26 Feb 2012

Terapi Penyakit Cinta



Written by: Muhammad Hadidi 
Reporter Koran BESTARI Universitas Muhammadiyah Malang

   

Penyakit mabuk cinta (al isyq) akan menimpa orang-orang yang hatinya kosong dari rasa mahabbah (cinta) kepada Allah, selalu berpaling dari-Nya dan dipenuhi kecintaan kepada selain-Nya. Hati yang penuh cinta kepada Allah dan rindu bertemu dengan-Nya pasti akan kebal terhadap serangan virus ini, sebagaimana yang terjadi dengan Yusuf 'alaihissalam,

''Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf pun termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih...(QS Yusuf : 24).

Nyatalah bahwa ikhlas merupakkan imunisasi manjur yang dapat menolak virus ini dengan berbagai dampak negatifnya, berupa perbuatan jelek dan keji. Artinya, memalingkan seseorang dari kemaksiatan harus dengan menjauhkan berbagai sarana yang menjurus ke arah itu.

Berkata ulama salaf, ''Penyakit cinta adalah getaran hati yang kosong dari segala sesuatu selain apa yang yang dicinta dan dipujanya. Allah berfirman mengenai ibu Nabi Musa alaihissalam,

''Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). (QS Al Qashash : 10).

Yakni kosong dari segala sesuatu, kecuali Musa; karena sangat cintanya kepada Musa dan bergantungnya hatinya kepada Musa.

Bagaimana Virus Ini Bisa Berjangkit?

Penyakit al isyq terjadi karena dua sebab. Pertama, karena menganggap indah apa-apa yang dicintainya. Kedua, perasaan ingin memiliki apa yang dicintainya. Jika salah satu dari dua faktor ini tak ada, niscaya virus tidak akan berjangkit. Walaupun penyakit kronis ini telah membingungkan banyak orang dan sebagian pakar berupaya memberikan terapinya, namun solusi yang diberikan belum mengena.

Makhluk Diciptakan Saling Mencari yang Sesuai Dengannya

Berkata Ibnu Al Qayyim, ketetapan Allah dengan hikmahNya menciptakan makhlukNya dalam kondisi saling mencari yang sesuai dengannya. Secara fitrah saling tertarik dengan jenisnya, dan sebaliknya akan menjauh dari yang berbeda dengannya.

Rahasia adanya pencampuran dan kesesuaian di alam ruh, menyebabkan adanya keserasian serta kesamaan, sebagaimana adanya perbedaan di alam ruh akan berakibat tidak adanya keserasian dan kesesuaian. Dengan cara inilah tegaknya urusan manusia. Allah berfirman,

''Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. (QS Al A'raf : 189).

Dalam ayat ini Allah menjadikan sebab perasaan tenteram dan senang seorang lelaki dan bentuknya. Jelaslah faktor pendorong cinta tidak bergantung dengan kecantikan rupa. Tidak pula kerana adanya kesamaan dalam tujuan dan keinginan, ataupun kesamaan bentuk dan dalam mendapat petunjuk. Pun demikian tidak dipungkiri, bahwa hal-hal ini merupakan salah satu penyebab ketenangan dan timbulnya cinta.
Nabi pernah mengatakan dalam sebuah hadits,

''Ruh-ruh itu ibarat tentara yang saling berpasangan, yang saling mengenal sebelumnya akan bersatu dan yang saling mengingkari akan berselisih.'' (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam Musnad Imam Ahmad diceritakan, bahwa asbabul wurud hadits ini yaitu ketika seorang wanita penduduk Makkah yang selalu membuat orang tertawa hijrah ke Madinah, ternyata dia tinggal dan bergaul dengan wanita yang sifatnya sama sepertinya. Yaitu senang membuat orang tertawa. Karena itulah Nabi mengucapkan hadits ini.

Karena itulah syariat Allah menghukumi sesuatu sesuai jenisnya. Mustahil syariat menghukumi dua hal yang sama dengan perlakuan yang berbeda atau mengumpulkan dua hal yang kontradiktif. Barang siapa yang berpendapat lain, maka jelaslah minimnya ilmu pengetahuannya terhadap syariat ini atau kurang memahami kaidah persamaan dan sebaliknya.

Penerapan kaedah ini tidak saja berlaku di dunia. Lebih dari itu akan diterapkan pula di akhirat. Allah berfirman,
''(kepada malaikat diperintahkan), 'Kumpulkanlah orang-orang yang dhalim bersama teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah'.'' (QS Ash Shaffat : 22).

Umar Ibnu Khattab dan setelahnya Imam Ahmad pernah berkata mengenai tafsiran 'azwajahum' yakni yang sesuai dan mirip dengannya.
Allah juga berfirman,
''dan apabila jiwa (ruh-ruh) dipertemukan. (QS At Takwir : 7).

Yakni setiap orang akan digiring beserta dengan orang-orang yang sama perilakunya. Allah akan menggiring sesama orang-orang yang saling mencintai karenaNya ke dalam surga, dan orang-orang yang saling berkasih-kasihan di atas jalan syetan digiring ke neraka jahim. Mau tidak mau, maka setiap orang akan digiring dengan siapa yang dicintainya. Di dalam Mustadrak Al Isyq Hakim disebutkan, bahwa Nabi shalallahu alaihi wa salam bersabda,''Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum, kecuali akan digiring bersama mereka kelak''. (HR Ahmad)

Cinta Dan Jenis-Jenisnya

Cinta memiliki berbagai macam jenis dan tingkatan. Yang tertinggi dan paling mulia ialah mahabbatu fillah wa lillah (cinta karena Allah dan didalam agama Allah). Yaitu cinta yang mengharuskan mencintai apa-apa yang dicintai Allah, dilakukan berlandaskan cinta kepada Allah dan RosulNya. Cinta berikutnya adalah cinta yang karena adanya kesamaan dalam cara hidup, agama, madzhab, ideologi, hubungan kekeluargaan, profesi dan kesamaan dalam hal-hal lainnya.

Diantara jenis cinta lainnya, yakni cinta yang motifnya karena ingin mendapatkan sesuatu dari yang dicintainya, baik karena kedudukan, harta, pengajaran dan bimbingan, ataupun kebutuhan biologis. Cinta yang didasari hal-hal seperti tadi - yaitu al mahabbah al 'ardiyah - akan hilang bersama hilangnya apa yang ingin didapatkan dari orang yang dicintainya. Yakinlah, bahwa orang yang mencintaimu karena sesuatu, akan meninggalkanmu ketika telah mendapatkan apa yang diinginkan darimu.

Adapun cinta lainnya, yaitu cinta karena adanya kesamaan dan kesesuaian antara yang menyinta dan yang dicinta. Mahabbah al isyq termasuk cinta jenis ini. Tidak akan sirna kecuali jika ada sesuatu yang menghilangkannya. Cinta jenis ini, yaitu berpadunya ruh dan jiwa. Oleh karena itu tidak terdapat pengaruh yang begitu besar baik berupa rasa was-was, hati yang gundah gulana maupun kehancuran kecuali pada cinta jenis ini.

Timbul pertanyaan, bahwa cinta ini merupakan bertemunya ikatan batin dan ruh, tetapi mengapa ada cinta yang bertepuk sebelah tangan? Bahkan kebanyakan cinta seperti ini hanya sepihak dari orang yang sedang kasmaran saja? Jika cinta ini perpaduan antara jiwa dan ruh, maka tentulah cinta itu akan terjadi antara kedua belah pihak dan bukan sepihak saja?

Jawabnya ialah, bahwa tidak terpenuhinya hasrat disebabkan kurangnya syarat tertentu. Atau adanya penghalang sehingga tidak terealisasikan cinta antara keduanya. Hal ini disebabkan tiga faktor. Pertama, bahwa cinta ini sebatas cinta karena adanya kepentingan. Oleh karena itu tidak mesti keduanya saling mencintai. Terkadang yang dicintai justru lari darinya. Kedua, adanya penghalang sehingga seseorang tidak dapat mencintai orang yang dicintainya, baik karena adanya cela dalam akhlak, bentuk rupa, sikap dan faktor lainnya. Ketiga, adanya penghalang dari pihak orang yang dicintai.

Jika penghalang ini dapat disingkirkan, maka akan terjalin benang-benang cinta antara keduanya. Kalau bukan karena kesombongan, hasad, cinta kekuasaan dan permusuhan dari orang-orang kafir, niscaya para rasul-rasul akan menjadi orang yang paling mereka cintai lebih dari cinta mereka kepada diri, keluarga dan harta.

Terapi Penyakit Al-Isyq

Sebagai salah satu jenis penyakit, tentulah al-isyq dapat disembuhkan dengan terapi-terapi tertentu. Diantara terapi tersebut ialah sebagai berikut.

Jika terdapat peluang bagi orang yang sedang kasmaran tersebut untuk meraih cinta orang yang dikasihinya dengan ketentuan syariat dan suratan taqdirnya, maka inilah terapi yang paling utama. Sebagaimana terdapat dalam shahihain dari riwayat Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda,
''Hai sekalian pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah berpuasa. Karena puasa dapat menahan dirinya dari ketergelinciran (kepada perbuatan zina).

Hadits ini memberikan dua solusi, utama dan pengganti. Solusi utama dalah menikah. Jika solusi ini dapat dilakukan, maka tidak boleh mencari solusi lain. Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda,

''Aku tidak pernah melihat ada dua orang yang saling mengasihi selain melalui jalur pernikahan.''

Inilah tujuan dan anjuran Allah untuk menikahi wanita, baik yang merdeka ataupun budak dalam firman-Nya,

''Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An Nisa: 28).

Allah menyebutkan dalam ayat ini keringanan yang diberikan terhadap hamba-Nya. Dan Allah mengetahui kelemahan manusia dalam menahan syahwatnya, sehingga memperbolehkan para wanita yang baik-baik dua, tiga, ataupun empat. Sebagaimana Allah memperbolehkan mendatangi budak-budak wanita mereka. Sampai-sampai Allah membuka bagi mereka pintu untuk menikahi budak-budak wanita jika mereka membutuhkannya sebagai peredam syahwat. Demikianlah keringanan dan rahmat-Nya terhadap makhluk yang lemah ini.

Jika terapi pertama tidak dapat dilakukan akibat tertutupnya peluang menuju orang yang dikasihinya karena ketentuan syar'i dan takdir, maka penyakit ini bisa semakin ganas. Adapun terapinya harus dengan meyakinkan pada dirinya, bahwa apa-apa yang diimpikannya mustahil terjadi. Lebih baik baginya untuk segera melupakannya. Jiwa yang telah memutus harapan untuk mendapatkan sesuatu, niscaya akan tenang dan tidak lagi mengingatnya. Jika ternyata belum terlupakan, dapat mempengaruhi keadaan jiwanya hingga semakin menyimpang jauh.

Dalam kondisi seperti ini wajib baginya untuk mencari terapi lain. Yaitu dengan mengajak akalnya berfikir, bahwa menggantungkan hatinya kepada sesuatu yang mustahil dijangkaunya itu ibarat perbuatan gila. Ibarat pungguk merindukan bulan. Bukankah orang-orang akan menganggapnya termasuk ke dalam kumpulan orang-orang yang tidak waras?

Apabila kemungkinan untuk mendapatkan apa yang dicintainya terhalang karena larangan syariat, maka terapinya yaitu dengan menganggap bahwa yang dicintainya itu bukan ditakdirkan menjadi miliknya. Jalan keselamatan yaitu dengan menjauhkan dirinya dari orang yang dicintainya. Dia harus merasa bahwa pintu ke arah yang diinginkannya tertutup, dan mustahil tercapai.

Jika ternyata jiwanya yang selalu menyuruhnya kepada kemungkaran masih tetap menuntut, handaklah dia mau meninggalkannya karena dua hal.

Pertama, karena takut (kepada Allah). Yaitu dengan menumbuhkan perasaan bahwa ada hal yang lebih layak dicintai, lebih bermanfaat, lebih baik dan lebih kekal. Seseorang yang berakal jika menimbang-nimbang antara mencintai sesuatu yang cepat sirna dengan sesuatu yang lebih layak untuk dicintai, lebih bermanfaat, lebih kekal dan lebih nikmat, tentu akan memilih yang lebih tinggi derajatnya. Jangan sampai engkau menggadaikan kenikmatan abadi yang tidak terlintas dalam pikiranmu dan menggantikannya dengan kenikmatan sesaat yang segera berbalik menjadi sumber penyakit. Ibarat orang yang sedang bermimpi indah, ataupun berkhayal terbang melayang jauh, maka ketika tersadar ternyata hanyalah mimpi dan khayalan. Akhirnya sirnalah segala keindahan semu. Yang tertinggal hanyalah keletihan, hilang nafsu dan kebinasaan menunggu.

Kedua, keyakinan bahwa resiko yang sangat menyakitkan akan ditemuinya jika gagal melupakan yang dikasihinya. Dia akan mengalami dua hal yang menyakitkan sekaligus. Yaitu gagal mendapatkan kekasih yang diinginkannya, serta bencana menyakitkan dan siksa yang pasti akan menimpanya. Jika yakin bakal mendapatkan dua hal menyakitkan ini, niscaya akan mudah baginya meninggalkan perasaan ingin memiliki yang dicinta. Dia akan berpikir, bahwa sabar menahan diri itu lebih baik. Akal, agama, harga diri dan kemanusiaannya akan memerintahkannya untuk bersabar, demi mendapatkan kebahagiaan abadi. Sementara kebodohan, hawa nafsu, kedhalimannya akan memerintahkannya untuk mengalah mendapatkan apa yang dikasihinya. Sungguh, orang yang terhindar ialah orang-orang yang dipelihara oleh Allah.

Jika hawa nafsunya masih tetap ngotot dan tidak menerima terapi tadi, maka hendaklah berfikir mengenai dampak negatif dan kerusakan yang akan ditimbulkannya segera, dan kemaslahatan yang akan gagal diraihnya. Sebab mengikuti hawa nafsu dapat menimbulkan kerusakan dunia dan menepis kebaikan yang bakal diterimanya. Lebih parah lagi, dengan memperturutkan hawa nafsu ini akan menghalanginya untuk mendapat petunjuk yang merupakan kunci keberhasilan dan kemaslahatannya.

Jika terapi ini tidak mempan juga untuknya, hendaklah dia selalu mengingat sisi-sisi keburukan kekasihnya dan hal-hal yang dapat membuatnya menjauh darinya. Jika dia mau mencari-cari kejelekan yang ada pada kekasihnya, niscaya dia akan mendapatkannya lebih dominan daripada keindahannya. Hendaklah dia banyak bertanya kepada orang-orang yang berada di sekeliling kekasihnya tentang berbagai kejelekannya yang belum diketahuinya. Sebab, sebagaimana kecantikan sebagai faktor pendorong seseorang untuk mencintai kekasihnya, maka demikian pula kejelekan merupakan pendorong kuat agar dapat membenci dan menjauhinya. Hendaklah dia mempertimbangkan dua sisi ini dan memilih yang terbaik baginya. Jangan terpedaya karena kecantikan kulit, dan membandingkannya dengan orang yang terkena penyakit sopak atau kusta. Tetapi hendaklah dia memalingkan pandangannya kepada kejelekan sikap dan perilakunya. Hendaklah dia mentutup matanya dair kencantikan fisik dan melihat kepada kejelekan yang diceritakan mengenai hatinya.

Jika terapi ini masih saja tidak mempan baginya, maka terapi terakhir yaitu mengadu dan memohon dengan jujur kepada Allah penolong orang-orang yang ditimpa musibah jika memohon kepada-Nya. Hendaklah dia menyerahkan jiwa sepenuhnya dihadapan kebesaran-Nya sambil memohon, merendahkan dan menghinakan diri. Jiak dia dapat melaksanakan terapi akhir ini, maka sesungguhnya dia telah membuka pintu taufik (pertolongan Allah). Hendaklah dia berbuat iffah (menjaga diri) dan menyembunyikan perasaannya. Jangan menjelek-jelekkan kekasihnya dan mempermalukannya di hadapan manusia ataupun menyakitinya. Sebab hal tersebut merupakan kedzaliman dan melampaui batas.

Penutup

Demikianlah kiat-kiat khusus untuk menyembuhkan penyakit ini. Namun ibarat kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati. Sebelum terkena virus ini, maka lebih baik menghindar. Bagaimana cara mengindarinya? Tidak lain, yaitu dengan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa). Semoga pembahasan ini bermanfaat.

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423 H/2002 M (dari tulisan Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah dalam kitab beliau Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairi Ibad)
Last Updated ( Senin, 29 November 2004 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar