21 Jan 2012

HUKUM BERWUDHU UNTUK MEMEGANG AL-QUR’AN
 Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah Universitas Muhammadiyah Malang

عن عمربن حزم رضي الله عنه قال:ان النبي صلى الله عليه وسلم كتب الى اهل اليمن كتا با وكا ن فيه: لا يمس القران الاطاهر(رواه الاثرم والدرقطنى)

          Artinya: " Amir ibn Hazm ra.menerangkan :” Bahwa nabi SAW, mengirim surat kepada penduduk yaman .Di dalam suratnya terdapat perkataan “ Al qur’an tiada boleh di sentuh selain oleh orang yang suci”(HR.Al -atsram  dan Ad- daraqutni)
PENJELASAN HADIS:
Hadis [254] di riwayatkan oleh al-atsram dan ad-daruqutni dari amir ibn hazm dari ayah nya dari kakeknya.Hadits ini di perselisihkan oleh para muhaditsin .Kata Abu Daud: saya tidak akan meriwayatkan hadis ini.Kata Ibnu Hazm surat yang terdapat pada amir ibnu Hazm itu, tidak bisa di jadikan hujah.Demikian pula dari ahmad,bahwa beliau berkata: saya harap hadis ini shahih.segolongan ahli hadits mensahihkan hadis ini ,mengingat kemasyharannya , bukan mengingat sanadnya .Abul asybal dalam syarah At-tahqiq menegaskan kesahihan sanad hadis ini .Hadis ini menyatakan bahwasannya mushhaf ,hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang tidak berhadas.
Kata ibnu qudamah : Mushaf tidak boleh disentuh atau dipegang melainkan oleh orang-orang yang suci dari kedua-dua hadas .pendapat ini diriwayatkan dari ibnu umar ,Al-hasan ,Atha, Thaus, Asy-Sya’bi dan al-Qasim Ibnu Muhammad.Dan ini pulalah pendapat Malik , Asy-Syafi’i dan pengikut-pengikut Abu hanifah ,Daud membolehkannya.
Ibnu abbas ,Ad-Dhahhak,Zaid ibn Ali dan Daud berpendapat bahwa orang-orang yang berhadast kecil boleh menyentuh mushhaf .
Kata An-Nawawi : Menurut Mazhab kami, Musshaf haram di sentuh dan di bawa oleh orang yang berhadas.Demikianlah pendapat Abu Hanifah , Malik dan jumhur ulama.
Diriwayatkan oleh Al-Hakam dari Hammad dan daud : boleh menyentuh dan membawannya .
An-nawawi berkata : orang yang berhadast atau berjunub , boleh menulis musshaf , asal saja yang di tulis itu tidak di pegang dan tidak dibawannya . dan apabila ditulis al-qur’an di sesuatu kepingan papan ,kepingan itu hukumnya sebagaimana al-qur’an.
Kata al-qadhi husain husain : Di makruhkan bagi orang yang berhadas , Melekatkan jimat , di bagian dadanya (maksudnya : ayat al- Qur’an yang di tulis dan di ikat di badannya)
Walaupu hadis yang di atas di pandang shahih , namun tak dapat juga kita jadikan alasan untuk menidak bolehkan orang yang berhadas menyentuh al-qur’an ,Karena:
a.       Perkataan” yang suci” di sini adalah kata yang mempunyai beberapa arti,antara lain;
1)      Yang suci dari syirik
2)      Yang suci dari hadas besar
3)      Yang suci dari hadas kecil, dan
4)      Yang suci dari najasah
Di sini kita tak dapat menunjuk kepada sesuatu makna tersebut,sebelum ada keterangan yang di tunjukkan baginnya .
Menurut kaidah ushul: tiap- tiap lafadz musytarak ( yang banyak maknannya )tidak boleh di maknakan dengan seluruh maknanya , untuk menentukan makna yang di pakai , haruslah mempunyai dalil.Maka menentukan yang suci di sini dengan yang suci dari hadast , perlu kepada keterangan .
b.      Orang yang mukmin walaupun ia sedang berhadast , atau berjanabah zatnya tetap tidak najis.
Dan jika di maksudkan :tidak boleh di pegang oleh orang yang musyrik , maka berita sahih dari Nabi Muhammad SAW .seperti yang di riwayatkan oleh Al-Bukhari  dan Muslim,Bahwa beliau mengirim surat kepada Heraclius , yang di dalamnya terdapat ayat –ayat Al qur’an .
c.       Sebagaimana pengertian hadis ini ,demikian pulalah pengertian ayat: La yamassuhu illal mutthaharun “= tiadalah disentuh akan dia melainkan oleh orang-orang yang disucikan .orang-orang yang disucikan itu,boleh diartikan :malaikat ,boleh pula:orang yang telah bersih dari hadas ,najasah dan orang syirik .Tak ada keterangan untuk menunjuk kepada sesuatu makna.
Lantaran itu, kita berpaham bahwa dimaksud dengan “ Tiada disentuh akan dia melainkan oleh orang-orang yang disucikan “bahwa Al qur’an ini tidak di pahamkan isinya selain oleh orang-orang yang telah suci,bersih jiwanya.Demikianlah pemaknaan ayat ini.





PERBEDAAN PENDAPAT MADHAB

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah –kitab Ensiklopedia Fiqih- disebutkan,
Orang yang berhadats (hadats besar atau hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.”
Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak menyentuhnya.
Yang dimaksud menyentuh mushaf menurut mayoritas ulama adalah menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian tubuh lainnya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa menyentuh mushaf Al Qur’an tidak dibolehkan oleh para ulama madzhab.
Menyentuh Mushaf bagi Orang yang Berhadat Besar dan Kecil
Larangan menyentuh mushaf di sini berlaku bagi orang yang berhadats besar seperti wanita yang sedang haidh, nifas dan orang yang junub. Mengenai larangan menyentuh mushaf bagi yang berhadats besar terdapat riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Al Qosim bin Muhammad, Al Hasan Al Bahsri, ‘Atho’, dan Asy Sya’bi. Bahkan sampai-sampai Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud (salah satu ulama Zhohiriyah).”
Begitu pula larangan menyentuh mushaf di sini berlaku bagi orang yang berhadats kecil seperti orang yang sehabis kentut atau kencing dan belum bersuci. Inilah mayoritas pendapat pakar fiqih. Bahkan Ibnu Qudamah sampai-sampai mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada ulama yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud Azh Zhohiri.”
Al Qurthubi mengatakan bahwa ada sebagian ulama yang membolehkan menyentuh mushaf tanpa berwudhu.
Al Qolyubi, salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan, “Ibnu Sholah menceritakan ada pendapat yang aneh dalam masalah ini yang menyebutkan tidak terlarang menyentuh mushaf sama sekali (meskipun keadaan hadats kecil maupun hadats besar)”
Orang yang berhadats di sini diperbolehkan menyentuh Al Qur’an setelah mereka bersuci, untuk hadats besar dengan mandi wajib sedangkan hadats kecil dengan berwudhu.
Menyentuh Mushaf Al Qur’an dengan Pembatas Ketika Berhadats
Tentang menyentuh mushaf Al Qur’an dengan pembatas ketika berhadats, maka terdapat perselisihan di antara para ulama. Ada ulama yang membolehkan dan ada yang tidak.
Namun yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan pembatas selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf (artinya: tidak dibeli beserta mushaf seperti sampul). Seperti yang digunakan sebagai pembatas di sini adalah sarung tangan. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan menyentuh mushaf secara langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas, maka yang disentuh adalah pembatasnya dan bukan mushafnya. Demikian pendapat yang dipilih oleh ulama Hambali.
Membawa Mushaf Al Qur’an Ketika Berhadats Tanpa Menyentuh
Misalnya, saja seorang yang dalam keadaan berhadats membawa mushaf Al Qur’an di tasnya, tanpa menyentuhnya secara langsung. Apakah seperti ini dibolehkan?
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan. Yaitu dibolehkan bagi yang berhadats (seperti orang yang junub) untuk membawa mushaf tanpa menyentuhnya secara langsung, dengan menggunakan pembatas yang bukan bagian dari Al Qur’an. Karena seperti ini bukanlah disebut menyentuh. Sedangkan larangan yang disebutkan dalam hadits adalah menyentuh mushaf dalam keadaan tidak suci. Sedangkan di sini sama sekali tidak menyentuh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, ulama Hanabilah dan menjadi pendapat Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Asy Sya’bi, Al Qosim, Al Hakam dan Hammad.
Yang Dibolehkan Menyentuh Mushaf Meskipun dalam Keadaan Berhadats
-          Pertama: Anak kecil.
Ulama Syafi’iyah mengatakan, “Tidak terlarang bagi anak kecil yang sudah tamyiz[8] untuk menyentuh mushaf walaupun dia dalam keadaan hadats besar. Dia dibolehkan untuk menyentuh, membawa dan untuk mempelajarinya. Yaitu tidak wajib melarang anak kecil semacam itu karena ia sangat butuh untuk mempelajari Al Qur’an dan sangat sulit jika terus-terusan diperintahkan untuk bersuci. Namun ia disunnahkan saja untuk bersuci.”
-Kedua: Bagi guru dan murid yang butuh untuk mempelajari Al Qur’an.

Dibolehkan bagi wanita haidh yang ingin mempelajari atau mengajarkan Al Qur’an di saat jam mengajar untuk menyentuh mushaf baik menyentuh seluruh mushaf atau sebagiannya atau cuma satu lembaran yang tertulis Al Qur’an. Namun hal ini tidak dibolehkan pada orang yang junub. Karena orang yang junub ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya dengan mandi sebagaimana ia mudah untukk berwudhu. Beda  halnya dengan wanita haidh, ia tidak bisa menghilangkan hadatsnya begitu saja karena yang ia alami adalah ketetapan Allah. Demikian pendapat dari ulama Malikiyah.
Akan tetapi yang jadi pegangan ulama Malikiyah, boleh bagi orang yang junub (laki-laki atau perempuan, kecil atau dewasa) untuk membawa Al Qur’an ketika mereka hendak belajar karena keadaan yang sulit untuk bersuci ketika itu. Ia dibolehkan untuk menelaah atau menghafal Al Qur’an ketika itu.
Yang lebih tepat, untuk laki-laki yang junub karena ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya, maka lebih baik ia bersuci terlebih dulu, setelah itu ia mengkaji Al Qur’an. Adapun untuk wanita haidh yang inginn mengkaji Al Qur’an, sikap yang lebih hati-hati adalah ia menyentuh Al Qur’an dengan pembatas sebagaimana diterangkan pada pembahasan yang telah lewat. Wallahu a’lam.
Menyentuh Kitab-kitab Tafsir dalam Keadaan Berhadats
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa diharamkan menyentuh mushaf jika isinya lebih banyak Al Qur’an daripada kajian tafsir, begitu pula jika isinya sama banyaknya antara Al Qur’an dan kajian tafsir, menurut pendapat yang lebih kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak kajian tafsir daripada Al Qur’an, maka dibolehkan untuk menyentuhnya.
An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Menyentuh Kitab Fiqh dan Kitab Hadits dalam Keadaan Berhadats
Menyentuh kitab fiqh dibolehkan dalam keadaan berhadats karena kitab tersebut tidaklah disebut mushaf dan umumnya, isinya lebih banyak selain ayat Al Qur’an. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Begitu pula dengan kitab hadits diperbolehkan untuk menyentuhnya walaupun dalam keadaan berhadats. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Intinya, jika suatu kitab atau buku tidak disebut mushaf dan isinya lebih banyak tulisan selain ayat Al Qur’an, maka tidak mengapa orang yang berhadats menyentuhnya.
Menyentuh Al Qur’an Terjemahan dalam Keadaan Berhadats
Jika yang disentuh adalah terjemahan Al Qur’an dalam bahasa non Arab, maka itu tidak disebut Al Qur’an. Namun kitab atau buku seperti ini disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti ini karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats sebagaimana keterangan yang telah lewat.
Menyentuh Sampul Mushaf dan Bagian Lainnya
Mayoritas ulama menyatakan bahwa termasuk yang terlarang ketika berhadats di sini adalah menyentuh sampul mushaf yang bersambung langsung dengan mushaf, halaman pinggirannya yang tidak ada tulisan ayat di sana, celah-celah ayat yang tidak terdapat tulisan dan bagian lainnya dari mushaf secara keseluruhan. Karena bagian-bagian tadi semuanya termasuk mushaf dan ikut serta ketika dibeli, sehingga dikenai hukum yang sama.
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Pendapat yang menyatakan tidak terlarang menyentuh sampul mushaf ketika hadats lebih dekat pada qiyas (analogi). Sedangkan pendapat yang menyatakan terlarang, alasannya adalah untuk mengagungkan mushaf Al Qur’an. Pendapat yang menyatakan terlarang, itulah yang lebih tepat.”
Berikut pembahasan terperinci mengenai menyentuh mushaf tanpa wudhu sesuai dengan pendapat para imam mazhab:
-          Mazhab Maliki
diperbolehkan menyentuh mushaf seluruhnya atau sebagiannya dengan syarat sebagai berikut:
1. Tertulis dengan tidak menggunakan bahasa arab, adapun jika tertulis dengan menggunakan bahasa arab maka tidak boleh menyentuhnya dengan keadaan apapun, walaupun tertulis dengan khat Kufiy atau Maghribiy atau selainnya.
2. Menjadi ukiran dalam mata wang, sama ada dalam dinar, dirham atau selainnya (yang menjadi alat untuk pertukaran)
3. Diperbolehkan memegang qur’an seluruhnya atau sebagiannya untuk menyelamatkan (terjatuh dilantai atau dimana saja) tanpa memiliki wudhu. Sebagian dari para Malikiah mengatakan diperbolehkan memegangnya apabila qur’an itu hanya sebagian saja dan jika sempurna qur’an tersebut maka dilarang. Dan syarat memegangnya ada dua: 1. hendaknya orang yang memegang qur’an adalah muslim, 2. hendaknya qur’an tersebut tertutup (terbungkus) agar tidak ternodai dari segala macam kotoran.
4. Yang menyentuhnya atau yang memegangnya adalah seorang guru atau murid, dan tidak ada perbezaan apakah mereka itu sudah mukallaf atau belum, begitu juga wanita yang haidh dan yang selain itu.
Maka, bagi Maliki, selain dari empat syarat tadi, orang yang tidak memiliki wudhu tidak diperbolehkan untuk menyentuh atau memegang qur’an, sama ada menggunakan alas ataupun tidak. Begitu juga tidak diperbolehkan memegang sesuatu yang diatasnya ada qur’an (bantal, kursi, kotak, dll). Dan apabila qur’an tersebut dicampurkan dengan barang-barang lain dan dimasukkan dalam satu tempat (kardus) maka diperbolehkan untuk memegang tempat tersebut.
Adapun membaca qur’an tanpa memegangnya diperbolehkan bagi orang yang tidak memiliki wudhu akan tetapi lebih afdhol agar memiliki wudhu.
-          Hanabilah(mazhab Hanbali)
Apabila orang yang menyentuh qur’an atau yang membawanya dan tidak memiliki wudhu maka hendaknya qur’an tersebut diberikan bungkus (diletakkan dalam kantong, sapu tangan, dll), atau diletakkan dalam kotak, atau diletakkan dalam suatu tempat yang tempat tersebut mudah untuk dipindah-pindahkan (contoh didalam rumah, qur’an tersebut diletakkan didalam almari, sehingga mudah saja qur’an diletakkan dimana tempat sama ada itu disengaja untuk menyentuhnya ataupun tidak), maka dalam keadaan tersebut dibolehkan untuk memegang qur’an tanpa memiliki wudhu. Diperbolehkan juga tanpa wudhu memegang qur’an untuk menyelamatkan dengan syarat menjadikan sesuatu dari yang bersih dan suci sebagai pelindungnya dari hal-hal yang kotor dan najis. Anak yang belum mukallaf (belum baligh) tidak diwajibkan berwudhu untuk menyentuh atau memegang qur’an, akan tetapi diwajibkan atas walinya (orang tua) untuk memerintahkannya untuk berwudhu sebelum menyentuh, memegang, atau membawa qur’an.


-          Mazhab Hanafi
Diperbolehkan menyentuh qur’an seluruhnya atau sebagiannya atau tulisannya dengan syarat sebagai berikut:
1. Dalam keadaan darurat, seperti apabila qur’an terjatuh kedalam air dan akan tenggelam atau akan terbakar, maka dibolehkan untuk memegang qur’an untuk menyelamatkan walaupun tanpa wudhu.
2. Hendaknya qur’an tersebut terbungkus (diletakkan dalam kantong, dll).
3. Yang menyentuhnya adalah orang yang belum baligh dengan tujuan untuk mempelajari qur’an . Adapun orang sudah baligh dan orang yang haidh, entah sebagai guru ataupun murid tidak diperbolehkan memegang qur’an.
4. Muslim, maka tidak diperbolehkan bagi selain muslim untuk memegang qur’an. Menurut pendapat Muhammad (pengikut mazhab Hanafi) : dibolehkan selain muslim memegang qur’an apabila telah mandi terlebih dahulu, adapun jika selain muslim menghafal dari qur’an tidak dilarang. Sehingga apabila tidak sesuai dengan syarat ini. Maka tidak dibolehkan bagi orang yang tidak suci dan tidak berwudhu untuk menyentuh qur’an ( dengan menggunakan anggota tubuh manapun). Adapun membaca qur’an tanpa mushaf maka dibolehkan bagi orang yang tidak memiliki wudhu, dan diharamkan bagi orang yang junub dan haidh, akan tetapi mustahab (digalakkan sekali) untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum membaca qur’an.
Makruh menyentuh tafsir tanpa wudhu, sama ada dalam bentuk kitab fiqh, hadis dan lain sebagainya dibolehkan tanpa wudhu kerana hal ini masuk dalam hal Rukhsoh (peringanan).
-          Mazhab Shafie:
Dibolehkan orang yang tidak wudhu menyentuh, membawa seluruh qur’an atau sebagiannya dengan syarat sebagai berikut
1. Membawanya hirzan (menjaga).
2. Tertulis (terukir) dalam dirham, dinar atau junaih.
3. Qur’an tersebut tertulis dalam buku-buku pelajaran.
Adapun tafsir dibolehkan menyentuhnya tanpa wudhu dengan syarat tafsir lebih banyak daripada qur’an, dan jika qur’an lebih banyak daripada tafsir maka tidak boleh menyentuhnya apabila tidak memiliki wudhu.
4. Ayat qur’an tertulis dalam pakaian, seperti contoh pakaian yang diletakkan pada ka’bah (kiswah untuk ka’bah).
5. Memegangnya untuk mempelajarinya, maka dibolehkan bagi walinya agar membiarkan untuk memegangnya dan membawanya untuk belajar walaupun telah dihafalnya. Apabila tidak sesuai dengan syarat-syarat diatas maka diharamkan untuk menyentuh qur’an, walaupun hanya satu ayat saja.
Jadi kesimpulannya adalah:
1. Hukum memegang atau menyentuh al-Qur'an tanpa wudhu' adalah haram kecuali dalam keadaan darurat seperti menyelamatkannya daripada kebakaran ,menjaganya dsb.
2. Yang dimaksudkan dengan al-Qur'an ialah mashaf al-Qur'an itu sendiri. oleh itu, tafsir al-Qur'an boleh dipegang tanpa wudhu' jika kandungan tafsirnya lebih banyak daripada ayat-ayat al-Qur'an di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar