16 Apr 2012

BANGUNAN WACANA GENDER[1]


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِِ



Oleh: Muhammad Hadidi
Jurusan Syriah Universitas Muhammadiyah Malang

Gender merupakan satu di antara sejumlah wacana –yang bisa disebut- kontemporer yang cukup menyita perhatian banyak kalangan, mulai para remaja, kalangan aktivis pergerakan, akademisi dan mahasiswa, kalangan legislatif dan pemerintah, hingga para agamawan. Maksud wacana ini adalah memutus ketidakadilan sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin, selanjutnya berupaya mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada aspek sosialnya.
Dengan masuknya wacana ini pada wilayah keislaman, maka para intelektual Muslim sudah tentu tidak dapat begitu saja memproteksi diri dengan mengabaikan pembacaan wacana ini. Meski tetap dengan pemahaman bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai wacana, gender tetap dapat dibaca dari sudut pandang mana akan dimulai. Makalah ini memberikan analisis atas bangunan wacana gender dalam kerangka menentukan sikap dalam membaca dan berinteraksi dengan wacana ini.

A.    Menelusuri Bangunan Wacana Gender

Pembicaraan tentang masalah gender biasanya diawali dengan pembedaan secara ketat antara dua istilah, yaitu “gender” dan “sex”. Kedua istilah ini memiliki makna yang sama: “jenis kelamin”. Namun keduanya berbeda dalam konotasinya; sex berkonotasi natural dan bersifat “given”, karenanya ciri-ciri yang dikandungnya merupakan ciri-ciri biologis dengan segala sifat dan watak yang mengikuti ciri biologis itu, sedang gender berkonotasi kebiasaan atau sifat-sifat sebagai human construction atau social and cultural construction. Jika yang pertama, segala sifat dan cirinya tidak bisa dipertukarkan, sedang pada yang kedua dapat dipertukarkan.
Pembedaan semacam ini dianggap penting karena sekalipun gender merupakan bidang pembicaraan yang kompleks, kontrovesial, bahkan mengundang resistensi,[2] namun wilayah kajiannya tetap dapat dibatasi, sekaligus dapat sebagai garis ukur terhadap aliran pemikiran tertentu yang, bisa dikatakan, telah melewati marka lalu lintasnya.
Hampir seluruh argumen dalam kajian gender berawal dari suatu asumsi, bahwa perbedaan gender, bahkan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses sejarah yang panjang dan dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial dan kultural, termasuk melalui tradisi keagamaan. Sebagaimana sifat tradisi dan kebiasaan lainnya, proses panjang pembentukan gender, pada umumnya juga sebagai suatu proses yang tidak disadari sehingga dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya natural, kodrati dan ketentuan Tuhan.[3]
Atas asumsi ini, wacana gender kemudian terlibat dalam dua agenda sekaligus, pertama, melakukan penelusuran tiada henti terhadap geneologi pembentukan tradisi yang disebutnya sebagai patriarkal.[4] Upaya ini, katanya, dalam rangka “menyadarkan” bahwa perbedaan dan ketidaksetaraan gender itu benar-benar bersifat sosial dan kultural. Aplikasi agenda ini, antara lain dengan maraknya upaya-upaya melakukan reinterpretasi terhadap sumber, norma, atau apa saja yang menjadi dasar dari bangunan tradisi dan budaya pada masyarakat tertentu. Kedua, melakukan perubahan; awalnya perubahan persepsi, lalu pola pikir, dan akhirnya perubahan tradisi dan budaya yang, menurutnya, berkeadilan gender.[5] Agenda kedua ini, aplikasinya bisa hanya sekedar latihan-latihan keterampilan, upaya pemberdayaan sampai lahirnya gerakan-gerakan keperempuanan (feminisme).
Dengan demikian gender bukanlah sekedar istilah, tetapi merupakan konsep yang sarat nilai dan terkandung di dalamnya misi, filosofi, dan bahkan ideologi tersendiri. Hal ini yang menurut penulis, para pegiat gender di kalangan umat Islam Indonesia, kecuali hanya sedikit dari mereka, pada umumnya tidak membekali diri dengan pemahaman tentang apa akar-akar pemikiran gender dan bagaimana basis ‘ideologinya’. Sehingga yang ada tidak lebih dari sekumpulan para wanita dengan beberapa kegiatannya sebagaimana kelompok-kelompok wanita yang telah ada sebelumnya, seperti “dharma wanita”, PKK, dll. Padahal sebagai pemikiran, gender bisa saja berbeda atau bertentangan dengan tradisi dan budaya mereka. Atau, di lain pihak malah melakukan tuntutan kebebasan pada beberapa aspek kehidupan, misalnya dalam politik, ekonomi, seni, dll., dengan dalih kesetaraan gender. Sehingga gender hanya digunakan sebagai “tempat berlindung” atau sebagai “atas nama”. Tampaknya, kondisi demikian yang membuat gender memiliki semakin banyak makna konotasinya, sekaligus membuat watak aslinya menjadi dikaburkan.
Maka membaca wacana gender perlu melakukan penelusuran terhadap akar-akar yang membangunnya. Berikut ini disampaikan beberapa anasir yang menggambarkan perjalanan wacana ini sampai hari ini.
1.      Gender sebagai gerakan
Di sini, gender dalam pengertiannya sebagai gerakan keperempuanan (feminisme). Wilayah ini menjadi garapan pegiat feminisme yang biasanya membentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) atau organisasi, baik mandiri ataupun berafiliasi dengan ormas tertentu atau dengan lembaga-lembaga pemerintah. Kegiatan yang dilakukan, pada umumnya mengambil salah satu atau beberapa dari bidang berikut ini: penelitian,  penyuluhan,  produksi ide,  gerakan utk kesehatan reproduksi, advokasi atas kekerasan perempuan, pelatihan-pelatihan, peningkatan pendidikan, dll.
