegesis) (1) Tafsiran Masoreti (Masoretic exegesis); (2) Penafsiran Hagadi (Haggadic exegesis); (3) Deutungsbedurftigkeit; (4) Penafsiran Halaki (Halakhic exegesis); dan (5) Retorika dan simbol perumpamaan (Rhetoric and allegory).6
Tafsir-tafsir seperti ini menghabiskan lebih dari separuh buku yang ditulis di mana jika saya bertanya pada para ilmuwan Muslim baik dari Timur mau pun yang berlatar belakang pendidikan Barat, tak akan mampu memahami semua daftar isi buku tersebut. Barangkali hanya seorang pendeta Yahudi yang dapat menjelaskan peristilahan Perjanjian Lama, namun hal ini akan sama nilainya seperti seorang pendeta memaksakan baju tradisi mereka pada seorang sheikh. Mengapa mereka begitu bergairah mengubah istilah Islam, di mana tujuannya tak lain hendak memaksakan sesuatu yang di luar jangkauan bidang para ilmuwan Muslim, guna menunjukkan bahwa hukum mereka bersumber dari Yahudi dan Kristen?
 
4. Tuduhan Orientalis terhadap Penyesusian
 
Hal ini akan menggiring memasuki pintu gerbang ketiga dalam menyerang terhadap Al-Qur'an: perulangan tuduhan yang ditujukan kepada Islam hanya merupakan pemalsuan terhadap agama Yahudi dan Kristen, atau bagian dari sikap curang dalam memanfaatkan literatur Kitab Suci untuk kepentingan sendiri. Wanshrough, sebagai seorang penggagas tak tergoyahkan dalarn pemikiran ini tetap ngotot, misalnya, ia menyatakan, "Doktrin ajaran Islam secara umum, hahkan ketokohan Muhammad, dihangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi."7 Disini, kita hendak rnengkaji rasa sentimen ke dua orang ilmuwan tersebut yang menulis menggunakan alur pemikiran yang senada.
 
i. Tuduhan dan Penyesuaian Kata yang Merusakkan
 
Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, tokoh Orientalis, menyebutkan banyak kekeliruan di dalam Al-Qur'an karena, kata­nya, "kejahilan Muhammad" tentang sejarah awal agama Yahudi - kecerobohan nama-nama dan perincian yang lain yang la curi dari sumber-sumber Yahudi.8 Dengan membuat daftar kesalahan la menyebut:
 
[Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir'aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih.... [Dan] dalam kebodohannya tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang-karena hujan, dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil (xii. 49).9
 
Ini merupakan satu upaya yang menyedihkan hendak mengubah wajah Islam menggunakan istilah orang lain, siapa orangnya yang menyebut bahwa Fir'aun tidak memiliki seorang menteri yang bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam Kitab Suci yang terdahulu? Dalam kebohongannya Noldeke tidak malu menunjuk bahwa Al-Qur'an menyebut Maryam (Ibu al­Masih) sebagai "saudara perempuan Harun",10 bukan Musa. Harun ada di jajaran terdepan dalam kependetaan orang-orang bani Israel; yang menurut Perjanjian Baru, Elizabeth, saudara sepupu Maryam dan juga ibunya Yunus, semua lahir dari keluarga pendeta, lantaran itu merupakan "anak-anak perempuan Harun."11 Dengan kepanjangan itu, kita dapat secara meyakinkan mengatakan baik Maryam atau Elizabeth sebagai "saudara-saudara perempuan Harun" atau "anak-anak perempuan `Imran" (ayah Harun).12
Apakah tuduhan Noldeke mengenai kesuburan negeri Mesir? Membanjirnya Sungai Nil adalah karena di sebagian daerah, sumber utama, karena adanya perbedaan curah hujan, seperti telah dibuktikan para pakar lingkungan, namun demikian mari kita singkirkan terlebih dulu akan hal ini dan lihatlah ayat 12: 49 yang mengatakan:
 





"Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia akan diselamatkan, dan di masa itu mereka memeras anggur. "

Saya serahkan kepada para pembaca meneliti sendiri ada atau tidaknya penyebutan kata hujan pada ayat itu, sebenarnya tuduhan seperti itu muncul dari kekalutan pikiran Noldeke terhadap kata benda "hujan" dan "pengucapannya".
 
ii. Sebuah Injil Palsu
 
Ini satu tuduhan lagi yang dialamatkan terhadap Al-Qur'an oleh Hirschfeld.13 Jika kata Injil ditujukan pada Perjanjian Baru, mari kita ingat kembali dua doktrin utama dalam agama Kristen: Dosa Warisan dan Penebusannya. Yang pertama adalah warisan otomatis yang ada pada setiap insan, karena mereka keturunan Adam, sedang yang ke dua karena terbentuknya kepercayaan bahwa Tuhan telah mengorbankan satu-satunya Anak yang lahir ke dunia sebagai penghapus dosa. Tetapi Al-Qur'an dengan tegas menolak kedua-duanya:
 





"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. "14

"Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain."15
 
Trinitas dan penyelamatan melalui al-Masih, sebagai esensi ajaran Kristen, tidak diberi peluang sama sekali dalam Al-Qur'an, sementara cerita­cerita Injil yang ada tidak lebih dari sekadar masalah kesejarahan, bukan keyakinan ideologi.
"Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak seorang pun yang setara dengan Dia. "16
Jadi, sebenarnya di manakah asal usul pemalsuan itu? Adapun mengenai penyesuaian dari Perjanjian Lama (sebagaimana dituduhkan oleh Wansbrough, Noldeke, dan lainnya), apa perlunya Nabi Muhammad mengungkapkan satu Kitab Suci yang menggambarkan Yahweh sebagai Tuhan yang bersifat kesukuan, bahkan tidak dihubungkan dengan kaum Samaritan dan kaum Edomit, tetapi semata-mata pada Bani Israel? Sejak awal pembukaan kitab, kita dapati Al-Qur'an mengatakan:
"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. "17
Ini merupakan sebutan universal sifat Allah, yang melintasi batas kesukuan dan bangsa berlandaskan pada ketentuan keimanan. Seseorang tentunya tidak akan dapat menempel buah mangga yang gemuk atau subur pada satu cabang berduri dari sebatang pohon kaktus yang rapuh.


