20 Jun 2012

Hukum Qishas


TAFSIR AHKAM
Surat al- Baqarah ayat 178-179
Mengenai hukum Qishas
oleh 
Muhammad Hadidi
A.ayat178-179
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
 وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
B. Artinya:
178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Penjelasan:  Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
179. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.



B. kosakata

1.
كتب : Imam Al-Farro berpendapat bahwa lafadz “كتب عليكمyang terdapat di dalam Al-Qur’an memiliki arti yang sama dengan lafadzفرضعليكم
2.القصاص:persamaan sanksi dengan perbuatan terpidana
3.عفي:memaafkan,membatalkan
4. أولوا الألباب : al-albab adalah bentuk jamak dari “لب” lubb yaitu sari pati sesuatu. Kacang misalnya- memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lubb. Ulu al-albab adalah orang orang yang memiliki akal yang murni yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam cara berfikir.
C.AnalisaSastra
1. Lafadz في pada kalimat في القتلى menunjukkan arti sababiyyah, sehingga ayat diatas jika diartikan: diwajibkan atas kalian menegakkan qishas sebab terjadinya pembunuhan.( في ) yang memiliki makna sababiyyah juga dapat ditemukan dalam hadis, sebagaimana sabda Nabi Muhammad.
دخلت امرأة النار في هرةyang jika diartikan: “seorang wanita dimasukkan kedalam neraka sebab –bertindaksemena-menapada-kucing”.

2. Ayat diatas diawali dengan kalimat (الذين آمَنُواْ) bertujuan untuk menguatkan makna yang menekankan pada seruan menegakkan praktek qishas yang telah disyari’at kan oleh Dzat yang Maha Mengetahui hati hamba-hamba-Nya, karena ketika pondasi keimanan seseorang berada taraf as-sidq maka itu akan mendorongnya untuk menegakkan syari’at Allah agar terciptanya rasa aman dan ketenangan.

3. Ayat diatas meski dengan susunan kata yang sangat ringkas tetapi dapat menjelaskan hikmah qishas dengan makna yang sangat dalam, oleh karna itu ayat ini sangat populer di kalangan para pakar ilmu bayan dengan sebutan “ayat yang paling baligh diantara ayat-ayat alqur’an yang lain”.


4. Sisi keindahan sastrawi dalam ayat ini tercermin pula pada pemilihan kata القصاص yang memiliki arti الإماتة yang mana terkandung di dalamnya makna lafaz yang justru merupakan antonim dari           lafadz  الحياة

5. Lafaz القصاص dengan menggunakan bentuk makrifat, sementara lafazh حياة justru menggunakan bentuk nakirohnya, hal itu tiada lain untuk menujukkan bahwa pada jenis hukuman ini (qishas)terdapat kehidupan yang amat mulya yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

6. Dikalangan bangsa arab jahiliyyah telah masyhur sebuah ungkapan yang menunjukkan arti yang sama dengan ayat diatas, yaitu kalimat “القتل أنفى للقتل. Hanya saja menurut para ulama setelah meninjau dari sisi balaghah tetap saja ungkapan tersebut tidak dapat menandingi ayat di atas, dalam hal ini Ar-razi dalam tafsirnya mengungkapkan sisi-sisi keistimewaan yang tidak dapat ditandingi oleh kalimatarabsebagaimana         berikut:

1) Susunan kalimat “في القصاص حياةsangat ringkas jika dibandingkan dengan kalimat القتل أنفى للقتل”, karna jumlah huruf nya yang            sedikit.
2) Ungkapan orang arab secara zhohirnya menunjukkan: adanya suatu aktivitas yang justru menyebabkan   tiadanya aktifitas tersebut,dan hal ini tidaklah logis.
3) Pada kalimat “القتل أنفى للقتل” terdapat pengulangan kata, yaitu lafaz القتل”, yang mana hal ini tidak terjadi pada susunan kalimat sebagaimana ayat diatas.
4) Pada kalimat القتل أنفى للقتل hanya menunjukkan arti tindakan prefentif dari pembunuhan, sedangkan kalimat yang ada pada ayat diatas lebih luas cakupannya, baik pada kasus pembunuhan maupun tindakan yang merugikan pada anggota tubuh (جرح).
5) Pembunuhan secara aniaya (sebagaimana praktek yang terjadi pada masa jahilyyah)adalah bentuk pembunuhan dan tidaklah meniadakan pembunuhan, justru itu menjadi cikal bakal pembunuhan yang lebihluasdan berantai.


7. Ayat di atas secara implisit menunjukkan bahwa tujuan pelaksanaan qishas dan nilai luhur yang terkandung dari pensyariatan hukum qishas hanya dapat dicerna dan dipahami oleh orang-orang yang memiliki akal yang lurus dan sehat , itulah mengapa Allah menggunakan kata “يا أولي الألبابsebagai khitob.
D. asbabun nuzul Turunnya Ayat
Diriwayatkan dari Qotadah r.a. bahwa kaum jahiliyyah pada saat itu selalu berbuat kelaliman dan tunduk pada syaitan. yang dapat bertahan hidup ialah mereka yang memiliki kekuatan, sehingga sewaktu hamba sahaya mereka dibunuh oleh hamba sahaya orang lain. Dengan sombongnya mereka berkata: “kami tak akan membunuhnya (sebagai balasan) kecuali orang yang merdeka”, kemudian di saat seorang perempuan dibunuh oleh perempuan yang lain, mereka mengatakan: “kami tak akan membunuhnya (sebagai balasan) kecuali lelaki diantara kalian”. Kemudian turunlah ayat: الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى
E. Makna Secara Umum
Allah swt. Memulai uraian-Nya dalam ayat ini dengan menyeru kaum beriman: hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash. Ini diwajibkan kalau kamu –wahai keluarga terbunuh- menghendakinya sebagai sanksi akibat pembunuhan tidak sah atas keluarga kalian. Tetapi, pembalasan itu harus melalui yang berwenang dengan ketetapan bahwa, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.Tetapi kalau keluarga teraniaya ingin memaafkan dengan menggugurkan sanksi itu, dan menggantikannya dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan.
Sanksi atas pembunuhan sebelum datangnya islam sangatlah beragam, dalam ajaran yahudi terdapat Qishos, ajaran nasrani berupa diyat, sedangkan hukum adat yang berlaku di kaum arab jahili yaitu dengan menuntut balas, baik dengan membunuh selain pelaku, atau kepala sukunya, atau menuntut balas terhadap dua atau banyak orang kalau yang terbunuh secara tidak sah hanya seorang, atau perempuan dengan lelaki, dan hamba sahaya dengan orang yang merdeka.

Kemudian datanglah Islam dengan menetapkan standar keadilan dan persamaan dalam sanksi pidana kasus pembunuhan. hal itu sebagai perwujudan tindakan prefentif dari melakukan pembunuhan, yang mana hal itu tak cukup dengan sanksi pidana yang berlaku pada dewasa ini, karna hukuman penjara umumnya tidak sampai membuat jera para pelaku pidana pembunuhan untuk tidak melakukan pembunuhan kembali.
Dari sini jelaslah bahwa syari’at Allah ialah yang paling adil, benar dan juga mengandung mutiara hikmah, karna Allah maha mengetahui hal mana yang lebih maslahat bagi umat manusia.
Dalam ayat ini islam telah mengurangi praktek pembalasan dendam secara kejam. Pembalasan dendam yang kejam seperti yang dipraktekkan pada masa Jahiliyyah dan juga yang dilakukan pada masa kini oleh masyarakat modern yang beradab dengan sedikit modifikasi bentuk. Persamaan dalam pembalasan ditetapkan dengan masa keadilan yang ketat, tetapi memberi peluang memberi profisi yang jelas bagi kasih sayang dan sikap memaafkan.
F. Kajian Komprehensif
Dalam sub bahasan ini penulis sengaja tidak mengikuti pakem yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir ayat ahkam, yang lebih fokus pada penggalian hukum oleh berbagai mujtahid mazhab serta perbedaan-perbedaan yang munculnya didalamnya. Lebih dari itu, penulis akan mencoba memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan kajian ini, tidak hanya dari sisi penggalian hukum saja, melainkan mencakup pula aspek history, dan perbandingan. Agar lebih sistematis berikut ini beberapa poin yang akan dikaji dalam sub bahasan ini:
I. Qishas dalam kitab-kitab samawi
II. Qishas pada masa pra islam
III. Qishas dalam islam
IV. Pro & kontra
V. Dampak Revolusi Prancis




I. Qishas dalam kitab-kitab samawi
Dalam kitab taurat (safar al-khuruj) disebutkan “barang siapa yang memukul seseorang kemudian ia mati maka pelaku wajib dibunuh”, dan disebutkan pula “ bahwa keluarga dari pihak korban memiliki hak untuk melakukan qishas kepada pelaku tatkala bertemu, dan tidak diperkenankan mengambil fidyah sebagai permohonan maaf pelaku, melainkan ia wajib dibunuh”.
Dari sini dapat difahami bahwa penerapan hukum qishas juga berlaku pada syari’at taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as.
Sementara itu ada beberapa perbedaan mengenai pemberlakuan hukuman mati dalam syari’at agama nasrani, Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam syariat agama nasrani mengenal pula istilah hukuman mati, hal ini berlandaskan dengan ucapan Nabi Isa as. “ saya datang bukanlah untuk mempertentangkan kitab taurat melainkan untuk menyempurnakannya”.
Sedangkan menurut sebagian yang lain mengatakan bahwa hukuman mati tidak termasuk dalam prinsip dasar syari’at mereka. Hal ini berlandaskan dengan ucapan nabi isa as yang tertera dalam injil matheus “ kalian telah mendengar bahwa dikatakan ” mata dibalas dengan mata, dan gigi dengan gigi” , adapun saya berkata pada kalian “janganlah membalas sebuah kejelekan, justru jika ada seseorang yang menampar pipi kananmu maka berikanlah pipi kirimu”, kalian telah mendengar bahwasanya dikatakan “cintailah kerabatmu dan bencilah musuhmu”, adapun saya berwasiat pada kalian “ cintailah musuh dan orang yang membeci kalian”. Dalam hal ini Abu Zahroh memberikan tanggapan bahwa apa yang terdapat dalam injil ialah sebatas wasiat untuk memaafkan dalam tindakan kriminal yang bersifat individu bukan termasuk undang-undang syari’at, yang mana dianjurkan kepada korban untuk mengikuti wasiatnya jika tidak berkenan maka undang-undanglah yang diterapkan.
II. Hukuman Mati Pada Masa Pra Islam
Di semenanjung tanah arab sebelum Islam masuk -dengan mereformasi tatanan hukum yang berlaku- juga mengenal hukuman mati, hanya saja pada prakteknya lebih mengarah pada kelaliman, barbar dan jauh dari keadilan dan persamaan. Sayyid sabiq menceritakan bahwa pada masa itu tindak pidana yang dilakukan oleh individu menjadi tanggung jawab sebuah qobilah, kecuali bilamana qobilah tersebut telah mengumumkan sebelumnya pada khalayak umum bahwa ia telah dikeluarkan dari kelompok mereka.
Dampak terbesar dari tatanan hukum tersebut dapat memicu peperangan antara qobilah dalam sekala besar, padahal jika dirunut kronologisnya hal itu tak lain berawal dari tindakan perorangan, dus hal ini amat disayangkan tentunya. Dalam hal ini Abu zahroh mengingatkan bahwa apa yang terjaqdi pada masa jahiliyah sebenarnya tak jauh berbeda dengan apa yang berlaku pada dewasa ini. mereka yang mencanangkan penghapusan hukuman mati dengan alasan kehilangan 2 orang lebih berat daripada kehilangan satu orang saja, dan juga karena pelaku kriminal ialah seorang yang dikategorikan sakit maka yang perlu dilakukan ialah menyembuhkannya bukan justru membunuhnya, pada hakikatnya mereka hanya melihat dari sisi pelaku saja tidak pada sisi korban dan masyarakat umumnya yang justru dengan tidak diberlakukannya sebuah keadilan bisa memicu pergolakan yang lebih besar dengan kata lain dendam yang terorganisir.
Abu a’la al-maududi menambahkan bahwa kondisi manusia pada masa pra islam sangat memprioritaskan kehidupan anak-anak qobilah mereka, sehingga jika terjadi pembunuhan, mereka menuntut pada pihak pelaku untuk memberikan seorang laki-laki yang masih hidup yang memiliki derajat yang sama dengan korbannya atau dengan cara membunuh puluhan orang bahkan ratusan sebagai pembalasan dendam, dari sisi yang lain bilamana si pelaku memiliki derajat yang lebih tinggi dari korbannya maka mereka memutuskan untuk tidak melakukan hukuman mati. Beliu juga mentamtsilkan hal ini dengan praktek-praktek yang terjadi pada dewasa ini, dimana negara-negara maju jika ada dari warganya melakukan tindakan kriminal pembunuhan terhadap warga negara dari dunia ketiga maka umumnya pelaku tidak diadili dengan hukuman setimpal (mati).
III. Qishas dalam perspektif hukum islam
a) Ontologi:
Kata qishas berasal dari kata arab “qashasha” berarti memotong, atau mengikuti jejak buruannya. Dengan arti ini maka kata “qashasha” bermakna hukum balas dengan hukuman yang setimpal bagi pembunuhan yang dilakuka.
Qishas dalam kaitannya sebagai salah satu bentuk hukuman (uqubah) dalam islam, maka ada baiknya penulis lampirkan definisi uqubah dan variannya.
Abdul Qodir Audah mendefinisikan uqubah: balasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan umum atas pelanggaran terhadap hokum syariat.
Masih menurut beliau, uqubah dalam qishas ada tiga macam variannya:
1.Al-uqubah al-ashliyah: jenis hukuman yang telah ditetapkan untuk tindakan kriminal sebagaimana aslinya, semisal Qishas untuk jenis pidana pembunuhan.
2. Al-uqubah al-badaliyah: jenis hukuman pengganti dari hukuman yang asli karna adanya penghalang yang bersifat syar’I dalam menerapkan hukuman yang asli, semisal diyat sebagai pengganti qishas.
3. Al-uqubah at-taba’iyah: jenis hukuman susulan (tambahan) yang dikenakan kepada pelaku tindak criminal, semisal terhalangnya pembunuh mendapatkan warisan.
b) Epistimologi:
Dalam Al-qur’an banyak sekali ayat yang membicarakan mengenai haramnya pembunuhan, diantaranya seperti firman Allah swt:
و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق، ومن قتل مظلوما، فقد جعلنا لوليه سلطانا فلا يسرف في القتل، إنه كان منصورا.
Sementara itu, kewajiban penerapan hukum qishas telah ditetapkan dalam syariat islam baik dalam al-kitab, Sunah dan Ijmak.
1) Al-kitab: sebagaimana termaktub dalam Surat Al-Baqarah Ayat 178-179, dan juga ayat yang telah disebutkan diatas yang mana kata سلطانا ditafsirkan oleh para ulama dengan makna القود”, yakni sama dengan makna al-qishas.
2) Sunah: Dalam hadis diterangkan pula mengenai wajibnya penegakan hukum qishas untuk jenis pembunuhan yang disengaja:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “العمد قود، إلا أن يعفو ولي المقتول” أي أن القتل العمد يوجب القود (أي القصاص) إلا عند العفو.
3) Ijmak: ulama sepakat bahwa orang yang membunuh orang lain secara licik atau hirabah, kemudian wali orang yang terbunuh merelakan pembunuhnya dibunuh, maka darah pembunuh itu halal. Dan Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat islam, bahwa kisas hanya wajib dalam masalah pembunuhan yang disengaja.
Berkaitan dengan fokus kajian pembahasan kali ini yang sedari awal memang tertuju pada interpretasi Qs. Al-Baqarah: 178-179, maka dirasa perlu untuk melampirkan perbedaan-perbedaan dari berbagai mazhab dalam istinbath ahkam dari ayat tersebut. Diantara permasalahan yang diperselisihkan oleh para mujtahid mazhab ialah mengenai apakah seorang yang merdeka diqishas sebab membunuh hamba sahaya, Atau tidak? Apakah seorang muslim wajib diqishas lantaran ia membunuh seorang kafir?.
Dalam menjawab kedua pertanyaan ini, dapat dipahami secara jelas dengan mengetahui istidlal dan hujjah dari masing-masing mujtahid mazhab yang mana perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok:
1. Mazhab Hanafi:
1) Hukum: dalam permasalahan pembunuhan yang disengaja mereka menyatakan wajib diterapkan qishas.
2) Hujjah: pada ayat “كتب عليكم القصاص في القتلى mengandung sebuah hukum, yaitu wajibnya penegakan qishas, yang mana itu hanya tertuju pada penghilangan jiwa seseorang dan tidak memasukkan pada tindakan melukai/menghilangkan anggota tubuh seseorang yang tidak sampai merenggut nyawanya. Dan tersirat pula dari ayat tersebut pemberlakuan hukum qishas bagi orang merdeka sebab membunuh hamba sahaya, karna ayat tersebut tidaklah membedakan apakah status hamba sahaya sebagai korban atau justru pelaku. Dus, hamba sahaya juga termasuk objek yang dimaksud dari ayat ini.
Al-jasshos menambahkan bahwa lafadz maqtul (korban pembunuhan) dari ayat diatas ialah termasuk kategori lafadz yang umum sehingga mencakup hamba sahaya, kafir dzimmi, merdeka dan muslim. Sedangkan lafadz qotil termasuk kategori lafadz yang khusus yaitu bagi setiap jenis pembunuhan yang disengaja.
Adapun lafadz (الحر بالحر) hanyalah berfungsi sebagai taukid atas diwajibkannya penerapan qishas bagi pelaku. dan menjelaskan kronologis serta kondisi di arab pada saat ayat ini diturunkan.

2. Mazhab Syafi’i & Maliki:
1) Hukum: tidak boleh menerapkan qishas.
2) Hujjah: ayat di atas sejatinya tidaklah berhenti pada lafadz
كتب عليكم القصاص في القتلى”, melainkan berhenti pada lafadz الأنثى بالأنثى”. Implikasinya ialah pada ayat ini Allah mewajibkan dalam penerapan qishas adanya persamaan yang kemudian dijelaskan bentuk persamaan tesebut, yaitu orang merdeka dengan merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Adapun kasus pembunuhan yang dilakukan oleh muslim kepada kafir dzimmi itu dapat pula diqiyaskan dengan kasus yang pertama, karna tidak adanya persamaan dan juga karena letak sisi kurangnya nilai seorang hamba itu disebabkan oleh sifat kehambaan yang itu merupakan dampak dari kekufuran sebelumnya. Maka seorang muslim tidaklah diqishas ketika ia membunuh kafir dzimmi. Dan hal ini juga diperkuat dengan hadis nabi: “لا يقتل مؤمن بكافر، ولا ذو عهد في عهده”.
3. Murojjih (ali as-sayis & as-shobuni):
Dalam permasalahan ini as-sayis diikuti pula oleh as-shobuni berupaya untuk mentarjih antara kedua perbedaan tersebut, yang mana pada akhirnya mereka berdua lebih condong kepada pendapatnya mazhab hanafi. Berikut ini landasan yang mereka pijaki dalam pentarjihan tersebut:
1) Secara logika ada beberapa kelemahan pada metodenya mazhab syafi’i dalam permasalahan ini, satu sisi mereka mensyaratkan harus adanya persamaan dalam qishas, tetapi dalam kondisi yang lain yaitu ketika permasalahannya dikaitkan dengan pembunuhan yang dilakukan oleh wanita kepada pria mereka justru tidak menerapkan syarat tersebut, sehingga dalam kasus ini diterapkan qishas meski tidak ada persamaan jenis antara keduanya.
2) Hamba sahaya dan kafir dzimmi keduanya termasuk golongan dar al-islam sehingga hartanya kafir dzimmi juga memiliki kesamaan dengan harta orang muslim dari segi kemulyaannya, dan bilamana ada seorang muslim mencuri harta kafir dzimmi maka wajib dipotong tangannya.
3) Adapun hadis yang menyatakan “لا يقتل مؤمن بكافر، ولا ذو عهد في عهده oleh para ulama ushul ditakwil, yang mana pentakwilan yang paling baik menurut as-sayis ialah: “أي بالكافر الذي قتل في الجاهلية “.
c) Aksiologi
Disyariatkannya qishas oleh Allah swt tentunya memiliki hikmah di balik itu yang bisa dirasakan pada saat itu ataupun pada masa mendatang yang terkadang manusia sejenius apapun dia tidak dapat menyingkap hikmah-hikmah dari penerapan hokum Allah di muka bumi. Maka tak asing lagi jika di sana-sini kita mendengar suara-suara sumbang yang berusaha untuk merobek hokum-hukum Allah dengan alasan tidak lagi relevan dengan kondisi peradaban manusia modern.
Adapun hikmah dari pensyariatan Qishas baik secara khusus maupun umum sebagai berikut:
1. Khusus (pihak korban/pelaku):
1) Balasan yang setimpal
2) Kelegaan hati pihak keluarga yang mana itu tak dapat terealisasi jika pelaku hanya mendapatkan hukuman penjara saja yang kemudian bisa bebas kapan saja dan menghirup udara kembali. Sementara itu kerelaan hati pihak keluarga merupakan sebuah keniscayaan
3) Pelaku akan berfikir ulang jika ternyata hukuman yang akan dikenakan padanya adalah nyawanya sendiri.
2. Umum (maslahah ammah)
1) Ditegakkannya nilai keadilan
2) Terciptanya keseimbangan dlm masyarakat
3) Kemaslahatan yang tercipta tidaklah hanya pada satu kondisi masyarakat, maupun masa tertentu saja, melainkan menyeluruh pada semua aspek yang mana hal itu tidak dapat terealisasi dengan hukum positif.
IV. Pro & Kontra Hukum Mati
Sebagaimana kita ketahui, qishas yang jika kita artikan sebagai hukuman mati bagi terpidana maka sudah barang tentu akan kita temukan pula praktek hukuman mati yang mana hal itu tidak hanya terjadi di Negara muslim saja. Kendati demikian Ada saja beberapa wacana yang dilontarkan oleh beberapa pakar, baik pakar hukum positif maupun beberapa filosof yang kaitannya dengan relevansi penerapan hukum mati atau meniadakannya, dan disertai pula bantahan ulama kontemporer terhadap pendapat yang menyatakan tidak relevannya hukuman mati untuk peradaban modern.

a) Pendapat kontra
1. Pembunuhan sebagai hukuman adalah sesuatu yang kejam, yang tidak berkenan atau tidak wajar bagi manusia beradab.
2. Pembunuhan yang dilakukan terpidana menghilangkan satu nyawa, tetapi pelaksanaan qishas adalah menghilangkan satu nyawa yang lain.
3. Pembunuhan terhadap si pembunuh menyuburkan balas dendam, padahal pembalasan dendam merupakan sesuatu yang buruk dan harus dikikis melalui pendidikan.
4. Si pembunuh sejatinya mengidap sakit jiwa dan sudah semestinya untuk disembuhkan bukan malah dibunuh.
b) Sanggahan pro hukum mati
1. Hokum mati bisa dikategorikan kejam jika hanya dilihat dari sisi bentuk hukuman, dan melupakan korbannya yang terbunuh serta keluarga korban yang ditinggal.
2. Penghilangan satu nyawa yang lain itu memang benar adanya dan itu yang tampak di permukaan, tetapi yang tidak tampak ialah yang bergejolak di hati keluarga korban, yaitu menuntut balas yang dapat melampaui batas keadilan, sehimgga ketika itu, bukan hanya yang lain, tetapi puluhan nyawa yang lain bisa menjadi korban, dan ketika itu juga akal sehat akan berkata, “dari pada puluhan korban yang jatuh, cukuplah satu yang melakukan pembunuhan secara tidak hak itu.
3. Dalih yang ketiga adalah dalih yang baik, tetapi berhasilkah kemanusiaan mengikis habis dendam yang membara dari jiwa manusia?
4. Jika memang hukuman mati tidak dapat ditegakkan hanya karena lantaran perbuatan pelaku menunjukkan bahwa dia mengidap sakit jiwa maka dalih ini sangatlah berbahaya bagi kehidupan masyarakat, karena ia akan mendorong pembunuhan dengan perisai sakit jiwa. Namun demikian, jika memang itu terbukti melalui pemeriksaan yang bertanggung jawab maka tentu saja hukuman terhadap terpidana akan berbeda.
V. Dampak Revolusi Prancis
Sebagaimana kita ketahui, bahwa perjalanan penerapan hukuman mati dalam lintas sejarah dan agama adalah tetap adanya baik dalam kitab taurat, nasrani, bangsa eropa maupun umat islam khususnya yang kemudian dalam syari’at agama ini hokum mati diistilahkan dengan hokum qishas.
Dalam perjalannnya melintasi lebih dari sepuluh abad telah membentuk peradaban timur yang diwakili oleh peradaban islam telah sampai pada puncak peradaban yang maju dan seimbang. Namun, tatkala islam mengalami degradasi di akhir-akhir masa khilafah usmaniyah, sementara itu, Negara-negara eropa sedang berada pada titik balik untuk mengambil kejayaannya kembali, dan hal itu ditandai dengan terjadinya revolusi prancis, dan juga penjajahan yang mereka lakukan di Negara-negara yang berpenduduk muslim, berdampak pula terhadap penerapan hokum-hukum syari’at secara umum dan hokum qishas secara khusus yang lambat laun ditinggalkan oleh pemeluknya mulai dari timur tengah sampai ke Negara khatulistiwa. hal ini tentunya disebabkan oleh gesekan-gesekan kebudayaan antara negera yang menjajah dengan yang di jajah.
Dampak dari revolusi perancis terutama dalam produk hukum, yang dalam hal ini ialah peniadaan hukuman mati meluas sampai ke Negara-negara eropa, semisal Portugal dan belanda. Kemudian pada awal abad ke-20 bertambah luas lagi dampak tersebut ke beberapa Negara lainnya, semisal italia, finlandia, jerman barat, dan sebagian wilayah Negara amerika.



G. Penutup
Bagaimanapun kondisi zaman yang telah berubah, pola pikir manusia semakin kritis, traffic informasi semakin deras lajunya, dan teknologi semakin menentukan dalam segala aspek kehidupan. sehingga tak jarang perlunya diadakan kajian-kajian ulang dalam sebuah keputusan hukum. Hanya saja tidaklah arif jika kita mengakui sebagai seorang muslim yang hidup di abad yang serba modernis ini, di sisi lain kita mengklaim bahwa hukum qishas tidak lagi relevan bahkan menganggap ayat-ayat semacam itu hanyalah ayat produk budaya saja yang akan dengan sendirinya hilang jika kebudayaan manusia telah mengalami perubahan. Bukankah dalam syari’at melarang keras men-ta’thil-kan satu ayatpun dari Alqur’an.Wallahu a’lam bis showab.