27 Mei 2012


AIR MATA NASEHAT
oleh:
Mohd Hadidi

 
  Di Pagi itu tepatnya senin pagi selesai shalat shubu aku dan ibu baru melaksanakan  shalat berjamaah dirumah ku setelah mengucapkan salam aku berzikir sejenak serta mengengadakan tangan berdoa kepada ibu dan bapakku tiba-tiba aku mendengar  Ibu menangis,  Air mata mengucur di pipinya yang cekung itu.
Ketika ituaku
baru selesai berdzikir setelah mengimaminya.
Tasbih ditangannya terus
berputar, bersama dzikir yang terus terlantun dari bibirnya. Ibu khusyuk
dalam isak dan deraian air mata.  "Kenapa Ibu menangis?"
tanyaku dalam hati dan  pertanyaan ini terpaksa kusimpan. Aku tidak akan mengganggu Ibu yang masih khusyuk dengan dzikir. Aku memikirkan berbagai kemungkinan penyebab menangisnya Ibu.  Dalam hati terus bertanya Mungkinkah kematian Bapak? Tapi,  bukankah kematian Bapak sudah lama sekali? Sudah lima tahun. Atau karena tanah kuburan Bapak yang tidak mendapat izin untuk dibeton dan hanya boleh didirikan batu nisan. Hal itu tidak akan membuat Ibu menangis. Aku sangat  mengenal Ibu. Ibu paling tidak menyukai hal-hal yang berbau kemewahan. Ibu selalu ingin menginginkan kesederhanaan.
Kenapa Ibu menangis? Sayang aku sangat jarang pulang dan tidak bertemu
Ibu setiap hari. Hingga aku kurang mengetahui keadaan Ibu belakangan ini.Mungkin ada suatu persoalan yang membebaninya....

 
   Bertengkar dengan seseorang? Ah rasanya tidak. Setahuku Ibu tidak punya
musuh. Ia selalu mengalah setiap kali berbenturan dengan orang lain. Ibu
lebih banyak diam daripada mengomel. Tidak mungkin rasanya Ibu bertengkar
dengan orang lain, karena memang itu bukan kebiasaan Ibu.  Tapi kenapa Ibu menangis? Ibu belum juga selesai berdzikir. Aku sudah selesai sejak lima menit lalu. Aku sudah berdoa, mohonkan ampun atas dosa Ibu dan Bapak yang telah mengasuhku sejak kecil. Ibu belum juga usai.  Aku berdiri dan meninggalkan Ibu sendirian di ruang shalat dengan tetap
menyimpan pertanyaan, kenapa Ibu menangis? Kutunggu Ibu di
ruang makan.  Bukankah Ibu selalu khusyuk dalam shalat? Kembali aku dibayang
berbagai kemungkinan. Bukankah Ibu tidak pernah lupa mendirikan shalat,
mengaji dan  berdzikir? Bukankah Ibu paling senang mendengarkan ceramah di
masjid?  Bukankah Ibu juga tidak melewatkan acara wirid? Bukankah Ibu
sudah cukup punya bekal untuk menghadapi segala cobaan...

Tapi kenapa Ibu sampai menangis?  Karena aku mengimami Ibukah? Mustahil! Bukan sekali ini saja aku mengimami Ibu. Sudah berulang kali.  Hampir setiap kali pulang ke rumah aku mengimami Ibu, terutama saat  shalat maghrib dan isya. Ibu sudah berumur
empat puluh tahun lebih. Enam orang anak
merupakan  berkah yang selalu disyukurinya dan kami semua kini sudah
besar. Aku yang  bungsu sudah duduk di perguruan tinggi
swasta ternama di kota malang. Aneh  yah rasanya kalau Ibu masih  bersedih hati diusianya yang tua ini. Seharusnya Ibu banyak
ter
senyum bahagia dan  bercanda bersama cucu-cucunya. Bukankah cucu-cucunya selalalu
bersamanya  setiap hari?  "Sudah makan
Did?" tanya Ibu mengagetkanku. Ibu muncul dengan senyum  mengembang. Tak kulihat bekas tangisan di wajahnya. Mungkin sudah dihapus.
"Belum Bu, Adid menunggu Ibu."
"Ibu sudah makan."
"Kapan? Tanyaku dengan nada lembut bukankah hidangan ini belum disentuh siapapun?Ayolah
Bu, A
dit sudah rindu ingin makan bersama Ibu."
"Makanlah!" kata Ibu sambil menarik kursi. Aku pun mulai
menyand
ok nasi  dan mengambil beberapa sendok sambal. Tapi Ibu tetap saja
tidak makan  nasi. Ia hanya mengambil
sepotong singkong rebus dan memakannya."Bagaimana
kuliahmu?"
"Alhamdulillah Bu, berkat doa Ibu."
Semuanya berjalan dengan lancar,terus
"Belanja harianmu bagaimana?" pertanyaan yang tidak pernah
 kuinginkan ini selalu meluncur dari bibir Ibu. Pertanyaan itu kurasakan bagai keluhan  dalam hidup. Kuakui selama kuliah aku harus berusaha dan
bekerja keras  untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari.
bahkan untuk uang kost aku mencarikan masjid untuk menjadi takmir dan tinggal di masjid sehingga ,aku Cuma berfikir uang  transport
dan kebutuhan  kuliah
lainnya. Memang, yang namanya usaha kadang-kadang dapat,dan kadang
tidak.  Ketika dapat alhamdulillah. Aku bisa makan dan membeli kebutuhan
lain.  Jika tidak, maka mau tidak mau aku  harus puasa. Hal ini
yang sering  aku alami. Tapi persoalan ini tidak pernah kuceritakan kepada
siapapun,  termasuk Ibu dan saudara-saudaraku. Aku takut terlalu banyak
mengeluh.

"Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan rejeki Bu," selalu kujawab begitu.  Biasanya Ibu tidak akan bertanya lagi setelah itu.  "Bu!" sapaku ketika Ibu terdiam.  "Mmm," jawab Ibu.  "Kenapa seusai shalat tadi Ibu menangis?" Ibu terdiam mendengar  pertanyaanku.  "A
did cemas melihat Ibu menangis. Ibu masih diam. Aku menyelesaikan suapanku, setelah itu membasuh tangan  dan melapnya dengan serbet putih yang ada di meja.  Ibu masih diam, tapi di matanya kulihat air mata mulai berlinang.  Setelah itu berceritalah Ibu. Seminggu yang lalu di surau Darul Ikhsan  tempat Ibu selalu shalat  berjama'ah, ada ceramah agama mingguan. Ketika itu penceramahnya datang dari luar daerah. Ibu mengikuti ceramah tentang anak yang berbakti kepada  orang tua dan anak yang shalih..

"Anak-anak yang shalihlah yang
dapat menyelamatkan orang tuanya dari api
neraka,  karena doa anak yang shalih sangat didengar oleh Allah swt," kata
ustad. "  Tapi sebaliknya orang tua tidak selamat dari api neraka jika
anak yang  dididiknya tidak mampu menjalankan ibadah dan tidak pandai
membaca  Alquran.

"Walaupun orang tuanya sendiri taat beribadah?" tanya Ibu waktu
itu.  "Ya, apa artinya kita taat tapi tidak membuat anak taat kepada
Tuhannya.  Apalagi sampai tidak bisa s
halat dan mengaji, anak yang
jauh dari  perintah Allah dan mendekati laranganNya. Maka orang tuanya di
akhirat  akan ditanya tentang anak-anaknya. Maka sia-sialah ketaatan
orang tua jika  di akhirat nanti anak mengakui dirinya tidak dididik oleh
orang tuanya  untuk taat beribadah. Tidak pernah menegur, memukul bahkan
menamparnya,  jika lalai menjalankan perintah agama."  Ketika itu Ibu menyadari apa yang sudah
ibu dilakukannya selama
ini. Ibu ingat 
Gun, Wan, Ris dan Jon. Saat itulah Ibu merasa hidup dan
ketaatannya selama  ini tak berarti sama sekali. Sejak itu Ibu banyak diam dan melamun.  Anak-anaknya sampai sekarang tidak pernah membaca Alquran di
rumah dan  jarang s
halat apalagi kalau shalat berjamaah, bahkan tidak pernah sama sekali. Ibu merasa
bersalah  setelah mendengar ceramah itu. Ibu menyadari bahwa
Ibu tidak
mendidik 
kalian  sesuai ajaran agama. Ibu selalu tidak tega
memarahi
kalian ,  dan melihat kalian menangis, apalagi kalau ada yang murung dan kesal.

 
Mungkin itulah sebabnya anak-anak Ibu banyak yang tidak dapat
membaca  Alquran Ibu tidak pernah tega memaksa mereka untuk belajar
Ibupun tidak  marah. Bukankah ini berarti Ibu tidak sanggup mendidik anak.
Bukankah Ibu  gagal menjadi orang tua?  "Tapi Bu, bukankah A
did selalu taat shalat dan membaca Alquran?,Adid juga ambil jurusan syariah di kampus dan  Adid selalu berdoa untuk Ibu dan Bapak? Lantas apa artinya usaha Adid selama ini Bu?"kataku kepada ibu .
"Terima kasih
Did, Ibu sangat bangga padamu. Ibu senang kamu
mampu  menjadi imam untuk Ibu. Ibu pun selalu berdoa untukmu. Yang Ibu
pikirkan  adalah kakak-kakakmu yang tidak mampu membaca Alquran dan
tidak  menjalankan shalat."

Kuakui selama ini memang hanya aku dan ibu yang shalat berjama'ah, walaupun sebenarnya kakak-kakakmu sedang berada di ru
mah. Mereka lebih
suka duduk di
di serambi rumah dan sepertinya tidak menghiraukan panggilan
azan yang  berkumandang dari masjid
padahal jarak masjid dari rumah hanya empat ratus meter. Dan Ibu tidak pernah menegur hal
itu. Aku pun  tidak pernah mempersoalkan mereka. Sementara aku merasa takut,
selain  karena lebih kecil juga karena aku takut menca
mpuri urusan mereka.

 
"Itulah Yung. Ibu merasa sedih. Kamulah satu-satunya anak Ibu yang
taat,  yang mengimami Ibu, walaupun kamu yang terkecil. Entahlah.. Ibu
sudah  semakin tua, ajal sudah di ambang pintu. Ternyata Ibu masih
meninggalkan  banyak pekerjaan yang tidak selesai, ternyata Ibu tidak mampu
mendidik  kalian dan kalian ternyata tidak bisa mendidik diri sendiri,"
kata Ibu  terisak.

Air mataku mengalir tanpa terasa.  "Ada apa? Kok Ibu menangis? Ini pasti ulah kamu
Did! Kamu tidak  henti-hentinya membuat Ibu sedih, dan menangis. Tahukah kamu bahwa membuat orang tua bersedih hatinya itu dosa?" Tiba-tiba Ris kakakku yang nomor  tiga datang dan memarahiku.  "Sebagai anak laki-laki kamu jangan terus-terusan bersama Ibu, itu cengeng  namanya. Lihat tuh di taman depan rumah orang-orang ramai. duduklah di sana biar orang  tahu bahwa kita bermasyarakat. bukan dalam rumah terus dengan nada kasar,"  katanya lagi sambil menekan kepalaku.
"Jangan kasar begitu pada adikmu
Ris. Ia kan baru selesai makan...,"
"Kalau tidak seperti itu, ia akan lembek seperti perempuan Bu
jawab kakakku,
yang  duduknya cuma di dapur."  "Tapi ia kan masih kuliah."  "Aah. Ibu selalu membelanya, mentang-mentang ia kuliah. Walaupun
Ris tidak  pernah kuliah, Ris ini anak Ibu. Sekurang ajar apapun yang
melahirkan 
Ris adalah Ibu. Tapi kenapa dia, Ibu perlakukan berbeda dengan
Ris?" kak Ris menunjuk-nunjuk diriku.  Mendapat serangan kata-kata seperti itu, Ibu menangis lagi. Aku hanya  terdiam terpana ketika Ris kemudian berlalu dan tidak menghiraukan tangis  Ibu.  Air mata Ibu mengalir lagi. Ingin aku menghapusnya, tapi bagaimana dengan kesedihannya? Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma, kamarabbayana  saghiraa. Amin. Hanya itu yang mampu kulakukan dan aku terus berdo’a dalam hati semoga kakak-kakakku mendapat hidayah dari Allah SWT.