1. A. Robert dan A. Feuillet (cds.), Introduction a la Injil, tome 1 (Introduction Generale, Ancien Testament), Desclce & Cie, 1959, hlm. 111. Terjemahan kasamya, Perjanjian Baru memiliki 200,000 perbedaan, tapi kebanyakan tidak penting (contohnya banyak jenis ejaan). Westcott dan Hort, ketika memberi angka ini, menyatakan bahwa tujuh per delapan teks dapat dipastikan kedudukannya; namun terdapat banyak perbedaan yang cukup penting. Yang menarik adalah angka 200,000 itu dikurangi menjadi 150,000 dalam karya terjemahan berbahasa Inggris di atas [A. Robert dan A. Feuillet, Interpreting the Scripture, diterjemahkan oleh P.W. Skehan dkk., Desclee Company, NY, 1969, hlm. 115] Lihat tulisan ini hlm. 317-323.
2. Menurut Jeffery, "Para ilmuwan Barat tidak sependapat bahwa susunan teks Al-Qur'an yang ada di tangan kita sekarang, sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad r " [Masahif, Introduction, hlm. 5]. Di sini apa yang dimaksud Jeffery adalah susunan surah dan ayat­ayatnya.
3. Lihat tulisan ini hlm. 84.
4. Kembali ke hlm. 90-91, hadith Sawwar bin Shabib mengatakan bahwa Zaid membandingkan Mushaf `Uthman dengan naskah Al-Qur'an Nabi sendiri. Kalau itu memang naskah Nabi sendiri yang di simpan dalam penjagaan `A'ishah, maka Zaid telah mendapatkannya dengan status sekunder dalam upaya tersebut.
5. J. Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford Univ. Press, 1964, Isi Kandungan.
6. J. Wansbrough, Quranic Studies, Isi Kandungan.
7. Lihat R.S. Humpreys, Islamic History: A Framework for Inquiry Revised edition, Princeton Univ. Press, 1991, hlm. 84.
8. Lihat "The Koran", Encyclopedia Britannica, ed. ke 9, 1891, jld. 16, hlm. 597ff. Dicetak kembali dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam's Holy Book, Prometheus Books, Amherst, NY, 1998, hlm. 36-63.
9. T. Noldeke, "The Koran", dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran, hlm. 43.
10. Qur'an 19:28.
11. Lukas 1: 5. Lihat juga Lukas I : 36.
12. Lihat terjemahan Al-Qur'an oleh Yusuf Ali, komentar mengenai ayat 3: 35 dan 19: 28.
13. A. Mingana, "The Transmission of the Koran", dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran, hlm. 112.
14. Qur'an 2: 37. 
15. Qur'an 6: 164.
16. Qur'an 112: 1-4.
17. Qur'an 1: l-2

The history of The Qur'anic Text

.
The History of The Qur'anic Text - From Revelation to Compilation -Sejarah Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya -Prof. Dr. M.M al A'zami

I . SEJARAH TEKS AL-QUR'AN.
INDEX
NEXT >
BAB 1 :  PENDAHULUAN
The History of The Qur'anic Text  hal 1 - 14




Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. "1

 
Petunjuk, Kesenangan dan Keindahan. Bagi seorang yang beriman Kitab Suci Al-Qur'an akan melebihi segalanya: denyut keimanan, kenangan di saat mengalami kegembiraan dan penderitaan, sumber realitas ilmiah yang tepat, gaya lirik yang indah, khazanah kebijaksanaan serta munajat. Ayat-ayatnya menghiasi mulai dinding toko buku hingga ruang tamu, terukir dalam ingatan tua dan muda, serta gaungya terdengar di keheningan malam dari atas menara masjid di seluruh dunia. Namun demikian, Sir William Muir (1819-1905) tetap memberi pernyataan, "Islam sebagai musuh peradaban, kebebasan, clan kebenaran seperti dunia telah mengakuinya."2 Tak ada manusia lain yang ber­sikap toleransi kecuali menebar rasa benci dan curiga terhadap A1-Qur'an sejak abad-abad silam hingga kini seperti dilakukan oleh para ilmuwan, penginjil, hingga para politikus musiman. Dikotomi seperti itu sangat menyakitkan hati umat Islam dan juga membingungkan kalangan non-Muslim yang pada giliran­nya akan membenarkan anggapan bahwa setiap kelompok akan menghina kitab suci orang lain. Di mana bukti dan faktanya? Dihadapkan pada pokok pembicaraan yang teramat luas lagi sensitif dan penuh pemikiran yang perlu pertimbangan, saya menjelajah ke mana-mana yang pada mulanya, kemudian membuahkan hasil, berawal dari sebuah artikel yang ditulis oleh seseorang yang namanya tak pernah saya dengar sebelumnya.
Apakah Al-Qur'an itu? Artikel utama terbitan Januari 1999 yang dimuat di Atlantic Monthly, mengangkat asal usul keaslian dan integritas Al-Qur'an.3 Kualifkasi pengarang, Toby Lester, seluruhnya seperti tertulis dalam majalah memberi isyarat bahwa la tidak belajar Islam kecuali dari pengala:nan selama tinggal di Yaman dan Palestina beberapa tahun kendati hal ini tidak me­nunjukkan tanda-tanda untuk menghalangi karena tampaknya ia belajar sungguh-sungguh dalam membuat perdebatan. la mengatakan,
Keilmuan Barat tentang Al-Qur'an biasanya terjadi dalam bentuk pernyataan permusuhan secara terbuka antara Kristen dan Islam. Ilmuwan Kristen dan Yahudi khususnya menganggap Kitab Suci Al-Qur'an ada dalam lingkaran perubahan...4
 
Setelah mengupas kecaman William Muir terhadap Al-Qur'an, T. Lester, menjelaskan bahwa dulu para ilmuwan Soviet melihat Islam berdasarkan sikap keragu-raguan ideologi. N.A. Morozov misalnya, dengan mudah memberi alasan bahwa "hingga masa Perang Salib tidak dapat dibedakan dengan agama Yahudi dan hanya setelah masa itu ia memiliki ciri khas tersendiri sedang Muhammad dan para Khalifah pertama tidak lebih dari tokoh dalam cerita bohong."5
Pendapat ini dapat memberi isyarat pada pihak lain bahwa pendekatan yang dilakukan T. Lester karena semata-mata akademik: suatu keingintahuan seorang wartawan dalam memberi laporan secara jujur. Dalam satu wawancara dengan harian ash-Sharq al-Awsat 6 ia menolak anggapan akan adanya niat jahat, perasaan marah, perilaku salah terhadap umat Islam dan bahkan bersikeras ingin mencari kebenaran. Tetapi tak bisa dimungkiri bahwa ia telah menguras tenaga dalam mengumpulkan sumber informasi dari kelompok yang antitradisi dan menyeru perlunya penafsiran ulang terhadap Kitab Suci umat Islam. Secara jelas ia mengutip pendapat Dr. Gerd R. Joseph Puin, perihal pemulihan kepingan kertas kulit naskah Kitab Al-Qur'an yang terdapat di San'a', Yaman, yang saya lihat baru-baru ini di mana la dan kelompoknya pantas mendapat acungan jempol. Sekarang, seorang pekerja penjilidan buku yang dapat melakukan tugasnya dengan balk tentang matematika yang teramat kompleks, tidak secara otomatis sama derajatnya dengan pakar matematika karena jasanya dalam tnengatur halaman-halaman yang ada. Di sini J. Puin dikelompokkan sebagai ahli tentang sejarah Al-Qur'an secara keseluruhan,
"Begitu banyak kaum Muslimin beranggapan bahwa Al-Qur'an merupakan kata-kata Tuhan yang tidak pernah mengalami perubahan," begitu kata Dr. Puin. "Mereka sengaja mengutip karya naskah yang menunjukkan bahwa Bible memiliki sejarah dan tidak langsung turun dari langit, namun hingga sekarang AI-Qur'an berada di luar konteks pembicaraan ini. Satu-satunya cara menggempur dinding penghalang ini adalah mengadakan pembuktian bahwa Qur'an juga memiliki sejarah. Beberapa kepingan kertas kulit yang ada di San'a akan dapat membantu upaya ini."7
 
Referensi lain yang digunakan T. Lester adalah Andrew Rippin, seorang profesor di bidang kajian agama-agama dari Universitas Calgary yang menjelaskan,
"Bacaan yang berlainan dan susunan ayat-ayat kesemuanya teramat penting. Semua orang sependapat akan masalah ini. Naskah-naskah ini menyebut bahwa sejarah teks Al-Qur'an di masa lampau melebihi dari sebuah pertanyaan terbuka dari apa yang lazim dianggap orang banyak: teks itu tidak tetap dan memiliki kekurangan otoritas dari anggapan yang ada. "8
 
Secara pribadi saya melihat pendapat Prof. Rippin sangat membingungkan. Di satu sisi sejak masa Nabi Muhammad, para sahabat mengakui adanya perbedaan bacaan. Sangat tidak beralasan untuk dikatakan sebagai penemuan baru. Di sisi lain, bukan Puin sekali pun (sejauh yang saya pahami) beranggapan telah menyingkap perbedaan-perbedaan susunan ayat Al-Qur'an dalam naskah, kendati pendapatnya tentang Al-Qur'an sejalan dengan aliran revisi modern yang mengatakan,
"Pemikiran saya adalah bahwa Al-Qur'an tidak lebih dari naskah cocktail yang tidak semuanya dapat dipahami di zaman Nabi Muhammad sekalipun." Begitu kata Puin. "Banyak di antaranya yang mungkin seratus tahun lebih tua dari Islam itu sendiri. Kendati dalam tradisi ke­ islaman terdapat informasi silang yang amat besar, termasuk dasar agama Kristen; seseorang dapat menyerap seluruh antisejarah Islam dari mereka jika ia menghendaki." Patricia Crone memberi pembelaan tujuan-tujuan pemikiran seperti ini. "Al-Qur'an tak ubahnya sebagai satc kitab suci dengan satu sejarah seperti agama lain-hanya saja kita tidak memahami sejarah ini dan cenderung ingin membangkitkan teriakan protes saat kita mengkajinya.' 9
 
Kalangan orang Arab selalu beranggapan bahwa Al-Qur'an sebagai kitab yang memiliki keunikan lagi indah sampai para penyembah berhala di kota Mekah merasa haru melihat susunan liriknya dan mereka tidak mampu menciptakan seperti itu.10 Mutu seperti ini tidak dapat menghalangi orang­orang seperti Puin melempar penghinaan seperti itu.
"Al-Qur'an menyatakan bahwa ini adalah 'mubeen', atau 'jelas'," katanya. "Tetapi jika Anda perhatikan, Anda akan catat bahwa tiap lima kalimat atau yang sederhana saja tidak dapat dimengerti. Tentunya orang­orang Islam dan juga sebagian orientalis berkata lain, tetapi fakta menunjukkan bahwa seperlima Al-Qur'an tidak dapat dipahami."11
 
G.R. Puin mengumbar ucapannya tanpa memberi contoh dan saya telah kehabisan langkah dalam melacaknya di mana letak seperlima Al-Qur' an yang tidak dapat dimengerti. Lebih lanjut ia menyebut bahwa kesediaan menerima pemahaman seperti itu bermula secara sungguh-sungguh pada abad kedua puluh.12 la merujuk pada tulisan Patricia Crone dengan mengutip pendapat R.S. Humphreys,13 yang kemudian diakhiri dengan pendapat Wansbrough. Serangan utama dari tulisan Wansbrough ingin menciptakan pendapat tentang dua masalah penting. Pertama, Al-Qur'an dan hadith disebabkan oleh berbagai pengaruh komunitas lebih dari dua abad. Kedua, doktrin ajaran Islam mengikuti cara pemimpin agama Yahudi. Tampaknya Puin sedang membaca kembali karyanya di saat sekarang, karena teorinya berkembang begitu lambat dalam kalangan terbatas di mana "umat Islam melihatnya sebagai sikap penyerangan yang menyakitkan."14 Para pembaca tentu mengenal siapa Cook, Crone dan Wansbrough sejak seperempat abad, wajah baru muncul dari kalangan ini adalah Dr. Puin, yang penemuannya dijadikan rujukan utama dalam karya Lester yang begitu panjang. Beberapa naskah Al-Qur'an di atas kertas kulit dari Yaman merujuk pada dua abad pertama Islam.
Terungkap sedikit namun mampu membangkitkan minat melakukan penyimpangan terhadap standar naskah Al-Qur'an. Penyelewengan seperti ini, kendati tidak mengherankan para ahli sejarah naskah Al-Qur'an, pada hakikatnya sangat mengganggu perasaan dan kepercayaan di kalangan Muslim orthodoks yang mempunyai anggapan bahwa Al-Qur'an yang sampai ketangan kita, hingga hari ini, masih dalam bentuknya yang sempurna, tanpa batas waktu, dan kata-kata Tuhan yang tidak pernah berubah. Pada dasarnya upaya kaum sekuler dalam upaya penafsiran ulang terhadap Al-Qur'an-sebagian berdasarkan fakta akan adanya kulit kertas naskah yang ada di Yaman15 sebagai gangguan dan serangan terhadap kalangan Islam sebagaimana rencana pengadaan reinterpretasi Kitab Injil dan kehidupan Jesus yang akan mengganggu dan merupakan penyerangan terhadap kalangan Kristen konservatif. Upaya reinterpretasi sekuler seperti itu, sangat kuat dan-sebagaimana demonstrasi sejarah renaissance dan reformasiakan mengarah terhadap lahirnya perubahan sosia] secara mendasar. Al-Qur’an, bagaimana pun, di saat sekarang merupakan naskah yang paling berpengaruh dari segi pemikiran ideologi.16
 
Seluruh permasalahan yang ada di hadapan kita adalah seperti berikut:
  • Kitab suci Al-Qur' an dianggap sebagai naskah yang paling berpengaruh secara ideologi.
  • Kalangan umat Islam melihat Al-Qur'an sebagaimana orang-orang Kristen memandang Kitab Injil kalamullah yang tidak pernah berubah.
    Fragmentasi naskah Al-Qur'an yang terdapat di Yaman dapat membantu upaya-upaya kalangan sekuler dalam mengadakan reinterpretasi Al­Qur' an.
  • Kendati merupakan sikap ofensif terhadap sejumlah besar umat Islam, reinterpretasi ini dapat menjadi impetus 'dorongan' perubahan sosial secara mendasar seperti yang dialami oleh agama Kristen beberapa abad yang silam.
  • Perubahan-perubahan ini dapat dilakukan dengan menunjukkan bahwa Al-Qur'an pada dasarnya sebagai naskah cair (fluid text) di mana saat masyarakat Islam memberi kontribusi dan secara bebas menata kembali apa yang telah disusun beberapa abad sebelumnya, dapat memberi isyarat bahwa Qur'an tidak lagi suci, dan bahkan telah sesat.
Sebagian besar rujukan yang digunakan T. Lester dan nama-nama yang dikutip kebanyakan dari kalangan ini: Gerd R. Joseph Puin, Bothmer, Rippin, R. Stephen Humphreys, Gunter Lulling, Yehuda D. Nevo, Patricia Crone, Michael Cook, James Bellamy, William Muir, Lambton, Tolstove, Morozov dan Wansbrough. la juga berupaya meyakinkan munculnya cuaca segar di mana dunia Islam mulai menunjukkan langkah positif terhadap gerakan revisionism. Dalam kategori ini ia menyebut nama-nama seperti Nasr AN Zaid, Taha Husain, 'All Dushti, Muhammad 'Abdu, Ahmad Amin, Fazlur Rahman, dan akhirnya Muhammad Arkoun dan pesannya yang begitu gencar dalam memerangi pikiran konservatif.l7 Sedang aliran pemikiran dari kalangan ilmuwan tradisional semua dicampakkan, kecuali nama Muhammad 'Abdu yang kontroversial dimasukkan ke dalam daftar.
Akan tetapi, apakah sebenarnya aliran revisionisme itu? Di sini, T. Lester gagal memberi definisi terperinci, maka di sini izinkanlah saya memberi peluang Yehuda Nevo, salah satu sumber utama yang ia kutip membantu mendefinisikannya:
Pendekatan kaum "revisionis" sama sekali bersifat monolitik ... (akan tetapi mereka) bersatu dalam menolak validitas sejarah pada sejumlah masalah semata-mata berdasarkan fakta-fakta yang diserap dari sumber literatur Muslim. Informasi yang mereka peroleh hendaknya diperkuat dengan data-data kasar yang masih ada... Sumber-sumber tertulis harus diteliti dan dihadapkan dengan bukti dari luar dan jika terdapat silang di antara keduanya, yang kedua harus diberi prioritas lebih.18
Karena bukti dari luar sangat diperlukan dalam memberi pengesahan pendapat setiap Muslim, maka tidak adanya bukti kuat akan membantu penolakan anggapan dan memberi pernyataan secara tidak langsung tentang permasalahan yang tidak pernah terjadi.
Karena tidak adanya bukti yang dikehendaki di luar pendapat tradisional, maka akan jadi bukti positif dalam memperkuat hipotesis terhadap sesuatu yang tidak pernah terjadi. Contoh nyata adalah kurangnya bukti di luar literatur Muslim, di mana berdasarkan fakta yang ada semua orang Arab sudah memeluk agama Islam saat terjadi penaklukan kota Mekah.19
 
Hasil pendekatan revisionis tidak lain ingin menghapus sejarah Islam secara menyeluruh dan pemalsuan terhadap yang lain di mana peristiwa seperti munculnya berhala di kota Mekah sebelum Islam, permukiman Yahudi di Madinah, dan kemenangan umat Islam terhadap Byzantin atau imperium Byzantin di Syria semuanya ditolak. Pada dasarnya, gerakan revisionisme memandang bahwa berhala yang ada di Mekah sebelum Islam semata-mata penjelmaan khayal dari budaya keberhalaan yang berkembang di sebelah selatan Palestina.20
Masalah sentral yang perlu mendapat penjelasan di sini adalah adanya tujuan pasti di balik penemuan yang ada. Hal tersebut bukan muncul secara vacum atau terjadi dengan tanpa rencana di atas pangkuan para Ilmuwan. Mereka merupakan gagasan dari sebuah ideologi dan arena politik yang dibuat secara terselubung di balik kemajuan penelitian akademik.21
Berbagai upaya pengaburan ajaran Islam dan Kitab Sucinya bermula sejak lahirnya agama tersebut, kendati strategi di balik itu mengalami peru­bahan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Sejak agama Islam lahir hingga abad ke tiga betas hijriah atau abad ke tujuh dan ke delapan hingga abad ke tiga betas setelah hijriah (dari abad ketujuh hingga delapan betas masehi), tujuan utamanya adalah bagaimana memberi proteksi kuat agama Kristen dalam menghadapi arus kemajuan agama ini di Irak, Suriah, Palestina, Mesir, Libya dll. Salah satu contoh nyata dari masa ini adalah Yohannes dari Damascus (35­133 hijriah./675-750 Masehi), Peter The Venerable (1084-1156 Masehi), Robert of Ketton (1084-1156 Masehi), Raymond Lull (1235-1316 Masehi), Martin Luther (1483-1546 Masehi), Ludovico Marraci (1612-1700 Masehi). Mereka memperalat pena dengan cara yang tidak sederhana menghendaki sikap ketololan dan pemalsuan. Dipicu oleh semangat perubahan politik yang menguntungkan dan dimulainya penjajahan sejak abad kedelapan betas hingga seterusnya, tahap kedua penyerangan terhadap agama Islam menunjukkan perubahan sikap setelah melihat banyak orang masuk Islam atau sekurang­kurangnya munculnya rasa bangga dan penentangan yang lahir dari kepercayaan mereka terhadap Allah.
Abraham Geiger (1810-1874) termasuk pada masa kedua. Disertasinya berjudul What hat Mohammaed aus den Judettum aufgenommen? ('Apa yang diambil oleh Muhammad dari agama Yahudi?') merupakan upaya menguak pencarian pengaruh tersembunyi terhadap Al-Qur'an yang menyebabkan lahirnya buku-buku dan artikel yang tak terhingga jumlahnya dengan tujuan hendak memberi anggapan seperti halnya Kitab Injil yang palsu dan penuh kesalahan.
Bab-Bab berikut akan menampilkan nama-nama lain yang jadi pelopor periode ke dua, seperti Noldeke (1836-1930), Goldziher (1850-1921), Hurgonje (1857-1936), Bergstrasser (1886-19330, Tisdall (1859-19280, Jeffery (d.1952) dan Schact (1902-1969). Kelompok ketiga bermula dari pertengahan abad ke-20 sejak berdirinya negara Israel, secara aktif berupaya melenyapkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mengutuk kebiadaban perilaku kaum Yahudi. Di antara pengikut aliran ini adalah Rippin, Crone, Power, Calder dan, tidak ketinggalan juga Wansbrough. Teori mereka menyebut bahwa Al-Qur'an dan hadith merupakan produksi masyarakat yang selama dua abad secara fiktif dinisbahkan pada seorang Nabi Arab berdasarkan prototype yang dilakukan oleh orang Yahudi yang tentunya merupakan pendekatan paling keji dalam menepis AI-Qur' an dari statusnya yang suci.
Beberapa dasawarsa-dasawarsa yang silam mulai menyaksikan pen­dewasaan kedua kelompok terakhir dengan agak cepat dalam menggunakan cara-cara yang agak fair dalam menyerang Al-Qur'an yang dikemas melalui kontekstualisasi budaya, di mana dianggap sebagai basil dari masa tertentu yang sudah usang dari sebuah kitab yang berlaku bagi semua ruang dan waktu.
Islam tradisional tidak begitu gamang jika disebut bahwa wahyu merefleksikan milieu saat ia diturunkan... Akan tetapi Islam tradisional tidak pernah membuat lompatan dari suatu pemikiran bahwa kitab yang berkaitan dengan masyarakat di mana ia diwahyukan pada sebuah gejala yang merupakan produk masyarakat itu sendiri. Bagi sebagian besar umat Islam di dunia modern, gerakan penting apa pun dari sebuah aliran pemikiran tak mungkin jadi pilihan dalam waktu dekat.22
 
Pendapat itulah yang menyulut inspirasi Nasir Abu Zaid (seorang yang telah dinyatakan murtad oleh pengadilan tinggi Mesir yang menurut Cook, sebagai "Muslim sekuler"23), di mana keyakinan utama tentang Al-Qur'an sebagai berikut,
Jika teks Al-Qur'an adalah risalah yang ditujukan kepada orang Arab pada abad ke tujuh, maka tentu dibuat formulasi dengan suatu cara yang secara spesifik berdasarkan sejarah sesuai dengan bahasa dan kultur yang ada. Jika demikian halnya, maka, Al-Qur'an dibentuk sesuai dengan susunan kemanusiaan (a human setting). la merupakan produk kebudayaan', suatu ungkapan yang sering dipakai Abu Zayd, yang dinyatakan di depan Mahkamah kasasi yang menempatkan ia sebagai orang kaflr.24
 
Pendekatan Al-Qur'an melalui pendapat tekstual tampak cukup lunak bagi yang merasa belum kenal; Bagaimana mungkin bahaya dari konsep pemikiran sebagai pendekatan secara 'semantik' dan linguistik tekstual ter­hadap Al-Qur'an? Perhatian utama bukanlah kajian terhadap teks itu sendiri dan perkembangan evo]usinya, melainkan bagaimana bentuk struktur Al­Qur'an diambil dari literature bahasa Arab di abad ke-7/ke-8.25
Berbicara tentang ilmuwan Kitab Injil seperti Van Buren, Professor E.L. Mascall menjelaskan, "(ia) menemukan dasar-dasar petunjuk tentang seku­larisasi Kristen dalam aliran filsafat yang biasanya dikenal dengan analisis dari segi bahasa."26 Jika hal yang demikian dimaksudkan pada analisis bahasa kajian Kitab Injil, apakah motif lain dalam mengaplikasikan pendekatan ini terhadap kajian Al-Qur'an?
Hal ini di luar bidang dari apa yang dapat diterima oleh kalangan umat Islam, strategi lain adalah keinginan mengubah naskah suci Al-Qur'an melalui terjemahan bahasa sehari-hari yang kemudian mengangkatnya sederajat dengan bahasa Arab asli. Dengan cara demikian masyarakat Muslim, di mana tiga perempatnya bukan Arab, akan dapat mengalami keterputusan dari wahyu Allah yang sebenarnya.
Adalah sangat tidak tepat antara bahasa Arab Al-Qur'an dan bahasa setempat pada tingkat pendidikan dasar. Ketegangan semakin runyam setelah melihat fakta bahwa gerakan modernitas bermaksud menguatkan perhatian dalam mencerdaskan kitab suci di kalangan sebagian besar orang-orang yang beriman. Seperti dikatakan oleh tokoh nasionalis Turki, Ziya Gokalp (w.1924), "Suatu negeri di mana di sekolah-sekolah mengajar Al-Qur'an pada setiap orang dalam bahasa Turki merupakan fakta bahwa tiap orang tua dan muda dapat mengenal perintah Tuhan."27
 
Setelah menjelaskan usaha sia-sia yang dilakukan oleh Turki dalam mengubah Al-Qur' an dengan bahasa mereka, Michael Cook menyimpulkan,
Kini dunia Muslim non-Arab menunjukkan sedikit tanda-tanda ingin mengikuti pemikiran bahasa kitab sehari-hari menurut cara yang terjadi pada abad ke enam belas yang dilakukan oleh orang-orang Protestan atau pada abad kedua puluh seperti yang dilakukan oleh orang-orang Katolik.28
 
Jika semua upaya penipuan dalam keadaan serbamentok, jalan terakhir seperti ditegaskan oleh Cook:
Di kalangan masyarakat Barat modern, terdapat aksiomatik di mana kepercayaan agama orang lain (kendati, tentu saja, tidak semua orang ter­motivasi oleh perilaku keagamaan) harus diberi sikap toleransi dan bahkan dihormati. Tentunya akan dianggap sebagai langkah keliru dan picik untuk menyatakan pendapat keagamaan orang lain sebagai hal yang salah dan agama sendiri adalah benar... Anggapan akan kebenaran mutlak dalam masalah keagamaan sudah ketinggalan zaman dan tak mungkin dapat diharap lagi. Namun demikian, hal ini merupakan gejala yang mengemuka di kalangan Islam tradisi seperti dialami oleh kalangan Kristen tradisi, hanya saja di abad-abad terakhir terasa lebih dominan di kalangan Islam.29
 
Cook mengemukakan pendapatnya dalam tulisan yang berjudul "Sikap toleransi terhadap kepercayaan - orang lain", kendati yang dipaparkan menyentuh masalah universalisme. Dalam melihat sikap toleransi, Islam mempertahankan kejelasan ajarannya dalam mengatur hak-hak non-Muslim dan merupakan hal yang sangat terkenal. Serangan Cook tidak lain ingin menumbuhkan sikap keragu-raguan dan relativisme: suatu gejala penyamaan semua agama karena berpikir sebaliknya berarti mengkhianati diri sendiri sebagai sikap berpikir bodoh dan provincialisme'kampungan'. Sebenarnya, ini sistem perangkap yang lebih mudah bagi kalangan kontemporer Muslim yang tak terdidik secara balk. Sebagai akibat dari pikiran ini, "Terdapat kesepakatan dalam menolak segala bentuk rencana pembedaan antara non-Muslim, ilmu pengetahuan, dan kesarjanaan Muslim di masa sekarang mengenai sistem kajian Al-Qur'an."30
Sekarang muncul metode baru di kalangan ilmuwan Barat dalam menyerang tradisi buku-buku tafsir31 menuntut pembaruan segalanya. Dengan alasan hak tersendiri dalam menafsirkan kitab suci, kebanyakan orientalis menepis pendapat ulama Islam terdahulu dengan "alasan bahwa-karena tertipu oleh suatu anggapan bahwa Al-Qur'an sebagai kitab suci-mereka sudah barang tentu tidak dapat memahami isi teks yang ada dengan baik seperti para sarjana Barat memahaminya secara liberal.32 Basetti-Sani dan Youakim Moubarac keduanya ngototbahwa tafsiran AI-Qur'an mesti dibuat sejalan dengan ukuran kebenaran agama Kristen, suatu pernyataan yang mendapat acungan jempol dari W.C, Smith and Kenneth Cragg.33 Sebagai seorang pemimpin Gereja Anglican, Cragg menekankan agar umat Islam menghapus semua ayat yang diturtmkan di Madinah (dengan penekanan di bidang politik dan hukum) guna mempertahankan esensi ayat-ayat Makkiyyah yang secara umum lebih menyentuh masalah keesaan Tuhan (monotheism) di mana ayat Madaniyyah dianggap meremehkan nilai ketuhanan dari esensi pernyataan tiada tuhan melainkan Allah .34
Konsep pemikiran ini bermaksud hendak "menggoyang" orang-orang yang lemah iman dan was-was dengan memperalat senjata "sikap sinis" kaum orientalis yang selalu menghujat serta menolak kitab asli yang mereka warisi agar semakin mudah menerima ideologi Barat. Artikel yang ditulis Toby Lester dapat dianggap sebagai kartu baru menggunakan fragmentasi Qur'an Yaman sebagai umpan. Pada dasarnya Dr. Puin menolak semua penemuan yang dinisbatkan T. Lester kepadanya dengan menepis beberapa perbedaan ejaan dan perkataan. Berikut adalah sebagian dari surat asli Dr. Puin yang ditulis untuk Qadi Ismail al-Akwa' beberapa saat setelah muncul tulisan Lester­dengan terjemahannya.35



Gambar 1.1  Sebagian dari surat asli Dr. Puin kepada al-Qadi al-Akwa'

Hal yang sangat penting, puji syukur pada Allah bahwa fragmentasi mushaf dari Yaman tidak berbeda dengan yang terdapat di berbagai museum dan perpustakaan di tempat lain dengan beberapa penjelasan yang tidak mengena dengan Al-Qur an, kecuali beberapa perbedaan dalam ejaan kata-kata. Hal ini merupakan suatu yang dikenal di kalangan luas bahwa seperti Qur' an yang diterbitkan di Cairo:
 
kata Ibrahim tertulis ( ) menjadi Ibrhm ( )
Qur'an juga ditulis ( ) menjadi Qrn ( )
Simahum tertulis( ) menjadi Simhum ( ) etc.
Lihat teks gambar No. 1.1 hlm. 12. Dalam fragmentasi Al-Qur'an kuno yang terdapat di Yaman, tidak dituliskannya huruf alif merupakan gejala umum.
 
Hal ini dapat menurunkan nilai perdebatan yang ada serta melenyapkan kekaburan jaringan licik di sekitar penemuan Dr. Puin membuat sebagai topik bahasan yang tidak perlu mengundang spekulasi lebih jauh.36 Marilah ambil perumpamaan sekiranya penemuan itu benar, lantas bagaimana tanggapan kita? Di sini kita dihadapkan pada tiga permasalahan:
 
(1). Apakah Al-Qur' an itu?(2). Jika seluruh naskah tidak ada atau sebagian ditemukan saat sekarang maupun yang akan diklaim sebagai Al-Qur'an tapi berbeda dari yang ada di tangan kita, apa pengaruhnya terhadap teks Al-Qur' an sekarang?
(3). Siapa yang berhak memegang otoritas Al-Qur'an, dalam hal penulisan tentang agama dan sejarahnya?
 
Ini semua akan diperjelas dalam tulisan ini guna mendobrak bukan saja jawaban-jawaban yang diperlukan melainkan juga logika penentu sikap mereka:

a). Al-Qur'an adalah kalamullah, risalah terakhir untuk umat manusia,
diwahyukan pada Rasul terakhir, Muhammad, yang meruang dan sewaktu. la
terpelihara di segi keaslian bahasa tanpa perubahan, tambahan, maupun pengurangan.
b). Tak akan ada penemuan Qur'an, baik secara fragmentasi maupun seluruhnya, yang berlainan dari teks yang ada di seluruh dunia. Jika ada, maka tidak akan dianggap sebagai Al-Qur'an, karena satu syarat utama penerimaannya mesti sesuai dengan teks yang digunakan dalam mushaf 'Uthmani.37
c). Tentu saja siapa pun tak berhak melarang seseorang menulis tentang Islam, akan tetapi hanya seorang Muslim yang taat memiliki wewenang yang sah melakukan tugas tersebut dan bahasan lain yang ada hubung­annya. Mungkin pihak lain menganggap hal ini sebagai prasangka; tetapi siapakah yang tak bersikap demikian? Di luar kalangan Islam tidak dapat mengklaim sikap netral karena tulisan mereka sengaja ingin mengalihkan pikiran orang lain. Apakah ajaran Islam dapat menerima atau tidak ter­gantung kepercayaan masing-masing dan setiap penafsiran dari pihak Kristen, Yahudi, atheis, atau orang Islam yang tidak mau menjalankan Shari'atnya harus ditolak secara tegas. Saya dapat tambahkan jika tiap pandangan yang disukai bertentangan dengan dasar ajaran Nabi Muhammad saw. balk secara eksplisit mau pun sebaliknya, ia mesti ditolak dan hal ini berlaku bagi tulisan seorang Muslim yang taat sekalipun dapat ditepis sekiranya tidak ada gunanya. Bentuk selektivitas seperti ini berlaku sejak masa keemasan pemerintahan Ibn Sirin (w.110 H./728 M.):


 
Ilmu ini merupakan agama Anda, maka hendaknya berhati-hati dari mana Anda mengambil agama.38

Mungkin pihak lain menganggap umat Islam tidak memiliki alasan kuat dalam merespons metode keilmuan orang lain. Masalahnya, bagi orang Islam berlandaskan sepenuhnya pada keimanan bukan asal akal-akalan. Di sini saya perlu mengemukakan pendapat dalam menyikapi penemuan mereka dalam bab-bab berikut. Awalnya akan saya ceritakan beberapa bagian sejarah Islam sebagai titik awal memasuki kajian lebih dalam mengenai Al-Qur'an.
 

1. Qur'an, 5:8
2. Dikutip oleh M. Broomhall, Islam in China, New Impression, London, 1987, hlm. 2.
3. Seperti penjelasan Lester. Kendati dalam tulisannya memberi ejaan Qur'an dengan Koran, hal ini secara teknis tidak benar dan saya akan menggunakan ejaan secara tepat jika tidak langsung mencatat dari ayat.
4. Lester, hlm. 46.
5. Ibid.., h1m.46-47.
6. London, 18 Februari, 1999.
7. Lester, hlm.44, dengan penambahan cetak miring (italic).
8. Ibid., hlm. 45.Diberi tambahan dalam cetak miring. Perlu kiranya dicatat bahwa semua penilaian konyol telah dilemparkan jauh sebelum seseorang mempelajari secara sungguh-sungguh tentang naskah asli. Hal ini merupakan tipikal keilmuan dan pendekatan para orientalis.
9. Ibid., h1m.46.
10. Lihat buku ini pada hlm. 51-53.
11. Lester, hlm. 54.
12. Ibid., hlm. 54.
13. Ibid., hlm. 55
14. 1bid., hIm.55.
15. Sebagai tambahan, dalam penilaian saya the Turk ve Islam Eseleri Muzesi (Museum Kebudayaan Islam) memiliki koleksi lebih besar dari yang ada di Yaman. Sayangnya saya tidak diizinkan melihat koleksi ini. Keadaan ini masih spekulatif kendati menurut F. Deroche, ia menampung lebih kurang 210,000 folios ("The Qur'an of Amagur", Manuscript of the Middle East, Leiden, 1990-91, vo1.5, h1m.59).
16. Lester, hlm. 44, dengan tambahan cetak miring.
17. Ibid., hlm.56.
18. J. Koren dan Y.D. Nevo, "Methodological Approaches to Islamic Studies", Der Islam, Band 68, Heft l, 1991, hlm.89-90.
19. Ibid., hlm.92.
20. Ibid., hIm.100-102. Lihat juga buku ini pada hlm. 376-8.
21. Topik bahasan lebih mendasar dapat dilihat pada bab 19.
22. Michael Cook, The Koran: AQ Very Short introduction, Oxford Univ. Press, 2000, hlm.44.
23. Ibid., hlm..46.
24. Ibid., hlm. 46.
25. Untuk lebih jelas, harap di lihat Stefan Wild's (ed.), Preface to The Qur'an as Text, E.J. Brill, Leiden, 1996, hlm. vii-xi.
26. E.L. Mascall, The Secularization of Christianity, Darton, Longman & Todd Ltd., London,
1965, hlm. 41. Dr. Paul M. Van Buren adalah penulis buku "The Secular Meaning of the Gospel", yang ditulis menurut sistem analisis bahasa Injil (ibid, hlm. 41.)
27. M. Cook, The Koran: A Very Short Introduction, hlm.26. Yang menarik Ziya Gokalp merupakan Domna Yahudi yang masuk Islam (M. Qutb, al-Mustashriqun wa al-Islam, hlm. 198).
28. M. Cook, The Koran: A Very Short Introduction, h1m.27.
29. Ibid., h1m.33, dengan penambahan penekanan. Kata-kata Cook berbunyi, "Hal itu merupakan masalah utama dalam tradisi Islam", yang (mungkin) dianggap tidak cocok lagi untuk Islam modem.
30. Stefan Wild (ed.), The Qur'an as Text, p.x. Aslinya tertulis 'was' instead of 'is', akan tetapi perubahan waktu (tense) rasanya biasa saja seperti tidak ada suatu perubahan. Sebenarnya, tradisi keilmuan Muslim tentang Al-Qur'an selalu diletakkan pada posisi kelas dua di kalangan ilmuwan Barat, mengingat yang pertama tetap berpegang teguh pada tradisi sedang ke dua menghendaki adanya sistem perubahan atau revionism.
31. Tafsir Al-Qur'an an.
32. W.C. Smith, "The True Meaning of Scripture", IJMES, vol. 11 (1980), hlm..498.
33. Peter Ford, "The Qur'an as Sacred Scripture", Muslim World, vol. xxxiii, no.2, April 1993, hlm.151-53.
34. A. Saeed, "Rethinking Revelation as Condition for Interpretation of the Qur'an: A Qur'anic Perspective", JQS, I-93-114.
35. Guna mengetahui teks bahasa Arab seluruhnya dari surat yang dikirim, dapat dilihat pada surat kabar harian, ath-Thawra, isu 24.11.1419 A.H./11.3.1999.
36. Tercantum penemuan Puin dan anggapannya pada hlm. 349-351
37. Bentuk teks yang menunjukkan variasi dalam bentuk tulisan dapat dilihat pada bab ke-9, ke­10, dan ke-11. Namun demikian kita memberi pertimbangan bahwa terdapat lebih dari 250,000 manuskrip Al-Qur'an di seluruh dunia (harap dilihat pada hlm. 352.)
38. Sebenarnya Ibn Hibban merujuk kata-kata ini pada sahabat lain, seperti Abd Huraira (w.58 hijriah), Ibrahim an-Nakha'i (w.96 hijriah), ad-Dahhak bin Muzahim (w.circa 100 setelah hijrah), al­asan al-Basri (w. 110 hijriah), dan Zaid bin Aslam (w.136 hijriah). (Ibn Hibban, al-Majruhin, i:21-23).
INDEX NEXT >