24 Jan 2012


Pengaruh Keluarga Asal Terhadap Perkawinan




Oleh Muhammad Hadidi
Jurusan Islamic  Law UMM
 


Sebelum menikah, saya sudah pacaran cukup lama lho dengan suami/istri saya...Tapi kenapa, ya, kok setelah menikah sepertinya sikapnya berubah dan tuntutannya pun sulit dipahami. Sepertinya, apapun yang saya kerjakan selalu salah dan tidak sesuai dengan keinginannya. Saya bingung...bagaimana sih “standard” atau kriteria yang benar buat dia ?
 
 

Pertanyaan tersebut sering muncul dalam sebuah kehidupan perkawinan, tidak memandang usia perkawinan itu baru atau pun lama. Kenapa hal itu bisa terjadi sedangkan masa pacaran seakan dilewati tanpa masalah yang berarti?

Persatuan Dua Pribadi

Menikah dapat diartikan secara sederhana sebagai persatuan dua pribadi yang berbeda. Konsekuensinya, akan banyak terdapat perbedaan yang muncul. Mengapa saat pacaran hal itu tidak menjadi soal? Proses pacaran pada intinya adalah mekanisme untuk mempelajari dan menganalisis kepribadian pasangan serta belajar saling menyesuaikan diri dengan perbedaan tersebut. Dalam pacaran, akan dilihat, apakah perbedaan tersebut masih dapat ditolerir atau tidak. Namun masalahnya, selama masa pacaran orang sering mengabaikan realita sehingga kurang peka terhadap permasalahan atau perbedaan  yang ada – bahkan seringkali mereka memasang harapan bahwa semua itu “akan berubah” setelah menikah. Yang sering terjadi, banyak pasangan yang kecewa karena harapan mereka tidak terwujud dan tidak ada perubahan yang terjadi, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.
 
Satu hal yang sering kurang disadari oleh orang yang menikah adalah bahwa bersatunya dua pribadi bukanlah persoalan yang sederhana. Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dan punya latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda, entah itu latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal atau pun pengalaman pribadinya selama ini. 
 
Pengaruh Keluarga Asal
 
Para ahli mengatakan bahwa pola asuh orang tua atau pun kualitas hubungan yang terjalin antara orang tua dengan anak, merupakan faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas perkawinan seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi pola interaksi/komunikasi antara suami-istri dan dengan anak, mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan, dan mempengaruhi persepsi orang tersebut terhadap perannya sendiri. Intinya, hubungan orang tua-anak ikut mempengaruhi seseorang dalam mengarungi kehidupan perkawinan di masa mendatang.
 
1.   Hubungan orang tua-anak
 

Menurut penelitian Henker (1983), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Jika hubungan dengan orang tuanya dulu memuaskan dan membahagiakan, maka kesan emosi yang positif akan tertanam dalam memori dan terbawa pada kehidupan perkawinannya sendiri. Orang demikian, biasanya tidak mengalami masalah yang berarti dalam kehidupan perkawinannya sendiri. Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orang tua, akan terekam dalam memori dan menimbulkan stress (yang berkepanjangan, baik ringan maupun berat). Berarti, ada the unfinished business dari masa lalu yang terbawa hingga kehidupan berikutnya, termasuk kehidupan perkawinan. Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi/pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri, terhadap pasangan dan terhadap makna perkawinan itu sendiri.
 
2.   Sikap penolakan orang tua
 

Kurangnya perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orang tua – namun seringkali orang tua tetap tidak memberikan respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi dan sikapnya dalam menjalin relasi dengan orang lain. Pada saat menikah, bisa jadi seorang istri menikahi suaminya karena merindukan figur ayah yang melindungi dan mencurahkan perhatian dan kasih sayang – seperti yang tidak pernah didapatnya dahulu. Atau, bisa jadi seorang pria mencari wanita yang dapat menjadi substitusi dari ibunya dahulu, yang sangat ia dambakan cinta dan perhatiannya.
Masalahnya, anak yang tumbuh dengan kondisi deprivasi emosional (kurang terpenuhinya kebutuhan emosional), di masa dewasanya, cenderung mentransferkan kebutuhan akan perhatian, cinta, penghargaan, penerimaan dan rasa aman kepada pasangannya. Mereka menuntut pasangannya untuk men-supply kebutuhan emosional mereka yang tidak terpenuhi  waktu kecil. Biasanya, orang demikian menjadi sangat demanding, terlalu tergantung pada pasangannya, tidak mandiri, cari perhatian dan sangat manja.
 
3.   Identifikasi figur orang tua
 

Seringkali tanpa sadar seseorang mencari pasangan yang seperti ibunya atau ayahnya. Mereka mengharapkan agar pasangannya memperlakukan dia seperti perlakuan ayah dan ibu terhadapnya. Harapan tersebut pada dasarnya tidaklah realistis dan sering mendatangkan persoalan yang besar. Ucapan “saya bukanlah ayahmu/ibumu, jadi berhentilah berharap saya akan menjadi seperti dia !”. Pernyataan ini merupakan cermin adanya tuntutan dan keinginan seseorang untuk menjadikan pasangannya seperti ayah/ibunya.
 
4.  Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang tua
 

Kelekatan yang berlebihan dan tidak sehat terhadap salah satu orang tua (biasanya terhadap orang tua lawan jenis) di masa kanak-kanak, jika tidak berubah/mengalami perkembangan – dan jika setelah menikah masih tetap lengket dengan orang tuanya – maka hal ini akan menimbulkan persoalan besar dengan pasangan. Pasangan akan merasa diabaikan dan disingkirkan, sehingga timbul perasaan marah, kesal, iri, cemburu serta emosi negatif lainnya.  Ketergantungan tersebut sering membuat pasangan jengkel karena hal-hal kecil sekali pun ditanyakan kepada orang tua dan tergantung pada respon atau pilihan orang tua. Tentu saja pasangan merasa tidak dihargai karena selalu berada di bawah bayang-bayang mertuanya. Pasangan merasa posisinya hanya sebagai pelengkap yang tidak signifikan dalam menentukan arah kehidupan keluarga.
Pada beberapa kasus, ketergantungan tersebut bersifat dua arah. Artinya, anak menjadi sumber sense of self dari orang tua (karena keberadaan anak membuat dirinya merasa berguna, dibutuhkan, berarti), sehingga orang tua ingin terus berperan sebagai orang tua yang menentukan kehidupan sang anak meskipun sang anak telah dewasa dan berkeluarga. Bisa jadi, orang tua itu pun sejak anaknya masih kecil, menanamkan pengertian dan sikap-sikap yang menstimulasi ketergantungan anak terhadap orang tua. Salah satunya, orang tua yang over-protective dan  terlalu dominan, malah menimbulkan rasa kurang percaya diri dan kemandirian pada anak. Anak akan memandang bahwa dirinya tidak dapat berbuat apa-apa tanpa orang tua, dan anak bukan siapa-siapa tanpa orang tuanya.
 
Kenali Diri Sendiri 
 
Melihat hal-hal di atas, maka amatlah disarankan bagi mereka yang akan menikah, untuk benar-benar mempelajari dinamika yang terjadi pada diri sendiri, kepribadian diri, sifat, karakter, kecenderungan positif maupun negatif, motivasi dalam mencari suami/istri, prioritas dan kebutuhan dalam hidup. Pelajarilah hubungan antara diri sendiri dengan orang tua, dan temukan – manakah dari hubungan dengan orang tua yang tidak ingin diulangi/terulang dalam kehidupan perkawinan di masa mendatang. Pelajari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang tanpa sadar dilakukan orang tua di masa yang lalu, baik dalam memelihara kehidupan perkawinan, maupun dalam mengasuh dan membesarkan anak. Seringkali orang baru menyadari setelah bertahun-tahun, bahwa ternyata kehidupan perkawinannya hampir sama dengan kehidupan perkawinan orang tuanya. Dan, pasangan yang dipilih, mempunyai kesamaan karakteristik dengan salah satu figur orang tuanya. Jika hal ini berakibat positif – tentunya tidak menjadi masalah. Namun, yang lebih sering terjadi justru yang sebaliknya. Oleh sebab itu, orang merasa hidup dalam “kesusahan dan penderitaan” yang tiada akhir; padahal, semua itu dimulai oleh dirinya serta berdasarkan pilihan dan tindakan dirinya sendiri.
Bagi Anda  yang akan maupun sudah menikah: mempelajari dan meneliti diri sendiri, memang lebih sulit dari meneliti orang lain. Namun, jika sudah mampu melihat kenyataan diri, maka orang akan lebih mampu bersikap bijaksana terhadap orang lain, termasuk pada pasangan. Ia akan melihat, mengapa dan bagaimana keadaan internal dalam dirinya bisa berpengaruh terhadap pasangan dan terhadap hubungan antara keduanya. Jadi, jika terjadi masalah, tidak langsung menyalahkan pasangan, melainkan introspeksi ke dalam dulu. Jika seseorang merasa pasangannya kurang memperhatikan, cobalah telaah, apakah keadaan itu riil atau kah cermin dari adanya kebutuhan dan kehausan akan perhatian? Apakah ada bentuk ketergantungan yang bersifat kekanak-kanakan, yang diharapkan dapat dipenuh oleh pasangan? Apakah tuntutan yang ada realistis, atau karena merasa ketakutan dan tidak aman terhadap hubungan itu sendiri (takut pasangan tidak setia, takut ditinggalkan, takut diabaikan, takut tidak diperhatikan). Melalui mekanisme tersebut, maka sebuah perkawinan dapat bertumbuh dengan lebih sehat – karena kedua belah pihak, mau melepaskan diri dari masa lalu dan belajar dari kesalahan untuk membangun kehidupan dan keluarga yang mandiri di masa sekarang ini.
Sebagai penutup, ada satu hal yang tidak kalah pentingnya, seperti yang dikatakan oleh Rice, penulis buku "Intimate Relationship, Marriages and Families" (1990):
 
After marriage, the primary loyalty of a husband and wife should be to one another, rather than to parents, or else the primary relationship is weakened by conflicting loyalties and by the interference of parents 


Sentimen Anti Hijab, Sebuah Pelanggaran HAM
Oleh Muhammad Hadidi
Jurusan Syariah/ Konsentrasi Family Law  FAI UMM

    Dewasa ini, sebagian besar media massa Barat, baik cetak maupun elektronik, berusaha untuk menampilkan wajah Islam secara tidak benar. Contoh nyata dari upaya ini adalah kesan terorisme yang ditujukan kepada gerakan intifadah rakyat Palestina dalam menghadapi aksi kejahatan rezim Zionis Israel atau diperkenalkannya Islam sebagai biang terorisme selepas peristiwa 11 September. Masalah hak asasi manusia dalam Islam juga merupakan salah satu sasaran serangan media massa Barat. Apalagi, sebagian besar media massa di Barat, seperti Perancis, Jerman, dan Inggris, umumnya berada dalam genggaman para kapitalis Yahudi yang menyimpan dendam mendalam terhadap Islam yang berakar sejak mulai munculnya Islam berabad-abad yang lampau.

    Jika kita melihat secara teliti, akan tampak bahwa negara-negara yang secara zahir mengumbar isu hak asasi manusia dan demokrasi, justeru yang pertama-tama melecehkan kehormatan bangsa-bangsa lain dan melanjutkan kezaliman dan diskriminasi terhadap yang lain. Dengan melihat kepada beberapa pasal dari Piagam Hak Asasi Manusia, kita akan melihat bahwa sesungguhnya sentimen anti hijab yang terjadi di negara-negara Eropa adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal ketiga Piagam Hak Asasi Manusia menyebutkan, “Setiap orang mendapat hak kebebasan individu dan keamanan.” Sedangkan dalam pasal kelima disebutkan: Tidak ada siapapun yang boleh disiksa atau dianiaya secara tidak manusiawi, atau menjadi sasaran penghinaan. Pasal 18 dan 19 dari piagam itu mengungkapkan: Setiap orang mempunyai hak kebebasan agama, berpendapat, berkeyakinan, dan kebebasan bersuara.

     Selain Piagam HAM, perjanjian lain seperti perjanjian Hak Asasi Manusia Eropa turut mendukung hal itu. Tetapi adakah perjanjian ini dilaksanakan secara benar seperti apa yang tertuang dalam undang-undang dasar negara-negara tersebut atau tidak? Hal ini merupakan masalah yang memerlukan penelitian yang lebih mendalam.

     Undang-undang dasar seluruh negara Eropa Barat menjamin kebebasan beragama. Tentunya jaminan hak yang disebut dalam undang-undang dasar itu tidak mencakup umat Islam. Karena di negara-negara ini penganut Islam tidak dibenarkan melaksanakan aktifitas sosial agama mereka yang amat konstruktif dan bermanfaat. Negara-negara Eropa Barat hanya membenarkan umat Islam mendirikan masjid, melangsungkan ibadah, dan membentuk organisasi atau penerbitan agama.
Masalah hijab di beberapa negara Eropa boleh disebut sebagai contoh dari pelanggaran hak asasi manusia yang disebutkan dalam undang-undang dasar negara-negara tersebut. Di Jerman, para pelajar muslim tidak mungkin ikut serta dalam beberapa cabang pelajaran olahraga, khususnya renang. Tetapi para pelajar itu terpaksa ikut dalam pelajaran tersebut. Fereshteh Laden, imigran muslim yang menamatkan studi di Jerman, kini mempunyai hak untuk bekerja sebagai guru. Tetapi dikarenakan ia mengunakan jilbab, dia tidak diterima oleh pusat pendidikan manapun dan usahanya berulang kali tidak membuahkan hasil.

      Di Inggeris yang mengklaim sebagai negara demokrasi, umat Islam mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Mereka tidak mendapat hak seperti yang diperoleh oleh umat Yahudi dan Kristen. Apa yang terjadi pada diri ibu Faridah Kanuni merupakan satu contoh nyata dari perkara tersebut. Ibu Kanuni, 22 tahun bekerja sebagai insinyur listrik di sebuah pabrik di kawasan Latun. Sekembalinya dari Mekah, dia membuat keputusan untuk memakai hijab. Faridah Kanuni di-PHK dari tempat kerjanya hanya karena alasan hijabnya bisa tersangkut pada gerigi mesin di pabrik tersebut.
Di Perancis, krisis serius pertama yang berhubungan dengan hijab bermula pada tahun 1989 saat massa media meliput berita dikeluarkannya tiga orang pelajar yang mengenakan pakaian Islami dari sekolah mereka. Pada tahun 1990, di pinggiran kota Paris, lima orang pelajar berhijab diberhentikan dengan alasan melanggar ketentuan sekolah. Peristiwa ini terus berlanjut pada tahun-tahun seterusnya hingga saat ini. Dan belum ada keputusan apapun di Prancis yang memihak kepada pelajar muslimah berhijab. 
Reaksi keras dalam menghadapi hijab yang dikenakan wanita muslim di negara-negara Eropa itu mungkin saja dikarenakan rasa khawatir akan pengaruh dan infiltrasi jihab pada diri kaum wanita yang selama bertahun-tahun menyaksikan budaya bebas Barat. Jamilah Briggite, warga Hamburg Jerman yang telah memeluk agama Islam mengatakan, “Menurut pandangan saya, hijab memberikan kekuatan yang menakjubkan kepada wanita. Seolah-olah ia adalah tanda yang memberi peringatan kepada orang lain bahwa saya tidak ingin menjadi fokus pandangan.”
Ibu Fatimah Harnes, adalah salah seorang wanita Austria yang baru memeluk agama Islam mengatakan, “Hari ini saya mengetahui bahwa hijab merupakan pelindung bagi kaum perempuan. Dalam realitanya, hijab Islam yang tidak memperlihatkan bentuk tubuh manusia, telah menunjukkan nilai-nilai spiritual dan insani seseorang, dan ini adalah suatu yang amat indah.”

      Zahra Shahrbarman, salah seorang perempuan yang baru memeluk agama Islam berkata, “Wanita dalam masyarakat Barat terpaksa bersaing dengan wanita-wanita lain untuk menarik perhatian suami mereka, dan berupaya untuk tidak memiliki kekurangan apapun dari yang lain. Wanita Barat senantiasa merasa khawatir suami mereka akan dirampas oleh wanita lain. Berkembangnya kebebasan tanpa batas di Barat membuat satu dari dua keluarga, memiliki hubungan seks tak sah. Jika melihat dengan teliti, kita akan dapat membuat kesimpulan bahwa wanitalah yang selalunya dirugikan dan inilah yang mereka sebut dengan persamaan hak perempuan dan pria.”
Jika manusia keluar dari jeratan dugaan dan prasangka dan merujuk kepada akal, tentu ia akan mendapatkan bahwa hijab yang ditekankan oleh Islam adalah suatu hal yang logis dan benar. Karena akal manusia cenderung kepada sesuatu yang menjamin kepentingannya atau menyelamatkannya dari bahaya melalui jalan yang paling benar. Dalam hal ini, pakaian yang menutupi tubuh wanita memberi kesan atau meninggalkan pengaruh positif seperti ketenteraman jiwa, keselamatan dan imunitas dari kerusakan moral. Selain dari itu, ia dapat memperkokohkan sendi-sendi keluarga dan menyelamatkan generasi.
Ungkapan bahwa hijab tidak sejalan dengan produktifitas, hanyalah pernyataan miring yang keluar dari orang-orang jahil atau yang sengaja melecehkan hak-hak para wanita muslimah. Karena di dunia hari ini, khususnya pengalaman dari revolusi Islam Iran menunjukkan bahwa wanita yang berpakaian layak bisa hadir secara aktif di semua sektor sosial, ekonomi, ilmiah, seni dan hukum, tanpa halangan apapun. Realitasnya, hijab merupakan sebuah penghargaan kepada kedudukan dan martabat wanita sekaligus sebuah perhatian kepada kaum Hawa sebagai bagian dari umat manusia. Sedangkan proses hedonisme yang lazim di Barat, tidak sesuai dengan kemuliaan dan kedudukan mulia kaum perempuan.M-Adid.com


Reaksi Emosi Yang Muncul Akibat Perselingkuhan
 Muhammad Hadidi

      Weni adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama menikah dan mempunyai 2 orang anak. Ia merasa sangat terkejut dan syok ketika suaminya berterus terang padanya bahwa dirinya berselingkuh, meskipun sejak saat itu suaminya mengaku sudah menghentikan perbuatannya dan ingin kembali ke keluarganya karena merasa bersalah dan berdosa. Weni merasa dibohongi, dikhianati dan dibodohi oleh suami karena selama ini dia sama sekali tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan. Jadi, Weni tidak habis pikir, kenapa selama ini sampai tidak tahu perbuatan suaminya itu, dan apa pula kesalahannya sampai sang suami tega mengkhianatinya ! 

    Kesedihan dan kekecewaan itu benar-benar dirasakan secara mendalam oleh Weni, sampai dia sendiri akhirnya tidak mengerti kenapa setelah peristiwa itu tubuhnya sering bereaksi secara aneh. Seperti waktu sedang membaca majalah, tiba-tiba saja jantungnya berdetak keras sekali; atau ketika sedang masak, tiba-tiba ia merasa kaku dan tangannya tidak bisa digerakkan; pada waktu sedang menonton televisi, tiba-tiba saja tangannya berkeringat. Selain itu, Weni juga kehilangan nafsu makan dan berat badannya makin lama makin turun. 

       Weni sulit sekali melupakan apa yang sudah diperbuat oleh suami terhadapnya. Berkali-kali muncul dalam pikiran bayangan ketika suaminya sedang bermesra-mesraan dengan selingkuhannya, atau sedang makan malam berdua, ketika suaminya sedang memeluk dan memegang tangannya, apalagi ketika tidak pulang dengan alasan ada tugas ke luar kota….membayangkan apa yang terjadi di antara mereka semakin membuat perasaan Weni hancur dan tersayat. Weni sendiri menyadari, bahwa setelah pengakuan suaminya itu ia malah jadi sering curiga dan tidak percaya pada semua kata-kata dan aktivitas suaminya. Untuk itu, ia sering memonitor setiap gerakan suaminya. Tidak hanya itu, Weni jadi mudah sekali tersinggung, dan hampir semua kata-kata suaminya ditanggapi dengan kemarahan. Weni merasa dirinya semakin sulit mengendalikan emosinya sendiri. 

     Menurut pandangan para ahli, reaksi yang terlihat pada Weni adalah reaksi yang wajar jika seseorang menghadapi suami yang berselingkuh, dan reaksi tersebut mengindikasikan bahwa Weni mengalami serangan kecemasan dan gejala-gejala seperti layaknya orang yang mengalami peristiwa traumatis. Biasanya, pasangan yang menghadapi masalah perselingkuhan akan mengalami kondisi depresi yang lebih berat ketimbang pasangan yang sedang mengalami permasalahan lainnya. Tidak jarang salah satu pihak karena tidak tahan akan beban mental yang harus ditanggung, akhirnya memutuskan untuk bunuh diri atau membunuh pasangannya. Memang tindakan tersebut kelihatannya sangat ekstrim, namun pada kenyataannya hal tersebut sering terjadi, apalagi di Indonesia.
Mengingat kemungkinan yang akan terjadi jika dalam kehidupan sebuah keluarga sedang dilanda masalah perselingkuhan, maka jika masih ingin menyelamatkan kehidupan perkawinan, sebaiknya meminta bantuan orang-orang yang ahli seperti halnya konselor perkawinan atau pun terapis agar tekanan emosional dan energi negatif yang berputar-putar dalam keluarga tersebut dapat diselesaikan dengan baik.
Secara singkat, tahapan-tahapan di bawah ini baik untuk dilakukan jika ada di antara Anda yang mengalami masalah serupa di atas :
1.      Biarkan diri Anda mengalami segala macam perasaan yang berkecamuk dalam hati dan pikiran, jangan ditekan atau pun di tahan-tahan karena emosi yang ditekan hanya akan menghabiskan energi yang diperlukan untuk membangun kembali kehidupan Anda. Energi negatif yang ditahan-tahan justru akan membuat diri Anda semakin dilingkupi kemarahan dan sulit untuk bisa berpikir dan bertindak positif.
2.      Cobalah meminta bantuan terapis, konselor atau pun orang-orang yang ahli dalam mengatasi persoalan perkawinan. Carilah terapis yang benar-benar mampu membantu Anda mengekspresikan perasaan dan mengendalikan perasaan Anda tersebut.
3.      Curahkanlah segala perasaan, kepahitan dan kekecewaan Anda pada Tuhan, karena pada akhirnya Tuhan pasti akan membantu Anda mengatasi kerumitan hidup jika Anda memang benar-benar menghendakinya.


Ketidakpuasan dalam Kehidupan Perkawinan Karena Harapan dan Impian akan Romantisme
 Oleh
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Jurusan syariah konsentrasi Family Law
Universitas Muhammadiyah Malang

“Harapan yang terlalu tinggi terhadap pasangan dan terhadap kehidupan perkawinan itu sendiri dapat menjadi bumerang bagi kelangsungan hidup perkawinan seseorang”
 Banyak orang terlalu cepat merasa tidak puas dalam kehidupan perkawinan yang mungkin baru saja dijalani beberapa saat. Seringkali mereka tidak sadar, bahwa mereka sendiri lah yang membuka peluang bagi ketidakpuasan tersebut karena sejak awal mereka sudah menaruh harapan dan impian yang terlalu tinggi baik terhadap pasangan maupun terhadap kehidupan perkawinan itu sendiri. Setelah mereka menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya, mereka lantas merasa kecewa dan mulai menyalahkan pasangannya.
Seringkali mereka lupa, bahwa ketidakmatangan pribadi mereka sendiri lah yang ikut mempengaruhi dinamika yang terjadi dalam menghadapi setiap persoalan rumah tangga. Lama kelamaan, karena masing-masing tidak berusaha untuk memperbaiki diri malah mencari hiburan dan kompensasinya sendiri, maka cinta yang menjadi pengikat di antara mereka semakin pudar. Bagaimana pun juga, jika dalam sebuah keluarga atau pun perkawinan sudah tidak diwarnai oleh perasaan cinta dan afeksi terhadap pasangan, mudah sekali timbul kebosanan di antara mereka. Jika kebosanan itu tidak segera ditanggulangi, maka lambat laun akan  mempengaruhi sikap dan perilaku interaksi serta komunikasi antara pasangan tersebut. Sikap apatis, pasif atau bahkan pasif-agresif bisa menjadi indikasi adanya masalah dalam kehidupan perkawinan seseorang. Emotional divorce banyak dialami oleh keluarga-keluarga mulai dari keluarga baru hingga keluarga yang sudah bertahun-tahun lamanya sehingga cinta kasih yang menggebu pada akhirnya padam dan menjadi dingin. Meskipun secara fisik pasangan suami istri tersebut tidak hidup secara terpisah (masih tinggal serumah), namun secara emosional sudah terdapat jarak yang membentang. Dengan pudarnya cinta di antara mereka, semakin longgarlah ikatan dan komunikasi di antara suami istri tersebut sehingga mendorong salah satu atau keduanya untuk mencari seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan, entah itu kebutuhan emosional maupun kebutuhan fisik seperti kebutuhan seksual.


KELUARGA DAN PERKAWINAN
Oleh
Muhammad Hadidi 
Jurusan Sayariah Universitas Muhammadiyah Malang
Keluarga, seperti ayah, ibu, saudara yang lebih besar, dan keluarga-keluarga yang lain seperti paman dari ibu ataupun dari ayah bisa membantu pemuda dan pemudi yang ingin berkeluarga. Bagaimanapun juga, mereka mempunyai pengalaman yang cukup luas dalam kehidupan, bahkan mereka telah merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Karenanya, mereka bisa memberikan petunjuk kepada pemuda jalan yang benar dan menawarkan kepadanya seorang wanita yang hendak dinikahinya, kemudian memberikan kesempatan untuk mengambil keputusan.
Jika ia tidak dapat mengambil keputusan, maka orang tua harus menjelaskan apa yang baik bagi lelaki tadi tanpa harus melakukan intervensi dalam masalah-masalah pribadi. Selanjutnya, mereka tetap harus menyerahkan kepada lelaki tadi untuk mengambil keputusan terakhir. Perlu kami tegaskan kepada seluruh keluarga dalam masalah penting ini, yaitu bahwa pemuda dan pemudilah yang ingin hidup bersama dalam waktu yang cukup panjang dan bukannya orang-orang tua itu. Karena itu, merekalah yang harus membuat keputusan untuk menerima satu sama lain. Oleh karena itu tugas keluarga (orang tua) hanyalah memberitahukan kepada mereka mengenai pengalaman-pengalamannya atau nasihat-nasihatnya yang berharga.
Adalah tidak adil jika orang tua memutuskan perkawinan anak-anak mereka tanpa mempedulikan pendapat mereka, karena yang demikian ini akan membawa kehidupan yang penuh kesusahan dan kepedihan. Jika sampai terjadi, menurut pendapat saya hal ini adalah sebuah dosa besar yang akan dipertanyakan pada hari kiamat.

Pentingnya Musyawarah dalam Perkawinan
Musyawarah mempunyai peranan yang penting di dalam Islam. Al-Quran dan hadist-hadist telah menjelaskan dan mewasiatkan pentingnya musyawarah. Allah berfirman kepada Nabi SAWW,
“Dan bermusyawarahlah kepada mereka dalam suatu perkara, maka jika engkau memutuskan untuk melakukan sesuatu hendaknya bertawakal kepada Allah.” (QS. Ali Imron : 159)
Kepada kaum muslimin, Allah berfirman, “Dan dalam perkara mereka, hendaklah mereka selalu bermusyawarah.” (QS. Asy-Syura : 38).
Dalam sebuah hadist tentang musyawarah, Rasulullah SAWW ditanya,  “Apakah hazm itu ?  Rasulullah SAWW menjawab, “Tidak ada penolong yang lebih dipercaya kecuali musyawarah dan tidak ada kesempurnaan akal seperti pandai dalam mengatur.” Rasul SAWW juga bersabda,  “Bermusyawarah dengan orang yang berpengalaman dan yang mampu memberikan nasehat akan memberikan barakah, petunjuk, serta taufik dari Allah. Maka jika ia (orang yang berpengalaman itu) menyarankan kepadamu sesuatu, maka turutilah dan jangan melakukan keputusan yang berbeda karena itu akan membuatmu celaka.”
Bermusyawarah dengan orang yang berpengalaman dapat memberikan faedah dan pelajaran yang berharga. Begitu pula seseorang yang bermusyawarah dengan orang lain dalam masalah-masalah penting, ia akan sedikit melakukan kesalahan dan penyesalan. 
Akan tetapi, berkaitan dengan orang yang kita ajak bersmusyawarah itu tentu saja ada sejumlah kriteria yang harus kita perhatikan dengan baik. Pertama-tama, tidak mungkin kita bermusyawarah dengan sembarang orang, karena orang bodoh tidak mengetahui kepentingan yang sebenarnya. Lagi pula,  bagaimana mungkin orang bodoh itu mampu menjelaskannya sesuatu kepada orang yang mengajaknya bermusyawarah?
Yang kedua, hendaknya orang yang diajak bermusyawarah itu adalah seorang mu’min dan taat beragama,  karena  orang yang tidak beriman sangat sulit untuk dipercaya disebabkan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama. Bahkan sebaliknya, ia akan sangat mungkin  menjerumuskan kita ke jurang kesesatan dan kerusakan.
Ketiga, hendaknya ia seorang yang sarat akan rasa persaudaraan dan kejujuran serta karena jika belum diketahui kejujurannya, maka tidak mungkin ia dipercayai pendapat-pendapatnya atau diperhatikan keputusan-keputusannya, bahkan kadang-kadang ia menyesatkan orang yang meminta pendapatnya serta bisa membongkar rahasianya.
Imam Shadiq a.s. berkata, “Musyawarah tidak akan terjadi kecuali dengan empat syarat dan siapapun harus mengetahui empat syarat tersebut…. Empat syarat itu ialah: pertama, orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang cukup matang pemikirannya; kedua tidak terikat namun ta’at beragama; ketiga ia mampu berfungsi sebagai teman, dan yang keempat ia mampu menjadi saudara yang bisa Anda percayai dalam menyimpan rahasia Anda, karena ia akan mengetahui apa yang Anda ketahui kemudian menyimpannya (sebagai rahasia). Sesungguhnya, jika dia seorang yang matang pemikirannya (berakal), maka kamu akan mendapatkan manfaat darinya. Jika dia seorang yang tidak terikat namun ta’at beragama, maka ia akan betul-betul berusaha menasehatimu. Jika dia seorang teman dan saudara, dia akan menyimpan rahasiamu yang telah kamu sampaikan kepadanya. Jika dia tahu rahasiamu, maka dia mengetahui maksudmu. (Jika keempat syarat ini terpenuhi) maka musyawarah dan nasehat bisa berlangsung.” (Makarim Al-Akhlak ; 367).
Oleh karena itu, kita harus bermusyawarah dengan orang yang berpengalaman, beragama, dipercayai dan penasehat, terutama dalam masalah perkawinan yang sangat penting dan menentukan. Orang yang paling utama untuk diminta sarannya dalam masalah perkawinan bagi seorang pemuda adalah orang tua, dengan syarat mereka termasuk orang-orang yang pandai mengatur serta mempunyai cukup pengetahuan. Bagaimanapun juga, orang tua adalah seorang yang paling jujur sekaligus yang pang mampu memainkan peranan sebagai penasehat bagi anak-anaknya dibanding orang lain. Adalah suatu kesalahan jika anak-anak tidak bermusyawarah dengan orang tua mereka dalam masalah perkawinan, karena mereka (orang tua) adalah pembimbing terbaik bagi anak-anak mereka dalam masalah sepenting ini. Mereka juga mempunyai cukup pengalaman dalam kehidupan. Walhasil, mereka adalah orang-orang yang dapat dipercaya dalam memberikan nasehat.
Tentu saja perlu ditegaskan lagi bahwa orang tua hanyalah penasehat yang fungsinya adalah memberikan petunjuk untuk kemudian membiarkan anak-anak mereka mengambil keputusan, dan bukan mereka yang memutuskan serta memastikan perkawinan anak-anak mereka itu. Setelah bermusyawarah dengan kedua orang tua, seorang pemuda bisa juga bermusyawarah dengan kakek, nenek, saudara, paman, bibi, dengan tetap memperhatikan syarat-syarat di atas. Tahap berikutnya, musyawarah bisa dilakukan dengan seorang mu’min yang berwawasan luas dan dapat dipercaya terutama teman dan kerabat.
Di sini kami merasa harus memberikan nasehat kepada siapapun yang diajak bermusyawarah. Adalah sudah menjadi tanggung jawab agama, akal, dan kemanusiaan Anda untuk ikut memperhatikan dan menjelaskan masalah yang dipaparkan oleh orang yang mengajak bermsyawarah tersebut. Anda juga harus menjalankan tugas ini dengan penuh kejujuran tanpa harus menutup-nutupi kenyataan. Seandainya Anda berbohong dalam bermusyawarah, maka ketahuilah bahwa Anda harus bertanggung jawab di hadapan Allah. Maka katakanlah yang sebenarnya walaupun membahayakan diri, kerabat, ataupun teman Anda. Amirul Mukminin Ali a.s. berkata, “Siapapun yang menipu kaum muslimin dalam bermusyawarah, maka aku berlepas diri darinya (jika ia sampai mendapatkan azab dari Allah).

Peran Istikharah dalam Perkawinan
Banyak orang yang mempercayai istikharah (meminta pilihan kepada Allah) dalam perkawinan anak-anak mereka. Kami di sini akan membahas masalah istikharah ini. Sebelumnya kami ingatkan di sini bahwa istikharah tidak akan berguna bagi siapapun kecuali setelah ia berusaha dan bermusyawarah. Karenanya, ada sejumlah langkah yang dilakukan terlebih dahulu oleh seseorang.  Pertama-tama, wanita, lelaki, serta keluarga mereka harus melihat dan mencari tahu tentang calon suami dan istri mereka masing-masing. Jika mereka ragu, maka segeralah bermusyawarah dengan orang yang dapat dipercaya. Kalaupun mereka sampai pada keyakinan setelah melakukan musyawarah ini, maka hendaknya perkawinan segera dilangsungkan. Namun, bila keraguan dan kebingungan tidak juga hilang setelah mereka melakukan kedua langkah tadi, maka istikharah merupakan jalan yang terakhir.
Istikharah, seperti yang nampak dari namanya, adalah doa dan permohonan kebaikan kepada Allah. Manusia mengangkat tangannya untuk berdoa ketika dalam keadaan bingung dan meminta kepada Allah agar mengaruniai hidayah kepadanya demi kebaikan agama, dunia dan akheratnya. Ketika itulah ia melepaskan diri dari kebingungan dan memulai bertawakal kepada Allah SWT serta mengharapkan agar doanya terkabul.
Sebagai penutup, kami ingatkan lagi bahwa usaha dan musyawarah lebih diutamakan dari pada istikharah. Sebagian orang telah terbiasa ber-istikharah untuk setiap perbuatannya. Padahal, istikharah yang bukan pada tempatnya kadang-kadang menyebabkan kebingungan dan malah membuatnya terhalang untuk melakukan pekerjaan. []
__________
Diterjemahkan dari kitab Ikhtiar al-Jauz karya Ayatullah Ibrahim Amini.