1 Okt 2012

Mencari Faktor Penyebab Kemunduran Umat Islam Dan Alternatif Jalan Keluarnya





  Artinya: Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkarayang kamu tidak akan tersesat selamanya sepanjang berpegang teguh kepadanya, yakni Kitabullah (Al- Quran) dan As-Sunnah.
(Hadits)


   Setiap peribadi muslim mempunyai kewajiban moral untuk  berjuang untuk memikirkan nasib serta kondisi umat islam pada saat ini, Sebab Nabi Muhammad SAW telah bersabda Artinya:” Siapa yang mengaku umatku kata Nabi, engkau islam tetapi tidak perduli terhadap kaum muslimin, tidak perduli terhadap jatuh bangunya islam, sakit sehatnya umat islam, berarti bukan umatku, bukan golongan islam itu sendir”

   Oleh karena itu sebagai muslim dengan segala kemampuan yang ada pada diri kita, sesuai denga profesi kita masing-masing yangtelah dikaruniai Allah kepada kita, kita guankan semaksimal mungkin untuk membela dan memperjuangkan islam dan umatnya, kalau betul kita nmencintai islam, mencintai Allah dan Rasul-Nya. Inilah potret peribadi muslim yang utuh, yang sanggup ditampilkanditengah-tengah umat manusia untuk membela dan mempertahankan serta mengembangkan islam.
 Peribadi-peribadi musliam yang senantiasa bekerja keras dan secara fundamental berpegang n teguh kepada ajar n islam yang bersumber kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Karena kedua pedoman ini sudah dijamin kebenaran dan kemampuan oleh Allah SWT . Dengan kedua pedoman pokok inilah kaum muslimin dapat selamat dari  segalah bentuk kesesatan dan malahpetaka.
Kalau kita melihat kebelakang kepanggung sejarah islam masa lalu, maka tidak berlebihan jika kita mengemukakan, bahwa kemajuan dan perkembangan umat islam masa lalu diperoleh dengan mengikuti danmenaati ajaran islam secra murni dan konsekkuen. Mereka bersikap dan berfikir diatas landasan ajaran yang telah digariskan Oleh Allah dan Rasul-Nya.
Nabi Muhammad SAW. Dengan ajaran islamnya telah merubah citra dan kebiasaan bersat padu, se ia sekata dibawah naungan panji petunjuk dan pimpinan ajaran islam yang benar. Bangsa arab yang dulunya yang biasa menjadi berada, dari bodoh menjadi pandai dan cerdik, dari kekerasan hati dan kerasnya perangai menjadi lembut, ramah tamah, kasih sayangtrhadap sesame dan dari bangsa Polyteisme penyembah berhala menjadi monoteisme menyembah Allah yang maha Esa.
        Dengan demikian jelas bahwa ajaran islam  pada saat itu  ajaraan islam telah mampu menjadikan sepirit baru dalam melakukan perombakan besar serta mendasar dan merobah watak dan karakter bangsa arab, kalau umat islam menghayati dan mengamalkan islam secara integral dalam arti yang sebenarnya, maka ummat islam akan terangkat martabat keposisi yang lebih terhormat, sebagi mana umat islam terdahulu yang perna tampil didepan memimpin dunia dan disegani umat lain.
    Apabilah kita minyimak secara seksama factor-faktor yang mendorong kemjuan umat islam di masa lalu, maka kita akan sepakat bahwa factor-faktor tersebut kini mulai sirna dan tidak melekat lagi pada umat islam, yang ada hanya puing-puingnya saja yang menjadi kenangan sejarah masalalu.
    Untuk itu Mariah kita melacak factor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran dan kemerosotan umat islam saat ini, yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Diantaranya Al-Amir Syakib Arsalan dalam kitabnya” Limaddzaa Ta’akhorol Muslimin wa Limaza Taqoddama ghoirin”. Dengan tegas beliau telah mengemukakkan beberapa factor penyebab yang terbesar dan terpenting sebagai factor kemunduran  umat islam diantaranya ialah :
1.      Kebodohan
     Kebodohan inilah yang menyebabkan umata islam mudah sekali dibohongi dan diombang-ambing, sebab tidak dapat membedakan mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan.
2.       Kerusakkan Budi Pekerti
       Umat islam telah kehilangan perangai sebagaimana yang telah diperintahkan Al-Quran, meninggalkan akhlak melia yang telah dicontohkan oleh Rasullullah SAW..Dan para sahabat dan serta Salafussalihin.Budi pekerti mulia sungguh sangat besar peranya dalam rangkah membangun ummat dan bangsa. Dalam hal itu  Syauki Beik telah mengingatkan: “ Sesunggunya umat itu tidak lain melaikan budi pekerti, selama budi pekerti itu tetap ada  pada suatu umat maka umat itu tetap ada, dan jika budi pekerti itu lenyap, maka mereka itupun  ikut lenyap.

3.      Kebejatan moral dan kerusakkan budi pekerti
Para pemimpinya munculnya pemimpin dictator dan otoriter yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan hanya mementingkan kepentingan peribadi dari pada kepentingan rakyat dan menumpas golongan (kelompok) yang ingin meluruskan perbuatan mereka.
4.       Sikap penakut dan pengecut
      Dahulu umat islam terkenal sebagai umat yang pemberani dapat mengalakan musuh yang berlipat ganda juymlahnya. Tapi sekara ng ummat islam dilandsia rasa takut, dan rasa takut inilah yang menyebabkan umat islam menjadi penakut dan pengecut. Menurut Latrop  Stodard dalam bukunya  “ The New World of Islam” telah mengemukakan beberapa factor penyebab  kemunduran umat islam  secara ringkas dapat dikemukakkan sebagai berikut:
1.      Kembunya rasa permusuhan dikalangan umat islam .
2.      Rusaknya ajaran islam , akibat berbagai macam-macam penafsiran yang menyimpang dari esensi ajaran islam
3.      Sikap jumud (beku) yang dialami umat islam yang menyelubungi ketauhidan yang telah diajarkan Rasulullah SAW  dengan kufarat dan faham kesufian
4.       Merosotnya akhlak dan kehormatan diri  semua berlansung tampa rasa takut dan malu.
Dan dalam kenyataan yang ada pada saat ini kita lihat dan rasakan  upaya-upaya yang akan memundurkan umat islam yang dilakukan denga n serius dan sistematis, yaitu diantaranya dengan jalan:
a)      Menjaukan umat islam dari  Al-Quran
b)      Menghancurkan Akhalak umat islam
c)      Memecah belah persatuan dan kesatuan umat islam
d)     Menanamkan kerguan terhadap ajaran islam
e)      Merintangi kemajuan umat islam.

Inilah beberapa factor penyebab bagi kemunduran umat islam yang akibatnya umat islam diremekan dan tidak disegani oleh umat lain, umat islam mendudukki peringkat bawa dan hanya menjadi pengikut, bukan sebagai pemimpin, sehingga mudah sekali dikendalikan dan diombang-ambing, pada giliranya satu sama lain mudah di adu domba. Inilah mengikibatkan umat islam berantakkan dan tidak dapat mengejar ketertinggalan.
    Setelah kita tadi mengemukakan beberapa factor penyebab bagi kemunduran ummat islam, maka dengan segera kita mencari alternative pemecahan sebagai jalan keluar dari kemelut dan kejumudan yang dialami umat islam pada saat ini, sebab kalau tidak, maka umat islam akan berlarut-larut menjadi umat yang mundur dan bercerai berai serta semakin sulit untuk mengejar ketertinggalannya.
   Untuk itu Jmaludin al-afghani telah memberikan beberpa alternative jalan keluar diantaranya sebagai berikut:

1. Memberantas kemiskinan dan kebodohan yang sampai saat ini membelenggu umat islam.
2. Melenyapkan Pengertian-pengertian yang salah yang dianut oleh umat islam pada umumnya.
3. kembali pada ajaran islam yang sebenarnya
4. Hati nurani8 harus disucikan
5. Budi pekerti luhur mesti harus dihidupkan kembali
6. kesediaan berkurban untuk kepentingan umat
 7. berpedoman pada ajaran-ajaran dasar islam, dengan ini umat islam akan bergerak majumencapai kemjuan
8. Mewujudkan kehidupan demokrasi
9.Mewujudkan persatuan umat islam dalam rangka mewujudkan Ukhuwah atau persatuan umat islam, maka islam telah memberikan kerangka landasanya kokoh agar ukhuwah islamiah dapat terjalin dengan baik yaitu ;
Ø  Harus dilandasi Iman dan Takwah
Ø  Didasari rasa Ikhlas karena Allah
Ø   Terikat dalam nilai-nilai islam yang bersumber pada al-Quran dan As-Sunnah
Ø  Saling mengingatkan dan memberi nasehat yang baik
Ø  Setia menjalin kerja sama daklam setiap hal yang mengarah pada kebaikkan .

   Inilah beberapa agenda yang harus digarap oleh umat islam untuk mengejar ketertinggalan yang dialami umat islam. Dengan demikian umat islam akan kembali pada masa kejayaan seperti sediakala dan disegani oleh umat lain.
   Dengan mencermati dan  menyikapi kondisi keritis yang melanda islam dewasa ini, maka yang harus dicamkan dalam hal ini tidak perlu menyelakan umat lain dan meminta pertanggung jawaban terhadap setagnasi yang lama melanda umat islam harus di timpahkan dan dialamtkan kepada umat islam sendir, yang tidak mau hidup menurut ajaran islam dan berpedoman kepada Al-Quran dan As-Sunnah .
  Umat islam kurang selektif dalam mentransfer ajaran-ajaran budaya yang diluar islam sehingga ajaran-ajaran dan budaya luar islam, ditelan mentah-mentah yang akibatnya umat islam kehilangan jati diri dan berjuang , serta tidak sanggup lagi berkompitisi dan berpacu menghadpai kemajuan jaman.

   Untuk itu tidak ada arternativ lain kecuali secara total kita harus kembali kepada pedoman pokok , yaitu kepada Al-Quran dan As-Sunnah, karena dengan dua pedoman inilah umat islam menjadi umat yang terbaik, terhormat dan teratas.Amin wa allahu a’lam bishawab.


24 Agu 2012

Semua Orang Merindukan Tuhan

Oleh 
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

           
            Makna simbol-simbol agama yang digunakan dalam masyarakat, tak selalu seluhur yang mereka klaim dan dakwakan. Permainan simbol, tak jarang menyihir, menjebak, menipu, sekaligus memerangkap orang yang terkesima. Ilmu tentang penafsiran simbol-simbol, semiotika, selalu perlu untuk mengungkap makna di balik simbol-simbol tersebut. Berikut perbincangan Burhanuddin dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis lalu (8/12) dengan Radhar Panca Dahana, penyair yang kini mengajar sosiologi kebudayaan di Universitas Indonesia.

Makna simbol-simbol agama yang digunakan dalam masyarakat, tak selalu seluhur yang mereka klaim dan dakwakan. Permainan simbol, tak jarang menyihir, menjebak, menipu, sekaligus memerangkap orang yang terkesima. Ilmu tentang penafsiran simbol-simbol, semiotika, selalu perlu untuk mengungkap makna di balik simbol-simbol tersebut. Berikut perbincangan Burhanuddin dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis lalu (8/12) dengan Radhar Panca Dahana, penyair yang kini mengajar sosiologi kebudayaan di Universitas Indonesia. 

BURHANUDDIN (JIL): Mas Radhar, apa makna agama dalam hidup Anda?

RADHAR PANCA DAHANA: Agama buat saya adalah bentuk aturan-aturan yang diberikan pada saya sejak kecil. Aturan itu menetapkan batas-batas kapan atau di mana saya harus berhenti melakukan sesuatu. Mungkin ada reward atau pahala bagi yang menaati arutan itu. Tapi, kalaupun ada, apa reward-nya? Kalau aturan yang datang dari guru, orangtua, pemerintah, atau institusi perusahaan, biasanya ada batasan punishment dan reward-nya yang jelas. Kalau kita melewati batas itu, sanksi atau punishment-nya jelas. 

Namun dalam agama, punishment itu mungkin berasal dari masyarakat. Kalau saya salat atau ngaji dengan sembarangan, saya akan dimaki-maki orang. Tapi kalau saya melakukan hal luar biasa, reward-nya mungkin tak akan langsung didapat. Itulah pengertian saya tentang agama sebagai kenyataan sosial. Secara individual, pengertiannya tentu lain lagi. Sebab, pemahaman keagamaan itu harus ditelusuri pelan-pelan berdasarkan pengalaman pribadi-pribadi, tidak hanya dari ajaran-ajaran. 

