Tak Layak dipandang Sebelah Mata
Sebagai Negara demokrasi, Indonesia, dalam membuat kebijakan-kebijakan selalu memperhatikan aspirasi rakyat. Karena memang kebijakan itu bukan hanyak diperuntukkan bagi kalangan pejabat pemerintah saja, akan tetapi semua masyarakat mulai dari kaum bangsawan hingga rakyat jelata akan merasakan imbas dari kebijakan tersebut. Sebagai contoh pengambilan kebijakan pemerintah terkait kenaikan BBM ternyata berhasil mengundang sejuta teriakan, terutama bagi mereka yang status ekonominya berada di garis menengah ke bawah.
Menanggapi berbagai kebijkan pemerintah yang menuai beragam pro dan kontra, mahasiswa yang digembor-gemborkan merupakan agen of change acap kali menunjukkan geliatnya untuk melakukan demonstrasi. Sebagai wujud partisipasi terhadap nasib rakyat, mereka menggembor-gemborkan kalimat-kalimat gugatan dan penuh pengharapan terhadap pemerintah. Tidak peduli apakah aksi mereka  berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah tersebut ataukah justru tidak sama sekali.
Akan tetapi menurut beberapa kalangan masyarakat, kebanyakan aksi yang mereka lakukan juga justru berwujud kekerasan, anarkis dan tidak tahu sopan santun. Merusak spanduk-spanduk, menutup jalan raya, merusak fasilitas lalu lintas dan bahkan membakar gedung-gedung. Dampaknya, jalan raya berubah menjadi sesak dan kemacetan merajalela. Akhirnya yang timbul dalam mindset masyarakat yakni mahasiswa itu kurang kerjaan dan aksi turun ke jalan itu tidak memiliki landasan.
Padahal sebagai kaum intelektual, sebelum melakukan aksi, mahasiswa melakukan kajian terlebih dahulu baik secara strategis maupun responsif dari berbagai disiplin ilmu. Bahkan dalam mengkaji mereka tidak jarang melakukan audiensi kepada para pakar. Kemudian hasil kajian ini akan menghasilkan suatu rekomendasi. Rekomendasi tersebut diajukan ke stakeholder melalui advokasi atau jalan diplomasi lainnya. Apabila segala jalan diplomasi telah dilaksanakan dan tidak berhasil, barulah cara terakhir turun ke jalan demonstrasi ditempuh.
Pada dasarnya mahasiswa melakukan aksi demonstrasi tidak lain hanyalah untuk kepentingan rakyat. Ketika para pejabat dan wakil rakyat tidak berpihak kepada rakyat sama sekali, lantas siapa yang akan membela rakyat. Akan tetapi, tampaknya sebagian besar masyarakat tidak merasa kepentingannya dibela oleh mahasiswa. Tidak semua rakyat merasa diuntungkan dengan aksi demonstrasi mahasiswa tersebut bahkan ada yang merasa terganggu terutama dari kalangan mahasiswa sendiri. Perbedaan cara pandang mengenai aksi demonstrasi itu sesungguhnya merupakan hal biasa. Akan tetapi seharusnya toleransilah yang menjembatani keduanya sehingga tidak akan da pihak yang merasa dirugikan atau terdzalimi karena aksi mahasiswa.
Sebagai mahasiswa, menjadi ilmuwan, aktivis sosial, negarawan, pengusaha, atau profesi lainnya merupakan suatu kenyataan. Suatu negara tidak akan terbentuk secara normal apabila semua masyarakatnya menjadi negarawan saja, atau menjadi ilmuan saja, atau menjadi pengusaha saja karena perbedaan itu penting. Tak sedikit mahasiswa yang justru mengejek mahasiswa lainnya yang ikut aksi turun jalan. Namun mereka yang tidak ikut aksi tidak punya hak sama sekali untuk mencemooh karena perbedaan itu wajar sebagaimana semboyan Negara Indonesia, bhineka tunggal ika.
Aksi yang dilakukan mahasiswa tersebut acap kali berujung kericuhan dan kerusuhan yang akibatnya justru meresahkan masyarakat. Sebenarnya jika direnungi, mahasiswa yang seperti itu pantas dipertanyakan status kemahasiswaannya. Sejak SD hingga SMA kekerasan dan perkelahian tidak pernah dilegalkan bahkan mereka akan mendapat hukuman karena merupakan pelanggaran. Begitupula ketika menyandang status maha maka sepantasnya hokum itu lebih melekat dalam jiwa mahaiswa bukan malah dilanggar seenaknya saja
Meski demikian, aksi turun jalan yang dilakukan mahasiswa tersebut satu-satunya jalan terakhir  yang bisa ditempuh mahasiswa karena memang belum ada jalan lain untuk melakukan pembelaan terhadap masyarakat. Akan tetapi justru masyarakat yang dibela menjadi trauma akibat aksi anarkis tersebut. Ditambah lagi media-media massa yang seringkali memberitakan aksi turun jalan dari segi negatifnya saja sehingga secara tidak langsung akan tertanam dalam fikiran masyarakat bahwa memang mahasiswa benra-benar manusi pembuat onar.
Kebanyakan media massa justru membicarakan peristiwa saja bahkan yang diambil adalah sisi negatifnya karena demikian itulah yang akan mengundang erhatian pembacanya. Mereka tidak melihat sisi lain dibalik itu semua yang jika diberitakan, akan lebih bermanfaat bagi semua kalangan. Padahal media massa seharusnya menjadi jembatan penghubung keinginan masyarakat, mahasiswa dan pemerintah. Maka marilah kita semua menjadi mahasiswa-mahasiswa yang bermanfaat bagi semua.


--
Posting oleh Fika Andriyani ke Jurusan Syari'ah UMM pada 5/05/2012 05:17:00 PM