15 Apr 2012

Islam Murni dalam Masyarakat Petani



Metodologi Penelitian (Metpen)
Reviw buku Abdul Munir Mulkhan
Islam Murni dalam Masyarakat Petani



                             
  
Disusun
Oleh:
MohdHadidi
201010020311017

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012
   

   Secara garis besar dalam buku Islam Murni dalam Masyarakat Petaniyang di tulis oleh Abdul Munir Mulkhan di angkat beberapa permasalahan dan  di jawab lewat penelitian lapangan bertempat di kecamatan  Wuluhan Kabupaten Jember Jawa Timur. Diantara masalah yang di angkat dalam penelitian beliau secara garis besar ada beberapa poin  penting adalah sebagai berikut :
     Pertama Bagaimana Muhammadiyah meluas dan berkembang kedaerah–daerah pedesaan, sehingga di terima oleh masyarakat petani desa yang cendrung sinkretis? Kedua Bagaimana kondisi sosial dan politik pada saat Muhammadiyah menyampaikan (mendakwakan)  pahamnya “Islam Murni” kepada masyarakat pedesaan yang sangat dominan dengan paham keagamaan tradisionalis atau ke NU-an. Ketiga apa respon petani dan respon Muhammadiyah terhadap  tradisi keagamaan petani yang ada di kecamatan Wuluhan kabupaten Jember Jawa Timur. Keempat bagaimana posisi pengikut Muhammadiyah yang konsisten dan yang tidak konsisten terhadap paham Muhammadiyah yang dalam hal ini  yang di  sebut “Islam murni”.
     Kemudian selanjutnya perlu kita ketahui juga apa tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan  Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Islam Murni Dalam Masyarakat Petani, di kecamatan Wuluhan Jember Jawa Timur adalah  sebagai berikut :
a)      Menjelaskan kontek sosial politik meluasnya Muhammadiyah dalam masyarakat petani di daerah pedesaan dan hubunganya dengan tesis rasionalisasi Weber (1972)
b)      Menjelaskan hubungan perluasan Muhammadiyah dalam masyarakat petani dengan modernisasi pendidikan Islam  yang semula di pelopori gerakkan ini.
c)      Menemukan hubungan pemberantasan TBC dan penyebaran Muhammadiyah ke daerah pedesaan dan tesis berlansung islamisasi.

   Kemudian setelah kita mengetahui tujuan  dan manfaat dari penelitian Munir Mulkhan, diatas lebih lanjut, kita melihat bagaimana pendekatan yang di gunakan beliau dalam meneliti masyarakat petani di pedesaan khususnya di kecamatan Wuluhan yang menjadi objek penelitianya. Kalau kita lihat dalam bukunya  Islam Murni  Dalam Masyarakat Petani, Munir Mulkhan cenderung memakai pendekatan struktural-fungsional tradisi Weberian meskipun hal ini perna di kritik Murata (1998) karena tidak sesuai untuk memahamkan kesadaran kesatuan dan hierarkis realita dalam Islam. Namun, pendekatan ini menurut beliau tetap relevan guna menjelaskan gejala plularitas dalam komunitas Islam diantara pengikut Muhammadiyah di daerah pedesaan. Karena itu, keberlakuan fungsi pendekatan struktural-fungsional akan di tentukan oleh respon masyarakat petani di pedesaan yang menjadi pengikut Muhammadiyah terhadap Islam murni, tradisi TBC dan realitas sosial politik yang di hadapi.
   Harapanya dengan penelitian kasus ini berguna untuk menjelaskan fungsi dan model Islam petani-petani Muhammadiyah sebagai dasar intekrasi sosial dalam masyarakat Indonesia yang demikian plural. Karena itu, hasil penelitian akan diletakkan dalam persepektif teoritis rasionalisasi dan the disenchantment of the world dari Weber, hubungan dialektik kepercayaan dan dinamika sosial penganutnya, serta hungan fungsional kepercayaan sturuktur sosial. Hasilnya diharapkan berguna untuk menumbuhkan etos ekonomi pertanian yang lebih produktif dari masyarakat petani sebagai mayoritas penduduk Indonesia melalui gerakan keagamaan dengan tetap memelihara hubungan harmonis, membangun integrasi sosial dan mengatasi konflik akibat perbedaan pemahaman keagamaan dan kesenjangan sosial. (Lihat Mulkhan 2000.hlm 15-16)
    Temuan-temuan dalam buku beliau sangat penting, karena membahas tentang realitas keberagaman pemahaman keislaman masyarakat petani pedesaaan, terutama  penelitaian ini sanagat berguna bagi pengambil kebijakkan gerakkan Muhammadiyah. Karena ada dua hal penting yang dikemukakan, yaitu analisi tentang varian (macam) anggota Muhammadiyah dan tesis pribumisasi Islam di kecamatan Wuluhan dan tidak tertutup kemungkinan keduanya dapat kita temukan   di tempat lain, sekalipun penelitian  itu belum dilakukan. Secara sosiologis sering dikatan bahwa Muhammadiyah adalah gejalah kota. Kalau itu benar pastilah ada jarak sosial orang kota dan orang desa. Perbedaan terjadi karena jarak sosial antara masyarakat kota dengan masyarakat desa.
  Sebagaimana di katakan tadi empat varian anggota Muhammadiyah yaitu (Al-Ikhlas, Kiai Dahlan, Munu, dan Marhenis) lebih jelasnya sebagai berikut kelompok pengelompokkan anggota Muhammadiayah menurut Munir Mulkhan yaitu :
1.      Pertama kelompok Al-Ikhlas, yang benar-benar mengamalkan Islam murni dan anti kepada TBC.
2.      Kedua kelompok Kiai  Dahlan cirinya yang toleran terhadap peraktek TBC
3.      Ketiga kelompok Neotradisionalis biasa di sebut kelompok Munu, (Muhammadiyah NU); dan
4.      keempat kelompok Neosinkretis atau disebut marmud, (Marhaenis- Muhammadiyah).
   Klasifikasi ini penting untuk mengetahui varian pengikut Muhammadiyah yang ada di masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang ada di kecamatan Wuluhan Jember Jawa Timur, karena banyak orang beranggapan bahwa  Muhammadiyah hanya terdiri dari suatu kelompok saja, di kemukakan bahwa selama ini Muhammadiyah selalu digambarkan sebagai gerakkan pemurnian Islam (James L.Peacock) atau gerakkan islamisasi (Mitsuo Nakamura, Riaz Hassan, Irwan Abdullah). Dengan pribumisasi buku ini ingin mengatakan bahwa dominasi petani di pedesaan telah menyebabkan perubahan dalam peraktek keagamaan  anggota perserikatan, ada “teologi petani”. Praktik yang di pandang sebagai TBC telah diakomodasi dalam gerakkan Muhammadiyah, walaupun dengan perubahan-perubahan penting.