JIL: Agama dalam pengertian itu tampaknya terlampau mentitikberatkan soal reward dan punishment?
Ya. Memang, ketika agama diformalisasi menjadi pemahaman yang lebih sosiologis dan kultural, dia mau tidak mau harus berkompromi dengan pemahaman-pemahaman atau aturan main yang ada di masyarakat, seperti ketentuan-ketentuan adat, norma, dan hukum formal yang berlaku. Karena itu, agama yang berada di sekeliling kita adalah juga salah satu dari semua sistem itu. 

Artinya, mau tidak mau, agama itu sendiri juga harus berkompromi dengan unsur lain dalam masyarakat, supaya tidak terjadi benturan-benturan. Kalau sudah berbenturan, akibatnya adalah kebingungan umat. Dan kalau umat bingung, akan ada sebagian orang yang akan menolak agama. Jadi, agama sendiri harus menyesuaikan diri, apalagi manusianya. 

JIL: Bagaimana agama diajarkan pada Anda selama ini?
Melalui cara-cara yang umum di masyarakat kita. Mediumnya adalah dongeng-dongeng, pantangan-pantangan, dan perintah-perintah yang keras. Misalnya, kamu harus puasa, harus ini dan itu. Itu mungkin bagian dari cara dan proses internalisasi nilai-nilai agama agar pada masa berikutnya kita punya pergaulan yang kuat dengan agama. 

Tapi yang perlu digarisbawahi, cara seperti itu belum tentu melahirkan orang-orang baik. Mencetak orang baik itu juga ditentukan lagi oleh kualitas tiap-tiap orang dalam menghayati dan mengapresiasi hidupnya. Orang yang memang disosialisasi atau diinternalisasikan dengan kaidah agama yang kencang, belum tentu akan menjadi orang yang baik. Sebaliknya, orang yang tak begitu kental dengan cara sosialisasi seperti itu, belum tentu juga akan otomatis jahat.

JIL: Apa komentar Anda soal paham agama keras yang belakangan tampak sudah mulai mengancam kehidupan seni?
Agama mestinya tidak sekerdil itu. Agama terlalu lapang dan luas kalau cuma diwakili oleh orang-orang berpaham sejenis itu. Politik dan pemerintahan juga terlampau luas untuk sekadar diwakili satu-dua polisi yang melarang seniman untuk membaca puisi. Jadi, kelompok-kelompok seperti itu tak bisa mewakili paham keagamaan yang lapang. 

Dalam kehidupan pribadi, saya pasti punya pemahaman agama sendiri. Karena dibentuk kenyataan hidup, saya termasuk orang yang cenderung mempertanyakan semua dogma, aksioma, dan ketentuan-ketentuan yang digambarkan masyarakat sebagai sesuatu yang sudah ditabukan. Saya kira, pemahaman-pemahaman klasik atau tradisional tentang agama sudah mencapai tingkat kebekuan tertentu yang membuat banyak orang terpenjara. 

JIL: Dogma-dogma agama sekalipun sebetulnya absah saja dipertanyakan?
O, ya. Kita punya akal, kok! Mempertanyakan dogma-dogma itu tidak ada kaitannya dengan mempertanyakan Tuhan sendiri. Sebab, dogma-dogma itu belum tentu Tuhan yang bikin. Kebanyakan dogma justru dibikin oleh kita-kita sendiri, dan ia terkadang sudah bercampur-baur dengan dogma dari agama lain, tradisi, kebiasaan, hukum adat, hukum formal, hukum kolonial, dan macam-macam. Sebuah dogma tak jarang campuran dari itu semua. Di situ misalnya, juga bisa bermain kepentingan-kepentingan kaum feodal. 

JIL: Banyak yang takut mempartanyakan dogma-dogma yang difatwakan para pemuka agama. Kesannya melawan kehendak Tuhan, gitu…
Hidup kita ini, sekujur tubuh ini, selalu dipenuhi dogma-dogma. Dogma itu bermacam-macam, tidak terbatas pada dogma agama. Ada dogma ideologi, politik, tradisi, dll. Kita harus melihat secara jujur bahwa dogma-dogma itu adalah bentukan atau sebuah konstuksi sosial. Dalam proses bentukan masyarakat itu, bergabunglah beberapa kekuatan, beberapa unsur. Jadi, kalau bicara dogma agama, biasanya tidak akan murni bicara soal agama saja, tapi juga ikut serta pikiran-pikiran orang di dalamnya. 

Ada banyak kepentingan yang juga bermain, baik ekonomi, politik, maupun budaya. Itu yang harus kita periksa betul. Kalau memang dogma itu pada akhirnya sudah tak sesuai dengan kenyataan saat ini, dan justru membatasi potensi kemanusiaan kita, saya kira dogma itu sudah tak ilahiah lagi. Kalau masih ilahiah, dia pasti akan memberi ruang sebesar dan seluas mungkin bagi tiap manusia untuk mengoptimalkan peran yang sudah difitrahkan kepadanya. Berkah itu misalnya dapat berupa telinga, hidung, otak, dll. Itu semua perlu kita optimalkan ke tingkat yang paling tinggi, dan kalau bisa sampai menuju Tuhan itu sendiri. 

JIL: Dogma dan tafsir atas agama itu tentu tidak tunggal. Sebagai makhluk yang diberi berkah macam-macam tadi, bagaimana cara menyikapi berbagai dogma itu?
Saya tak berani memberi saran, karena ini soal yang sangat subyektif, personal, dan tidak saya anjurkan bagi orang lain. Latar belakang saya tentu berbeda dengan orang lain. Saya punya latar belakang budaya, akademis, dan kehidupan sendiri yang berbeda. Karena itu, cara tiap-tiap kita dalam menghadapi hidup juga akan sangat berbeda-beda. 

Sebagai sikap pribadi, bukan sebagai saran, saya menghadapi itu semua dengan mengandalkan integritas, dan independensi diri. Saya harus merdeka dalam menghadapi semua itu, seraya berusaha menggali pemahaman yang akan saya yakini dengan hati nurani saya sendiri. Jadi tidak perlu bergantung pada apapun.

Dalam menghadapi dogma-dogma itu, saya juga tidak ingin terjebak konflik kepentingan atau vested interest, apalagi terjebak ideologi tertentu. Maju atau mundur, hidup atau mati, itu saya lakukan karena pilihan sendiri, bukan karena orang lain menganjurkan. Kalau pun ada satu hal di luar diri yang harus saya kaitkan dengan diri saya, itu cuma satu saja: Tuhan itu sendiri. 

JIL: Apakah perkembangan agama ke depan akan menuju slogan “Tuhan, yes! agama, no!”?
Harus kita akui, kecenderungan dunianya, pahit-manisnya, asam-regesnya, memang sedang seperti itu. Benar, semua orang memang tetap merindukan Tuhan. Tapi, ketika memasuki Tuhan melalui suatu modus atau mekanisme yang disebut agama, banyak orang yang berkeberatan dan mulai memilah-milah mana yang lebih enak. Buddha, Yahudi, Islam, atau apa? Di Eropa, banyak sekali orang yang memilah-milah seperti itu. Banyak orang yang cenderung memilih Buddha karena dianggap lebih longgar, lebih cocok dengan psikologi mereka sebagai orang modern, serta alasan-alasan lain. 

Kalau masuk Islam, konon mereka merasa repot. Orang yang benar-benar berhasrat mencari Tuhan sebagai bentuk pengabdian dari keseluruhan entitas dirinya, mungkin memilih Islam. Tapi untuk rata-rata, saya kira orang akan lebih memilih Buddha. Contoh yang memilih Buddha di Barat adalah penyanyi kita, Anggun C. Sasmi. Madonna justru memilih mistik Yahudi, Kaballa.

Jadi, agama dalam pengertian yang saya jabarkan tadi, memang lama-lama akan ditolak. Terlebih kalau agamanya dijabarkan, dikelola, didefinisikan, dan diformulasikan dengan cara-cara yang sangat kaku. Agama itu sejatinya tidak kaku, tapi pengelolaan, pendefinisian, dan formalisasinya yang sebenarnya menjadikan agama itu sangat kaku. 

JIL: Bagaimana tafsiran anda atas beberapa organisasi sosial keagamaan yang memaksakan tafsir keagamaan mereka dengan kekerasan pada orang lain?
Persoalan ini sebenarnya sudah lewat dari soal agama. Persoalan religius dan spiritual, kadang melampaui soal-soal sosial dan politik. Bagi saya, gejala itu hanya soal cara sebuah organisasi membangun bargaining power atau bargaining position organisasinya. Pada akhirnya kita tahu, ujung-ujungnya juga bermuara pada perolehan akses-akses politik, ekonomi, ataupun hukum. 

Itu permainan biasa dari kelompok-kelompok sosial-politik yang sedang berkontestasi. Bahwa mereka menggunakan simbol-simbol agama, itu tak lain dengan modus atau tujuan reifikasi atau pembendaan simbol-simbol itu tadi. Jadi, agama yang dihadirkan sesungguhnya bukan lagi agama an sich, agama yang ilahi, tapi agama yang sudah pekat kepentingan sosiologis.
Yang dimaksud dengan agama sosiologis adalah agama sebagaimana yang dipahami oleh komunitas mereka saja. Itu yang pertama. Yang kedua, gejala ini juga dipicu tarikan-tarikan kehidupan pragmatis dan materialistis. Orang-orang yang pada mulanya memiliki kemampuan mendalami agama, berjiwa pengabdi, berdisiplin, dan punya ketekunan hidup dalam kesahajaan (asketis), sayangnya juga tertarik ke dalam sentrum yang pragmatis itu. 

Akhirnya, mereka mengurusi kepentingan-kepentingan yang terlalu sekuler, seperti masuk parpol, membikin perusahaan, dan tak lupa ikut korupsi sana-sini. Mereka kemudian kehilangan daya resap, apresiasi, dan etos untuk pendalaman agama itu sendiri. 

Gejala seperti itu bisa saja terjadi pada lembaga-lembaga agama yang sudah mapan seperti NU dan Muhammadiyah. Keduanya sangat mungkin menjadi balon-balon yang tertarik angin ke kiri-kanan. Sementara dulu mereka begitu kuat berakar pada masyarakat, sekarang bisa saja mereka akan menjadi balon gas yang tertarik ke mana-mana. Tarik-tarikan itu disimbolisasikan oleh pesona kematerian. 

Jadi, sekarang kita sedang mengalami materialisasi yang sangat luar biasa. Itu tidak hanya dialami agama, tapi juga lini-lini kebudayaan kita secara luas. Makanya, saat ini membuat karya seni juga agak susah, karena harus berhadapan dengan kenyataan. Kalau tidak mampu berkompromi dengan kenyataan, seseorang akan berhenti berkesenian. Orang yang menolak pembendaan akan mampus sendirian. 

JIL: Bagaimana memahami simbol-simbol agama agar kita tidak tertipu oleh permainan di baliknya?
Kita perlu masuk ke pemahaman apa makna simbol itu sesungguhnya. Kalau masyarakat tak paham, khususnya tentang proses reifikasi simbol atau penggunaan simbol itu untuk mendapatkan sesuatu, mereka akan manut dengan klaim kelompok pemakai simbol. Mereka akan mengamini kalau simbol itu juga mewakili dirinya. Padahal, simbol itu sudah tidak lagi mewakili dirinya. Itu cuma mewakili kepentingan atau tafsiran individu atau kelompok terbatas pengguna simbol itu saja. 

Tapi memang sayang, masyarakat di negeri yang paternalistik ini belum juga sampai pada pemahaman seperti itu. Di negeri lain, orang-orang sudah tidak akan gampang lagi tertipu oleh simbol-simbol. Begitu mau masuk suatu agama atau kelompok tertentu, misalnya, mereka lebih dulu akan menyelidiki seluruh aspeknya dengan baik. Misalnya, seorang Prancis yang mau masuk Islam, dia akan sudah tahu segala aspek yang perlu diketahui tentang Islam. Jadi, begitu dia masuk, dia sudah bisa membedakan ciri Islam Timur Tengah dengan Islam Asia Tenggara. Kita kan tidak seperti itu, malah sebaliknya, menerima saja sesuatu secara taken for granted. Jadi, simbol-simbol itu pun dimakan seperti memakan roti lapis legit. 

JIL: Mas Radhar, para pelaku bom bunuh diri itu pandai sekali menggunakan simbol-simbol agama untuk menangguk simpati umat Islam agar mengamini luhurnya perjuangan mereka. Komentar Anda?
Saya selalu mengajak orang untuk tidak memikirkan kaitan antara terorisme dengan agama. Tindakan mereka itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Kita semua tahu, itu semua adalah buah dari indoktrinasi, ideologisasi, permainan uang, dan tekanan terhadap orang-orang yang sudah frustasi. Mereka digaet untuk membayar dosa-dosanya, dan surat pengampunan dosanya adalah bunuh diri. Dengan bom, mereka merasa dosanya akan hilang dan masuk surga. 

Terorisme selalu tak ada hubungan dengan agama. Itu hanya soal organized crime atau bagian dari aksi kriminal yang terorganisasi, seperti kelompok mafia. Jadi, tak ada urusannya dengan agama. Kalau tiba-tiba setiap mafia menggunakan salib di leher, apakah dia bisa dibilang mafia-Kristen?
Karena itu, saya menganjurkan Mendiknas untuk berinisiatif mengajarkan mata pelajaran semiotika (ilmu tentang simbol-simbol) di sekolah-sekolah. Dengan kemampuan semiotika, seseorang akan mampu membaca simbol tidak secara kasat mata. Dia akan membaca sesuatu di balik simbol. 

Misalnya, kalau membaca koran, jangan dibaca harfiah saja. Karena selalu ada something atau sesuatu di balik berita, dan itu perlu diungkap. Ketika setiap orang melompat ke balik simbol, ia akan menemukan dunia antah-berantah dan mampu menentukan tafsirnya sendiri-sendiri atas kenyataan. Jadi, mereka mampu memungut signifikansinya sendiri-sendiri, dan semua tidak akan tertipu. Dengan begitu, akan banyak pilihan cara pandang. 

JIL: Apa pentingnya semiotika dalam membaca simbol-simbol agama?
Kalau mencermati khazanah budaya yang bernama agama, orang tidak semestinya langsung mengatakan “memang benar, begitu!”, tapi harus mengecek dan meneliti ulang. Kelebihan manusia itu ada pada kecerdasannya. Kecerdasan itulah yang harus dia pergunakan dalam menghadapi setiap gejala, setiap gerak kehidupan. Kalau sudah berhenti bertanya, menerima begitu saja apa yang ada, maka manusia sama saja dengan binatang. Dan ingat, proses demokratisasi dan pencerahan yang sesungguhnya, akan berlangsung ketika setiap kepala yang berbeda-beda itu diperbenturkan dalam bentuk perdebatan. Itulah yang akan melahirkan ide-ide. 

JIL: Apa komentar anda soal meningginya tingkat intoleransi di negeri ini?
Perlu disadari, negeri ini dibangun oleh konstelasi berbagai kekuatan yang masing-masing sudah eksis lebih dulu. Dulu, ada kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berdiri sejak lama, jauh sebelum Indonesia terbentuk. Nusantara ini juga dibangun oleh proses persilangan kebudayaan yang luar biasa. Artinya, tidak ada satu suku dan agama pun di negeri ini yang berhak mengatakan dirinya yang paling utuh dan berhak, karena semuanya hasil persentuhan dengan budaya-budaya di sekelilingnya maupun dari luar. Semuanya hibrid. 

Jadi, tidak ada orang atau kelompok yang betul-betul otentik menjadi pemilik bangsa ini. Karena itu, kita harus terbiasa dengan tingkat pergaulan yang majemuk. Tapi mengapa kebiasaan itu tiba-tiba hilang atau berubah menjadi kebringasan? Saya kira, ada hal-hal yang luar biasa hebat yang telah penetrasi memasuki sumsum masyarakat yang majemuk ini. Dan, itu mampu mengubah banyak hal.
Apakah modal sosial-budaya bangsa ini mampu mengukuhkan kembali sendi-sendi toleransi?
Ya, saya optimis, dengan pengandaian bahwa setiap manusia punya kemampuan untuk memanggil-ulang dirinya kembali dari masa lalu. Jadi ada daya untuk memungut kembali kekuatan-kekuatan yang dia pernah miliki. Itu sebenarnya potensi yang laten. Tapi itu semua perlu dijenguk ke masa lalu, bukan sebagai bagian dari romantika dan nostalgia, melainkan demi mengenang kembali potensi yang selama ini kita tekan dan kita pendam. Kita telah memendam berbagai nilai luhur yang kita miliki sejak ribuan tahun lalu. Nah, itu semua harus kita panggil ulang. Caranya bisa bermacam-macam. 

JIL: Apa yang bisa Anda lakukan sebagai seniman untuk menjemput masa lalu itu?
Menerangkan agar setiap simbol-simbol agama dan budaya jangan kita perdaya dan manfaatkan untuk kepentingan sesaat, sektoral, per golongan. Yang terjadi sekarang, proses pembendaan simbol-simbol atau reifikasi itu berlangsung begitu kuat. Kita telah pula memiskinkan simbol agama, membekukannya dengan cara menggunakannya untuk kepentingan yang sempit. Akibatnya, simbol-simbol itu keluar dari maknanya yang klasik dan tradisional. Karena itu, kita perlu selalu mencerdaskan diri. Kalau masyarakat di negeri ini bertambah cerdas, saya kira akan banyak yang tidak mudah terpengaruh dan tertipu simbol-simbol. []









23 Agu 2012

Formalisasi Syariat Islam dalam Konteks Kekinian


Oleh 
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah Universitas Muhammadiyah Malang

Muhammad Hadidi S.HI



                Karena nilai keabadian dan universalitas Alquran terletak pada prinsip moralnya, maka pernyataan hukum (legal specific) seperti hukum potong tangan, cambuk, jilid, dan sebagainya, tidak berlaku secara universal. Hukuman itu hanyalah solusi temporal dan bersifat tentatif atas
            Tampaknya, tidak ada isu tentang Islam dan politik di Indonesia yang cukup sensitif, aktual, dan kontroversial, kecuali isu formalisasi syariat Islam. Yang menarik untuk dicermati lebih lanjut dari maraknya tuntutan formalisasi syariat Islam hingga kini adalah, belum terlihat adanya pemaknaan yang lebih maju terhadap syariat. Sesuatu yang sering dilupakan oleh umat Islam bersemangat (konservatif) dalam melihat syariat Islam adalah dari aspek historisnya. Karena itu, kalangan konservatif menganggap, bahwa formalisasi syariat adalah dengan merevitalisasi (kalau bukan mengadopsi) nilai-nilai keislaman yang berkembang di Timur Tengah sebagai jalan untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi.
            Jika demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa agama dipahami sebagai warisan kesejarahan yang harus diterima secara taken for granted (bi la kaifa). Alhasil, syariat dipahami secara reduksionis menjadi hukum-hukum partikular (fikih). Syariat dimaknai hanya menutupi aurat, mencantumkan huruf Arab, memberlakukan hukum cambuk, yang diperkuat dengan pengawasan oleh polisi syariat. Realitas ini secara kasat mata bisa dilihat dan sangat jelas terbentang dalam layar syariat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah berlaku sejak 1 Muharram 1423 H.
            Sejak awal memang dapat dibaca bahwa kultur keberagamaan yang berkembang di Aceh tidak memberikan ruang yang luas bagi budaya, sehingga langgam keberagamaan terlihat bersifat simbolik-literalistik. Aceh tidak mempunyai eksperimentasi yang cukup untuk memahami agama dengan menggunakan optik budaya, yang memungkinkan adanya bergaining discourse antara ajaran keagamaan dan budaya. Di satu sisi, agama harus mengikuti budaya, tapi di sisi lain, budaya harus mengakomodasi agama. Namun, teori timbal-balik kebudayaan terlihat sangat langka dalam disket keagamaan yang berkembang di Aceh selama ini.
Persoalannya, bagaimana membangun wajah syariat Islam yang selama ini terkesan menakutkan dan cenderung ‘kearab-araban’ alias ahistoris itu, menjadi sosok syariat yang elegan, tidak menakutkan, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan sosial, sekaligus tidak bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme yang kini menjadi isu politik global. Dengan kata lain, syariat Islam yang seperti apakah yang sekiranya relevan untuk dikembangkan dalam konteks kekinian? Inilah fokus kajian tulisan ini.

Syariat Simbolik
            Eksperimentasi syariat Islam di Aceh (termasuk hukum cambuk), sesungguhnya memberikan gambaran yang kuat tentang apa yang saya sebut dengan syariat simbolik. Bahwa yang menjadi ukuran dalam pemberlakuan syariat Islam di propinsi 'tsunami' itu adalah doktrin-doktrin sekunder dalam teks-teks keagamaan. Dengan kata lain, apa yang terjadi di Aceh dengan pemaknaan syariat sebenarnya tidak menyentuh esensi syariat, melainkan hanya sekadar euforia yang bersifat simbolik. Agama tidak lagi dipahami sebagai esensi, substansi, dan komitmen, tetapi tradisi kearaban yang bersifat sekunder.
Lebih dari itu, dengan adanya polisi syariat yang diproyeksikan menjadi pengawas dan pengontrol bagi pemberlakuan syariat, maka terjadilah ideologisasi syariat. Artinya, penerapan syariat akan sangat tergantung pada sejauh mana peran aparat keamanan (polisi), bukan pada kebebasan masyarakat untuk menerapkan ajaran agamanya sesuai dengan pemahamannya.
Implikasinya, polisi syariat sangat dimungkinkan akan melahirkan kecenderungan represif dan otoritarianistik. Syariat hanya akan diterapkan secara terpaksa bagi masyarakat, sedangkan pemerintah lokal dan aparat keamanan tidak mendapatkan kontrol yang serupa. Polisi syariat tidak hanya berdampak negatif bagi suasana keberagamaan yang pluralis dan inklusif, tetapi dipastikan dapat memandulkan tradisi ijtihad atas doktrin-doktrin keagamaan, karena pemahaman keagamaan sangat terpaut dengan otoritas politik.
            Jika syariat simbolik semacam ini diterapkan dan masuk dalam sistem hukum dan politik di Indonesia, maka sangat dimungkinkan akan mengulangi sejarah kelabu dalam Dinasti Umayah dan Abbasiyah, yang menggunakan syariat sebagai komoditas politik (Misrawi, 2001). Kecenderungan ke arah ini sangat nampak dalam penerapan hukum cambuk di Aceh. Indikasinya sangat jelas, ketika ternyata hukum cambuk itu hanya diberlakukan untuk mereka yang berekonomi lemah, seperti penjudi, pemabuk, dan pezina (Perda No 3/2003). Sama sekali tidak menyentuh tindak pidana dengan kerugian sosial, ekonomi, serta politik yang lebih besar, seperti pelaku korupsi yang biasanya 'dekat' dengan politik kekuasaan.
Bila ini yang terjadi, maka atas nama syariat, peminggiran terhadap kaum minoritas dan tindakan represif dapat berlaku secara massif. Hal ini jelas bertentangan dengan substansi syariat Islam sebagai jalan agama menuju keadilan dan harmoni sosial.

Syariat Liberal
            Uraian di atas menggambarkan, ketika syariat Islam dipahami secara simbolik dan direduksi dengan kawasan wajib tutup aurat, diawasi oleh polisi syariat, penerapan hukum cambuk, atau hukum potong tangan, tampaknya tidak relevan dan bahkan kontraproduktif bila diterapkan di Indonesia yang pluralistik ini.
Namun, jika dipahami dengan paradigma liberal (syariat liberal), maka akan menemukan karakternya yang inklusif dan toleran, sekaligus relevan dengan realitas kekinian yang dihadapkan pada isu pluralisme, demokrasi, dan HAM, yang menjadi agenda utama politik dunia global, termasuk di Indonesia.
            Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: A Sourcebook (1998), memetakan syariat Islam dalam visi liberalnya menjadi tiga. Pertama, liberal syariah, dalam pengertian bahwa syariat dalam teks tertulis adalah bersifat liberal jika dipahami secara benar. Sikap liberal ini bukan semata-mata pilihan manusia, tetapi perintah dari Tuhan yang termaktub dalam Alquran. Kedua, silent syariah, dalam pengertian bahwa tidak semua persoalan hidup tertampung dalam syariat. Karena dalam kenyataannya, syariat tidak menyediakan jawaban atau konsep tentang masalah tertentu, sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada manusia atau menggunakan mekanisme ijtihad. Ketiga, interpreted syariah, dalam pengertian bahwa praktik syariat dipahami dan dijelaskan oleh penafsiran manusia. Interpretasi manusia terhadap syariat dilakukan sebagai model kreativitas intelektual terhadap doktrin agama yang memang membutuhkan tafsir karena tidak tercakupnya semua problem kehidupan manusia.
Itu sebabnya, Qomaruddin Khan dalam Political Concepts of Islam (1983), sebagaimana dikutip oleh Zada (2001), menyayangkan pandangan yang salah dari sejumlah kaum Muslimin bahwa Alquran berisi penjelasan yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Sehingga mereka cukup mendasarkan agendanya pada bagaimana memberlakukan atau menerapkan pesan-pesan Alquran secara literal.
            Padahal, pandangan literal ini mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang literal, yang hanya menekankan dimensi 'luar'-nya. Dan, kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi 'kontekstual' dan 'dalam' dari prinsip-prinsip Islam.
Karena itu, apa yang mungkin tersirat di balik 'penampilan-penampilan tekstualnya' hampir-hampir terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya. Dalam contohnya yang ekstrem, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara kaum Muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan Alquran sebagai instrumen Ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.
            Karena itu pula, letak pokok masalahnya adalah, bagaimana memahami syariat yang tertuang dalam Alquran. Itu sebabnya, konteksnya bukan lagi bagaimana memberlakukan syariat Islam, melainkan bagaimana memahami syariat Islam dalam visi Islam liberal, sehingga syariat Islam secara praksis tidak bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme yang tumbuh dalam dunia modern.
            Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud syariat liberal adalah menafsirkan syariat Islam secara substansial dalam konteks masyarakat kekinian. Perlu dicatat, bahwa kata 'liberal' yang dilekatkan pada kata 'syariat' sama sekali bukanlah penggagahan, apalagi konspirasi manipulatif terhadap syariat itu sendiri. Melainkan, meminjam terminologi Ulil Abshar Abdalla (2002), menafsirkan syariat Islam secara non-literal, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.

Epestimologi Syariat Liberal
            Persoalan substansial yang harus dikedepankan ketika ingin membangun syariat liberal, adalah masalah epestimologi (metodologi). Dalam konteks ini, paling tidak ada tiga tokoh Muslim kontemporer yang kerangka epestimologinya dapat dijadikan sebagai basis acuan metodologis untuk membangun syariat liberal. Ketiganya adalah Fazlur Rahman (selanjutnya disebut Rahman) dengan double movement theory (teori gerakan ganda), Muhammad Shahrur dengan limitation theory (teori batas atau hudud), dan Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta’wil. Dari ketiga metodologi tersebut, hemat saya, double movement theory yang diintrodusir oleh Fazlur Rahman, tampaknya, cukup relevan untuk dikembangkan dalam upaya membangun syariat liberal.
            Nah, karena double movement theory itu pada dasarnya dimaksudkan untuk menafsirkan Alquran secara lebih kontekstual, maka memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan Rahman sendiri terhadap Alquran menjadi hal yang niscaya. Dalam buku Devine Revelation and The Prophet (1978), sebagai seorang muslim, Rahman meyakini betul bahwa Alquran merupakan kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun. Keyakinan ini, bagi Rahman, bersifat pivotal alias tidak bisa diganggu gugat. Tanpa keyakinan semacam ini, demikian Rahman, maka tidak seorang pun dapat disebut sebagai muslim nominal sekalipun.
            Selanjutnya, dalam The Qur’anic Concept of God, The Universe and Man (1967), Rahman menampik doktrin tradisional yang mengatakan bahwa proses turunnya Alquran kepada Nabi SAW itu bersifat mekanik dan eksternal. Menurutnya, proses pewahyuan Alquran sebenarnya merupakan proses kreatif yang secara psikologis terjadi pada diri Nabi. Karena itu, dalam pandangan Rahman, Jibril bukanlah agen eksternal yang seolah-olah menyampaikan wahyu seperti tukang pos yang mengantarkan surat. Jibril adalah agen Allah SWT yang ada pada diri Nabi dan menjadi bagian dari diri Nabi itu sendiri, dan karenanya, Alquran menyebut Jibril dengan sebutan 'Ruh' (QS.26:194). Ruh yang dimaksudkan di sini adalah kekuatan, kemampuan atau agensi yang berkembang dalam hati Nabi dan yang jika diperlukan dapat berubah menjadi operasi wahyu yang aktual, meskipun pada awalnya Ruh itu 'turun' dari 'atas'.
            Lebih lanjut, dalam buku Islam (1979), Rahman mengatakan, "Ketika persepsi intuitif moral Muhammad mencapai puncaknya yang tertinggi dan menjadi identik dengan hukum moral itu sendiri (sesungguhnya di saat-saat seperti ini perilakunya sendiri mendapat pujian Alquran), maka 'kalimat-kalimat wahyu diberikan bersama-sama dengan inspirasi itu sendiri'. Dengan demikian, Alquran adalah murni kata-kata ilahi. Tetapi, tentu saja secara sepadan ‘berhubungan intim’ dengan pribadi terdalam dari Muhammad dan tidak bisa diamati secara mekanis seperti halnya sebuah catatan. Kalam ilahi tersebut mengalir melalui pikiran atau hati Nabi".
            Dari sini dapat dipahami, bahwa menurut Rahman, Alquran adalah kalamullah yang mengalir melalui ingatan dan pikiran Nabi untuk merespon situasi moral-sosial Arab ketika itu dan muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-historis. Dengan katan lain, Alquran adalah respon 'samawi' terhadap kondisi aktual 'Bumi'. Inilah yang kemudian membawa Rahman pada satu konklusi bahwa keabadian Alquran tidak terletak pada arti redaksional dan tekstualnya, tetapi pada makna di balik redaksi itu, yakni prinsip moralnya. Dengan demikian, Alquran bukanlah kitab undang-undang, tetapi lebih merupakan kitab tuntunan moral.
            Dari sinilah, kemudian Rahman mengintrodusir sebuah metodologi penafsiran Alquran yang menjamin aktualisasi ajaran Alquran kapan dan di mana pun, yaitu double movement theory. Teori ini terdiri dari dua gerakan. Pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general). Artinya, sebelum seorang mufassir (penafsir) mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti alasan-alasan hukumnya (ratio legis-‘illat), baik yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit. Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik yang berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan saat Alquran diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang mufassir. Baru setelah itu, dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh Alquran. Dengan demikian, gerakan pertama ini merupakan upaya untuk memastikan apa sebenarnya yang menjadi cita-cita moral (ideal-moral) dari pernyataan hukum yang dikandung oleh Alquran.
            Kedua, dari yang umum kepada yang khusus. Artinya, pesan-pesan atau prinsip-prinsip Alquran yang ditemukan lewat gerakan pertama tersebut kemudian diproyeksikan, diformulasikan, dan diterjemahkan pada konteks kekinian untuk mengukur sekaligus menjawab kasus-kasus kontemporer. Meski proses ini membutuhkan kajian cermat terhadap situasi dewasa ini agar pengukuran kasus-kasus itu bisa dilakukan secara tepat, namun dari langkah inilah sebenarnya diharapkan nilai-nilai Alquran akan tetap segar dan hidup sepanjang zaman (salihun likulli zaman).
            Dengan demikian, metodologi yang diintrodusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif, mondar-mandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik. Metodologi semacam ini tentu saja akan membawa implikasi, bahwa yang namanya hukum Allah dalam pengertian seperti yang dipahami oleh manusia itu tidak ada. Yang ada dan abadi hanyalah prinsip moral. Dengan demikian, hukum potong tangan, misalnya, hanyalah salah satu model hukuman yang di-istimbath-kan (digali) dari prinsip moral, demikian pula hukum-hukum yang lain, seperti jilid seratus kali bagi pezina ghair muhsan (belum menikah), dan sebagainya.
Karena itu, menurut Abu Hapsin (2002), apa yang disebut ayat ahkam (ayat hukum) dalam terminologi ushuliyyin (pakar ushul fikih), dipandang Rahman sebagai 'quasi' hukum, bukan hukum. Sebab, hukum Allah yang abadi dan universal itu tidak terletak pada teks Alquran, tetapi terletak pada prinsip moralnya. Ayat tentang pencurian, misalnya, mengandung prinsip atau cita-cita moral bahwa hak milik harus dijaga. Penjagaan hak milik ini sudah barang tentu tidak harus diwujudkan dalam bentuk hukuman potong tangan sebagaimana tersurat dalam Alquran, tetapi boleh diganti dengan bentuk hukuman lain (penjara, misalnya) selama jelas-jelas dijamin bahwa hukuman pengganti itu dapat memelihara dan menjaga hak kepemilikan seseorang atas harta bendanya.
            Muhammad al-Jabiri dalam Wijhatu al-Nazhr (1992) telah berhasil menafsirkan secara liberal hukum potong tangan sebagai salah satu tema penting dalam syariat Islam. Pertama, hukum potong tangan adalah hukum yang sudah ada pada Islam di Arab. Kedua, di masyarakat Badui dikenal dengan tradisi nomaden, sehingga sangat sulit bagi pelaku pencurian untuk dipenjara. Karena itu, hukuman yang diberikan adalah hukum potong tangan. Sedang pada masa Islam, situasinya tidak berubah, sehingga hukum potong tangan tetap berlaku.
Atas dasar argumentasi di atas, kemudian al-Jabiri memandang bahwa hukuman bagi pencuri substansinya bukanlah potong tangan, melainkan hukuman yang bisa membuat si pelaku menjadi jera. Ini artinya, hukum potong tangan bisa saja diganti dengan, misalnya, hukuman penjara. Demikian pula dengan hukum cambuk yang kini diberlakukan di Aceh, yang tentu saja sangat mungkin diganti dengan hukuman penjara.

Epilog
            Uraian di atas menyajikan sebuah fakta tak terbantahkan, bahwa sesungguhnya eternalitas Alquran itu tidak terletak pada arti teksnya (zahir al-nas), melainkan terletak pada prinsip dan cita-cita moralnya. Alquran bukanlah kitab undang-undang yang siap saji, karena bagaimanapun ia merupakan hasil dari sebuah proses dialogis antara pesan-pesan Samawi yang abadi dengan kondisi aktual Bumi pada saat Alquran diturunkan.
            Lebih dari itu, karena nilai keabadian dan universalitas Alquran terletak pada prinsip moralnya, maka pernyataan hukum (legal specific) seperti hukum potong tangan, cambuk, jilid, dan sebagainya, tidak berlaku secara universal. Hukuman itu hanyalah solusi temporal dan bersifat tentatif atas peristiwa-peristiwa yang muncul saat Alquran diturunkan. Dengan kata lain, hukuman itu merupakan suatu produk transaksi antara keabadian Allah dan situasi ekologis aktual bangsa Arab abad ke-7. Karenanya, bentuk hukuman itu bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi waktu dan tempat (taghayyur al-ahkam bi-taghayyur al-amkan wa al-azman), asalkan tetap mencerminkan nilai dan prinsip moral Alquran yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut dengan maqashid al-syari’ah.
            Walhasil, dari gagasan liberalisme yang diusung oleh Rahman melalui double movement theory-nya itu, ia seolah-olah ingin mengatakan dan berwasiat kepada kita: "Bahwa perdebatan tentang syariat Islam hendaknya tidak lagi berkutat pada formalisasi diktum-diktum syariat (Alquran-Alsunnah) dalam sistem hukum yang berlaku di sebuah negara, melainkan terletak pada bagaimana menemukan makna substantif syariat Islam dalam visi liberalnya". Penulis pun mengamininya dan haq al-yakin, karena hanya dengan syariat liberal inilah, maka syariat Islam akan menemukan sosoknya yang elegan, tidak menakutkan, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan sosial dan zaman, sekaligus relevan untuk diterapkan dalam konteks kekinian. Demikianlah, Wailallahi Turja’ al-Umur…[]