Meski terkadang tampak memiliki kesamaan bidang kegiatan, namun LSM Feminis ternyata terdiri dari beberapa karakter, bisa dikatakan, tergantung pada ‘basis ideologi’ yang dianut. Ada sejumlah aliran besar feminisme yang selama ini menjadi kiblat LSM-LSM itu, yaitu: aliran feminisme liberal, feminisme kultural, feminisme radikal, dan feminisme sosialis.[6]
Feminisme liberal, dalam perjuangannya menekankan pada hak-hak sipil kaum perempuan. Aliran ini juga memandang bahwa kaum perempuan bebas mengambil keputusan atas seksualitasnya dan hak reproduksi mereka. Lalu feminisme kultural yang juga disebut feminisme reformatif dan feminisme romantis. Aliran ini lebih mengaitkan nilai kehidupan dengan nilai tradisional perempuan, seperti bela rasa, pengasuhan, pengelolaan lingkungan hidup, dan nilai kemanusiaan yang menekankan moral. Feminisme radikal menekankan penghapusan merajalelanya dominasi laki-laki terhadap kehidupan. Dimulai dari dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian muncul berbagai dominasi berbasis kekuasaan. Sedangkan, feminisme sosialis menekankan perhatiannya pada persoalan dominasi laki-laki kapitalis berkulit putih dalam perjuangan keadilan ekonomi global.
Di samping itu, terdapat beberapa aliran baru yang cukup berpengaruh, seperti feminis spiritualis, ekofeminis, dll. Feminis spiritualis sebenarnya merupakan peneguhan pandangan kaum feminis radikal. Menurut mereka, spiritualitas itu bersifat eksperiensial (berbasis pengalaman), ia bukanlah teori abstrak melainkan realitas yang dihidupi secara personal. Pertumbuhan spiritualitas feminis tidak terjadi secara gaib, tetapi berproses secara sadar dan oleh karena itu melalui pergumulan pada setiap pribadi. Sedang ekofeminis mengkaitkan keprihatinan perempuan atas gencarnya pembangunan namun merusak lingkungan hidup, khususnya lingkungan alam.
Untuk kasus Indonesia, sebagaimana beberapa pengamat gender, aliran yang paling dominan adalah feminisme libaral. Dominasi aliran ini seiring dengan gejala liberalisasi global, yang akan memberi kesempatan untuk perdagangan bebas. Jika dirunut lebih jauh, liberalisasi ini merupakan bagian dari faham kapitalisme.[7] Peningkatan peran perempuan pada berbagai sektor, berarti menambah peluang pasar.
Kapitalisme, ideologi besar ini yang selalu bersaing dengan sosialis-Marxis. Bagi orang-orang Marxis, terdapat asumsi jika keadilan sudah diwujudkan dalam masyarakat, apalagi masyarakat tanpa kelas, maka dengan sendirinya semua masalah yang dimunculkan akibat ketidaksetaraan akan teratasi. Classless society akan memunculkan genderless society. Demikian kira-kira cara berfikir feminisme Marxis.
Pembicaraan ini tidak sampai menguraikan bagaimana sejarah pertumbuhan feminisme liberal, yang konon, tumbuh pertama kali di Amerika yang cikal bakalnya sudah dimulai sejak tahun 1800-an. Namun paling tidak, ada cukup punya alasan jika ada penolakan terhadap pemikiran gender.
Satu catatan yang dapat kita buat, bahwa pada aspek ini problem gender tampak telibat resistensi politis, bahkan terlibat pada gerakan fisik. Inilah yang oleh kaum feminis disebut dengan gelombang pertama feminisme.
2.      Gender sebagai diskursus kefilsafatan
Anasir ini, banyak yang menyebutnya sebagai bagian terpenting dari wacana gender. Namun anasir ini juga yang paling tidak disadari oleh para pegiat atau para “jurkam” gender pada umumnya.[8] Dalam konstruksi teoritis feminisme, masuknya persoalan gender ke dalam diskursus filsafat ini, sering disebut gerakan feminisme pada gelombang kedua.
Sebagai bagian dari diskursus kefilsafatan, gender sudah tentu memiliki sifat dan karakteristik sebagaimana kajian filsafat pada umumnya. Problem kefilsafatan merupakan problem kemanusiaan (human construction). Sasaran kajian filsafat adalah pola pikir manusia. Maka filsafat adalah ilmu tentang pola pikir manusia. Jika dalam gender, disebut-sebut perempuan sebagai objek wilayah kajiannya, maka yang sebenarnya terjadi, gender tidak pernah menyentuh objeknya secara langsung. Sebagai diskursus kefilsafatan, objek kajian gender adalah pola pikir manusia tentang perempuan, bukan para perempuan itu sendiri.
Pandangan ini juga menunjukkan bahwa jika gender menginginkan perubahan maka perubahan yang dimaksud adalah perubahan pola pikir, meskipun endingnya juga pola pikir kolektif (masyarakat). Pada wilayah ini, gender memang bisa dikatakan kawasan elitis; hanya menjadi pembicaraan kaum terbatas, yakni mereka yang memiliki ketertarikan terhadap kajian kefilsafatan.
Dari perspektif ini, kemunculan gender sebagai bagian dari diskursus kefilsafatan tidak dapat dilepaskan dari semangat pemikiran POSMO. Wacana gender, bahkan dikatakan, mendapati basis kefilsafatannya dari pemikiran ini. Maka beberapa filsuf yang berada di bawah panji POSMO memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap wacana gender ini, seperti Michel Foucault dengan discoursenya, Jacques Derrida dengan deconstructionnya, dll.
Setidaknya ada empat tema besar dalam pemikiran posmodern, yaitu semangat relativitas, dekonstruksi, rekonstruksi dan pluralitas. Kaitannya dengan gender, tema relativitas digunakan untuk ‘memecah’ teka teki bahwa apapun yang sifatnya human construction adalah relatif, termasuk budaya patriarki. Oleh karena itu, tidak ada halangan untuk dilakukan pembongkaran untuk menemukan asal-usul (geneologi), sumber dan akar-akar budaya ini. Upaya inilah yang, oleh mereka, disebut dekonstruksi.
Dekonstruksi atas akar-akar budaya patriarki memang hanya merupakan "sasaran antara", karena setelah itu, dengan leluasa melakukan eksperimen, yang disebutnya dengan upaya rekonstruksi: menata kembali budaya yang tidak pilih-pilih kasih, budaya yang berkeadilan gender. Meski tetap dengan kesadaran bahwa masing-masing suku, bangsa, tradisi memperoleh hak yang sama dalam apresiasi atas makna keadilan gender, sehingga tidak ada paksaan dari satu tradisi kepada tradisi lainnya. Masing-masing tradisi diberikan eksistensi dalam memaknai “kesetaraan gender”. Pemahaman semacam ini yang mereka sebut dengan pluralitas. Inilah keterkaitan isu gender dengan pemikiran POSMO.[9]
Pada tataran ini, kiranya juga cukup wajar jika kalangan agamawan merasa keberatan atas merebaknya isu gender, yang umumnya meyakini bahwa tradisi (keagamaan) adalah suatu tatanan yang dibangun di atas nilai-nilai agama.  Namun atas nama gender, tradisi itu lalu dibongkar begitu saja.
Pemikiran lain yang juga bisa dikatakan pemberi energi atas wacana gender adalah pemikiran New Left dan khususnya dari Habermas. Refleksi filsafat Habermas terkumpul dalam istilah Critical Theory (teori kritis). Sesuai dengan istilahnya, inti dari teori ini adalah ‘kritik’ yang disebutnya sebagai self reflection. Atas teorinya ini, Habermas dianggap berhasil meletakkan dasar-dasar bagaimana membaca dan memaknai sejarah dan tradisi, serta melakukan reinterpretasi.[10]
Dengan self reflectionnya, Teori Kritis mengajak untuk terjaga dari ‘tidur’ dan bersikap kritis di tengah dunia-kehidupan, tradisi dan sistem masyarakat, serta melakukan ‘penyegaran’ terhadap kebekuan budaya. Karena, jika tidak kritis terhadap tradisi, maka akan jatuh pada ketidaksadaran. Dalam kondisi demikian, bisa saja suatu ideologi tertentu (atau kepentingan tertentu) sengaja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk meninabubukkan masyarakat, dan akhirnya mengeksploitasi dan melakukan tindakan oppressive.
Dalam pandangan Teori Kritis, selama ini ilmuwan dan masyarakat umumnya menganggap sejarah dan tradisi sebagai sesuatu yang taken for granted, sebagai sesuatu yang memang demikian adanya. Mereka tidak kritis, tidak lagi mempertanyakan, mana yang natural dan mana yang memang human construction atau social construction. Bagi Teori Kritis, ilmuwan tidak cukup jika hanya duduk di belakang meja kerja sibuk membangun teori, sementara tidak memiliki kepakaan terhadap problem sosial masyarakatnya. Sebaliknya, para ilmuwan harus terlibat dalam praktek, bahkan kegiatan keilmuan tak lain dari praktek itu sendiri. Mereka harus dekat dan berkomunikasi dari hati ke hati dengan masyarakat luas.
Berbeda dengan Old Left yang memanfaatkan proletariat kaum buruh sebagai subjek perubahan, Teori Kritis justru menggunakan kalangan intelektual dan ilmuwan untuk mengadakan perubahan. Bagi Habermas, tidak mungkin mengharapkan kaum buruh proletar sebagai subjek perubahan (revolusi), karena kesadaran kelas mereka hilang, terintegrasi pada sistem kesadaran kapitalis. Oleh karena itu, jika ingin terdapat perubahan struktur di dalam masyarakat, ilmuwan dengan masyarakat komunikasi yang dibangun, harus terus melakukan komunikasi, diskusi-diskusi bebas, dan membangun wacana serta yang terpenting melakukan praksis emansipatoris.
Dari sinilah, yang menurut penulis, untuk di Indonesia terlahir tokoh-tokoh feminis seperti Wardah Hafidz, Gadis Arivia, Karlina Leksono, Ayu Utami, Lies Mascoes Natsir, Wilasih Noviana, dll. Mereka adalah ilmuwan dan sekaligus aktivis pergerakan.
3.      Dari isu sosial ke isu keagamaan
Sosiolog Emile Durkheim dalam suatu karyanya pernah menyatakan: “…that nearly all the great social institutions were born in religion…. If religion gave birth to all that is essential in sociaty, that is so because the idea of sociaty is the soul of religion.”[11] Pernyataan Durkheim ini, dengan tanpa mendiskusikannya pada wilayah teologis, menunjukkan sedemikian kuatnya peranan dan posisi agama dalam tatanan kehidupan sosial. “Hampir semua peradaban besar yang pernah tumbuh di muka bumi pada mulanya dimotivasi oleh keyakinan agama”, demikian pernyataan Dr. Komaruddin Hidayat dalam pidato pengukuhan guru besarnya[12]
Pernyataan Durkheim dan Komaruddin Hidayat di atas menunjukkan adanya keterkaitan antara wilayah sosial dan agama. Artinya, dalam hal ini, seberapapun masalah sosial itu tetap akan memiliki ketersinggungan dengan masalah agama, tidak kecuali masalah gender.
Dalam kajian gender, yang dianggap sebagai penyulut pemikiran dan gerakan gender adalah sebuah karya 'The Feminine Mystique' yang ditulis oleh Betty Friedan, yang penerbitannya mengambil momen reformasi di Amerika Serikat tahun 1963. Buku itu berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama 'National Organization for Woman' (NOW) di tahun 1966, yang gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundang-undangan, tulisan Betty berhasil mendorong dikeluarkannya 'Equal Pay Right' (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan 'Equal Right Act' (1964) di mana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan feminisme berjalan terus, dan di tahun 1967 dibentuklah 'Student for a Democratic Society' (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor, kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama. Dari sinilah mulai muncul kelompok 'feminisme radikal' dengan membentuk 'Women's Liberation Workshop' yang lebih dikenal dengan singkatan 'Women's Lib'. Dalam pandangan Women's Lib, peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Sehingga di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya 'Miss America Pegeant' di Atlantic City yang mereka anggap sebagai 'pelecehan terhadap kaum wanita' dan 'komersialisasi tubuh perempuan.' Gema 'pembebasan kaum perempuan' ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
Demikianlah, isu yang dibawa pemikiran gender pada awal sejarahnya adalah isu sosial. Gender dibangun atas keprihatinan terhadap masalah sosial, terutama pada masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi rendah, suatu hal yang tidak terjadi pada masyarakat muslim. Karena Islam menempatkan perempuan dan kaum ibu pada posisi yang terhormat.[13]
Pada awalnya, bangkitnya gerakan kaum perempuan itu mendapat banyak simpati bukan saja dari kaum perempuan sendiri tetapi juga dari banyak kaum laki-laki, tetapi perilaku kelompok feminisme radikal yang bersembunyi di balik 'women's liberation' telah melakukan usaha-usaha yang lebih radikal yang berbalik mendapat kritikan dan tantangan dari kaum perempuan sendiri dan lebih-lebih dari kaum laki-laki. Organisasi-organisasi agama kemudian juga menyatakan sikapnya yang kurang menerima tuntutan 'Women's Lib' itu karena mereka kemudian banyak mengusulkan pembebasan termasuk pembebasan kaum perempuan dari agama dan moralitasnya yang mereka anggap sebagai kaku dan buah dari 'agama patriachy' atau 'agama kaum laki-laki.'