      Dalam buku ini juga membahas bagaimana gerakkan Muhammadiyah di Wuluhan bercermin dari gerakkan K.H Ahmad Dahlan setelah hilanag dominasi ahli syariah, akibat kemajuan pendidikan Muhammadiyah sendiri, hal ini tidak perlu di cemaskan, hanya saja kepada pengurus cabang atau ranting Muhammadiyah perlu terus menerus dijelaskan komitmen Muhammadiyah sebagai gerakkan  Amar ma’ruf nahi munkar dan gerakan “kembali kepada Al Quran dan  As- Sunnah.”
   Menganai “kembali kepada Al Quran dan  As- Sunnah.” Inilah orang sering berbeda pendapat, dan tidak sedikit  orang Muhammadiyah berpendapat bahwah “kembali kepada Al Quran dan  As- Sunnah.” Berarti pembatasan artinya apabila tidak ada dalam Al- Quran dan As-Sunnah berarti tidak boleh dilakuakan. Tentu saja itu baik, karena menunjukkkan kehati-hatian  dalam mencari rida Tuhan. Akan tetapi hal itu, menyimpang dari maksud ungkapan “ Tidak ada tuntunanya”. Warisan K.H Ahmad Dahlan menunjukkan bahwa ungkapan itu berarti pembebasan. Karenanya hilangnya dominasi  ahli syariah  dan keberadaan Munu dan Marmud di Wuluhan juga harus dinilai positif, meskipun banyak hal yang tidak ada tuntunanya.
    Dalam buku ini juga peneliti menyebutkan bahwa sebenarnya “ jalan baru” itu secara nasional sudah ada, yaitu speritualisasi syariah yang dicanagkan dalam Mukhtamar Muhammadiyah di  Banda Aceh pada tahun1995. Speritualisasi syariah bermaksud untuk kembali pada Islam sejati K.H Ahmad Dahlan, yaitu Islam dengan akal dan hati suci. Speritualisasi syariah sebenarnya tidak lain dari syariah plus sufisme. Akan tetapi, sejak dulu Muhammadiyah memang menghindarkan diri untuk menyebut sufisme, sebab intitusional sufisme secara formal kedalam tarekat akan menjebak orang  kedalam indolatri dan mistifikasi Islam. Namun, sufisme secara informal dan substantif sebenarnya diamalkan oleh Muhammadiyah( Mitsuo Nakamura), sufi elements in Muhammadiyah?;( Note from field Observation, Konverensi Australian  Association for the study of Religion, Canberra, 11-15 mei 1980). Sebagai ganti dari sufisme formal itu rumusan yang sangat awal menggunakan istilah akhlaq mahmudah  atau akhlak terpuji ( Liahat Suara Muhammadiyah, Tahun 1, Nomor 3,1915). Bukan sufisme tapi akhlak.
       Selanjutnya kita sedikit membahas tentang apa maksud dengan “Teologi Petani” dan “ Jalan Baru” Islam yang mengakomodasi modernitas dan menghadirkan kembali  “ Pesona Duniawi”  melalui “Orang Saleh” kalau dalam bahasa Munir Mulkhan itu penting  ketika rasionalisasi Weberian  dari modernisasi menyaebabkan dunia kehidupan dan keagamaan kehilangan pesona sakral. Hal ini menumbuhkan kesadaran baru teori kritis dan komunikasi humanis  Hebermas (1984;Siebert,1985, Geertz, 1992). Melalui “ Teologi dan jalan barunya” itu, masyarakat petani pengikut Muhammadiyah dalam kasus ini membangun harmoni dan integrasi sosial melampaui batas penggolongan keagamaan dan politik lokal. Gejalah ini tampak mendahulu perubahan pola pemurnian Islam di tingkat nasional  tahun 1995 disusun di dalam program speritualisasi syariah. Hal itu tampak merupakan praktik Islam sejati-nya Kiai Ahmad Dahlan yang diletakkan diatas fondasi “ Akal dan hati suci”.
        Karena itu meluasnya Muhammadiyah kedaerah pedesaan dalam kasus ini, bukanlah bukti berlansungnya islamisasi seperti tesis Nakamura (1983) dan Riaz Hassan (1985). Sebaliknya, hal itu justru merupakan pribumisasi Islam murni, ketika fatwah tarjih tidak  lagi menjadi referensi utama kehidupan keagamaan pengikut keagamaan  atau pengikut Muhammadiyah. Sementara itu, reformasi ekonomi tidak terjadi secara signifikan dengan meluasnya Islam murni yang di perjuangkan Muhammadiyah  seperti temuan Irwan Abdullah (19940 di Jatinom. Etos ekonomi lebih produktif  justru di perlihatkan oleh pengikut yang cendrung sinkretik dan ambangan.
         Program  speritualisasi syariah  dan meluasnya gejala neosingkretisme  atau neosufisme tersebut di atas memberi kemungkinan pengembangan hubungan sosial terbuka dan pelibatan seluruh lapisan dan golongan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan. Karena itu temuan kasus ini lebih berarti jika diletakkan dalam sekalah penyebaran ide  demokrasi (Uhlin, 1995) dan pemikiran Islam inklusif yang muncul sejak dekade okhir Orde Baru dan meluas sesudah pemerintahan Orde baru runtuh bulan Mei 1998, Hal ini tampak ketika partai  yang dibentuk oleh elite aktivis Islam  atau gerakan Islam menyatakan diri sebagai partai inklusif
        Keagamaan inklusif itu bersumber dari semangat mencari kebenaran tampa final dengan mencintai sesama ( kalimatun sawa), menumbuhkan kebebasan asasi, pemberhalaan simbul keagamaan  dan alienasi di hindari. Ketulusan mencari kebenaran  (hanifiyyah samhah) adalah sikap toleran  dan lapang dada, sementara fundamentalisme memanipulasi agama bagi kepentingan golonganya sendiri, fundamentalisme ini akan mencair jika doktrin Islam ditinjau ulang melalui
a.       Pembenasan sosialisasi Islam dari pola budaya Timur Tangah
b.      Pengembangan dimensi kerohanian Islam seperti sufisme
c.       Mengembangkan jiwa kritis dan dimensi sosial Islam
d.      Pembebasan pengajaran Islam dari formalisme
e.       Mengakhiri mentalitas isolatif
f.       Memperluas kasadaran tanggung jawab peribadi kepada Tuhan ( Kemanusiaan,1995,hlm.146-157).
     Islam inklusif menempatkan keagamaan sebagai wacana budaya dengan tujuan etik syariah sebagai basis tindakkan, berbeda dari legal syariah yang membagi dunia  kedalam pertentangan benar-salah secara eksklusif. Hal ini terlihat dalam konflik aktivis politik Islam mengenai dasar negara dalam BPUPKI 1945 dan dalam radikalisme DI/TII. Malah ini terus muncul, seperti beda pendapat di antara pendukung dan penentang sidang MPR 1998. Bagi fundamentalisme, nasionalisme gagal sebagai dasar pemerintahan, dan Islam inklusif sebagai depolitisasi Islam.
       Selain itu, fundamentalisme juga memandang kegagalan pemberlakuan syaraiah  adalah akibat reakayasa kekuatan “ anti- Islam” yang sulit diakui sebagai akibat tidak sesuai kepentingan mayoritas. Hal ini berbeda dari Islam inklusif yang di dukukung mayoritas anggota BPUPKI, jika argumen Soekarno tentang pemisahan negara dari problem syariah dapat di tempatkan sebagai representasi Islam inklusif.
     Di satu sisi, Islam inklusif  mendorong sterategi “ bekerja dari dalam” pemerintahan yang sah. Namun belum tersedianya pemikiaran sosial alternatif membangkitkan “revivalisme” syariah, terutama ketika aktivis Islam merasa lebih kuat atau sebaliknya “terancam” kekuatan “anti Islam”( PPM, Islam dan Dakwah 1988). Akibatnya Islam inklusif sebagai dasar demokrasi menjadi sulit bebas dari sikap eksklusif terhadap petani, buruh dan ambangan atau pemeluk lain. Karena itu, ide pemerintahan bersih, kesejatraan dan keadilan sosial serta pembebasan  kemiskinan yang tumbuh bersama ide domokrasi  dari elite aktivis Islam (Uhlin,1995), bisa terperangkap kembali pada model pembagian masyarakat  dalam dua wilayah pertentangan eksklusif  syraiah.
   Terakhir kita coba menuju intekrasi sosial demokratis. Islam inklusif, bisa dikembangkan sebagai dasar intekrasi sosial jika syaraiah didesakrasasi atau didekonsturuksi ( lihat An-Na’im, 1994) menjadi wacana budaya. Demikian pula, pengkajian kembali terhadap sufisme hanya efektif jika bisa bebas dari fatalisme  Sunni, sehingga tumbuh etos duiawi yang berakar kesalehan moral dan pengabdian tampa batas pada Tuhan. Dan ijtihad serta pemberantasan TBC, bisa bebas dari doktrin syariah skriptual dan penghormatan yang berlebihan pada ulama yang dianggap suci (Bellah, 1976, Abdullah 1987). Dalam hubungan itulah , siakap kritis, terbuka dan prakmatis Kiai Ahmad Dahlan berdasar kesalehan moral lebih dari ketaatan syariah, perlu dipertimbangkan guna mendorong kerja produktif, petani atau bukan ditengah kehidupan dunia yang semakin terbuka.
     Karena itu, hubungan kelas dan  kepercayaan tampak “menyimpang” dari pola hubungan sturuktural fungsional. Struktur fisik penguasaan tanah, pekerjaan dan pendidikan, bisa berfungsi efektif mengubah kepercayaan jika hadir penafsir ajaran yang fatalis. Hal ini memungkinkan hubungan segitiga triadik antara Islam doktrinal, fakta historis kepercayaan menganut yang konstektual dan elite penafsir, munculnya paham  sunnni yang fatalis di pedesaan atau perkotaan tergantjung dominasi budaya lokal seperti variabel patrimonialnya Weber (1972; Turner,1984).
      Jika Ijtihad bisa dikembangkan sebagai proses soal induktif, Islam inklusif bisa berfungsi sebagai dasar hubungan sosial Islam yang lebih demokratis. Dari sini, teologi dan jalan baru” islam petani mempunyai landasan sturuktural dan kultural sebagai kritik terhadap tesis Weber (1972;Tuner, 1984) mengenai kurangnya prasyarat tumbuhnya sistem hubungan rasional di dalam masyarakat Islam yang patrimonialistik. “Teologi petani” atau “Jalan baru” Islam itu juga bisa mendorong etos kerja produktif dan pemikiaran sosial Islam sebagai alternatif dari doktrin syariah. Dari sini demokratisasi bisa dikemabangkan dalam kehidupan masyarakat global yang terbuka dan plural yang bebas dari konflik keagamaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar