24 Agu 2012

Semua Orang Merindukan Tuhan

Oleh 
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

           
            Makna simbol-simbol agama yang digunakan dalam masyarakat, tak selalu seluhur yang mereka klaim dan dakwakan. Permainan simbol, tak jarang menyihir, menjebak, menipu, sekaligus memerangkap orang yang terkesima. Ilmu tentang penafsiran simbol-simbol, semiotika, selalu perlu untuk mengungkap makna di balik simbol-simbol tersebut. Berikut perbincangan Burhanuddin dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis lalu (8/12) dengan Radhar Panca Dahana, penyair yang kini mengajar sosiologi kebudayaan di Universitas Indonesia.

Makna simbol-simbol agama yang digunakan dalam masyarakat, tak selalu seluhur yang mereka klaim dan dakwakan. Permainan simbol, tak jarang menyihir, menjebak, menipu, sekaligus memerangkap orang yang terkesima. Ilmu tentang penafsiran simbol-simbol, semiotika, selalu perlu untuk mengungkap makna di balik simbol-simbol tersebut. Berikut perbincangan Burhanuddin dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis lalu (8/12) dengan Radhar Panca Dahana, penyair yang kini mengajar sosiologi kebudayaan di Universitas Indonesia. 

BURHANUDDIN (JIL): Mas Radhar, apa makna agama dalam hidup Anda?

RADHAR PANCA DAHANA: Agama buat saya adalah bentuk aturan-aturan yang diberikan pada saya sejak kecil. Aturan itu menetapkan batas-batas kapan atau di mana saya harus berhenti melakukan sesuatu. Mungkin ada reward atau pahala bagi yang menaati arutan itu. Tapi, kalaupun ada, apa reward-nya? Kalau aturan yang datang dari guru, orangtua, pemerintah, atau institusi perusahaan, biasanya ada batasan punishment dan reward-nya yang jelas. Kalau kita melewati batas itu, sanksi atau punishment-nya jelas. 

Namun dalam agama, punishment itu mungkin berasal dari masyarakat. Kalau saya salat atau ngaji dengan sembarangan, saya akan dimaki-maki orang. Tapi kalau saya melakukan hal luar biasa, reward-nya mungkin tak akan langsung didapat. Itulah pengertian saya tentang agama sebagai kenyataan sosial. Secara individual, pengertiannya tentu lain lagi. Sebab, pemahaman keagamaan itu harus ditelusuri pelan-pelan berdasarkan pengalaman pribadi-pribadi, tidak hanya dari ajaran-ajaran. 

JIL: Agama dalam pengertian itu tampaknya terlampau mentitikberatkan soal reward dan punishment?
Ya. Memang, ketika agama diformalisasi menjadi pemahaman yang lebih sosiologis dan kultural, dia mau tidak mau harus berkompromi dengan pemahaman-pemahaman atau aturan main yang ada di masyarakat, seperti ketentuan-ketentuan adat, norma, dan hukum formal yang berlaku. Karena itu, agama yang berada di sekeliling kita adalah juga salah satu dari semua sistem itu. 

Artinya, mau tidak mau, agama itu sendiri juga harus berkompromi dengan unsur lain dalam masyarakat, supaya tidak terjadi benturan-benturan. Kalau sudah berbenturan, akibatnya adalah kebingungan umat. Dan kalau umat bingung, akan ada sebagian orang yang akan menolak agama. Jadi, agama sendiri harus menyesuaikan diri, apalagi manusianya. 

JIL: Bagaimana agama diajarkan pada Anda selama ini?
Melalui cara-cara yang umum di masyarakat kita. Mediumnya adalah dongeng-dongeng, pantangan-pantangan, dan perintah-perintah yang keras. Misalnya, kamu harus puasa, harus ini dan itu. Itu mungkin bagian dari cara dan proses internalisasi nilai-nilai agama agar pada masa berikutnya kita punya pergaulan yang kuat dengan agama. 