Upaya gender memasuki wilayah agama ini membuat persoalan menjadi bertambah dan semakin kompleks. Karena pada umumnya, gender (atau ketidakadilan gender) lalu dianggap sebagai benar-benar masalah agama. Sehingga tradisi dan khazanah keagamaan dipertanyakan ulang. Awalnya memang dilakukan oleh kaum liberalisme kristen terhadap agama mereka sendiri, namun di Islam ternyata juga terpengaruh dan ikut-ikutan.
Di Islam umpamanya, ketika melihat fiqih dan tafsir yang dianggapnya bias gender, dikatakan sebagai "ketelodoran" utama fiqih Islam dan tafsir Al Quran konvensional. Para ulama fiqih pada periode awal telah "lengah" dalam menafsirkan ayat-ayat gender dalam Al Quran. Mereka hanya memahaminya secara literal. Akibatnya, hukum Islam saat ini dituduh telah menindas kaum perempuan, dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat kelas dua.
Ketersinggungan masalah gender dengan tradisi keagamaan, ternyata bukan hanya sebab kegamangan para agamawan atas derasnya isu-isu sosial, namun ‘fakta’ sejarah telah menunjukkan bahwa gender telah mengambil wilayah agama secara signifikan.
Dengan masuknya gender menjadi problem keagamaan seperti itu, wacana gender berarti mamasuki babak baru yang oleh aktivis feminis disebut gelombang ketiga feminisme. Pada babak ini, kesetaraan gender menjadi pertimbangan utama dalam setiap isu dan pemikiran keagamaan, termasuk isu moral dan pemikiran teologi. Sekalipun banyak ragamnya, pemikiran demikian kemudian melahirkan apa yang disebut dengan teologi feminis.
4.      Gender sebagai pendekatan dalam studi agama
Para peminat kajian agama (religious studies) melihat bahwa isu gender merupakan persoalan global, sehingga agama-agama di dunia harus angkat bicara atas isu ini. Disiplin ini juga akan membuktikan seberapa besar concern agama terhadap persoalan gender dan dalam memberikan solusi atas problem diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan berbudaya dan bermasayarakat. Secara lebih jauh, religious studies melihat problem gender sebagai upaya mempertemukan agama-agama.

B.     Gender dan Dekonstruksi Syari'ah

Dalam kaitannya dengan pemikiran dan keilmuan Islam, "dekonstruksi syari'ah" merupakan agenda tak terpisahkan dari wacana gender ini, di samping agenda-agenda yang lain. Agenda ini dimulai dengan asumsi bahwa pemikiran dan keilmuan Islam serta kitab-kitab keilmuan Islam hampir semuanya dikarang oleh laki-laki, sehingga bias gender, prasangka dan kepentingan jenis laki-laki boleh jadi sangat mewarnai pembahasanya. Katanya, seandainya pakar-pakar keislaman itu perempuan dan dapat mengembangkan sebuah pemikiran keislaman, meskipun berdasarkan nash yang sama, boleh jadi hasilnya sangat berbeda dengan pemikiran yang ada sekarang ini.
Asumsi ini tampaknya muncul setelah mereka melihat apa yang sebelumnya telah dilakukan oleh para ahli teolog perempuan Kristen. Melalui kajiannya terhadap karya-karya kaum teolog laki-laki mereka berhasil membongkar banyak prasangka dan bias yang sebetulnya tidak bersangkut paut dengan ajaran agama yang asli tetapi yang belakangan dianggap sebagai bagian yang esensial dari doktrin-doktrin Kristen. Para teolog feminis telah mengembangkan suatu teologi Kristen alternatif yang berbeda sekali daripada ajaran tradisional yang begitu paternalis dan menindas perempuan.
Dalam dunia Islam, Riffat Hassan, sarjana dari Pakistan, adalah salah seorang yang berusaha mengembangkan pemikiran Islam yang, dikatakan, bersih dari bias laki-laki.[14] Lalu muncul buku Perempuan dan Islam, Kajian Sejarah dan Teologi oleh Fatima Mernissi,[15] seorang sarjana dari Maroko yang kemudian disebut sebagai teolog feminis muslim. Dalam kajiannya ia mulai mempertanyakan hal-hal yang diajarkan kepadanya mengenai status dan tingkah laku yang layak bagi kaum Muslimat. Ia mengkaji kitab Hadits, tafsir dan sirah untuk mencari asal usul dari –apa yang disebutnya dengan- misogini, kebencian terhadap perempuan, dalam tradisi Islam. Ia menunjukkan, berdasarkan sumber Islam masa awal, sikap Nabi terhadap perempuan sangat arif, terbuka, dan toleran, tetapi belakangan muncul tokoh dalam umat yang punya sikap hampir bertolak belakang dengan sikap Nabi itu. Pemimpin yang ia soroti sebagai orang yang bertanggung jawab atas penurunan status wanita dalam Islam adalah Khalifah Umar yang, katanya,  muncul lebih macho dalam sumber-sumber sejarah, lebih keras dan menindas terhadap perempuan.
Sementara dalam menyoroti para perawi hadits, Abu Hurairah mendapat perhatian utama karena banyak Hadits yang memojokkan perempuan konon dirawikan oleh Abu Hurairah. Dari hal-hal yang diketahui mengenai riwayat hidup Abu Hurairah, Mernissi menggambarkan profil psikologi, tokoh ini sebagai laki-laki yang mengalami kesulitan menghadapi perempuan, mungkin juga kelainan seksual.
Berdasarkan pengamatannya, Mernissi melihat para pengarang kitab-kitab klasik memang bertolak dari asumsi superioritas laki-laki atas perempuan. Kecuali itu ia juga melihat membanjirnya edisi baru dari kitab-kitab klasik yang paling diskriminatif terhadap perempuan, dengan harga yang sangat murah di pasaran. Bagi Mernissi, itu bukanlah suatu yang kebetulan, bahkan, katanya, telah terjadi serangan massal dari kalangan ulama paling konservatif yang ingin melestarikan status quo dan "melindungi" Islam dari "bahaya" emansipasi perempuan dan feminisme.[16]
Persoalan lain yang terus diangkat oleh pegiat gender adalah problema seputar budaya Arab atau budaya Islam. Misalnya dipertanyakan: apakah ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan hanya bagian dari budaya kitab klasik saja, ataukah memang inheren dalam Islam? Apakah jilbab dan larangan perempuan keluar dari rumah hanya berdasarkan salah satu di antara sekian banyak interpretasi Islam, atau perintah mutlak Tuhan.
Dalam suatu tulisan yang meninjau hukum-hukum fiqih mengenai perempuan, orientalis terkenal Hamilton A.R. Gibb dengan nada menyesal mengatakan bahwa bagian fiqih ini tidak didasarkan atas uraian Al Quran melainkan atas Hadits-Hadits yang mencerminkan adat suku-suku Arab.[17] Ia menunjukkan bahwa hampir setiap hukum Al Quran mengenai perempuan merupakan perbaikan hak dan statusnya dan penolakan adat suku-suku Arab yang sangat tidak menguntungkan kaum perempuan. Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya, demikian kesimpulan Gibb, para ahli fiqih ternyata lebih dipengaruhi oleh adat (terutama konsepsi tradisional tentang 'ird, kehormatan suku) daripada ketentuan Al Quran.[18] Menurut Gibb, ijtihad Khalifah 'Umar yang membolehkan laki-laki mengucapkan talak tiga sekaligus, adalah upaya membatalkan perlindungan yang diberikan kepada perempuan oleh Al Quran dan mengembalikan hukum adat yang membolehkan laki-laki untuk segera melepaskan istrinya, tanpa alasan.
Pengamatan seperti ini, di kemudian hari terbukti mendorong pemikir Islam untuk meninjau kembali Al Quran dan Hadits yang disebutnya mengandung unsur diskriminasi terhadap perempuan. Hadits-Hadits yang diakui secara umum pun (misalnya, yang dalam al-Kutub as-Sittah) juga ditinjau untuk menyaring Hadits yang dikatakan walaupun atasnama Nabi namun melestarikan adat­-adat pra-Islam. Upaya inilah yang dilakukan oleh Fatima Mernissi. Usaha Mernissi ini kemudian menimbulkan kontroversi, dan banyak pihak lalu menyebutnya sebagai "Inkarussunnah".
Bagi penganut gender, masih terdapat beberapa ayat Al Quran yang dengan jelas menyatakan ketidaksamaan hak, misalnya dalam hal warisan, meskipun juga diakui bahwa secara umum Al Quran telah memberikan banyak hak dan kebebasan kepada perempuan yang tidak pernah dimiliki dalam budaya Arab Jahiliah. Pertanyaan mereka selanjutnya adalah: apakah itu berarti bahwa superioritas laki-laki atas perempuan harus diterima sebagai ajaran Islam yang mutlak dan tidak bisa diubah? Maka dimulailah melakukan upaya penafsiran terhadap ayat-ayat terkait yang disebutnya dengan "penafsiran kontekstual", sebuah upaya memahami ayat-ayat ahkam dalam konteks masyarakat Madinah pada zaman Nabi dan menerapkan semangat hukumnya daripada hukum-hukum yang harfiah. Salah satu pendobrakan radikal adalah pendekatan Munawir Syadzali, yang menyatakan bahwa pembagian warisan memerlukan modifikasi untuk masyarakat yang punya struktur sosial lain daripada Madinah tiga belas abad yang lalu.
Beberapa negara Muslim sekular seperti Turki dan Tunisia adalah termasuk negara yang mengabaikan masalah kontektualisasi (atau dalam bahasa munawir Sadzali: reaktualisasi) ini. Undang-undang perkawinan dan undang-undang lainnya hanya didasarkan pada hukum sipil seperti di negara Barat tanpa usaha mencari legitimasi Islam. Situasi ini, tentu saja, menyebabkan sebagian umat di sana merasa teralienasi dari negara dan boleh jadi menimbulkan gerakan "fundamentalis" yang kuat. Melihat arus perkembangan dalam dunia Islam masa kini, sekularisme tidak merupakan alternatif yang potensial. Pertanyaan apakah hak-hak perempuan dan hak-­hak asasi manusia lainnya yang tercantum dalam perjanjian internasional[19] itu bertentangan dengan Islam.
Perkembangan umat Islam di negara sekular itu kemudian dijadikan alasan bagi pembenaran upaya "pembaruan" pemikiran Islam secara sangat radikal. Adalah Abdullahi Ahmed An-Na'im, sarjana hukum dari Sudan, yang disebut-sebut melakukan upaya ini dengan bukunya: Menuju Suatu Reformasi Islami.[20] Dalam bukunya itu,  An-Na'im menyampaikan beberapa usul pembaruan berdasarkan pemikiran gurunya, Mahmud Muhammad Taha.
Mahmud Taha bertolak dari perbedaan yang terdapat antara surat-surat yang turun di Mekah dan di Madinah. Surat-surat Makiyyah bersifat peringatan moral, egalitarian, dan universal, sedangkan surat-surat Madaniyyah lebih bersifat spesifik dan kontekstual. Beberapa ayat Madaniyyah kelihatannya bertentangan dengan ayat-ayat Mekah, dan itu yang melahirkan teori nasikh dan mansukh: menurut para ahli tafsir dan fiqih, terdapat ayat yang membatalkan ayat lain. Status perempuan (dan juga status minoritas non-Muslim) diatur oleh ayat-ayat Madaniyyah yang membatalkan ayat-ayat Makiyyah yang lebih egaliter.
Dengan sangat berani Mahmud Taha menyatakan bahwa sekarang sudah waktunya untuk memutarbalikkan nasikh dan mansukh itu. Perintah Tuhan yang punya relevansi universal adalah tercantum dalam surah-surah Makiyyah. Karena masyarakat Arab pada zaman Nabi belum sanggup melaksanakan semua perintah itu, lalu turunlah ayat-ayat yang lebih sesuai dengan situasi zaman itu, dan untuk sementara membatalkan ayat-ayat yang lebih universal dari Mekah. Masyarakat sekarang sudah lebih dewasa, dan tidak ada alasan lagi untuk membatalkan perintah Tuhan pertama yang egaliter. Ayat-ayat yang dulu dianggap nasikh sekarang sudah layak menjadi mansukh.[21]

C.    Bagaimana Membaca Wacana Gender

Begitulah, dalam kaitannya dengan pemikiran keislaman, gender telah mengambil wilayah secara cukup signifikan. Pembongkaran terhadap khazanah Islam memang bukan persolan yang kebetulan, tetapi sebuah agenda dan proyek besar mereka. Padahal dari sisi keilmuan sekalipun, semua itu merupakan karya terbaik anak sezaman.
Beberapa hal ini membuat semakin jelas bahwa gender memang bukan hanya sekedar  kata atau istilah, tetapi merupakan konsep yang mengandung misi, filosofi, dan ideologi. Gender ternyata bukan merupakan bahasa awam yang sederhana, tetapi merupakan ‘eksperimen’ pemikiran karena posisinya sebagai diskursus kefilsafatan. Gender bukan hanya suatu pemikiran yang menjadi konsumsi para akademisi, tetapi ia juga merupakan gerakan (saya kira, gerakan yang beragam sesuai dengan tuntutan dan motivasinya). Gender juga bukan sekedar isu sosial, tetapi ia sudah mengambil wilayah keagamaan secara signifikan.
Dilihat dari sisi sumber dan akar-akarnya, gender jelas merupakan konsep asing yang tidak serta merta bisa disebut sebagai gejala global yang terjadi pada seluruh tradisi yang ada di dunia ini. Meski demikian, ibarat barang dagangan, gender bisa dikatakan sebagai sebuah produk yang dikemas khusus sehingga menarik minat untuk membelinya, tidak saja bagi yang punya uang, tetapi juga bagi yang hanya kebetulan melihatnya, meski belum tahu apa isinya.
Perguruan Tinggi Islam, dengan seluruh para intelektual di dalamnya, sesuai dengan identitas yang disandangnya, yakni dunia akademis namun Islami atau lembaga Islam namun akademis, kiranya tidak dapat begitu saja lepas tangan, melakukan upaya proteksi dari isu-isu yang bisa digolongkan kontemporer itu. Namun juga tidak bijaksana jika liberalisme dibiarkan ‘liar’ hanya atas nama akademis. Sama tidak bijaksananya jika isu-isu kontemporer itu dibicarakan namun akar-akar dan sumber pemikirannya dinafikan. Sikap demikian, di samping tidak akademis, juga bisa berarti menyembunyikan bagaimana jati diri sebenarnya wacana itu, yang jika saja jati diri itu ditunjukkan belum tentu ada orang yang meminatinya, atau paling tidak mereka akan pikir-pikir dulu.
Maka membaca wacana gender mesti dilakukannya secara kritis dan analitis[22], dengan menempatkannya sebagai wacana (discourse). Upaya ini dimaksudkan untuk menghindari pembacaan yang hanya sampai pada permukaan, sebaliknya dapat mengantarkannya untuk sampai pada sumber dan akar wacana. Karena, menurut Foucault, setiap discourse pasti mempunyai geneologi dan dapat ditemukan asal usul  pembentukannya.
Sekalipun demikian, bagi perguruan tinggi Islam, membaca wacana gender jelas bukan hanya sebagai sarana melatih keterampilan analisis terhadap masalah-masalah sosial. Apalagi secara serta merta melibatkan diri dalam diskursus dan aksinya, layaknya sebagai barang baru yang jika tidak diikutinya, takut disebut sebagai ketinggalan wacana. Namun dengan basis keislaman yang kuat, memposisikan ajaran Islam dan khazanah keislaman sebagai tolak ukur dan pijakan dalam setiap pilihan sikap, termasuk dalam melakukan proses analisisnya.
Harus diakui, produk-produk pemikiran asing yang berkembang satu atau dua dasa warsa belakangan ini, mengejutkan umat Islam, lebih khusus lagi kaum akademisi Islam. Dan yang lebih mengejutkan lagi, bahwa sikap umat Islam terhadap pemikiran asing itu cukup beragam. Kondisi demikian mengharuskan untuk menyadari akan arti penting membangun sejarah dan peradaban Islam dengan melihat kembali khazanah keislaman masa lalu dan menangkap pesan-pesan itu dengan suatu kesadaran kreatif, namun tetap tidak keluar dari pandangan hidup (weltanschauung) keislaman.[23]
Dalam Islam, mendalami ajaran agama (tafaqquh fiddin) jelas merupakan kewajiban bagi setiap umatnya; laki-laki ataupun perempuan. Mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan, termasuk kaum perempuan, adalah tuntunan agama. demikian juga, melakukan pemberdayaan kaum wanita dan meningkat taraf kesehatan, kecerdasan, dan meningkat peran mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya menjatuhkan harkat dan mertabat kemanusiaan merupakan larangan agama, ada atau tanpa konsep gender. Maka kritis terhadap konsep gender bukan berarti memandang rendah terhadap kaum perempuan atau membiarkan ketidakadilan terhadap mereka dan berhenti melakukan pemberdayaan. Tetapi, sekali lagi, merupakan pilihan sikap yang menempatkan ajaran Islam sebagai tolak ukur dan batu ujian terhadap keabsahannya.
Kritis terhadap konsep gender, bahkan juga bukan berarti penolakan secara membabi buta terhadap konsep itu. Karena, sebagaimana terlihat dalam sejarahnya, persoalan gender muncul dari suatu tradisi dan budaya yang memang menempatkan perempuan pada posisi rendah.[24] Bukti adanya tradisi demikian, tidak hanya disebutkan dalam sejarah tetapi juga dalam nash Al Quran, yang mengkisahkan suatu masyarakat yang merasa rendah jika terlahir dari keluarga mereka, anak-anak perempuan, maka anak itu harus dibunuhnya. Artinya, bagi suatu tradisi atau budaya, yang masyarakatnya tidak memandang rendah jenis yang satu terhadap jenis yang lain, maka gender bukan lagi menjadi masalah, atau paling tidak cukup sebagai wacana.
Pada tahap terakhir, membaca wacana gender harus dengan meletakkannya pada konteks yang lebih luas atau bahkan global. Upaya ini dimaksudkan agar tidak ‘terlalu’ terjebak pada diskursusnya dan melakukan analisis dengan lebih objektif. Yang kita maksud dengan konteks yang lebih luas di sini adalah pola pikir modernitas-Barat. Jika disebut misalnya, perempuan dijadikan budak, ternyata laki-laki pun banyak yang dijadikan budak, bahkan juga anak-anak, sekalipun kebanyakan oleh kaum lelaki. Maka mengangkat isu gender sebagai solusi atas kehidupan yang eksploitatif seperti itu, tentu hanya tambal sulam, kalau tidak malah salah sasaran. Karena, yang sebenarnya terjadi adalah proses dehumanisasi yang berakar pada pola pikir modern, yang formalis-instrumentalis, materialis, physically, dll. Pola pikir ini telah menjadi semacam monster besar yang hampir-hampir tidak mungkin untuk dihindari.
Proses penghilangan unsur-unsur kemanusiaan ini tampaknya sudah merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan ini. Pola hubungan guru-murid, anak-ortu, bos dan anak buahnya, pimpinan dan bawahan, bahkan hubungan suami dan istri, semuanya menjadi semacam hubungan robotik. Maka wajar jika kekerasan dapat terjadi di mana-mana, termasuk yang terkait dengan perempuan.
Dengan kesadaran semacam  ini, maka dapat dipahami jika dewasa ini juga marak gerakan-gerakan moral, gerakan spiritual, dan gerakan kemanusiaan lainnya. Karena memang merupakan momentum bagi mereka.
Dengan demikian, setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam membaca wacana gender. Pertama, menempatkan Islam dan ajaran Islam sebagai pijakan dan tolak ukur dalam bersikap dan dalam melakukan proses analisis. Kedua, memperlakukan gender sebagai wacana atau discourse, sehingga analisis-kritis yang dilakukannya menjangkau sampai pada akar dan sumber pembentukannya. Ketiga, menempatkan problem gender sebagai suatu kasus spesifik. Hal ini dimaksudkan untuk mendapat kejelasan bahwa pada tradisi dan masyarakat yang selama ini telah menempatkan perempuan pada posisi terhormat, gender bukan lagi manjadi masalah. Sebaliknya, gender bisa jadi menjadi problem besar, jika memang terdapat tradisi dan budaya yang menempatkan perempuan pada posisi rendah, terjajah, dst. Keempat, meletakkan problem gender pada konteks yang lebih luas.

D.   Akhirul Kalam

Melakukan kajian terhadap konsep-konsep asing dan lebih khusus lagi konsep Barat, memang tidak mesti dapat aman dari keterpengaruhannya, namun juga bukan berarti sama sekali tidak memiliki nilai manfaat. Paling tidak dapat mengingatkan kita, membuat kita terjaga, dan memikirkan apa-apa yang selama ini tak terpikirkan, menanggapi dan memberikan jalan keluar terhadap persoalan yang telah lama tidak kita anggap sebagai masalah. Maka mendahulukan prejudice bukan saja tidak ilmiah tetapi juga kontraproduktif. Yang dibutuhkan di sini adalah kemampuan bermain seni, yaitu seni memilah-milah mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat, seni mengambil yang bermanfaat dan membuang jauh-jauh yang tidak bermanfaat.
Dalam Islam, pemberdayaan wanita muslimah dan perempuan pada umumnya jelas merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya meningkatkan kualitas ketaqwaan dalam makna yang seluas-luasnya; ada atau tidak ada konsep gender, dan tentu saja bukan atas nama gender. Satu hal perlu diperhatikan bahwa gender bukanlah sekedar kata atau istilah tetapi merupakan konsep yang terkandung di dalamnya misi, filosofi, dan ideologi tertentu. Wallahu  a’lam bish shawab

Daftar Pustaka
An-Na'im, Abdullahi Ahmed, Towards an Islamic Reform: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990)
Arivia, Dr. Gadis, Feminisme: Sebuah Kata Hati, (Jakarta, Kompas, 2006)
Bone, Indriani, M.Th, “Feminisme Kristen: Problematika Memasuki Milenium Ketiga” dalam Martin L. Sinaga (ed.), Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, (Jakarta: Gramedia, 2000)
Chist, Carol P.  & Plaskow Judith (eds.), Womanspirit Rising, (New york: Harper & Row, 1979)
Durkheim, Emile, The Elementary Form of Religious Life, (New York: The Free Press, 1995)
Fakih, Mansoer, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996)
Gibb, Sir Hamilton A.R., "Women and the Law", dalam Correspondance d'Orient, 5 (Colloque sur la Sociologie Musulmane, Actes, 11-14 September 1961)
Hafidz, Wardah, “Feminisme sebagai Problematikan Milenium Ketiga dan Sikap Agama-Agama” dalam Martin L. Sinaga (edit.), Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, (Jakarta: Gramedia, 2000)
Hassan, Riffat, "Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam: Sejajar di Hadapan Allah?", Ulumul Qur'an (Jakarta, vol. 4, 1990)
Hidayat, Prof. Dr. H.M. Komaruddin, Ketika Agama Menyejarah (Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Filsafat Agama pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 24 Desember, 2001)
Majalah Rahima, copyright@Rahima2001
Megawangi, Ratna, “Perkembangan Teori Feminisme Masa kini dan Mendatang”, dalam Mansoer Fakih, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000)
Mernissi, Fatima, Women and Islam: A Historical and Theological Enquiry, (Oxford: Basil Blackwell, 1991)
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet ke-2, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2005)
Zarkasyi, Hamid Fahmi, “Tren Pemikiran Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Tsaqafah, vol. 2, No. 1, Syawwal 1426 - R. Awwal 1427


[1]Makalah disampaikan dalam rangka Workshop "Tantanga Pemikiran Islam Kontemporer" di Gedung CIOS Institut Studi Islam Darussalam (ISID)  Pondok Modern Darusslam Gontor, tanggal 19-20 Agustus 2006.
[2]Menurut catatan Mansoer Fakih, setidaknya ada tiga sumber resistensi itu, yaitu, pertama, resistensi yang berasal dari kaum perempuan sendiri yang merasa sudah puas atas peranannya selama ini. Kedua, berasal dari proses pembangunan (developmentalisme) yang melestarikan ketidakadilan gender, bahkan menciptakan wacana yang membuat perempuan menjadi semakin tertindas. Ketiga, berasal dari paham keagamaan yang patriarkis atau interpretasi atas paham keagamaan yang dipengaruhi oleh tradisi dan budaya patriarki. Lihat Mansoer Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), hal, 118-121
[3]Indriani Bone, M.Th, “Feminisme Kristen: Problematika Memasuki Milenium Ketiga” dalam Martin L. Sinaga (ed.), Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, (Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 66
[4]Dr. Gadis Arivia, seorang filsuf dan aktivis feminis dalam salah satu artikelnya menulis dengan tema: “Pendobrakan yang Tiada Hentinya”, yang menggambarkan upaya pembongkaran (deconstruction) tiada henti terhadap budaya patriarki. Lihat Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati, (Jakarta, Kompas, 2006), hal. 10
[5]Sasaran utama dari proses ini adalah untuk membangkitkan rasa emosi kaum perempuan agar bangkit untuk merubah keadaannya, karena banyak juga di antara perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki. Lihat Ratna Megawangi, “Perkembangan Teori Feminisme Masa kini dan Mendatang”, dalam Mansoer Fakih, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal. 225
[6]Menurut kaum feminis, budaya patriarki ada di segala bidang kehidupan, oleh karena itu untuk menstranformasikannya diperlukan pelbagai strategi. Maka keragaman model dan aliran feminisme merupakan sumbangan tersendiri unttuk transformasi itu. Lihat Carol P. Chist & Plaskow Judith (eds.), Womanspirit Rising, (New york: Harper & Row, 1979), hal. 15
[7]Lihat Wawancara bersama Budi Munawar Rahman dalam Majalah Rahima copyright@Rahima2001
[8]Beberapa kali pertemuan tingkat kecamatan, di mana penulis ikut meliputnya, tema gender diangkat dan dibicarakan, namun tidak mempertimbangkan audiensnya, padahal peserta pertemuan adalah ibu-ibu rumah tangga yang tidak terlalu peduli atas isu ini.
[9]Posmodernisme yang menekankan pluralitas, yang dengan demikian menolak universalisme, telah melahirkan upaya dekonstruksi definisi perempuan yang dianggap sepenuhnya konstruksi laki-laki, dan mencari akar permasalahan penindaasan perempuan berdasar lokalitas atau konteks sosialnya. Lihat Wardah hafidz, “Feminisme sebagai Problematikan Milenium Ketiga dan Sikap Agama-Agama” dalam Martin L. Sinaga (edit.), Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, (Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 94
[10]Uraian agak komprehensif tentang Teori Krtis, lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet ke-2, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2005), hal. 144-162
[11]Emile Durkheim, The Elementary Form of Religious Life, (New York: The Free Press, 1995), hal. 421
[12]Prof. Dr. H.M. Komaruddin Hidayat, Ketika Agama Menyejarah (Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Filsafat Agama pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 24 Desember, 2001), hal. 1
[13]Pada zaman jahiliyah perempuan tidak dihormati, bahkan setiap bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Islam datang untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini. Dan, bersama Islam kaum perempuan dapat hidup sederajat, bahkan pda hal-hal tertentu diberi keistemawaan, sebagaima hadits: ‘datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw seraya bertanya, ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak saya hormati? Beliau bersabda: ibumu, lalu laki-laki itu bertanya, kemudian siapa? Nabi bersabda, ibumu, dan berkata lagi, kemudian siapa lagi, beliau besabda ibumu, dan berkata lagi, kemudian siapa? Nabi berabda, bapakmu” (HR al Bukhari dan Muslim)
(عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ اَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِى؟ قَالَ اُمُّكَ، ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ اُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ اُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ اَبُوْكَ – رواه البخارى و مسلم)
[14]Lihat Riffat Hassan, "Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam: Sejajar di Hadapan Allah?", Ulumul Qur'an (Jakarta), 4 (1990), hal. 48-55 (Pengarang ini adalah seorang wanita Islam yang mendalami bidang sosiologi. Ia berasal dari keluarga tradisional tetapi memperoleh pendidikan modern.)
[15]Fatima Mernissi, Women and Islam: A Historical and Theological Enquiry, (Oxford: Basil Blackwell, 1991) (edisi asli ditulis dalam bahasa Perancis dan diterbitkan di Paris pada tahun 1987)
[16]Mernissi, op. cit., hal. 97-99. Dua kitab yang disebutnya sebagai contoh adalah edisi baru Kitab Ahkam an-Nisa' Ibn al Jauzi (Libanon, 1981) dan Fatawa an-Nisa' Ibn Taimiyyah. Dalam penilain Mernisi, kitab yang pertama, dikatakan, sangat ekstrim dalam uraiannya mengenai hijab; perempuan dianjurkan untuk tidak keluar dari rumah sama sekali dan untuk tidak lama sekali melihat laki-laki, sedang kitab yang kedua merupakan seleksi fatwa mengenai perempuan dari kumpulan besar fatwa-fatwa (Majmu' al-Fatawa al-Kubra) Ibn Taimiyyah. Menurut Mernissi, masih ada kitab yang disebutnya mengandung pendapat jelek paling banyak mengenai perempuan, yaitu karya seorang ulama dari India, Muhammad Shiddiq Hasan Khan al-Qannuji yang berjudul Husn al-Uswah (edisi baru: Beirut, 1981). Dikatakan, kitab ini juga menguraikan mengenai "ketidakmampuan perempuan berpikir rasional dan kekurangmampuannya dalam segala urusan agama"
[17]H.A.R. Gibb, "Women and the Law", dalam Correspondance d'Orient, 5 (Colloque sur la Sociologie Musulmane, Actes, 11-14 September 1961), Bruxelles, hal. 233-248
[18]"...in practically every instance the motivation of the early jurists in their elaboration of the Law in respect to women can be resolved into the effort to accommodate the Koranic prescription to the social pressures of their environment. Of these pressures the most powerful was not, as has too often been said, the influence of Caliphs and governors, but the survival and even intensification among the tribesmen of the sense of tribal honour. Indeed, it may even be argued that the detailed rules were dictated more in the light of traditional conceptions of what constituted tribal 'ird  than of Koranic principles." (Gibb, op. cit., hal. 244)
[19]Seperti: piagam PBB, Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
[20]Abdullahi Ahmed An-Na'im, Towards an Islamic Reform: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, (New York: Syracuse University Press, 1990)
[21]Argumentasi Mahmud Taha tentu lebih canggih dari pada ringkasan sederhana yang diberikan di sini. Pemikirannya menimbulkan reaksi keras, apalagi ketika ia menentang politik Islamisasi negara yang dimulai Numairi. Ia ditangkap sebagai oposan politik dan kemudian dihukum mati dengan alasan riddah pada tahun 1985.
[22]Analisis kritis adalah sebuah metode analisis yang selalu terlibat dalam upaya menemukan adanya hubungan atau ke-saling pengaruh-an antara pemikiran; menemukan perbedaan atau melakuan perbandingan dan akhirnya  memposisikan.
[23]Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, yang dimaksud dengan pandangan hidup Islam adalah pandangan hidup yang diproyeksikan oleh wahyu dan dikembangkan oleh pemikiran para ulama otoritatif di bidangnya masing-masing, sehingga membentuk apa yang disebut dengan conceptual network. Lihat Hamid Fahmi Zarkasyi, “Tren Pemikiran Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Tsaqafah, vol. 2, No. 1, Syawwal 1426 - R. Awwal 1427, hal. 1-2
[24]Konon, setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul 'Vindication of the Right of Woman' yang isinya dapat dikatakan, meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Inilah yang nantiya melahirkan feminis liberal di Amerika.