21 Jan 2012


BELAJAR TAFSIR YAUK
Surata An Nashar & Surat Al Lahab
Oleh
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Malang



1.      Tafsir Surat An Nashar (Dalam Tafsir Al Azhar Karya Ibnu Katsir)
حتفلاوهللارصنءاجاذإ
   Artinya: Apabila telah datang pertolongan Allah dan Kemenangan.

هللانيديفنولخديسانلاتيأرواجاوفأ
    Artinya: Dan engkau lihat manusia masuk ke dalam Agama Allah dalam keadaan berbondong-bondong.

اباوتناكهنإهرفغتساوك:بردمحبحبسف
   Artinya: Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah sangat Pemberi Taubat.

Ayat Pertama: Apabila telah datang pertolongan Allah." (pangkal ayat 1). Terhadap kepada agamaNya yang benar itu, dan kian lama kian terbuka mata manusia akan kebenarannya; "Dan Kemenangan." (ujung ayat 1). Yaitu telah terbuka negeri Makkah yang selama ini tertutup. Dan menang Nabi s.a.w. ketika memasuki kota itu bersama 10,000 tentara Muslimin, sehingga penduduknya takluk tidak dapat melawan lagi. Kedaulatan berhala yang selama ini mereka pertahankan dengan sebab masuknya tentara Islam itu dengan sendirinya telah runtuh.Berhala-berhala itu telah dipecahi dan dihancurkan.Ka'bah dan sekelilingnya telah bersih daripada berhala.Dan yang berkuasa ialah Islam.

 Ayat kedua : Dan engkau lihat manusia masuk ke dalam Agama Allah dalam keadaan berbondong-bondong." (ayat 2).Artinya bahwa manusia pun datanglah berduyun-duyun, berbondong-bondong dari seluruh penjuru Tanah Arab, dari berbagai persukuan dan kabilah.
Mereka datang menghadap Nabi s.a.w. menyatakan diri mereka mulai saat itu mengakui Agama Islam, mengucapkan bahwa memang; "Tidak ada Tuhan, melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah."Dengan demikian bertukar keadaan.Agama yang dahulunya berjalan dengan sempit, menghadapi berbagai rintangan dan sikap permusuhan, sejak kemenangan menaklukkan Makkah itu orang datang berbondong menyatakan diri menjadi penganutnya.


 Ayat Ketiga: Kalau sudah demikian halnya; "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu." (pangkal ayat 3). Arti bertasbih ialah mengakui kebesaran dan kesucian Tuhan, dan bahwa semuanya itu tidaklah akan terjadi kalau bukan kurnia Tuhan. Dan tidaklah semuanya itu karena tenaga manusia atau tenaga siapa pun didalam alam ini, melainkan semata-mata kurnia Allah.Sebab itu hendaklah iringi ucapan tasbih itu dengan ucapan puji-pujian yang tiada putus-putus terhadapNya, bahkan; "Dan mohon ampunlah kepadaNya."Ini penting sekali. Karena selama berjuang, baik 13 tahun masa di Makkah sebelum hijrah, ataupun yang 8 tahun di Madinah sebelum menaklukkan, kerapkalilah engkau atau pengikut-pengikut engkau yang setia itu berkecil hati, ragu-ragu, kurang yakin, meskipun tidak dinyatakan; karena sudah begitu hebatnya penderitaan, namun pertolongan Tuhan belum juga datang.

   Hal ini pernah juga dinyatakan Tuhan di dalam janjiNya (Surat 2, al-Baqarah: 214); yangartinya apakah kamu sangka bahwa kamu akan masuk ke syurga, padahal belum datang kepada kamu seperti yang datang kepada yang sebelum kamu; mereka itu dikenai oleh kesusahan (harta-benda) dan kecelakaan (pada badan diri) dan digoncangkan mereka (oleh ancaman-ancaman musuh), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman besertanya; bilakah akan datang pertolongan Allah itu?" - "Ketahuilah bahwa pertolongan Allah itu telah dekat."

Sampai Rasul sendiri dan sampai orang-orang yang beriman yang mengeliliginya telah bertanya bila lagi kami akan ditolong, padahal kesengsaraan telah sampai ke puncak, tidak terderitakan lagi, mohon ampunlah kepada Allah atas perasaan-perasaan yang demikian, agar rasa hati itu bersih kembali, dan kasih dengan Tuhan bertaut lebih mesra daripada yang dahulu dan taubat daripada kegoncangan fikiran dan keragu-raguan yang mendatang dalam hati ialah dengan menyempurnakan kepercayaan kepada Tuhan; "Sesungguhnya Dia adalah sangat Pemberi Taubat." (ujung ayat 3). Karena Dia adalah Tuhan, Dia adalah Kasih dan Sayang akan hamba-Nya, dan Dia adalah mendidik, melatih jiwa-raga hambaNya agar kuat menghadapi warna-warni percobaan hidup di dalam mendekatiNya.

Seakan-akan berfirmanlah Tuhan: "Bila pertolongan telah datang dan kemenangan telah dicapai, dan orang telah menerima agama ini dengan tangan dan hati terbuka, maka rasa sedih telah sirna dan rasa takut telah habis. Yang ada setelah itu adalah rasa gembira, sukacita dan syukur.Hendaklah diisi kegembiraan itu dengan tasbih dan tahmid puji dan syukur, tabah kuatkan hati mendekatinya.Jangan takabbur dan jangan lupa diri.


Tafsir Surat Al Lahab (Dalam Tafsir Al Azhar Karya Ibnu Katsir)
بتوبهليبأاديبتت
Artinya: Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan binasalah dia

بسكاموهلامهنعىنغأام
Artinya: Tidaklah memberi faedah kepadanya hartanya dan tidak apa yang diusahakannya

بهلتاذارانىلصيس
Artinya: Akan masuklah dia ke dalam api yang bernyala-nyala.

بطحلاةلامحهتأرماو
Artinya: Dan isterinya; pembawa kayu bakar.

دسمنملبحاهديجيف
Artinya: Yang di lehernya ada tali dari sabut.


Ayat Pertama: Binasalah kedua tangan Abu Lahab." (pangkal ayat 1). Diambil kata ungkapan kedua tangan di dalam bahasa Arab, yang berarti bahwa kedua tangannya yang bekerja dan berusaha akan binasa. Orang berusaha dengan kedua tangan, maka kedua tangan itu akan binasa, artinya usahanya akan gagal; ' Watabb!"– "Dan binasalah dia."(ujung ayat 1). Bukan saja usaha kedua belah tangannya yang akan gagal, bahkan dirinya sendiri, rohani dan jasmaninya pun akan binasa. Apa yang direncanakannya di dalam menghalangi da'wah Nabi s.a.w. tidaklah ada yang akan berhasil, malahan gagal.

Menurut riwayat tambahan dari al-Humaidi; "Setelah isteri Abu Lahab mendengar ayat al-Quran yang turun menyebut nama mesjid. Beliau s.a.w. di waktu itu memang ada dalam mesjid di dekat Ka'bah dan di sisinya duduk Abu Bakar r.a. Dan di tangan perempuan itu ada sebuah batu sebesar segenggaman tangannya. Maka berhentilah dia di hadapan Nabi yang sedang duduk bersama Abu Bakar itu.
Tetapi yang kelihatan olehnya hanya Abu Bakar saja.Nabi s.a.w. sendiri yang duduk di situ tidak kelihatan olehnya. Lalu dia berkata kepada Abu Bakar: "Hai Abu Bakar, telah sampai kepada saya beritanya, bahwa kawanmu itu mengejekkan saya. Demi Allah! Kalau saya bertemu dia, akan saya tampar mulutnya dengan batu ini."
Sesudah berkata begitu dia pun pergi dengan marahnya.
Maka berkatalah Abu Bakar kepada Nabi s.a.w. "Apakah tidak engkau lihat bahwa dia melihat engkau?" Nabi menjawab: "Dia ada menghadapkan matanya kepadaku, tetapi dia tidak melihatku. Allah menutupkan penglihatannya atasku."

Ayat Kedua: Tidaklah memberi faedah kepadanya hartanya dan tidak apa yang diusahakannya." (ayat 2).Dia akan berusaha menghabiskan harta-bendanya buat menghalangi perjalanan anak saudaranya, hartanyalah yang akan licin tandas, namun hartanya itu tidaklah akan menolongnya. Perbuatannya itu adalah percuma belaka. Segala usahanya akan gagal.

Menurut riwayat dari Rabi'ah bin 'Ubbad ad-Dailiy, yang dirawikan oleh al-Imam Ahmad; "Aku pernah melihat Rasulullah s.a.w. di zaman masih jahiliyah itu berseru-seru di Pasar Dzil Majaz; "Hai sekalian manusia!Katakanlah "La Ilaha lllallah," (Tidak ada Tuhan melainkan Allah), niscaya kamu sekalian akan beroleh kemenangan."Orangbanyak berkumpul mendengarkan dia berseru-seru itu.

Tetapi di belakangnya datang pula seorang laki-laki, mukanya cakap pantas.Dia berkata pula dengan kerasnya; "Jangan kalian dengarkan dia. Dia telah khianat kepada agama nenek-moyangnya, dia adalah seorang pendusta!" Ke mana Nabi s.a.w. pergi, ke sana pula diturutkannya. Orang itu ialah pamannya sendiri, Abu Lahab.
Menurut riwayat dari Abdurrahman bin Kisan, kalau ada utusan dari kabilah-kabilah Arab menemui Rasulullah s.a.w. di Makkah hendak minta keterangan tentang Islam, mereka pun, ditemui oleh Abu Lahab. Kalau orang itu bertanya kepadanya tentang anak saudaranya itu, sebab dia tentu lebih tahu, dibusukkannyalah Nabi s.a.w. dan dikatakannya: "Kadzdzab, Sahir." (Penipu, tukang sihir).
Namun segala usahanya membusuk-busukkan Nabi itu gagal juga!
Ayat Ketiga : “Akan masuklah dia ke dalam api yang bernyala-nyala." (ayat 3). Dia tidak akan terlepas dari siksaan dan azab Allah. Dia akan masuk api neraka. Dia kemudiannya mati sengsara karena terlalu sakit hati mendengar kekalahan kaum Quraisy dalam peperangan Badar.Dia sendiri tidak turut dalam peperangan itu. Dia hanya memberi belanja orang lain buat menggantikannya. Dengan gelisah dia menunggu-nunggu berita hasil perang Badar. Dia sudah yakin Quraisy pasti menang dan kawan-kawannya akan pulang dari peperangan itu dengan gembira.
Tetapi yang terjadi ialah sebaliknya.Utusan-utusan yang kembali ke Makkah lebih dahulu mengatakan mereka kalah.Tujuh puluh yang mati dan tujuh puluh pula yang tertawan.Sangatlah sakit hatinya mendengar berita itu, dia pun mati.Kekesalan dan kecewa terbayang di wajah janazahnya.
Anak-anaknya ada yang masuk Islam seketika dia hidup dan sesudah dia mati.Tetapi seorang di antara anaknya itu bernama Utaibah adalah menantu Nabi, kawin dengan Ruqaiyah.Karena disuruh oleh ayahnya menceraikan isterinya, maka puteri Nabi itu diceraikannya. Nabi mengawinkan anaknya itu kemudiannya dengan Usman bin Affan. Nabi mengatakan bahwa bekas menantunya itu akan binasa
dimakan "anjing hutan". Maka dalam perjalanan membawa perniagaan ayahnya ke negeri Syam, di sebuah tempat bermalam di jalan dia diterkam singa hingga mati.

Ayat Keempat :"Dan isterinya." (pangkal ayat 4). Dan isterinya akan disiksa Tuhan seperti dia juga. Tidak juga akan memberi faedah baginya hartanya, dan tidak juga akan memberi faedah baginya segala usahanya; Pembawa kayu bakar. " (ujung ayat4).
Sebagai dikatakan tadi nama isterinya ini Arwa, gelar panggilan kehormatannya sepadan dengan gelar kehormatan suaminya. Dia bergelar Ummu Jamil; Ibu dari kecantikan! Dia saudara perempuan dari Abu Sufyan.Sebab itu dia adalah 'ammah (saudara perempuan ayah) dari Mu'awiyah dan dari Ummul Mu'minin Ummu Habibah.
Tetapi meskipun suaminya di waktu dulu seorang yang tampan dan ganteng, dan dia ibu dari kecantikan, karena sikapnya yang buruk terhadap Agama Allah kehinaan yang menimpa diri mereka berdua. Si isteri menjadi pembawa "kayu api", kayu bakar, menyebarkan api fitnah ke sana sini buat membusuk-busukkan Utusan Allah.


Ayat Kelima :"Yang di lehernya ada tali dari sabut." (ayat 5).
Ayat ini mengandung dua maksud. Membawa tali dari sabut; artinya, karena bakhilnya, dicarinya kayu api sendiri ke hutan, dililitkannya kepada lehernya, dengan tali daripada sabut pelepah korma, sehingga berkesan kalau dia bawanya berjalan.
Tafsir yang kedua ialah membawa kayu api ke mana-mana, atau membawa kayu bakar. Membakar perasaan kebencian terhadap Rasulullah mengada-adakan yang tidak ada. Tali dari sabut pengikat kayu api fitnah, artinya bisa menjerat lehemya sendiri.

2.     Asbab An Nuzul  Surat An Nasr & Al Lahab
 Ayat  An Nashr Artinya  Pertolongan Surat An nashr ini terdiri dari 3 ayat termasuk golongan surat Madaniyyah yang diturunkan di mekkah sesudah surat At Taubah ayat ini turun ketika Rasulullah SAW  dan kaum muslimin masuk ke kota Mekkah dan ketika memasuki kota itu bersama 10,000 tentara Muslimin, sehingga penduduknya takluk tidak dapat melawan lagi. Kedaulatan berhala yang selama ini mereka pertahankan dengan sebab masuknya tentara Islam itu dengan sendirinya telah runtuh.Berhala-berhala itu telah dipecahi dan dihancurkan. Ka'bah dan sekelilingnya telah bersih daripada berhala dan  yang berkuasa ialah Islam sehingga turunlah ayat ini sebagai kemenangan bagi kaum muslimin.

Surat Al Lahab terdiri atas 5 ayat termasuk golongan surat makiyyah diturunkan sesudah surat Al Fath. Nama “Al lahab” di ambil dari kata “Lahab” yang terdapat pada ayat ke 3 surat ini yang artinya: gejolak api. Dan surat ini turun merupaka Ancaman Allah kepada Abu Lahab karena menentang agama islam dan juga istrinya sebagai tukang fitnah meskipun, Abu Lahab paman kandung Nabi s.a.w. saudara kandung dari ayahnya, namun oleh karena sikapnya yang menantang Islam itu, namanya tersebut terang sekali di dalam wahyu, sehingga samalah kedudukannya dengan Fir'aun, Haman dan Qarun, sama disebut namanya dalam kehinaan.

Surat al-Lahab ini pun menjadi i'tibar bagi kita bagaimana hinanya dalam pandangan agama seseorang yang kerjanya "membawa kayu api", yaitu menghasut dan memfitnah ke sana ke mari dan membusuk-busukkan orang lain. Dan dapat pula dipelajari di sini bahwasanya orang yang hidup dengan sakit hati, dengan rasa kebencian kerapkalilah bernasib sebagai Abu Lahab itu, yaitu mati kejang dengan tiba-tiba bilamana menerima suatu berita yang tidak diharap-harapkannya. Mungkin juga Abu Lahab itu ditimpa oleh penyakit darah tinggi, atau sakit jantung karena durhakanya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Pandangan Umum Surat Al Nashr&Al Lahab Menurut tafsir
(Ibnu Katsir& Prof.Dr HAMKA)


    Pangadangan umum surat Al Ashr   apabila telah datang pertolongan Allah. Terhadap kepada agamaNya yang benar itu, dan kian lama kian terbuka mata manusia akan kebenarannya; "Dan Kemenangan." (ujung ayat 1). Yaitu telah terbuka negeri Makkah yang selama ini tertutup. Dan menang Nabi s.a.w. ketika memasuki kota itu bersama 10,000 tentara Muslimin, sehingga penduduknya takluk tidak dapat melawan lagi.
Kedaulatan berhala yang selama ini mereka pertahankan dengan sebab masuknya tentara Islam itu dengan sendirinya telah runtuh.Berhala-berhala itu telah dipecahi dan dihancurkan.Ka'bah dan sekelilingnya telah bersih daripada berhala.Dan yang berkuasa ialah Islam Dan engkau lihat manusia masuk ke dalam Agama Allah dalam keadaan berbondong-bondong.
Artinya bahwa manusia pun datanglah berduyun-duyun, berbondong-bondong dari seluruh penjuru Tanah Arab, dari berbagai persukuan dan kabilah.Mereka datang menghadap Nabi s.a.w. menyatakan diri mereka mulai saat itu mengakui Agama Islam, mengucapkan bahwa memang; "Tidak ada Tuhan, melainkan Allah; Muhammad adalah Rasul Allah."Dengan demikian bertukar keadaan.Agama yang dahulunya berjalan dengan sempit, menghadapi berbagai rintangan dan sikap permusuhan, sejak kemenangan menaklukkan Makkah itu orang datang berbondong menyatakan diri menjadi penganutnya.
Kalau sudah demikian halnya  maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu."Arti bertasbih ialah mengakui kebesaran dan kesucian Tuhan, dan bahwa semuanya itu tidaklah akan terjadi kalau bukan kurnia Tuhan. Dan tidaklah semuanya itu karena tenaga manusia atau tenaga siapa pun di dalam alam ini, melainkan semata-mata kurnia Allah.
Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya bahwa Tuhan menurunkan Surat tentang Abu Lahab dan isterinya ini akan menjadi pengajaran dan i'tibar bagi manusia yang mencoba berusaha hendak menghalangi dan menantang apa yang diturunkan Allah kepada NabiNya, karena memperturutkan hawa nafsu, mempertahankan kepercayaan yang salah, tradisi yang lapuk dan adat-istiadat yang karut-marut.
Mereka menjadi lupa diri karena merasa sanggup, karena kekayaan mereka. Disangkanya sebab dia kaya, maksudnya itu akan berhasil apa lagi dia merasa bahwa gagasannya akan diterima orang, sebab selama ini dia disegani orang, dipuji karena tampan, karena berpengaruh. Kemudian ternyata bahwa rencananya itu digagalkan Tuhan, dan harta-bendanya yang telah dipergunakannya berhabis-habis untuk maksudnya yang jahat itu menjadi punah dengan tidak memberikan hasil apa-apa malahan dirinyalah yang celaka.
 Demikian Ibnu Katsir menjelaskan dengan jelas di dalam tafsirnya, dan kita pun nampak di sini bahwa meskipun ada pertalian keluarga di antara Rasulullah s.a.w. dengan  Abu Lahab, namun sikapnya menolak kebenaran Allah, tidaklah akan bisa  menyelamatkan dia hubungan darahnya itu. Selain dari bernama "al-Lahab" (nyala) Surat ini pun bernama juga "al-Masadd", yang berarti tali yang terbuat dari sabut itu.




Munasbah Surat Al Nashr dengan surat Al Lahab
 Surat An Nashr menerangkan tentang kemenangan yang diperoleh Nabi Muhammad SAW dan pengikut-pengikutnya sedangkan  surat Al Lahab menerangkan tentang kebinasaan dan siksaan yang akan diderita oleh Abu Lahab dan istrinya sebagai orang-orang yang menentang Nabi dan antara kedua  surat ini sangat berkaitan antara kemenangan yang diperoleh orang-orang yang beriman dengan siksaan dan dosa bagi orang-orang yang kafir  yang menentang Allah dan Rasul-Nya.




HUKUM BERWUDHU UNTUK MEMEGANG AL-QUR’AN
 Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah Universitas Muhammadiyah Malang

عن عمربن حزم رضي الله عنه قال:ان النبي صلى الله عليه وسلم كتب الى اهل اليمن كتا با وكا ن فيه: لا يمس القران الاطاهر(رواه الاثرم والدرقطنى)

          Artinya: " Amir ibn Hazm ra.menerangkan :” Bahwa nabi SAW, mengirim surat kepada penduduk yaman .Di dalam suratnya terdapat perkataan “ Al qur’an tiada boleh di sentuh selain oleh orang yang suci”(HR.Al -atsram  dan Ad- daraqutni)
PENJELASAN HADIS:
Hadis [254] di riwayatkan oleh al-atsram dan ad-daruqutni dari amir ibn hazm dari ayah nya dari kakeknya.Hadits ini di perselisihkan oleh para muhaditsin .Kata Abu Daud: saya tidak akan meriwayatkan hadis ini.Kata Ibnu Hazm surat yang terdapat pada amir ibnu Hazm itu, tidak bisa di jadikan hujah.Demikian pula dari ahmad,bahwa beliau berkata: saya harap hadis ini shahih.segolongan ahli hadits mensahihkan hadis ini ,mengingat kemasyharannya , bukan mengingat sanadnya .Abul asybal dalam syarah At-tahqiq menegaskan kesahihan sanad hadis ini .Hadis ini menyatakan bahwasannya mushhaf ,hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang tidak berhadas.
Kata ibnu qudamah : Mushaf tidak boleh disentuh atau dipegang melainkan oleh orang-orang yang suci dari kedua-dua hadas .pendapat ini diriwayatkan dari ibnu umar ,Al-hasan ,Atha, Thaus, Asy-Sya’bi dan al-Qasim Ibnu Muhammad.Dan ini pulalah pendapat Malik , Asy-Syafi’i dan pengikut-pengikut Abu hanifah ,Daud membolehkannya.
Ibnu abbas ,Ad-Dhahhak,Zaid ibn Ali dan Daud berpendapat bahwa orang-orang yang berhadast kecil boleh menyentuh mushhaf .
Kata An-Nawawi : Menurut Mazhab kami, Musshaf haram di sentuh dan di bawa oleh orang yang berhadas.Demikianlah pendapat Abu Hanifah , Malik dan jumhur ulama.
Diriwayatkan oleh Al-Hakam dari Hammad dan daud : boleh menyentuh dan membawannya .
An-nawawi berkata : orang yang berhadast atau berjunub , boleh menulis musshaf , asal saja yang di tulis itu tidak di pegang dan tidak dibawannya . dan apabila ditulis al-qur’an di sesuatu kepingan papan ,kepingan itu hukumnya sebagaimana al-qur’an.
Kata al-qadhi husain husain : Di makruhkan bagi orang yang berhadas , Melekatkan jimat , di bagian dadanya (maksudnya : ayat al- Qur’an yang di tulis dan di ikat di badannya)
Walaupu hadis yang di atas di pandang shahih , namun tak dapat juga kita jadikan alasan untuk menidak bolehkan orang yang berhadas menyentuh al-qur’an ,Karena:
a.       Perkataan” yang suci” di sini adalah kata yang mempunyai beberapa arti,antara lain;
1)      Yang suci dari syirik
2)      Yang suci dari hadas besar
3)      Yang suci dari hadas kecil, dan
4)      Yang suci dari najasah
Di sini kita tak dapat menunjuk kepada sesuatu makna tersebut,sebelum ada keterangan yang di tunjukkan baginnya .
Menurut kaidah ushul: tiap- tiap lafadz musytarak ( yang banyak maknannya )tidak boleh di maknakan dengan seluruh maknanya , untuk menentukan makna yang di pakai , haruslah mempunyai dalil.Maka menentukan yang suci di sini dengan yang suci dari hadast , perlu kepada keterangan .
b.      Orang yang mukmin walaupun ia sedang berhadast , atau berjanabah zatnya tetap tidak najis.
Dan jika di maksudkan :tidak boleh di pegang oleh orang yang musyrik , maka berita sahih dari Nabi Muhammad SAW .seperti yang di riwayatkan oleh Al-Bukhari  dan Muslim,Bahwa beliau mengirim surat kepada Heraclius , yang di dalamnya terdapat ayat –ayat Al qur’an .
c.       Sebagaimana pengertian hadis ini ,demikian pulalah pengertian ayat: La yamassuhu illal mutthaharun “= tiadalah disentuh akan dia melainkan oleh orang-orang yang disucikan .orang-orang yang disucikan itu,boleh diartikan :malaikat ,boleh pula:orang yang telah bersih dari hadas ,najasah dan orang syirik .Tak ada keterangan untuk menunjuk kepada sesuatu makna.
Lantaran itu, kita berpaham bahwa dimaksud dengan “ Tiada disentuh akan dia melainkan oleh orang-orang yang disucikan “bahwa Al qur’an ini tidak di pahamkan isinya selain oleh orang-orang yang telah suci,bersih jiwanya.Demikianlah pemaknaan ayat ini.





PERBEDAAN PENDAPAT MADHAB

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah –kitab Ensiklopedia Fiqih- disebutkan,
Orang yang berhadats (hadats besar atau hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.”
Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak menyentuhnya.
Yang dimaksud menyentuh mushaf menurut mayoritas ulama adalah menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian tubuh lainnya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa menyentuh mushaf Al Qur’an tidak dibolehkan oleh para ulama madzhab.
Menyentuh Mushaf bagi Orang yang Berhadat Besar dan Kecil
Larangan menyentuh mushaf di sini berlaku bagi orang yang berhadats besar seperti wanita yang sedang haidh, nifas dan orang yang junub. Mengenai larangan menyentuh mushaf bagi yang berhadats besar terdapat riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Al Qosim bin Muhammad, Al Hasan Al Bahsri, ‘Atho’, dan Asy Sya’bi. Bahkan sampai-sampai Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud (salah satu ulama Zhohiriyah).”
Begitu pula larangan menyentuh mushaf di sini berlaku bagi orang yang berhadats kecil seperti orang yang sehabis kentut atau kencing dan belum bersuci. Inilah mayoritas pendapat pakar fiqih. Bahkan Ibnu Qudamah sampai-sampai mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada ulama yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud Azh Zhohiri.”
Al Qurthubi mengatakan bahwa ada sebagian ulama yang membolehkan menyentuh mushaf tanpa berwudhu.
Al Qolyubi, salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan, “Ibnu Sholah menceritakan ada pendapat yang aneh dalam masalah ini yang menyebutkan tidak terlarang menyentuh mushaf sama sekali (meskipun keadaan hadats kecil maupun hadats besar)”
Orang yang berhadats di sini diperbolehkan menyentuh Al Qur’an setelah mereka bersuci, untuk hadats besar dengan mandi wajib sedangkan hadats kecil dengan berwudhu.
Menyentuh Mushaf Al Qur’an dengan Pembatas Ketika Berhadats
Tentang menyentuh mushaf Al Qur’an dengan pembatas ketika berhadats, maka terdapat perselisihan di antara para ulama. Ada ulama yang membolehkan dan ada yang tidak.
Namun yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan pembatas selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf (artinya: tidak dibeli beserta mushaf seperti sampul). Seperti yang digunakan sebagai pembatas di sini adalah sarung tangan. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan menyentuh mushaf secara langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas, maka yang disentuh adalah pembatasnya dan bukan mushafnya. Demikian pendapat yang dipilih oleh ulama Hambali.
Membawa Mushaf Al Qur’an Ketika Berhadats Tanpa Menyentuh
Misalnya, saja seorang yang dalam keadaan berhadats membawa mushaf Al Qur’an di tasnya, tanpa menyentuhnya secara langsung. Apakah seperti ini dibolehkan?
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan. Yaitu dibolehkan bagi yang berhadats (seperti orang yang junub) untuk membawa mushaf tanpa menyentuhnya secara langsung, dengan menggunakan pembatas yang bukan bagian dari Al Qur’an. Karena seperti ini bukanlah disebut menyentuh. Sedangkan larangan yang disebutkan dalam hadits adalah menyentuh mushaf dalam keadaan tidak suci. Sedangkan di sini sama sekali tidak menyentuh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, ulama Hanabilah dan menjadi pendapat Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Asy Sya’bi, Al Qosim, Al Hakam dan Hammad.
Yang Dibolehkan Menyentuh Mushaf Meskipun dalam Keadaan Berhadats
-          Pertama: Anak kecil.
Ulama Syafi’iyah mengatakan, “Tidak terlarang bagi anak kecil yang sudah tamyiz[8] untuk menyentuh mushaf walaupun dia dalam keadaan hadats besar. Dia dibolehkan untuk menyentuh, membawa dan untuk mempelajarinya. Yaitu tidak wajib melarang anak kecil semacam itu karena ia sangat butuh untuk mempelajari Al Qur’an dan sangat sulit jika terus-terusan diperintahkan untuk bersuci. Namun ia disunnahkan saja untuk bersuci.”
-Kedua: Bagi guru dan murid yang butuh untuk mempelajari Al Qur’an.

Dibolehkan bagi wanita haidh yang ingin mempelajari atau mengajarkan Al Qur’an di saat jam mengajar untuk menyentuh mushaf baik menyentuh seluruh mushaf atau sebagiannya atau cuma satu lembaran yang tertulis Al Qur’an. Namun hal ini tidak dibolehkan pada orang yang junub. Karena orang yang junub ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya dengan mandi sebagaimana ia mudah untukk berwudhu. Beda  halnya dengan wanita haidh, ia tidak bisa menghilangkan hadatsnya begitu saja karena yang ia alami adalah ketetapan Allah. Demikian pendapat dari ulama Malikiyah.
Akan tetapi yang jadi pegangan ulama Malikiyah, boleh bagi orang yang junub (laki-laki atau perempuan, kecil atau dewasa) untuk membawa Al Qur’an ketika mereka hendak belajar karena keadaan yang sulit untuk bersuci ketika itu. Ia dibolehkan untuk menelaah atau menghafal Al Qur’an ketika itu.
Yang lebih tepat, untuk laki-laki yang junub karena ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya, maka lebih baik ia bersuci terlebih dulu, setelah itu ia mengkaji Al Qur’an. Adapun untuk wanita haidh yang inginn mengkaji Al Qur’an, sikap yang lebih hati-hati adalah ia menyentuh Al Qur’an dengan pembatas sebagaimana diterangkan pada pembahasan yang telah lewat. Wallahu a’lam.
Menyentuh Kitab-kitab Tafsir dalam Keadaan Berhadats
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa diharamkan menyentuh mushaf jika isinya lebih banyak Al Qur’an daripada kajian tafsir, begitu pula jika isinya sama banyaknya antara Al Qur’an dan kajian tafsir, menurut pendapat yang lebih kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak kajian tafsir daripada Al Qur’an, maka dibolehkan untuk menyentuhnya.
An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Menyentuh Kitab Fiqh dan Kitab Hadits dalam Keadaan Berhadats
Menyentuh kitab fiqh dibolehkan dalam keadaan berhadats karena kitab tersebut tidaklah disebut mushaf dan umumnya, isinya lebih banyak selain ayat Al Qur’an. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Begitu pula dengan kitab hadits diperbolehkan untuk menyentuhnya walaupun dalam keadaan berhadats. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Intinya, jika suatu kitab atau buku tidak disebut mushaf dan isinya lebih banyak tulisan selain ayat Al Qur’an, maka tidak mengapa orang yang berhadats menyentuhnya.
Menyentuh Al Qur’an Terjemahan dalam Keadaan Berhadats
Jika yang disentuh adalah terjemahan Al Qur’an dalam bahasa non Arab, maka itu tidak disebut Al Qur’an. Namun kitab atau buku seperti ini disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti ini karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats sebagaimana keterangan yang telah lewat.
Menyentuh Sampul Mushaf dan Bagian Lainnya
Mayoritas ulama menyatakan bahwa termasuk yang terlarang ketika berhadats di sini adalah menyentuh sampul mushaf yang bersambung langsung dengan mushaf, halaman pinggirannya yang tidak ada tulisan ayat di sana, celah-celah ayat yang tidak terdapat tulisan dan bagian lainnya dari mushaf secara keseluruhan. Karena bagian-bagian tadi semuanya termasuk mushaf dan ikut serta ketika dibeli, sehingga dikenai hukum yang sama.
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Pendapat yang menyatakan tidak terlarang menyentuh sampul mushaf ketika hadats lebih dekat pada qiyas (analogi). Sedangkan pendapat yang menyatakan terlarang, alasannya adalah untuk mengagungkan mushaf Al Qur’an. Pendapat yang menyatakan terlarang, itulah yang lebih tepat.”
Berikut pembahasan terperinci mengenai menyentuh mushaf tanpa wudhu sesuai dengan pendapat para imam mazhab:
-          Mazhab Maliki
diperbolehkan menyentuh mushaf seluruhnya atau sebagiannya dengan syarat sebagai berikut:
1. Tertulis dengan tidak menggunakan bahasa arab, adapun jika tertulis dengan menggunakan bahasa arab maka tidak boleh menyentuhnya dengan keadaan apapun, walaupun tertulis dengan khat Kufiy atau Maghribiy atau selainnya.
2. Menjadi ukiran dalam mata wang, sama ada dalam dinar, dirham atau selainnya (yang menjadi alat untuk pertukaran)
3. Diperbolehkan memegang qur’an seluruhnya atau sebagiannya untuk menyelamatkan (terjatuh dilantai atau dimana saja) tanpa memiliki wudhu. Sebagian dari para Malikiah mengatakan diperbolehkan memegangnya apabila qur’an itu hanya sebagian saja dan jika sempurna qur’an tersebut maka dilarang. Dan syarat memegangnya ada dua: 1. hendaknya orang yang memegang qur’an adalah muslim, 2. hendaknya qur’an tersebut tertutup (terbungkus) agar tidak ternodai dari segala macam kotoran.
4. Yang menyentuhnya atau yang memegangnya adalah seorang guru atau murid, dan tidak ada perbezaan apakah mereka itu sudah mukallaf atau belum, begitu juga wanita yang haidh dan yang selain itu.
Maka, bagi Maliki, selain dari empat syarat tadi, orang yang tidak memiliki wudhu tidak diperbolehkan untuk menyentuh atau memegang qur’an, sama ada menggunakan alas ataupun tidak. Begitu juga tidak diperbolehkan memegang sesuatu yang diatasnya ada qur’an (bantal, kursi, kotak, dll). Dan apabila qur’an tersebut dicampurkan dengan barang-barang lain dan dimasukkan dalam satu tempat (kardus) maka diperbolehkan untuk memegang tempat tersebut.
Adapun membaca qur’an tanpa memegangnya diperbolehkan bagi orang yang tidak memiliki wudhu akan tetapi lebih afdhol agar memiliki wudhu.
-          Hanabilah(mazhab Hanbali)
Apabila orang yang menyentuh qur’an atau yang membawanya dan tidak memiliki wudhu maka hendaknya qur’an tersebut diberikan bungkus (diletakkan dalam kantong, sapu tangan, dll), atau diletakkan dalam kotak, atau diletakkan dalam suatu tempat yang tempat tersebut mudah untuk dipindah-pindahkan (contoh didalam rumah, qur’an tersebut diletakkan didalam almari, sehingga mudah saja qur’an diletakkan dimana tempat sama ada itu disengaja untuk menyentuhnya ataupun tidak), maka dalam keadaan tersebut dibolehkan untuk memegang qur’an tanpa memiliki wudhu. Diperbolehkan juga tanpa wudhu memegang qur’an untuk menyelamatkan dengan syarat menjadikan sesuatu dari yang bersih dan suci sebagai pelindungnya dari hal-hal yang kotor dan najis. Anak yang belum mukallaf (belum baligh) tidak diwajibkan berwudhu untuk menyentuh atau memegang qur’an, akan tetapi diwajibkan atas walinya (orang tua) untuk memerintahkannya untuk berwudhu sebelum menyentuh, memegang, atau membawa qur’an.


-          Mazhab Hanafi
Diperbolehkan menyentuh qur’an seluruhnya atau sebagiannya atau tulisannya dengan syarat sebagai berikut:
1. Dalam keadaan darurat, seperti apabila qur’an terjatuh kedalam air dan akan tenggelam atau akan terbakar, maka dibolehkan untuk memegang qur’an untuk menyelamatkan walaupun tanpa wudhu.
2. Hendaknya qur’an tersebut terbungkus (diletakkan dalam kantong, dll).
3. Yang menyentuhnya adalah orang yang belum baligh dengan tujuan untuk mempelajari qur’an . Adapun orang sudah baligh dan orang yang haidh, entah sebagai guru ataupun murid tidak diperbolehkan memegang qur’an.
4. Muslim, maka tidak diperbolehkan bagi selain muslim untuk memegang qur’an. Menurut pendapat Muhammad (pengikut mazhab Hanafi) : dibolehkan selain muslim memegang qur’an apabila telah mandi terlebih dahulu, adapun jika selain muslim menghafal dari qur’an tidak dilarang. Sehingga apabila tidak sesuai dengan syarat ini. Maka tidak dibolehkan bagi orang yang tidak suci dan tidak berwudhu untuk menyentuh qur’an ( dengan menggunakan anggota tubuh manapun). Adapun membaca qur’an tanpa mushaf maka dibolehkan bagi orang yang tidak memiliki wudhu, dan diharamkan bagi orang yang junub dan haidh, akan tetapi mustahab (digalakkan sekali) untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum membaca qur’an.
Makruh menyentuh tafsir tanpa wudhu, sama ada dalam bentuk kitab fiqh, hadis dan lain sebagainya dibolehkan tanpa wudhu kerana hal ini masuk dalam hal Rukhsoh (peringanan).
-          Mazhab Shafie:
Dibolehkan orang yang tidak wudhu menyentuh, membawa seluruh qur’an atau sebagiannya dengan syarat sebagai berikut
1. Membawanya hirzan (menjaga).
2. Tertulis (terukir) dalam dirham, dinar atau junaih.
3. Qur’an tersebut tertulis dalam buku-buku pelajaran.
Adapun tafsir dibolehkan menyentuhnya tanpa wudhu dengan syarat tafsir lebih banyak daripada qur’an, dan jika qur’an lebih banyak daripada tafsir maka tidak boleh menyentuhnya apabila tidak memiliki wudhu.
4. Ayat qur’an tertulis dalam pakaian, seperti contoh pakaian yang diletakkan pada ka’bah (kiswah untuk ka’bah).
5. Memegangnya untuk mempelajarinya, maka dibolehkan bagi walinya agar membiarkan untuk memegangnya dan membawanya untuk belajar walaupun telah dihafalnya. Apabila tidak sesuai dengan syarat-syarat diatas maka diharamkan untuk menyentuh qur’an, walaupun hanya satu ayat saja.
Jadi kesimpulannya adalah:
1. Hukum memegang atau menyentuh al-Qur'an tanpa wudhu' adalah haram kecuali dalam keadaan darurat seperti menyelamatkannya daripada kebakaran ,menjaganya dsb.
2. Yang dimaksudkan dengan al-Qur'an ialah mashaf al-Qur'an itu sendiri. oleh itu, tafsir al-Qur'an boleh dipegang tanpa wudhu' jika kandungan tafsirnya lebih banyak daripada ayat-ayat al-Qur'an di dalamnya.