Tapi yang perlu digarisbawahi, cara seperti itu belum tentu melahirkan orang-orang baik. Mencetak orang baik itu juga ditentukan lagi oleh kualitas tiap-tiap orang dalam menghayati dan mengapresiasi hidupnya. Orang yang memang disosialisasi atau diinternalisasikan dengan kaidah agama yang kencang, belum tentu akan menjadi orang yang baik. Sebaliknya, orang yang tak begitu kental dengan cara sosialisasi seperti itu, belum tentu juga akan otomatis jahat.

JIL: Apa komentar Anda soal paham agama keras yang belakangan tampak sudah mulai mengancam kehidupan seni?
Agama mestinya tidak sekerdil itu. Agama terlalu lapang dan luas kalau cuma diwakili oleh orang-orang berpaham sejenis itu. Politik dan pemerintahan juga terlampau luas untuk sekadar diwakili satu-dua polisi yang melarang seniman untuk membaca puisi. Jadi, kelompok-kelompok seperti itu tak bisa mewakili paham keagamaan yang lapang. 

Dalam kehidupan pribadi, saya pasti punya pemahaman agama sendiri. Karena dibentuk kenyataan hidup, saya termasuk orang yang cenderung mempertanyakan semua dogma, aksioma, dan ketentuan-ketentuan yang digambarkan masyarakat sebagai sesuatu yang sudah ditabukan. Saya kira, pemahaman-pemahaman klasik atau tradisional tentang agama sudah mencapai tingkat kebekuan tertentu yang membuat banyak orang terpenjara. 

JIL: Dogma-dogma agama sekalipun sebetulnya absah saja dipertanyakan?
O, ya. Kita punya akal, kok! Mempertanyakan dogma-dogma itu tidak ada kaitannya dengan mempertanyakan Tuhan sendiri. Sebab, dogma-dogma itu belum tentu Tuhan yang bikin. Kebanyakan dogma justru dibikin oleh kita-kita sendiri, dan ia terkadang sudah bercampur-baur dengan dogma dari agama lain, tradisi, kebiasaan, hukum adat, hukum formal, hukum kolonial, dan macam-macam. Sebuah dogma tak jarang campuran dari itu semua. Di situ misalnya, juga bisa bermain kepentingan-kepentingan kaum feodal. 

JIL: Banyak yang takut mempartanyakan dogma-dogma yang difatwakan para pemuka agama. Kesannya melawan kehendak Tuhan, gitu…
Hidup kita ini, sekujur tubuh ini, selalu dipenuhi dogma-dogma. Dogma itu bermacam-macam, tidak terbatas pada dogma agama. Ada dogma ideologi, politik, tradisi, dll. Kita harus melihat secara jujur bahwa dogma-dogma itu adalah bentukan atau sebuah konstuksi sosial. Dalam proses bentukan masyarakat itu, bergabunglah beberapa kekuatan, beberapa unsur. Jadi, kalau bicara dogma agama, biasanya tidak akan murni bicara soal agama saja, tapi juga ikut serta pikiran-pikiran orang di dalamnya. 

Ada banyak kepentingan yang juga bermain, baik ekonomi, politik, maupun budaya. Itu yang harus kita periksa betul. Kalau memang dogma itu pada akhirnya sudah tak sesuai dengan kenyataan saat ini, dan justru membatasi potensi kemanusiaan kita, saya kira dogma itu sudah tak ilahiah lagi. Kalau masih ilahiah, dia pasti akan memberi ruang sebesar dan seluas mungkin bagi tiap manusia untuk mengoptimalkan peran yang sudah difitrahkan kepadanya. Berkah itu misalnya dapat berupa telinga, hidung, otak, dll. Itu semua perlu kita optimalkan ke tingkat yang paling tinggi, dan kalau bisa sampai menuju Tuhan itu sendiri. 

JIL: Dogma dan tafsir atas agama itu tentu tidak tunggal. Sebagai makhluk yang diberi berkah macam-macam tadi, bagaimana cara menyikapi berbagai dogma itu?
Saya tak berani memberi saran, karena ini soal yang sangat subyektif, personal, dan tidak saya anjurkan bagi orang lain. Latar belakang saya tentu berbeda dengan orang lain. Saya punya latar belakang budaya, akademis, dan kehidupan sendiri yang berbeda. Karena itu, cara tiap-tiap kita dalam menghadapi hidup juga akan sangat berbeda-beda. 

Sebagai sikap pribadi, bukan sebagai saran, saya menghadapi itu semua dengan mengandalkan integritas, dan independensi diri. Saya harus merdeka dalam menghadapi semua itu, seraya berusaha menggali pemahaman yang akan saya yakini dengan hati nurani saya sendiri. Jadi tidak perlu bergantung pada apapun.

Dalam menghadapi dogma-dogma itu, saya juga tidak ingin terjebak konflik kepentingan atau vested interest, apalagi terjebak ideologi tertentu. Maju atau mundur, hidup atau mati, itu saya lakukan karena pilihan sendiri, bukan karena orang lain menganjurkan. Kalau pun ada satu hal di luar diri yang harus saya kaitkan dengan diri saya, itu cuma satu saja: Tuhan itu sendiri. 

JIL: Apakah perkembangan agama ke depan akan menuju slogan “Tuhan, yes! agama, no!”?
Harus kita akui, kecenderungan dunianya, pahit-manisnya, asam-regesnya, memang sedang seperti itu. Benar, semua orang memang tetap merindukan Tuhan. Tapi, ketika memasuki Tuhan melalui suatu modus atau mekanisme yang disebut agama, banyak orang yang berkeberatan dan mulai memilah-milah mana yang lebih enak. Buddha, Yahudi, Islam, atau apa? Di Eropa, banyak sekali orang yang memilah-milah seperti itu. Banyak orang yang cenderung memilih Buddha karena dianggap lebih longgar, lebih cocok dengan psikologi mereka sebagai orang modern, serta alasan-alasan lain. 

Kalau masuk Islam, konon mereka merasa repot. Orang yang benar-benar berhasrat mencari Tuhan sebagai bentuk pengabdian dari keseluruhan entitas dirinya, mungkin memilih Islam. Tapi untuk rata-rata, saya kira orang akan lebih memilih Buddha. Contoh yang memilih Buddha di Barat adalah penyanyi kita, Anggun C. Sasmi. Madonna justru memilih mistik Yahudi, Kaballa.

Jadi, agama dalam pengertian yang saya jabarkan tadi, memang lama-lama akan ditolak. Terlebih kalau agamanya dijabarkan, dikelola, didefinisikan, dan diformulasikan dengan cara-cara yang sangat kaku. Agama itu sejatinya tidak kaku, tapi pengelolaan, pendefinisian, dan formalisasinya yang sebenarnya menjadikan agama itu sangat kaku. 

JIL: Bagaimana tafsiran anda atas beberapa organisasi sosial keagamaan yang memaksakan tafsir keagamaan mereka dengan kekerasan pada orang lain?
Persoalan ini sebenarnya sudah lewat dari soal agama. Persoalan religius dan spiritual, kadang melampaui soal-soal sosial dan politik. Bagi saya, gejala itu hanya soal cara sebuah organisasi membangun bargaining power atau bargaining position organisasinya. Pada akhirnya kita tahu, ujung-ujungnya juga bermuara pada perolehan akses-akses politik, ekonomi, ataupun hukum. 

Itu permainan biasa dari kelompok-kelompok sosial-politik yang sedang berkontestasi. Bahwa mereka menggunakan simbol-simbol agama, itu tak lain dengan modus atau tujuan reifikasi atau pembendaan simbol-simbol itu tadi. Jadi, agama yang dihadirkan sesungguhnya bukan lagi agama an sich, agama yang ilahi, tapi agama yang sudah pekat kepentingan sosiologis.
Yang dimaksud dengan agama sosiologis adalah agama sebagaimana yang dipahami oleh komunitas mereka saja. Itu yang pertama. Yang kedua, gejala ini juga dipicu tarikan-tarikan kehidupan pragmatis dan materialistis. Orang-orang yang pada mulanya memiliki kemampuan mendalami agama, berjiwa pengabdi, berdisiplin, dan punya ketekunan hidup dalam kesahajaan (asketis), sayangnya juga tertarik ke dalam sentrum yang pragmatis itu. 

Akhirnya, mereka mengurusi kepentingan-kepentingan yang terlalu sekuler, seperti masuk parpol, membikin perusahaan, dan tak lupa ikut korupsi sana-sini. Mereka kemudian kehilangan daya resap, apresiasi, dan etos untuk pendalaman agama itu sendiri. 

Gejala seperti itu bisa saja terjadi pada lembaga-lembaga agama yang sudah mapan seperti NU dan Muhammadiyah. Keduanya sangat mungkin menjadi balon-balon yang tertarik angin ke kiri-kanan. Sementara dulu mereka begitu kuat berakar pada masyarakat, sekarang bisa saja mereka akan menjadi balon gas yang tertarik ke mana-mana. Tarik-tarikan itu disimbolisasikan oleh pesona kematerian. 

Jadi, sekarang kita sedang mengalami materialisasi yang sangat luar biasa. Itu tidak hanya dialami agama, tapi juga lini-lini kebudayaan kita secara luas. Makanya, saat ini membuat karya seni juga agak susah, karena harus berhadapan dengan kenyataan. Kalau tidak mampu berkompromi dengan kenyataan, seseorang akan berhenti berkesenian. Orang yang menolak pembendaan akan mampus sendirian. 

JIL: Bagaimana memahami simbol-simbol agama agar kita tidak tertipu oleh permainan di baliknya?
Kita perlu masuk ke pemahaman apa makna simbol itu sesungguhnya. Kalau masyarakat tak paham, khususnya tentang proses reifikasi simbol atau penggunaan simbol itu untuk mendapatkan sesuatu, mereka akan manut dengan klaim kelompok pemakai simbol. Mereka akan mengamini kalau simbol itu juga mewakili dirinya. Padahal, simbol itu sudah tidak lagi mewakili dirinya. Itu cuma mewakili kepentingan atau tafsiran individu atau kelompok terbatas pengguna simbol itu saja. 

Tapi memang sayang, masyarakat di negeri yang paternalistik ini belum juga sampai pada pemahaman seperti itu. Di negeri lain, orang-orang sudah tidak akan gampang lagi tertipu oleh simbol-simbol. Begitu mau masuk suatu agama atau kelompok tertentu, misalnya, mereka lebih dulu akan menyelidiki seluruh aspeknya dengan baik. Misalnya, seorang Prancis yang mau masuk Islam, dia akan sudah tahu segala aspek yang perlu diketahui tentang Islam. Jadi, begitu dia masuk, dia sudah bisa membedakan ciri Islam Timur Tengah dengan Islam Asia Tenggara. Kita kan tidak seperti itu, malah sebaliknya, menerima saja sesuatu secara taken for granted. Jadi, simbol-simbol itu pun dimakan seperti memakan roti lapis legit. 

JIL: Mas Radhar, para pelaku bom bunuh diri itu pandai sekali menggunakan simbol-simbol agama untuk menangguk simpati umat Islam agar mengamini luhurnya perjuangan mereka. Komentar Anda?
Saya selalu mengajak orang untuk tidak memikirkan kaitan antara terorisme dengan agama. Tindakan mereka itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Kita semua tahu, itu semua adalah buah dari indoktrinasi, ideologisasi, permainan uang, dan tekanan terhadap orang-orang yang sudah frustasi. Mereka digaet untuk membayar dosa-dosanya, dan surat pengampunan dosanya adalah bunuh diri. Dengan bom, mereka merasa dosanya akan hilang dan masuk surga. 

Terorisme selalu tak ada hubungan dengan agama. Itu hanya soal organized crime atau bagian dari aksi kriminal yang terorganisasi, seperti kelompok mafia. Jadi, tak ada urusannya dengan agama. Kalau tiba-tiba setiap mafia menggunakan salib di leher, apakah dia bisa dibilang mafia-Kristen?
Karena itu, saya menganjurkan Mendiknas untuk berinisiatif mengajarkan mata pelajaran semiotika (ilmu tentang simbol-simbol) di sekolah-sekolah. Dengan kemampuan semiotika, seseorang akan mampu membaca simbol tidak secara kasat mata. Dia akan membaca sesuatu di balik simbol. 

Misalnya, kalau membaca koran, jangan dibaca harfiah saja. Karena selalu ada something atau sesuatu di balik berita, dan itu perlu diungkap. Ketika setiap orang melompat ke balik simbol, ia akan menemukan dunia antah-berantah dan mampu menentukan tafsirnya sendiri-sendiri atas kenyataan. Jadi, mereka mampu memungut signifikansinya sendiri-sendiri, dan semua tidak akan tertipu. Dengan begitu, akan banyak pilihan cara pandang. 

JIL: Apa pentingnya semiotika dalam membaca simbol-simbol agama?
Kalau mencermati khazanah budaya yang bernama agama, orang tidak semestinya langsung mengatakan “memang benar, begitu!”, tapi harus mengecek dan meneliti ulang. Kelebihan manusia itu ada pada kecerdasannya. Kecerdasan itulah yang harus dia pergunakan dalam menghadapi setiap gejala, setiap gerak kehidupan. Kalau sudah berhenti bertanya, menerima begitu saja apa yang ada, maka manusia sama saja dengan binatang. Dan ingat, proses demokratisasi dan pencerahan yang sesungguhnya, akan berlangsung ketika setiap kepala yang berbeda-beda itu diperbenturkan dalam bentuk perdebatan. Itulah yang akan melahirkan ide-ide. 

JIL: Apa komentar anda soal meningginya tingkat intoleransi di negeri ini?
Perlu disadari, negeri ini dibangun oleh konstelasi berbagai kekuatan yang masing-masing sudah eksis lebih dulu. Dulu, ada kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berdiri sejak lama, jauh sebelum Indonesia terbentuk. Nusantara ini juga dibangun oleh proses persilangan kebudayaan yang luar biasa. Artinya, tidak ada satu suku dan agama pun di negeri ini yang berhak mengatakan dirinya yang paling utuh dan berhak, karena semuanya hasil persentuhan dengan budaya-budaya di sekelilingnya maupun dari luar. Semuanya hibrid. 

Jadi, tidak ada orang atau kelompok yang betul-betul otentik menjadi pemilik bangsa ini. Karena itu, kita harus terbiasa dengan tingkat pergaulan yang majemuk. Tapi mengapa kebiasaan itu tiba-tiba hilang atau berubah menjadi kebringasan? Saya kira, ada hal-hal yang luar biasa hebat yang telah penetrasi memasuki sumsum masyarakat yang majemuk ini. Dan, itu mampu mengubah banyak hal.
Apakah modal sosial-budaya bangsa ini mampu mengukuhkan kembali sendi-sendi toleransi?
Ya, saya optimis, dengan pengandaian bahwa setiap manusia punya kemampuan untuk memanggil-ulang dirinya kembali dari masa lalu. Jadi ada daya untuk memungut kembali kekuatan-kekuatan yang dia pernah miliki. Itu sebenarnya potensi yang laten. Tapi itu semua perlu dijenguk ke masa lalu, bukan sebagai bagian dari romantika dan nostalgia, melainkan demi mengenang kembali potensi yang selama ini kita tekan dan kita pendam. Kita telah memendam berbagai nilai luhur yang kita miliki sejak ribuan tahun lalu. Nah, itu semua harus kita panggil ulang. Caranya bisa bermacam-macam. 

JIL: Apa yang bisa Anda lakukan sebagai seniman untuk menjemput masa lalu itu?
Menerangkan agar setiap simbol-simbol agama dan budaya jangan kita perdaya dan manfaatkan untuk kepentingan sesaat, sektoral, per golongan. Yang terjadi sekarang, proses pembendaan simbol-simbol atau reifikasi itu berlangsung begitu kuat. Kita telah pula memiskinkan simbol agama, membekukannya dengan cara menggunakannya untuk kepentingan yang sempit. Akibatnya, simbol-simbol itu keluar dari maknanya yang klasik dan tradisional. Karena itu, kita perlu selalu mencerdaskan diri. Kalau masyarakat di negeri ini bertambah cerdas, saya kira akan banyak yang tidak mudah terpengaruh dan tertipu simbol-simbol. []