26 Feb 2012

Islam sebagai Pandangan Hidup



(Asas Bagi Kajian Perbandingan Islam dan Barat)
Oleh: Muhammad Hadidi
Jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Malang

1) Pendahuluan
Terdapat sekurang-kurangnya tiga alasan penting mengapa kajian mengenai pandangan hidup (worldview) menjadi penting dalam era globalisasi dan perang pemikiran dewasa ini. Pertama, ketika institusi agama-agama berhadapan dengan proses globalisasi penegasan identitas diri secara komprehensif hanya dapat dilakukan melalui worldview. Kedua, ditengah masyarakat yang pluralistis denominasi kultural perlu memiliki matriknya sendiri atau pandangannya sendiri dalam melihat realitas sosial dan kultural disekitarnya. Ketiga sebagai kombinasi dari yang poin pertama dan kedua, peristiwa 11 september 2001 di New York dan Washington DC, dipahami oleh banyak pengamat sebagai contoh kongkrit dari benturan peradaban (clash of civillization) [1] atau “benturan persepsi” (collision of consciousness) dalam istilah Peter Berger. Benturan peradaban ataupun benturan persepsi  tidak lain adalah benturan pandangan hidup (worldview), sebab setiap agama, bangsa, dan peradaban memiliki pandangan hidup sendiri-sendiri secara ekslusif dan untuk itu diperlukan sikap saling memahami.
Dalam konteks pemikiran diatas dan dalam era globalisasinya dewasa ini ekposisi Islam sebagai agama dan pandangan hidup tidak saja relevan tapi juga urgen. Sebab selama ini banyak yang mencoba memahami Islam dalam hubunganya dengan Barat atau dengan peradaban modern, hanya sebatas sebagai agama, dan bukan Islam sebagai agama dan sekaligus pandangan hidup. Walhal Islam adalah agama (din) yang kaya dengan konsep-konsep, seperti konsep tentang Tuhan, kehidupan, manusia, jiwa dan raga, alam semesta, etika, dan lain-lain yang kokoh sehingga berkembang menjadi peradaban (madaniyyah). Bangunan konsep Islam sebagai agama dan peradaban ini mencerminkan sebuah pandangan hidup (worldview) yang memiliki struktur konseptualnya sendiri yang ekslusif dan berbeda dari peradaban lain.
Disini yang pertama-tama akan dijelaskan secara umum adalah pengertian pandangan hidup, baik Islam maupun bukan, proses kelahirannya, elemen-elemennya, dan karakteristiknya.  Untuk memberi gambaran lebih jelas akan dipaparkan pandangan hidup Barat modern dan postmodern, untuk kemudian dibandingkan dengan pandangan hidup Islam.

2) Pengertian
Sebelum memahami lebih lanjut tentang worldview dan kaitannya dengan denominasi kultural dan religius, perlu dipahami terlebih dahulu definisi pandangan hidup (worldview) secara umum dan definisi menurut Islam.
a) Pengertian umum
Cara manusia memandang dan mensikapi apa yang terdapat dalam alam semesta bersumber dari beberapa faktor yang dominan dalam kehidupannya. Faktor itu boleh jadi berasal dari kebudayaan, filsafat, agama, kepercayaan, tata nilai masyarakat atau lainnya. Luasnya spektrum pandangan manusia tergantung kepada faktor dominan yang mempengaruhinya. Cara pandang yang bersumber pada kebudayaan memiliki spektrum yang terbatas pada bidang-bidang tertentu dalam kebudayaan itu. Cara pandang yang berasal dari agama dan kepercayaan akan mencakup bidang-bidang yang menjadi bagian konsep kepercayaan agama itu. Ada yang hanya terbatas pada kesini-kinian, ada yang terbatas pada dunia fisik, ada pula yang menjangkau dunia metafisika atau alam diluar kehidupan dunia. Terma yang dipakai secara umum untuk cara pandang ini dalam bahasa Inggeris adalah worldview (pandangan hidup) atau dalam bahasa Jerman adalah weltanschauung (filsafat hidup) atau weltansicht  (pandangan dunia).  
Sebenarnya isitlah umum dari worldview hanya terbatas pada pengertian ideologis, sekuler, kepercayaan animistis, atau seperangkat doktrin-doktrin teologis dalam kaitannya dengan visi keduniaan. Artinya worldview dipakai untuk menggambarkan dan membedakan hakekat sesuatu agama, peradaban atau kepercayaan. Terkadang ia juga digunakan sebagai metode pendekatan ilmu perbandingan agama.Namun terdapat agama dan peradaban yang memiliki spectrum pandangan yang lebih luas dari sekedar visi keduniaan maka makna pandangan hidup diperluas. Karena dalam kosa kata bahasa Inggeris tidak terdapat istilah yang tepat untuk mengekspresikan visi yang lebih luas dari sekedar realitas keduniaan selain dari kata-kata worldview, maka cendekiawan Muslim mengambil kata-kata worldview (untuk ekspressi bahasa Inggeris) untuk makna pandangan hidup yang spektrumnya menjangkau realitas keduniaan dan keakheratan dengan menambah kata sifat Islam. Namun dalam bahasa Islam para ulama mengekspresikan konsep ini dengan istilah yang khas yang berbeda antara satu dengan yang lain. Seperti yang akan dijelaskan nanti terdapat perbedaan penekanan antara Sayyid Qutb, Shaykh Atif al-Zayn, al-Maududi, Syed Naquib al-Attas. 
Karena pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat digunakan untuk menggambarkan cara pandang manusia secara umum tanpa melihat bangsa atau agama maka beberapa definisi tentang worldview yang juga menggambarkan luas dan sempitnya spektrumnya dapat dikemukanan disini:
Menurut Ninian Smart worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral” [2]  Hampir serupa dengan Smart,  Thomas F Wall mengemukakan bahwa worldview adalah sistim kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi (An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of existence).[3]
Lebih luas dari kedua definisi diatas Prof.Alparslan mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup. (the foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview.[4]
Ada tiga poin penting dari definisi diatas, yaitu bahwa worldview adalah motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas ilmiah. Dalam konteks sains, hakekat worldview dapat dikaitkan dengan konsep “perubahan paradigma” (Paradigm Shift) Thomas S Kuhn[5] yang oleh Edwin Hung juga dianggap sebagai weltanschauung Revolution. Sebab paradigma menyediakan konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, atau ringkasnya merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk kajian sains.[6]  Namun dari definisi diatas setidaknya kita dapat memahami bahwa worldview adalah identitas untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Bahkan dari dua definisi terakhir menunjukkan bahwa worldview melibatkan aktifitas epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor penting dalam aktifitis penalaran manusia.
Ketiga definisi diatas berlaku bagi peradaban atau agama secara umum. Namun definisi untuk Islam mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan spektrumnya yang luas dan menyeluruh. Sebagai contoh akan disampaikan definisi worldview Islam oleh beberapa tokoh ulama kontemporer.
b)  Pengertian dalam Islam
Dalam tradisi Islam klasik terma khusus untuk pengertian worldview belum diketahui, meski tidak berarti Islam tidak memiliki worldview. Para ulama abad 20 menggunakan terma khusus untuk pengertian worldview ini, meskipun berbeda antara satu dengan yang lain. Maulana al-Mawdudi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision), Sayyid Qutb menggunakan istilah al-TaÎawwur al-IslamÊ (Islamic Vision), Mohammad AÏif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-IslÉmÊ (Islamic Principle),  Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul Islam lil wujËd (Islamic Worldview). Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda pada umumnya para ulama tersebut sepakat bahwa Islam mempunyai cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu.  Penggunaan kata sifat Islam menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya adalah netral. Artinya agama dan peradaban lain juga mempunyai Worldview, Vision atau Mabda’, sehingga al-Mabda’ juga dapat dipakai untuk cara pandang komunis al-Mabda’ al-Shuyu’i, Western worldview, Christian worldview, Hindu worldview dll. Maka dari itu ketika kata sifat Islam diletakkan didepan kata worldview, Vision atau Mabda’ maka makna etimologis dan terminologis menjadi berubah. Penjelasan dari istilah menunjukkan akan hal itu:
Manurut al-Mauwdudi, yang dimaksud Islami Nazariyat (worldview) adalah pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh.[7]
Shaykh Atif al-Zayn mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah  (kepercayaan yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap Muslim wajib beriman kepada hakekat wujud Allah, kenabian Muhammad saw, dan kepada al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib……..itu berdasarkan cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai Din yang diturunkan melalu Nabi Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya.[8]
Sayyid Qutb mengartikan al-tasawwur al-Islami, sebagai akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.[9]
Bagi Naquib al-Attas worldview Islam adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil-wujud).[10]
Pandangan-pandangan diatas telah cukup baik menggambarkan karakter Islam sebagai suatu pandangan hidup yang membedakannya dengan pandangan hidup lain. Namun, jika kita kaji keseluruhan pemikiran dibalik definisi para ulama tersebut kita dapat beberapa orientasi yang berbeda. Al-Maududi lebih mengarahkan kepada kekuasaan Tuhan yang mewarnai segala aktifitas kehidupan manusia, yang berimplikasi politik. Shaykh Atif al-Zayn dan Sayyid Qutb lebih cenderung mamahaminya sebagai seperangkat doktrin kepercayaan yang rasional yang implikasnya adalah ideologi. Naquib al-Attas lebih cenderung kepada makna metafisis dan epistemologis.

 

3) Proses lahirnya  pandangan hidup

Bagaimana suatu pandangan hidup timbul dalam diri seseorang memerlukan penjelasan yang agak rumit. Karena pandangan hidup berkaitan dengan masalah cara pandang seseorang terhadap sesuatu, maka penjelasan tentang munculnya pandangan hidup melibatkan penjelasan epistemologis.

a) Pandangan hidup umum
Suatu worldview terbentuk dalam pikiran individu secara perlahan-lahan (in a gradual manner), bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya, sehingga akhirnya membentuk framework berfikir (mental framework) atau worldview.[11] Secara epistemologis proses berfikir ini sama dengan cara kita mencari dan memperoleh ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan a priori dan a posteriori.[12] Proses itu dapat dijelaskan sebagai berikut: ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu sudah tentu terdiri dari berbagai konsep dalam bentuk ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan lain-lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan (network). Jaringan ini membentuk struktur berfikir yang koheren dan dapat disebut sebagai “achitectonic whole”, yaitu suatu keseluruhan yang saling berhubungan.  Maka dari itu pandang hidup seseorang itu terbentuk tidak lama setelah pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk konsep-konsep itu membentuk suatu keseluruhan yang saling berhubungan.[13] Jaringan architektonik (architectonic network) ini kebanyakan terbentuk oleh pendidikan dan masyarakat, dan dalam kasus Islam dibentuk utamanya oleh agama.
Proses pembentukan pandangan hidup dalam kebudayaan atau masyarakat pada umumnya sama seperti yang dijelaskan diatas, tapi terdapat beberapa perbedaan teknis, khususnya dalam kaitannya dengan kegiatan keilmuan. Jika dalam pandangan hidup suatu masyarakat tidak terdapat konsep ilmu atau konsep-konsep lain yang berkaitan, maka pandangan hidup itu hanya berperan sebagai kondisi berfikir (mental environment) yang tidak menjamin adanya kegiatan ilmiah atau penyebaran ilmu pengetahuan di masyarakat. Worldview seperti ini memerlukan apa yang disebut scientific conceptual scheme (kerangka konsep keilmuan), yang dengan itu kegiatan keilmuan dapat dilaksanakan. Jika pandangan hidup suatu masyarakat itu telah memiliki konsep ilmu atau konsep-konsep lain yang berkaitan maka pandangan hidup itu akan berkembang melalui cara-cara ilmiah. Melihat kedua proses pembentukan dan pengembangan worldview yang seperti ini, maka worldview dapat dibagi menjadi natural worldview dan transparent worldview. Disebut demikian karena yang pertama terbentuk secara alami sedangkan yang kedua terbentuk oleh suatu kesadaran berfikir.[14]
Namun dalam transparent worldview disseminasi ilmu pengetahuan tidak selalu dengan cara-cara ilmiah dalam kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme), yaitu suatu mekanisme canggih yang mampu melahirkan pengetahuan ilmiah dan melahirkan pandangan hidup ilmiah (scientific worldview). Terdapat pula transparent worldview yang lahir tidak melalui kerangka konsep keilmuan, meskipun substansinya tetap bersifat ilmiah. Pandangan yang lahir dengan cara itu adalah pandangan hidup Islam. Sebab pandangan hidup Islam tidak bermula dari adanya suatu masyarakat ilmiah yang mempunyai mekanisme yang canggih bagi menghasilkan pengetahuan ilmiah.[15]
Proses pembentukan pandangan hidup melalui penyebaran ilmu pengetahuan akan lebih jelas lagi jika kita lihat dari proses pembentukan elemen-elemen pokok yang merupakan bagian dari struktur pandangan hidup itu serta fungsi didalamnya. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa pandangan hidup dibentuk oleh jaringan berfikir (mental network) yang berupa keseluruhan yang saling berhubugan (architectonic whole). Namun, ia tidak merepresentasikan suatu totalitas konsep dalam pikiran kita. Ketika akal seseorang menerima pengetahuan terjadi proses seleksi yang alami, dimana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain ditolak. Pengetahuan yang diterima oleh akal kita akan menjadi bagian dari struktur worldview yang dimilikinya.
Meskipun pengetahuan yang diterima oleh akal manusia itu bersifat acak, namun ia akan terstruktur dengan sendirinya dalam pikiran manusia. Dari konsep-konsep yang ada dalam diri manusia maka kita dapat menyusun kedalam beberapa struktur konsep. Professor Alparslan mengkategorikan struktur pandangan hidup menjadi lima:
1) Struktur tentang konsep kehidupan,
2) Struktur tentang konsep dunia,
3) Struktur tentang konsep manusia,
4) Struktur tentang konsep nilai dan
5) strutktur tentang konsep pengetahuan.[16]
Proses terbentuknya struktur konsep dalam worldview ini bermula dari struktur tentang kehidupan, yang didalamnya termasuk cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari, sikap-sikap individual dan sosialnya, dan sebagainya. Struktur tentang dunia adalah konsepsi tentang dunia dimana manusia hidup. Struktur tentang ilmu pengetahuan adalah merupakan pengembangan dari struktur dunia (dalam transparent worldview). Gabungan dari struktur kehidupan, dunia dan pengetahuan ini melahirkan struktur nilai, dimana konsep-konsep tentang moralitas berkembang. Setelah keempat struktur itu terbentuk dalam pandangan hidup seseorang secara transparent, maka struktur tentang manusia akan terbentuk secara otomatis.
Meskipun proses akumulasi kelima struktur diatas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan seperti yang disebut diatas, tapi yang penting kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konsepsi dan berfungsi tidak saja sebagai kerangka umum (general scheme) dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, tapi juga mendominasi cara berfikir kita. Disini dalam konteks lahirnya ilmu pengetahuan di masyarakat, struktur ilmu pengetahuan merupakan asas utama dalam memahami segala sesuatu. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang dihasilkan oleh seseorang dengan pandangan hidup tertentu akan merupakan refleksi dari struktur-struktur diatas.
Teori ini berlaku secara umum pada semua kebudayaan dan dapat menjadi landasan yang valid dalam menggambarkan timbul dan berkembanganya pandangan hidup manapun, termasuk pandangan hidup Islam. Berarti, kegiatan keilmuan apapun baik dalam kebudayaan Barat, Timur maupun peradaban Islam dapat ditelusur dari pandangan hidup masing-masing. á

b) Pandangan hidup Islam

Dari teori diatas dan melihat cara lahirnya pandangan hidup Islam yang disampaikan Nabi melalui wahyu Allah, bukanlah termasuk dalam kategori scientific worldview. Sebab ia tidak didahuli oleh wujudnya komunitas ilmiyah dan tidak pula dibentuk oleh komunitas ilmiyah. Wahyu yang diterima Nabi disampaikan dan dijelaskan kepada masyarakat. Cara-cara seperti ini tidak sama dengan cara-cara yang ada pada scientific worldview, dan oleh sebab itu Prof.Alparslan menamakan worldview Islam sebagai  'quasi-scientific worldview'.[17] Namun pandangan hidup “berkembang” menjadi scientific worldview setelah konsep-konsep asas yang dikandung oleh wahyu dijelaskan dan dipeluas maknanya oleh Nabi dan para sahabat serta para ulama sesudahnya. Namun ‘perkembangan’ disini, seperti yang diingatkan Prof. al-Attas, tidak menunjukkan proses pertumbuhan menuju kematangan atau kedewasaan, seperti pandangan hidup Barat, tapi lebih merupakan proses interpretasi dan elaborasi wahyu yang bersifat permanen itu.[18]
Oleh sebab itu “perkembangan” pandangan hidup Islam perlu merujuk kepada periode dessiminasi ayat-ayat al-Qur’an oleh Nabi dan pemahaman ummat Islam terhadapnya. Dalam kaitannya dengan itu, maka Prof. Alparslan membagi tiga periode penting, yaitu 1) Lahirnya pandangan hidup Islam dalam bentuk wahyu 2) lahirnya struktur ilmu pengetahuan dalam pandangan hidup tersebut dan 3) lahirnya tradisi keilmuan Islam. 
Periode pertama, lahirnya pandangan hidup Islam dapat digambarkan dari kronologi turunnya wahyu dan penjelasan Nabi tentang wahyu itu. Sebab, seperti dijelaskan diatas, sebagai quasi-scientific worldview, pandangan hidup Islam bermula dari peranan sentral Nabi yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Disini periode Makkah merupakan periode yang sangat penting dalam kelahiran pandangan hidup Islam. Karena banyaknya surah-surah al-Qur’an diturunkan di Makkah  (yakni 85 surah dari 113 surah al-Qur’an diturunkan di Makkah), maka periode Makkah dibagi menjadi dua periode: Makkah period awal dan periode akhir. Pada periode awal wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadaNya, hari kebangkitan, penciptaan, akherat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam.  Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, dÊn, ibÉdah dan lain-lain.[19]  Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena dua pertiga dari al-Qur’an diturunkan disini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah menjadikan struktur konsep tentang dunia (world-structure) menjadi jelas. Karena sebelum Islam datang struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam (Jahiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan struktur konsep yang ada sebelumnya.[20] Konsep karam, misalnya, yang pada masa jahiliyya berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketaqawaan (inna akramukum inda AllÉh atqÉkum).
Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, sistim hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan Muslim dengan ummat beragama lain, dan sebagainya.[21] Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-tema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan. Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar aqÊdah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-prinsip itu kedalam konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah.
Periode kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu yang turun dan dijelaskan Nabi itu telah mengandung struktur fundamental scientific worldview, seperti struktur tentang kehidupan (life-structure), struktur tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan.  Istilah-istilah konseptual seperti ilm, iman, usul, kalam, nazar, wujud, tafsir, ta'wil, fiqh, khalq, halal, haram, iradah dan lain-lain telah memadahi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar dalam pandangan hidup Islam. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran ummat Islam saat itu yang berarti menandakan munculnya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam, meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah wujud pada periode Makkah.
Atas dasar framework ini maka dapat diklaim bahwa pengetahuan ilmiah yang terbentuk dari adanya istilah-istilah keilmuan (scientific terms) dalam Islam, lahir dari pandangan hidup Islam. Ia tidak diimport dari kebudayaan atau pandangan hidup lain. Ini bertentangan dengan framework para penulis sejarah Islam kawakan dari Barat, seperti De Boer, Eugene Myers, Alfrend Gullimaune, O’Leary, [22] yang umumnya menganggap sains dalam Islam bukan asli dari ajaran Islam.  Seakan akan tidak ada sesuatu apapun yang berasal dari dan disumbangkan oleh Islam kecuali penterjemahan karya-karya Yunani. Framework seperti ini diikuti oleh penulis modern seperti Radhakrishnan,[23] Majid Fakhry[24] W.Montgomery Watt [25] dan lain-lain. Kesemua asumsi itu sudah tentu berdasarkan pada framework tertentu yang tidak menganggap atau menafikan wujudnya pandangan hidup Islam dan kerangka konsep keilmuan didalamnya. Jelasnya mereka gagal menangkap asas kebangkitan tradisi intelektual dalam Islam, yaitu pandangan hidup Islam. 
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam. Periode ini memerlukan penjelasan yang lebih panjang dan detail. Seperti diketahui tradisi keilmuan dalam Islam adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Karena tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat, maka Prof. Alparslan mencanangkan bahwa untuk menggambarkan tradisi keilmuan Islam, pertama-tama  perlu ditunjukkan wujudnya komunitas ilmuwan dan proses kelahirannya pada awal abad pertama dalam Islam. Kemudian menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme) yang merupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu.[26]

Dari proses lahirnya pandangan hidup Islam yang tergambar dari 3 periode diatas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong timbuhnya ilmu pengetahuan. Ajaran tentang Ilmu pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu itu kemudian ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Suatu peradaban yang lahir dan tumbuh atas dukungan tradisi intelektual yang berbasis pada wahyu.


4) Pandangan hidup Islam dan Tradisi keilmuan
Wujudnya tradisi intelektual dalam Islam yang mengiringi munculnya pandangan hidup Islam dapat ditunjukkan melalui bukti sejarah akan adanya masyarakat ilmuwan atau kelompok belajar atau sekolah AÎÍÉb al-Øuffah di Madinah.[27] Disini kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Jumlah peserta dalam komunitas keilmuan ini, menurut AbË Nuaym berbeda-beda dari waktu ke waktu, tapi anggota tetap komunitas ini sekitar 70 orang.[28]  Materi yang dikaji pada periode ini, sudah tentu masih sangat sederhana,[29] tapi karena obyek kajiannya berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks, maka ia tidak dapat disamakan dengan materi diskusi di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, AÎÍÉb al-Øuffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggal awal tradisi intelektual dalam Islam.[30] Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakana, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË Dharr al-GhiffÉri, SalmÉn al-FÉrisi, 'Abd AllÉh ibn Mas'ËËd dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (d.80/ 699), Muhammad ibn al-Hanafiyyah (d.81/700), Ma'bad al-Juhani (d.84/703), Umar ibn 'Abd al-'Aziz ( d.102/720) Wahb ibn Munabbih (d.110,114/719,723), Hasan al-Basri (d.110/728), Ghyalan al-Dimashqi (d.c.123/740), Ja'far al-Sadiq (d.148/765), Abu Hanifah (d.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (d.182/799), al-Shafi'i  (204/819) dan lain-lain.
Framework yang dipakai pada awal lahirnya tradisi keilmuan ini sudah tentu adalah kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme). Indikasi adanya kerangka konseptual ini adalah usaha-usaha para ilmuwan untuk menemukan beberapa istilah teknis keilmuan yang rumit dan canggih. Istilah-istilah yang di derivasi dari kosa-kata al-Qur’an dan hadith Nabi termasuk diantaranya: 'ilm, fiqh, usul, ijtihad, ijma', qiyas, 'aql, idrak, wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah, yaqin, wahy, tafsir, ta'wil, 'alam, kalam, nutq,  zann, haqq, batil, haqiqah, 'adam, wujud, sabab,  khalq, khulq, dahr, sarmad, zaman, azal, abad, fitrah, kasb, khayr, ikhtiyar, sharr, halal, haram, wajib, mumkin, iradah dan lain sebagainya, menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan.
Dari keseluruhan istilah teknis tersebut istilah ‘ilm, yang berulang kali disebut dalam berbagai ayat al-Qur’an,[31] adalah istilah sentral yang berkaitan dengan keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Istilah ‘ilm itu sejatinya adalah ilmu pengetahuan wahyu itu sendiri atau sesuatu yang di derivasi dari wahyu atau yang berkaitan dengan wahyu, meskipun kemudian dipakai untuk pengertian yang lebih luas dan mencakup pengetahuan manusia. Istilah kedua yang juga sangat sentral adalah istilah Fiqh, yang dalam al-Qur’an (9:122) menggambarkan kegiatan pemahaman terhadap dÊn, termasuk pemahaman al-Qur’an dan hadith, yang keduanya disebut ‘ilm. Jadi ‘ilm dan Fiqh berkaitan erat sekali.
Perlu dicatat bahwa meskipun wahyu telah dijelaskan oleh Nabi, namun disana masih terdapat beberapa masalah[32] yang terbuka untuk difahami secara rasional yang dalam tradisi Islam disebut ra’y.[33]  Jadi Fiqh (tafqquh) pada periode ini, bukan dalam pengertian hukum adalah kegiatan ilmiah untuk memahami ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dari sumber wahyu. Dalam kegiatan ini ummat Islam telah memiliki metode tersendiri dalam memahami wahyu baik dengan memahami makna ayat demi ayat, membandingkan suatu ayat dengan ayat lain, menafsirkan ayat dengan hadith ataupun memahami ayat dengan dengan ra’y. Dengan adanya metode dan obyek materi yang khusus Fiqh sudah dapat dikatakan sebagai ilmu. Karena luasnya obyek materi  yang dibahas maka Fiqh, pada periode awal Islam dapat dianggap sebagai induk dari segala ilmu dalam Islam, yang daripadanya kemudian lahir berbagai disiplin ilmu yang lain. Lahirnya disilplin ilmu-ilmu Fiqih, kalam, hadith, tafsir, faraidh, falak, dlsb, membuktikan wujudnya tradisi ilmiah dalam Islam.

5) Elemen-elemen pandangan hidup (worldview)
Sebagai sebuah sistim yang secara definitif begitu jelas, worldview atau pandangan hidup memiliki karakteristik tersendiri yang ditentukan oleh beberapa elemen yang menjadi asas atau tiang penyokongnya. Antara satu pandangan hidup dengan pandangan hidup lain berbeda karena berbeda elemennya atau karakteristiknya. Demikian pula perbedaan definisi tentang worldview juga mempengaruhi penentuan elemen didalamnya. Disini akan dibandingkan secara singkat antara elemen pandangan hidup dalam perspektif pemikir Barat dan pemikiran Muslim.
Menurut Thomas suatu pandangan hidup ditentukan oleh pemahaman individu terhadap enam bidang pembahasan yaitu:
1) Tuhan,
2) Ilmu,
3) Realitas,
4) Diri,
5) Etika,
6) Masyarakat.[34]
Seperti disebutkan diatas bagi Thomas elemen-elemen pandangan hidup diatas merupakan suatu suatu sistim yang integral, dimana antara satu konsep berkaitan dengan konsep yang lain secara sistemik. Hal ini dapat disimak dari pernyataan Thomas berikut ini:
It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element in any worldview. First if we do believe that God exists, the we are more likely to believe that there is a plan and a meaning of life, ……if we are consistent, we will also believe that the source of moral value is not just human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that that there is a higher reality – the supernatural world.    …….if on the other hand, we believe that there is no God and that there is just this one world, what would we then be likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.[35]

(Kepercayaan terhadap Tuhan adalah sangat penting, mungkin elemen yang terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama jika kita percaya bahwa Tuhan itu wujud, maka kita tentu percaya bahwa disana terdapat tujuan dan makna hidup….jika kita konsisten, kita juga akan percaya bahwa sumber nilai moral bukanlah hanya sekedar kesepakatan manusia tapi kehendak Tuhan, dan bahwa Tuhan adalah nilai Tertinggi. Selanjutnya kita akan percaya bahwa (makna) ilmu pengetahuan itu lebih dari apa yang dapat diamati dan bahwa disana terdapat realitas yang lebih tinggi – dunia supernatural.  …..jika sebaliknya, kita percaya bahwa disana tidak ada Tuhan dan bahwa yang ada hanya satu dunia, maka demikian pulalah kira-kira yang akan kita percayai tentang makna hidup, hakekat diri kita, kehidupan sesudah mati, asal usul standar moralitas, kebebasan, tanggung jawab dan lain-lain.

Jadi dengan pernyataan tersebut diatas maka keenam bidang pembahasan diatas yang merupakan elemen suatu pandangan hidup mempunyai kaitan erat satu sama lain. Artinya kepercayaan individu terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan berkaitan secara konseptual dengan ilmu, realitas, diri, etika dan masyarakat.
Namun bagi Ninian Smart, yang mengkaji worldview dalam konteks kepercayaan atau agama, elemen pandangan hidup ditentukan oleh elemen-elemen dalam agama dan kepercayaan masyarakat. Oleh sebab itu ia mengajukan enam elemen penting suatu pandangan hidup, yaitu: 
1) Doktrin,
2) Mitologi,
3) Etika,
4) Ritus,
5) Pengalaman dan Kemasyarakatan.[36]  
Pandangan Smart terhadap agama nampaknya dipengaruhi oleh persepsinya tentang agama di Barat, sebab disini konsep Tuhan, ilmu dan realitas nampak absen dari elemen pandangan hidup agama. Pandangan Thomas, yang melihat worldview secara filosofis, nampaknya lehih komrehensif, meskipun, seperti yang akan kita dipaparkan nanti, elemen-elemen itu tidak selengkap elemen-elemen dalam pandangan hidup Islam. Meskipun demikian elemen pandangan hidup yang disampaikan oleh Thomas dan Ninian Smart berguna bagi upaya mencari bidang-bidang pokok yang dapat digunakan untuk membandingkan antara satu pandangan hidup atau agama dengan yang lainnya.
Tidak banyak cendekiawan Muslim yang menggambarkan elemen-elemen pandangan hidup Islam secara terperinci. Shaykh Atif al-Zayn, misalnya, tidak merincikan elemen pandangan hidup Islam, namun hanya mengajukan karakteristik yang membedakan antara pandangan hidup Islam dari pandangan hidup lain. Karakteristik itu hanya tiga:
1) Ia berasal dari wahyu Allah,
2) Berdasarkan konsep (din) yang tidak   terpisah dari Negara dan
3) Kesatuan antara spiritual dan material.[37]

Sebagaimana Shaykh Atif al-Zayn, Sayyid Qutb juga melihat bahwa pandangan hidup Islam itu menyeluruh dan tidak mempunyai elemen atau bagian (juz’). Ia adalah keseluruhan sisi dan sempurna karena kesempuranaan sisi-sisinya. Bahkan pandangan hidup Islam bukan ciptaan manusia, akal manusia tidak dapat menciptakannya, karena ia berasal dari Allah.[38] Disini penekanan pada aspek keilahian cukup menonjol, sedangkan aspek keilmuan tidak disebutkan. Seakan-akan pandangan hidup Islam sama saja dengan wahyu yang tanpa penjelasan keilmuan.
Menurut Porf. Al-Attas elemen asas bagi worldview Islam sangat banyak dan yang ia merupakan jalinan konsep-konsep yang tak terpisahkan. Diantara yang paling utama adalah
1)      Konsep tentang hakekat Tuhan,
2)      Konsep tentang Wahyu (al-Qur’an),
3)      Konsep tentang penciptaan,
4)      Konsep tentang hakekat kejiwaan manusia,
5)      Konsep tentang ilmu,
6)      Konsep tentang agama,
7)      Konsep tentang kebebasan,
8)      Konsep tentang nilai dan kebajikan,
9)      Konsep tentang kebahagiaan.[39]
10)  Dsb.

Disini Prof. al-Attas menekankan pada pentingnya konsep sebagai elemen pandangan hidup Islam. Konsep-konsep  ini semua saling berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik. Elemen yang disampaikan para Shaykh Atif, Sayyid Qutb dan Syed Naquib al-Attas berbeda dalam penekanannya, tapi ketiganya mempunyai kesamaan visi yaitu bahwa pandangan hidup Islam berbeda dari pandangan hidup Barat. Namun apa yang membedakan pandangan hidup Islam dari pandangan hidup lain mereka berbeda-beda. Shyakh Atif dan Sayyid Qutb perbedaannya adalah pada asal atau sumber pandangan hidup tersebut, sedangkan al-Attas melihat secara lebih konseptual dan praktis. Secara praktis konsep-konsep penting  yang diajukan al-Attas itu dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Apa yang dianggap benar dan riel oleh pamdangan hidup Islam tidak selalu begitu bagi pandangan hidup lain. Bagi al-Attas untuk menentukan sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan berkaitan erat dengan sistim metafisika masing-masing yang terbentuk oleh worldview.[40] Disini kita melihat konsep pandangan hidup al-Attas yang menekankan aspek epistemologis cukup menonjol. Dan ini cukup signifikan dalam era moderninasi dan globalisasi dimana disolusi konsep sangat menonjol dan bahkan cenderung melemahkan pandangan hidup Islam yang kekuatannya tertelak pada struktur konsepnya yang dipahami secara episemologis dan bukan ideologis.

6) Karakteristik pandangan hidup Islam
Dengan mengetahui elemen penting pandangan hidup Islam maka selanjutnya kita dapat mengidentifikasi karakteristik pandangan hidup Islam. Dalam studi keagamaan modern (modern study of religion) istilah worldview secara umum merujuk kepada agama dan ideologi, termasuk ideologi sekuler, [41] tapi dalam Islam worldview merujuk kepada makna realitas yang lebih luas. Pengertian Prof. al-Attas yang kemudian diistilahkan dengan ru’yat al-Islam li al-wujud “pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta,[42]  dijelaskan lebih lanjut bahwa pandangan hidup Islam itu bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia didalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural…tapi mencakup aspek al-dunyÉ dan al-Ékhirah, dimana aspek al-dunyÉ harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek akherat, sedangkan aspek akherat harus diletakkan sebagai aspek final”.[43]  Lebih teknis lagi Prof. Alparslan menjelaskan bahwa worldview Islam adalah “visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak nampak (non-observable) bagi semua perilaku manusia, termasuk aktifitas ilmiah dan teknologi”.[44]
Dalam pandangan Sayyid Qutb karakteristik pandangan hidup Islam terdiri dari tujuh:
Pertama, RabbÉniyyah (bersumber dari Allah), artinya ia berasal dari Tuhan sehingga dapat disebut sebagai visi keilahian. Sifat inilah yang membedakan Islam dari pandangan hidup dan ideologi lain. Ia diturunkan dari Tuhan dengan segenap komponennya. Berbeda dari Islam pandangan hidup lain seperti pragmatisme, idealisme, atau dialektika materialisme bersumber dari akal fikiran dan kehendak manusia belaka. Berbeda dari agama lain yang kitab sucinya telah dicampuri oleh pandangan akal fikiran dan kata-kata manusia, kitab suci Islam adalah murni dan terjaga (al-Qur’an 15:9).  
Kedua bersifat konstan (thabat) artinya tasawwur al-Islami itu dapat diimplementasikan kedalam berbagai bentuk struktur masyarakat dan bahkan berbagai macam masyarakat. Namun esensinya tetap konstan, tidak berubah dan tidak berkembang. Ia tidak memerlukan penyesuaian terhadap kehidupan dan pemikiran, sebab ia telah menyediakan ruang dinamis yang bergerak dalam suatu kutun yang konstan. Alam semesta dengan sunnatullahnya, manusia dengan sifat kemanusiaannya adalah desain yang konstan. Sifat konsistensi ini berlawanan dengan perkembangan yang tak terbatas yang terjadi di Barat dan pada sisi lain konsistensi juga dapat menjadi tameng dari Westernisasi atau pengaruh kebudayaan Eropah, nilai-nilainya, tradisinya dan metodologinya.
Ketiga bersifat komprehensif (shumËl), artinya tasawwur al-Islami itu bersifat komprehensi. Sifat komprehensif ini di dukung oleh prinsip tawhid yang dihasilkan dari sumber Tuhan yang Esa. Tawhid juga termanifestasikan kedalam kesatuan antara pemikiran dan tingkah laku, antara visi dan inisiatif, antara doktrin dan sistim, antara hidup dan mati, antara cita-cita dan gerakan, antara kehidupan dunia dan kehidupan sesudahanya. Kesatuan ini tidak dapat dipecah-pecah kedalam bagian-bagian yang tidak bersesuaian, termasuk memisahkan antara ibadat dan muamalat. Jika Islam difahami diluar konsep tawhid ini maka pemahaman itu dapat meletakkan seseorang diluar konsep Islam.
Keempat seimbang ( tawÉzun), artinya pandangan hidup Islam itu merupakan bentuk yang seimbang antara wahyu dan akal, sebab memang wahyu diturunkan untuk dapat diimani dan difahami oleh akal manusia.  Juga keseimbangan antara yang diketahui (al-ma’lum) dan yang tidak diketahui (ghayr ma’lum), antara yang nyata dan tidak nyata.
Kelima, positif (ijabiyyah), artinya pandangan hidup Islam mendorong kepada aktifitas ketaaatan kepada Allah dam sekap positif. Segala aktifitas dalam hidup manusia mempunyai relevansinya dan konsekuensinya dalam agama dan sebalikanya pernyataan dalam ibadab seperti shahadah dengan lidah mesti diamalkan dalam aktifitas yang nyata.
Keenam, pragmatis (wÉqi’iyyah), artinya sifat pandangan hidup Islam itu tidak melulu idealistis, tapi juga membumi kedalam realitas kehidupan. Jadi ia bersifat idealistis dan realistis sekaligus, sehingga ia dapat membangun sistim yang lengkap yang sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dalam Islam perasn manusia yang dibutuhkan hanyalah sejauh kapasitasnya sebagai manusia. Ia tidak dituntut untuk berada pada posisi yang lebih rendah dari itu atau lebih tinggi sampai kepada derajat ketuhanan. Ia berbeda dari visi Brahma dalam agama Hindu yang menganggap raga manusia sebagai tidak riel, atau dari pandangan hidup Kristen yang menganggap manusia terdiri dari jiwa dan raga, tapi menganggap segala yang berhubungan dengan raga sebagai kejahatan.
Ketujuh, keesaan (tawhid), artinya karakteristik yang paling mendasar dari pandangan hidup Islam adalah pernyataan bahwa Tuhan itu adalah Esa dan segala sesuatu diciptakan oleh Nya. Karena itu tidak penguasa selain Dia, tidak ada legislator selain Dia, tidak ada siapapun yang mengatur kehidupan manusia dan hubungannya dengan dunia dan dengan manusia serta makhluk hidup lainnya kecuali Allah. Petunjuk, undang-undang dan semua sisitim kehidupan, norma atau nilai yang mengatur hubungan antara manusia berasal dari padaNya.[45]
Karakteristik yang dikemukakan oleh Sayyid Qutb diatas menunjukkan luasnya jangkauan yang menjadi bidang cakupan (spektrum) pandangan hidup Islam, akan tetapi gambaran tentang luasnya spektrum tersebut, justru menjadikannya kurang detail. Untuk melihat sisi lain yang lebih detail mengenai hal itu kita paparkan gambaran Prof. Al-Attas tentang elemen penting yang menjadi karakter utama pandangan hidup Islam. Elemen penting pandangan hidup Islam itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini:[46]
Pertama: Dalam pandangan hidup Islam realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian metafisika terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak nampak (invisible world). Sedangkan pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran, terbentuk berdasarkan akumulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai dan berbagai fenomena social. Meskipun pandangan ini tersusun secara coherence, tapi sejatinya bersifat artificial. [47] Pandangan ini juga terbentuk secara gradual melalui spekulasi filosofis dan penemuan ilmiah yang terbuka untuk perubahan. Spekulasi yang terus berubah itu nampak dalam dialektika yang bermula dari thesis kepada anti-thesis dan kemudian synthesis. Juga dalam konsep tentang dunia, mula-mula bersifat god-centered, kemudian god-world centered, berubah lagi menjadi world-centered.  Perubahan-perubahan ini tidak lain dari adanya pandangan hidup yang berdasarkan pada spekulasi yang terus berubah karena perubahan kondisi sosial, tata nilai, agama dan tradisi intelektual Barat.
Kedua: Pandangan hidup Islam bercirikan pada metode berfikir yang tawhÊdi (integral). Artinya dalam memahami realitas dan kebenaran pandangan hidup Islam menggunakan metode yang tidak dichotomis, yang membedakan antara obyektif dan subyektif, histories-normatif, tekstual-kontektual dsb. Sebab dalam Islam, jiwa manusia itu bersifat kreatif dan dengan persepsi, imaginasi dan intelgensinya ia berpartisipasi dalam membentuk dan menerjemahkan dunia indera dan pengalaman indrawi, dan dunia imaginasi. Karena worldview yang seperti itulah maka tradisi intelektual di Barat diwarnai oleh munculnya berbagai sistim pemikiran yang berdasarkan pada materialisme dan idealisme yang didukung oleh pendekatan metodologis seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme dan lain-lain. Akibatnya, di Barat dua kutub metode pencarian kebenaran tidak pernah bertemu dan terjadilah cul de sac.
Ketiga: Pandagan hidup Islam bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama (din)  dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan untuk menentukan posisi dan peranan historisnya. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ritus-ritusnya, doktrin-doktrin serta sistim teologisnya telah ada dalam wahyu dan diterangkan serta dicontohkan oleh Nabi. Ketika ia muncul dalam pentas sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai sebuah sistim dan tidak memerlukan pengembangan. Ia hanya memerlukan penafsiran dan elaborasi yang merujuk kepada sumber yang permanen itu. Maka ciri pandangan hidup Islam adalah otentisitas dan finalitas. Maka apa yang di Barat disebut sebagai klasifikasi dan periodesiasi pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern dan postmodern tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam; periodesasi itu sejatinya menggambarkan perubahan elemen-elemen mendasar dalam pandangan hidup dan sistim nilai mereka.
Keempat: Elemen-elemen pandangan hidup Islam terdiri utamanya dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaanNya, konsep psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai dan kebajikan, konsep kebahagiaan. Elemen-elemen mendasar yang konseptual inilah yang menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam. Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistim makna, standar tata kehidupan dan nilai dalam suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview.
Kelima: Pandangan hidup Islam memiliki elemen utama yang paling mendasar yaitu konsep tentang Tuhan. Konsep Tuhan dalam Islam adalah sentral dan tidak sama dengan konsep-konsep yang terdapat dalam tradisi keagamaan lain; seperti dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenisme; tradisi filsafat Barat, atau tradisi mistik Timur dan Barat sekaligus. Kesamaan-kesamaan beberapa elemen tentang konsep Tuhan antara Islam dan tradisi lain tidak dapat dibawa kepada kesimpulan adanya Satu Tuhan Universal, sebab sistim konseptualnya berbeda. Karena itu ide Transendent Unity of Religion adalah absurd.
Itulah ciri-ciri pandangan hidup atau worldview Islam yang tidak saja membedakan Islam dari agama, peradaban dan kebudayaan lain tapi juga membedakan metode berfikir dalam Islam dan metode berfikir pada kebudayaan lain. Agar identitas pandangan hidup Islam dapat dipahami lebih jelas lagi, ada baiknya dibahas pula pandangan hidup Barat

Pandangan hidup Barat Modern
Karakteristik pandangan hidup Islam akan dapat dipahami dengan lebih jelas jika dibandingkan dengan pandangan hidup lain. Perbandingan yang paling relevan untuk saat ini adalah pandangan hidup Islam dan Barat. Untuk memudahkan pemahaman kita, peradaban Barat kita kelompokkan menjadi dua periode penting yaitu Barat modern dan postmodern.
Sejarahnya, peradaban Barat adalah peradaban yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropah dari peradaban Yunani kuno yang di kawinkan dengan peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropah terutamanya Jerman, Inggeris dan Perancis. Prinsip-prinsip asas dalam Filsafat, seni, pendidikan dan pengetahuan diambil dari Yunani; prinsip-prinsip mengenai hukum dan ketatanegaraan diambil dari Romawi. Sementara agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan dengan budaya Barat.[48]
Ketika agama Kristen dominan dalam kehidupan keagamaan masyarkat Eropah, mereka masih berada dalam zaman yang mereka sebut Dark Ages (Zaman Kegelapan). Namun mereka mendapat pencerahan setelah mereka menterjemahkan karya-karya cendekiawan Muslim dalam berbagai bidang sains (1050- 1150) kedalam bahasa Latin. Oleh sebab itu Eugene Myers dengan tegas menyimpulkan bahwa salah satu faktor terpenting kebangkitan Barat adalah penterjemahan karya-karya cendekiawan Muslim. [49] Dari Abad abad kegelapan (Dark Ages), Barat memasuki Zaman Pencerahan (Renaissance), Revolusi Perancis (France Revolution) dan industrialisasi besar-besaran di Inggeris. Melalui proses tersebut maka Barat memasuki apa yang disebut dengan Zaman Modern. Alain Touraine menggambarkan modernitas sbb:
The idea of modernity make science, rather than God, central to society and at best relegates religious belief to the inner realm of private life. The mere presence of technological applications of science does not allow us to speak of modern society. Intellectual activity must also be protected from political propaganda or religious beliefs; ….public and private life must be kept separate…..the idea of modernity is therefore closely associated with that of rationalization. [50]

Jalan pikiran manusia Barat modern yang juga disebut “akal modern” (modern mind) itu telah membawa angin baru atau “cara baru” dalam melihat segala sesuatu dan dari situlah lahir sains modern. Disini kaitan antara “cara baru” dalam berfikir dengan pengetahuan ilmiyah yang dihasilkannya sangat erat sekali.   Jika kita rujuk kembali definisi worldview diatas maka modernitas adalah pandangan hidup modern. Karena moderrnitas lebih menekankan kepada sains dan teknologi, ketimbang agama, maka pandangan hidup Barat waktu itu disebut dengan scientific worldview.  Sejak saat itulah pandangan hidup orang Barat telah berubah secara fundamental.
Jadi modernitas pada intinya adalah state of mind atau cara berfikir yang diaplikasikan kedalam berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu JW Schoorl mendifinisikan modernisasi menjadi “penerapan pengetahuan ilmiyah yang ada kepada semua aktifitas, semua bidang kehidupan atau kepada semua aspek kehidupan masyarakat”[51] Penerapan cara berfikir rasional kedalam keseluruhan aspek kehidupan pada akhirnya menjelma menjadi suatu idea yang lebih luas yaitu menciptakan masyarakat rasional. (rational society), yaitu suatu masyarakat yang segala kegiatannya termasuk bidang sain dan teknologi serta kehidupan politik dikontrol oleh rasio. Karena rasionalitas adalah satu-satunya prinsip yang mengatur kehidupan individu dan sosial termasuk kehidupan keagamaan, maka rasionalisasi berkaitan erat dengan tema sekularisasi. Jadi dua elemen penting peradaban modern adalah rasionalisasi dan sekularisasi. Dengan kedua elemen ini maka pandangan hidup Barat tidak lagi bersifat teistik dalam memandang segala sesuatu.[52]

Diskursus yang meletakkan Tuhan secara sentral hanya terbatas pada para teolog, sedangkan para filosof lebih tertarik pada sains. Modernisme terus berjalan dan berkembang pada abad-abad berikutnya. Habermas menyatakan bahwa proyek modernisasi berkulminasi pada abad ke 18 M, di saat mana model pemikiran rasional menjanjikan liberalisasi masyarakat dari mitologi irrasional, agama dan takhyul.[53] Inilah gerakan sekularisasi yang sebenarnya yang berupaya untuk menyuntikkan gagasan desakralisasi ilmu dan organisasi sosial. Menurut James E. Crimmins, proses desakralisasi, atau dalam istilah Weber ‘disenchantment’ ini memang sengaja diarahkan untuk melawan agama dan digambarkan sebagai agen utama untuk menggusur dan menggeser agama tradisional.[54] Hasil dari gerakan desakralisasi agama itu sendiri maka peminggiran agama dari fungsinya yang sentral dalam kehidupan public dan berbagai diskursus tidak dapat dielakkan. Alain Finkielkraut dalam bukunya The Defeat of the Mind menggambarkan kondisi agama pada era modern sbb:
What they called God was no longer the Supreme Being, but collective reason……From now on God existed within human intelligence, not beyond it, guiding people’s action and shaping their thoughts without their knowing it. Instead of communicating with all creatures, as His namesake did, by means of the Revelation, God no longer spoke to man in a universal tongue; He now spoke within him, in the language of his nation. [55]

Gambaran ini menunjukkan bahwa dengan dihapusnya nilai-nilai transendental, maka Tuhan telah direduksi menjadi semangat kebangsaan dan kebudayaan. Ini juga berimplikasi pada pembebasan pemikiran rasional dari agama dan segala macam kepercayaan yang ada di masyarakat.  Bagi mereka tidak ada agama yang bisa dipahami secara rasional. Pada zaman ini (yakni modern) pemikiran yang mendiskusikan apakah Tuhan itu ada atau tidak, sebagaimana pada zaman pra-modern sudah tinggal sedikit, yang ada hanya diskusi yang justru menggugat agama. Meskipun demikian Alain sendiri percaya bahwa pada abad ke 18 itu masih dapat dianggap abad metafisika,[56] namun fondasi metafisis yang menjadi pembela kebenaran agama perlahan-lahan mulai tidak dapat dipertahankan lagi dan tinggal menunggu penghapusan metafisika pada abad berikutnya.
Selain dari elemen Rasionalisme dan sekularisme, Barat Modern juga menganut pandangan filisafat empirisisme yaitu suatu prinsip yang merupakan konsekuensi logis dari rasionalisme dan sainitifisme. Dari perspektif ontologism Barat modern juga diwarnai oleh prinsip dualisme dalam memandang realitas, pemisahan jiwa dan raga adalah contoh yang paling kongkrit. Berkaitan erat dengan dualisme adalah cara memandang segala sesuatu secara dichotomis, yaitu suatu cara pandang terhadap realitas secara mendua. Dan yang terakhir adalah humanisme. Hal ini muncul sebagai konsekuensi logis dari adanya proses sekularisasi, desekularisasi dan disenchantment of nature.
Jadi gambaran singkat pandangan hidup Barat Modern diatas menunjukkan bahwa elemen pandangan hidup Barat terdiri dari rasionalisme, sekularisme, empirisisme (positivisme), dualisme atau dichotomi dan humanisme.


Pandangan Hidup Barat Posmodern
Abad ke 19 adalah era dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh suatu gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat difahami oleh manusia. Ini adalah pengingkaran terhadap absolutisme dan sekaligus merupakan serangan yang serius terhadap salah satu disiplin ilmu filsafat yang terpenting, yaitu metafisika obyektif. Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik, yang merupakan dua gerakan yang sangat dominan pada waktu itu, merupakan produk akal post-modern (postmodern mind). Inilah yang kemudian menggantikan sistim metafisika. Silverman menyatakan bahwa penutupan jalan pemikiran metafisika bertepatan dengan berakhirnya era modernisme.[57] Jadi sistim baru yang disebut Post-Modernisme ini adalah sistim yang tanpa pemikiran metafisis. Penghapusan metafisika juga berimplikasi pada pengesampingan atau “peremehan” doktrin keagamaan yang berdasarkan pada metafisika itut. Titik perubahan dari metode berfikir metafisis kepada metode berfikir analitis dapat dirujuk kepada pandangan-pandangan Karl Marx (1818-1883) dan Nietzsche (1844-1900) tentang agama.[58]
Secara filosofis posmodernisme juga merupakan gerakan yang tidak lagi mempercayai kebenaran obyektif atau saintifik yang menjadi ciri modernisme.  Hal ini dapat dilacak dari pemikiran Immanuel Kant (1724-1804), GWF Hegel (1770-1830) dan juga Karl Marx yang menganggap bahwa masyarakat Barat itu adalah progressif, tidak pernah final dan akan menuju kesempurnaan dengan cara evolusi, perkembangan social, pendidikan dan pemanfaatan sains. Penolakan terhadap finalitas juga tercermin dalam filsafat post-structuralisme yang menolak adanya “makna” yang tetap (fixed meaning) atau adanya keterkaitan antara bahasa dan dunia atau mengingkari realitas, kebenaran dan fakta yang tetap sebagai obyek pencarian. Puncaknya dapat dilacak dari pikiran Nietzsche yang menghapuskan asumsi bahwa disana terdapat pengetahuan obyektif.
Nietzsche juga dikenal sebagai pemikir awal posmo dikenal dengan program penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas merupakan karakteristik pandangan hidup Barat post-modern. Makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh agama dan masyarakat  direduksi.[59] Doktrin penghapusan nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh Nietzsche  adalah doktrin nihilisme. Dalam karyanya  Will to Power Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari pusat ke arah titik X”, artinya “nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya.[60] Heidegger (1889-1976) dengan nada yang sama mendefinisikan nihilisme sebagai “suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa”[61] Keduanya mempunyai mindset dan kecenderungan yang sama saja. Dalam pandangan Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”. Dalam pandangan Heidegger nihilisme menunjukkan penghapusan Being dengan sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi nilai. Disini realitas tidak lagi difahami dalam bentuk suatu susunan dimana sang pencipta berada pada puncak hirarki yang absolut. Keduanya menuju suatu titik dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, relijius ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine).
Meskipun doktrin yang kemudian dinamakan European nihilism ini mengusung proyek devaluasi nilai, namun mereka masih menganggap hal ini sebagai suatu jalan baru dalam menentukan konsep nilai yang berbeda dari kepercayaan dalam agama. Nilai tidak lagi berkaitan dengan agama dan kepercayaan. Jadi nihilisme, kata Snyder, berhubungan dengan perubahan kebenaran ke dalam nilai, tapi nilai yang telah diwarnai oleh kepercayaan dan opini manusia.[62] Dalam terminologi Nietzsche perubahan kebenaran menjadi sekedar nilai ini berbentuk apa yang dia istilahkan  “will to power.” Ini berarti bahwa filsafat nihilisme bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan fondasi pemikiran dan nilai dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, seperti yang dinyatakan oleh Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu poin dimana kebenaran telah dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana kepercayaan dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat diandalkan. Maka dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus menolak kebenaran. Membuang yang satu berarti juga harus membuang yang lain (to do away with one is to do away with other too).[63]  Berdasarkan pada doktrin ini maka Nietzsche mendefinisikan metafisika secara pejoratif sebagai “ilmu yang membahas tentang kesalah0an manusia yang fundamental, seakan-akan semua itu kebenaran yang fundamental”.[64] Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.
Teori tentang European nihilism dapat dilihat dengan lebih jelas lagi dari apa yang kini disebut sebagai “the philosophy of difference”, yang dinisbatkan kepada Nietzsche and Heidegger. Segala perbedaan antara kepalsuan dan kebenaran, rasional dan irrasional harus di letakkan di luar jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Difference adalah produk dari “will to power”  (kehendak untuk berkuasa) yang ada dalam diri manusia atau kehendak untuk menafsirkan (will to interpret). Ini berarti bahwa segala sesuatu yang kita hadapi dalam pengalaman kita di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri  sesuai dengan nilai-nilai subyektif dalam diri kita. Karena kecenderungan untuk selalu menafsirkan itulah maka bagi post-modernis dunia yang dapat diketahui hanyalah dunia yang berbeda-beda atau dunia interpretasi. The philosophy of difference ini kemudian menjadi salah satu penghubung antara nihilisme dan hermeneutika (filsafat interpretasi).[65] Jadi, singkatnya nihilisme dan filsafat perbedaan (philosophy of difference) menandai perkembangan post-modernisme yang pada gilirannya merupakan asas bagi penolakan terhadap kebenaran transenden.
Atmosfir pemikiran post-modern dapat digambarkan melalui pernyataan bahwa “segala sesuatu adalah teks, dan materi dasar teks itu yang berupa masyarakat dan bahkan nyaris segala sesuatu difahami sebagai makna, dan makna itu harus didekonstruksi; pernyataan tentang realitas obyektif harus dicurigai”.[66]  Formulasi Gellner adalah tepat sebab dalam diskursus para pemikir post-modernis dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan segala sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu, dan hermeneutika adalah “nabinya”. Disini yang dipentingkan adalah interpretasi realitas obyektif dan bukan realitas obyektifnya. Sebab dalam alam pikiran postmodern kebenaran obyektif telah digantikan oleh kebenaran hermeneutika.[67] Artinya dalam kebenaran hermeneutika itu subyektifitas pencari kebenaran, pembaca atau pendengar sangat dihargai.
Dalam kondisi yang seperti ini, Ernest Gellner menyatakan bahwa postmodernisme nampak jelas mendukung paham relativisme. Kebenaran bagi posmodernis adalah elusive (kabur), subyektif dan internal, oleh sebab itu mereka tidak bias menerima ide tentang kebenaran tunggal, ekslusif, obyektif, ekternal dan transenden.[68]
Singkatnya, filsafat post-modern melebur nilai tertinggi, menyingkirkan Tuhan dan rujukan segala bentuk nilai sebagai fondasinya. Nilai baru yang diperkenalkan post-modernisme adalah nilai yang memiliki hubungan dengan nilai-nilai lain atau bahkan saling tukar menukar, karena ia memiliki status yang sama dalam wajah yang universal. Oleh sebab itu bentuk segala macam nilai adalah nilai yang layak untuk saling tukar menukar antara satu peradaban dengan peradaban lain. Disini lagi-lagi nampak bahwa metafisika tradisional mulai melebur dan tenggelam.
Masalahnya, jika dalam pandangan post-modernis segala sesuatu direduksi menjadi nilai yang relatif, yang berimplikasi pada adanya kemungkinan penafsiran terhadap realitas secara tak terbatas, maka di sana tidak ada lagi nilai yang diakui dan memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Akibatnya setiap orang akan terlibat dalam kerja intepretasi terhadap setiap aspek wujud yang tiada ada habisnya. Agama tidak lagi berhak mengklaim punya kuasa lebih terhadap sumber-sumber nilai yang dimiliki manusia seperti yang telah di formulasikan oleh para filosof. Jadi agama difahami sebagai sama dengan persepsi manusia sendiri yang tidak mempunyai kebenaran absolut. Oleh sebab itu agama mempunyai status yang kurang lebih sama dengan filsafat dalam pengertian tradisional.
Atmosfir pemikiran posmodernisme dengan doktrin subyektifitas dan relativitas kebenaran ini adalah salah satu faktor penting bagi lahirnya paham pluralisme dan juga pluralisme agama.

Analisa perbandingan
Jika kita perbandingkan antara  pandangan hidup Islam dan Barat, baik modern maupun postmodern, maka akan kita temukan perbedaan yang menonjol. Jika kita gunakan teori Thomas Wall maka Barat modern maupun posmodern sejatinya adalah peradaban yang tidak berdasarkan pada kepercayaan kepada Tuhan, jika pun ia percaya, ia tidak konsisten dengan kepercayaannya itu. Sebab tujuan dan makna hidup, sumber nilai moral, makna ilmu pengetahuan dan yang berkaitan dengan itu bukan berasal dari konsep Tuhan mereka.
Secara kultural perbedaan Islam dan Barat dapat dibuktikan dari pendapat masyarakat dunia. Hasil penelitian kumulatif terhadap lebih dari 70 negara yang dianggap mewakili 80 persen penduduk dunia yang dilakukan World Value Survey (WVS) pada tahun 1995-1996 dan 2000-2000, membuktikan bahwa Islam dan Barat memiliki perbedaan nilai yang tajam. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa kultur adalah penyebab perbedaan.[69]
Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History, and the Last Man meletakkan Islam sejajar dengan ideologi Liberalisme, Komunisme dsb, tapi Islam menurutnya memiliki nilai moralitas dan doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri. Karena ajaran Islam bersifat universal, maka ia pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan praktek-praktek liberal. Tapi kini kekuatan Islam di luar negara Islam tidak demikian, bahkan kondisi Islam kini menjadi terbalik. Baginya dunia Barat Posmodern dengan prinsip 'free market" dan "liberalisme" merupakan babak akhir  dari sejarah manusia (the end of History). Artinya paham liberalisme adalah alternatif terakhir bagi ummat manusia, faham apapun yang tidak dapat mengakomodir ciri-ciri ini akan tersingkir dari proses evolusi menuju kesempurnaan sejarah atau tertinggal jauh di belakang. Maka dari itu dia menyimpulkan:
Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional. [70]
Jika Fukuyama menganggap Islam sebagai tantangan demokrasi liberal dan meletakkan nilai-nilai liberal dan Barat sebagai ancaman bagi Islam, maka itu jelas-jelas menunjukkan perbedaan yang mendasar antara Islam dan Barat.
Meskipun pendekatan Fukuyama yang lebih bersifat ideologis itu dapat diterima, namun bagi Huntington peberbedaan itu bukan ideologis, tapi kultural. Kultural yang dimaksud Huntington disini adalah paradigma peradaban, yaitu komponen atau asas peradaban yang membedakan antara satu peradaban dengan lainnya. Dalam artikel berjudul If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, Huntington menyatakan bahwa asas peradaban adalah prinsip-prinsip keagamaan dan filsafat. Oleh sebab itu faktor-faktor untuk mengidentifikasi orang, dan juga faktor yang menjadikan mereka siap perang dan mati adalah keimanan dan keluarga (faith dan family), darah dan kepercayaan (blood and belief).[71] Itulah yang ia sebut dengan paradigma peradaban yang mengakibatkan clash dan merupakan feomena sentral dari politik global.
Maksud dari paradigma peradaban itu adalah identitas peradaban Barat, yang ia contohkan dengan kebudayaan Amerika atau America’s core culture. Identitas peradaban Amerika itu dapat diketahui melalui elemen-elemen pentingnya seperti, Agama Kristen, nila-nilai dan moralitias Protestan, etika kerja, Bahasa Inggeris, Tradisi hukum bangsa Inggeris, keterbatasan kekuasaan pemerintahan, dan khazanah seni dan sastra, filsafat dan musik Eropa. Ini ditambah dengan kepercayaan bangsa Amerika tentang prinsip-prinsip kebebasan, persamaan, individualisme, perwakilan pemerintahan dan kekayaan pribadi.[72] Jadi, elemen-elemen utama peradaban Barat yang dapat ditangkap dari eksposisi Huntington tentang kultur Amerika adalah:
1) Prinsip-prinsip agama (faith),
2) Nilai-nilai moralitas dan etos kerja Protestan,
3) Filsafat
4) Politik
5)Kepercayaan (belief) terhadap prinsip-prinsip kebebasan, persamaan, individualisme, dan kapitalisme.
Lebih spesifik dan parsial lagi Ronald Inglehart and Pippa Norris menggambarkan perbedaan Islam dan Barat berkaitan dengan kesetaraan gender, dan kebebasan seks. Jadi yang terjadi antara Barat dan Islam, menurut mereka, adalah benturan peradaban seks (Sexual clash of Civilization). Menaggapi thesis Huntington mereka berkomentar:
Samuel Huntington hanya setengah benar. Garis kultural yang memisahkan Barat dan dunia Islam bukan tentang demokrasi tapi seks. Menurut hasil survey terbaru, Muslim dan Barat sama-sama menginginkan demokrasi, namun dunia mereka menjadi terpisah ketika mereka bersikap terhadap perceraian, aborsi, kesetaraan gender, dan hak-hak gay, sehingga hal ini tidak menjanjikan bagi masa depan demokrasi di Timur Tengah…….
Di Barat generasi mudanya, dalam soal seks, menjadi semakin liberal, sementara di dunia Islam masih tetap menjadi masyarakat yang paling tradisional di dunia”[73]

Pernyataan-pernyataan diatas hanyalah sedikit contoh dari gambaran tentang masyarakat Barat dan perbedaannya dengan Islam oleh orang Barat sendiri. Sudah tentu dibelakangnya terdapat cara pandang tersendiri. Jika dicermati dengan baik pernyataan-pernyataan itu sudah merupakan bukti adanya benturan persepsi (collision of consciousness). Bahkan eksposisi tentang thesis Huntington clash of civilization itu sebenarnya adalah deklarasi tentang perang pemikiran. Ia bukan hanya sekedar prediksi masa depan yang mengkhawatirkan, tapi merupakan gambaran masa kini dan masa lalu. Ia bukan asumsi-asumsi spekultatif tapi merupakan gambaran realitas yang bisa diterima, meskipun dengan beberapa catatan. Dan memang saat ini tengah terjadi benturan antara pandangan hidup Islam dan pandangan hidup Barat.
Dari matrik pandangan hidup yang dipaparkan Thomas Wall yang terdiri dari konsep Tuhan, Ilmu, Realitas, Diri, Etika dan Masyarakat,[74] jelaslah bahwa pandangan hidup Islam berbeda secara diametris dan konseptual dari pandangan hidup Barat, baik Barat modern maupun Barat postmodern. 

 

Kesimpulan

Pembahasan tentang teori pandangan hidup diatas bertujuan untuk menggambarkan bahwa Islam adalah agama dan pandangan hidup yang secara konseptual dapat dibedakan dari pandangan hidup lain. Pembahasan lebih lanjut dapat dilakukan dengan mengkaji konsep-konsep kunci dalam pandangan hidup Islam dan kemudian membingkai konsep-konsep tersebut dalam susunan yang sistemik dan saling berkaitan antara satu dengan lainnya sehingga membentuk suatu keseluruhan yang integral. Jika hal in telah dilakukan maka ia akan menjadi framework pemikiran yang mempunyai peran epistemologis dalam mekanisme penerimaan atau penolakan konsep-konsep asing yang bersentuhan dengan pemikiran Islam. Artinya pada dataran praktis dalam konteks perang pemikiran dewasa ini, pandangan hidup Islam yang telah menjadi framework pemikiran seorang Muslim dapat menjadi filter bagi menguji apakah suatu pemikiran itu berasal dari tradisi Islam atau berasal dari tradisi asing; dan apakah konsep-konsep yang berasal dari pandangan hidup asing itu dapat di adapsi kedalam pandangan hidup Islam atau tidak. Inilah sebenarnya peran epistemologis pandangan hidup Islam dan relevansi memahaminya pada zaman sekarang ini[75].



[1]  Bagi Huntington, sumber konflik pas perang dingin bukan lagi ideologis, politik atau ekonomi, tapi kultural. Bangsa-bangsa dan masyarakat dunia, katanya, mencoba menjawab pertanyaan mendasar yang dihadapi ummat manusia, yaitu “Siapakah kita?” dan jawaban yang mereka berikan menunjukkan identitas yang secara tradisional ternyata merujuk kepada bahasa, sejarah, nilai, adat istiadat, dan yang paling penting adalah agama. Lihat Samuel P Huntingto, The Clash of Civilization and the Remaking of Woeld Order (New York: Simon & Schuster, A Touchstone Book, 1996, 21; lihat juga Samuel P Huntington, “Clash of Civilization?” Foreign Affair 72 (Summer 1993): 22-49.  
[2] Smart mengakui bahwa Bahasa Inggris tidak memiliki istilah khusus untuk menggambarkan visi yang mencakup realitas keagamaan dan ideologi. Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, Charles Sribner's sons, New York, n.d. 1-2
[3]  Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem,  A Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia, 2001, 532. 
[4] Alparslan Acikgence, "The Framework for A history of Islamic Philosophy", Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6.
[5]  Kuhn menyatakan:”penelitian ilmiyah diarahkan kepada artikulasi fenomena-fenomea dan teori-teori yang paradigmanya telah tersedia”  Lihat Thomas S Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, International Encyclopedia of Unified Science, vol.2, no 2 (Chicago: Univerity of Chicago Press, 1970. 24.
[6]  Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives (Belmont, California, Wardsworth, 1997) hal. 340, 355, 368, 370.
[7] Al-MawdËdÊ, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967) 14, 41.
[8] Shaykh ÓÏif al-Zayn, al-IslÉm wa Idulujiyyat al-InsÉn, DÉr al- KitÉb al-LubnÉnÊ,  Beirut, 1989, hal. 13.
[9] M.Sayyid Qutb, MuqawwamÉt al-TaÎawwur al-IslamÊ, DÉr al-ShurËq, tt. Hal. 41
[10]  S.M.N, al-Attas in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of  the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, 2
[11]  Alparslan, "The Framework” 6. Cf. Alparslan, Islamic Science, 10.
[12] Pengetahuan a prioriadalah pengetahuan yang diperoleh melalui asumsi atau cara berfikir tertentu terhadap fakta-fakta, tanpa observasi atau pengalaman khusus. A posteriori adalah pengetahuan yang tidak dapat diperoleh secara a priori.
[13] Alparslan, "The Framework", 6-7.
[14] Alparslan, Islamic Science, 13-14.
[15] Alparslan, Islamic Science, 10-19.
[16] Alparslan, Islamic Science, 20-26. Dalam pandang Prof. Al-Attas elemen-elemen asas pandangan hidup Islam terdiri dari konsep Tuhan, sifat ciptaanNya, konsep manusia dan jiwa manusia, konsep ilmu, kebebasan dan lain-lain. Al-Attas, S.M.N., "Opening Address”,  28-29.
[17] Alparslan, Islamic Science, 19
[18] al-Attas, SMN, Prolegomena, 4
[19] Alparslan, Islamic Science, 71-72.
[20] Professor Izutsu membuktikan munculnya pandangan hidup baru ini dengan menunjukkan sistim kata yang menjadi unsure pokok dalam kosa-kata bahasa Arab pra-Islam. Contoh yang diberikan disini adalah kata Allah yang dalam al-Qur’an merupakan kata yang sangat sentral yang menempati medan semantik keseluruhan kosa-kata, sedangkan dalam sistim kata pada masa pra-Islam  Allah tidak mempunyai kedudukan yang sangat sentral, Allah adalah tuhan dalam hirarki tuhan-tuhan yang lain.  Penjelasan lebih detail lihat Izutsu, Toshihiko, God and Man in The Qur'an, Semantic of the Qur'anic Weltanschauung, New Edition, Kuala Lumpur,  Islamic Book Trust, 2002, 36-38.
[21]  Untuk lebih detail tentang perbedaan tema-tema umum antara wahyu yang diturunkan di Makkah dan Madinah Lihat Abu Ammaar Yasir Qadhi, An Introduction to the Science of the Qur'aan, Birmingham, al-Hidayah Publishing and Distribution, 1999, 100-101.
[22] De Boer misalnya berasumsi bahwa sains dalam Islam lebih banyak ditentukan oleh pengaruh asing dan karena itu “keseluruhannya bukan hasil murni” ummat Islam, sebab pada abad pertama Islam tidak terdapat kesadaran akan metode dan sistim. Bahkan baginya filsafat Islam hanyalah eklektisisme, yang bergantung kepada hasil-hasil kerja terjemahan karya Yunani, dan merupakan asimiliasi daripada karya asli. Lihat De Boer, T.J., The History of Philosophy in Islam, Curzon Press, Richmond, U.K., 1994, hal. .28-29,309. The emphasize on translation see Myers, Eugene A., Arabic Thought and The Western World, Fredrick Ungar Publishing Co, New York, 1964, hal.7-8. Senada dengan itu Alfred Gullimaune menyatakan bahwa framework, skop dan materi filsafat Arab harus dilacak dari bidang-bidang dimana filsafat Yunani begitu dominan dalam sistim mereka. Alfred Gullimaune, “Philosophy and Theology” in The Legacy of Islam, Oxford University Press, 1948, hal.239. Demikian pula O’Leary places  menganggap pemikiran Arab hanyalah transmisi filsafat Yunani dari versi Hellenisme Syriac kepada Barat Latin. O’Leary, De Lacy,  Arabic Thought and Its Place in History, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1963.hal.viii.  
[23]  Radhakrishnan, History of Philosophy, Eastern and Western, George Allan & Unwin Ltd. London, See “Islamic Philosophy”, Chapter XXXII, hal.120-149.
[24]  Majid Fakhry menekankan pengaruh kebudyaan asing seperti Yunani, India dan Persia kedalam filsafat Islam. Lihat  Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, Columbia University Press, New York, 1983, hal.viii-ix.
[25]  Watt menggambarkan lahirnya filsafat dan teologi Islam dari dua gelombang Hellenisme, gelombang pertama adalah periode penterjemahan karya Yunani dan kedua adalah munculnya filosof Muslim Neoplatonic Aristotelian, seperti al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain. Lihat Watt, M.W, Islamic Philosophy and Theology, University of Edinburgh Press, Edinburgh, 1985, hal.33-64; 69-128.
[26]Alparslan, Islamic Science, 81
[27]  Khalifah melaporkan catatan orang lain  menyatakan bahwa Suffah didirikan antara 10, 17, atau 19 bulan sesudah Hijrah atau 2 tahun setelah Hijrah. Dalam SaÍih BukhÉri disebutkan pula bahwa ia didirikan 16 or 17 bulan setelah Hijrah. Lihat Khalifah ibn Khayyat  (d.240 A.H) al-Tarikh, dengan komentar oleh Akram Diya' al-'Umari (Najaf: al-Adab Press 1967, vol.1 / 321. Cf, al-Bukhari, Muhammad ibn Isma'il (d.256 A.H) al-Sahih, 9 Parts in 3 vols (Egypt: Muhammad Ali al-Subayh, n.d. see Kitab al-Salah Bab al-Tawajjuh Nahw al-Qiblah, 1/104.;   lihat juga al-Hujwiri, Kashf al-Mahjub, 81.
[28] Abu Nu'aym, Ahmad ibn 'Abd Allah al-Asbahani (d.430 A.H.) Hilyat  al-Auliya', 10 vols, Egypt:al-Sa'adah Press, 1357, 1/339, 341. 
[29]  Tujuan utama AsÍÉb al-Øuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, seperti shalat, membaca al-Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama, berzikir serta belajar menulis. Alumni, sebut saja begitu, dari sekolah masyarakat (learning society)  ini juga menunjukkan kemampuan mereka dalam menghapal hadith-hadith Nabi. Lihat Abu Daud al-Sijistani, Sulayman ibn al-Asha'ath, (d.275 A.H)  al-Sunan,  2 vols. (Egypt, Mustafa al-Babi  al-Halabi, 1371) 2/237; and Ibn Majah, Muhammad Ibn Yazid (d.273), al-Sunan, dengan komentar dari Muhammad Fu'ad 'Abd al-Baqi, (Cairo: Dar Ihya' al-Kutub al-Arabiyyah, 1953,  2/70.
[30]  AbË Nu'aym mencatat bahwa Sa'Êd ibn 'Ubadah sendiri biasa memberikan akomodasi kepada 80 orang di rumahnya untuk tujuan belajar mengajar.   Ibid, 1/341.
[31]  Dalam al-Qur’an terdapat 91 ayat yang mengandung kata-kata 'ilm, tidak termasuk kata-kata derivatifnya, dari 91 ayat itu  67 daripadanya diwahyukan di Makkah dan sisanya, 24 ayat, di Madinah.
[32] ‘Abd al-HalÊm MahmËd menyebutkan bahwa ada dua hal yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an:  Pertama, masalah yang berkaitan dengan zat Tuhan (dhat Allah), hakekat sifat Tuhan, hubungan antara esensi dan sifat, rahasiaNya tentang qadr dan problem-problem lain yang diluar jangkauan akal manusia. Kedua, masalah-masalah khusus yang berhubungan cabang-cabang  (furË) yang jumlahnya tidak terbatas.  Al-Qur’an hanya menjelaskan asas umum shari’ah (al-usul al-‘amah li al-tashri’ ) dan beberapa hal yang khusus. See ‘Abd al-HalÊm MahmËd, al-TafkÊr al-Falsafi fi al-IslÉm, Dar al-Ma’arif, Cairo, n.d. hal.108-109. 
[33]  Bukti yang sering dirujuk untuk ini adalah Hadith tentang persetujuan Nabi terhadap Mu‘Édh bin Jabal untuk menggunakan ra’y dalam menyelesaikan masalah yang timbul dimasyarakat, jika al-Qur’an dan Hadith tidak menyebutkan penyelesaian masalah itu secara eksplisit. Musa, Yusuf, Usul al-Tashri’ al-Islami,Dar al-Ma’arif, Cairo, 1964, hal. 11. 
[34] Thomas F Wall, Thinking.. , 16
[35]  Ibid, 60
[36]  Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, 8-9
[37] Shaykh ÓÏif al-Zayn, al-IslÉm, 11-12
[38]  Sayyid Qutb, KhaÎÉiÎ al-TaÎawwur al-IslÉmi wa MuqawamÉtuhË, Cairo, al-Babi al-Halabi, 1962, hal.45;Lihat juga Sayyid Qutb, MuqawwamÉt al-Tasawwur al-Islami, 30-34
[39]S.M.N, al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa al-Attas ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 29
[40] S.M.N, al-Attas in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of  the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, ix.
[41] Ninian Smart, Worldview, 2
[42] Ia tidak diterjemahkan menjadi Nazrat al-Islam li al-kawn, karena nazar lebih bersifat observasi spekulatif dan al-kawn  lebih merupakan pengalaman indrawi atau dunia nyata yang kasat mata. S.M.N, al-Attas, Prolegomena, 1.
[43] S.M.N, al-Attas, Prolegomena, 1.
[44] Alparslan Acikgence,  Islamic Science, Towards  Definition, Kuala Lumpur, ISTAC 1996, 29.
[45]  Sayyid Qutb, KhaÎÉiÎ al-TaÎawwur al-IslÉmi wa MuqawamÉtuhË, Cairo, al-Babi al-Halabi, 1962, hal.45;Lihat juga Sayyid Qutb, MuqawwamÉt al-Tasawwur al-Islami, 30-34
[46] Penjelasan al-Attas tentang konsep worldview Islam dan penjabaran elemen-elemen asasnya terdapat dalam karyanya Prolegomena to The Metaphysics of Islam. Pendahuluan buku ini menjelaskan ciri-ciri khusus pandangan hidup Islam yang berbeda dari pandangan hidup Barat. Teori ini kemudian mendapat penjelasan lebih detail dalam kaitannya dengan timbulnya sains dan tradisi intelelktual Islam, dari Professor Alparslan. Professor Alparslan yang telah lama mengkaji teori worldview dalam kaitannya dengan sains dan sistim pemikiran, kemudian menulis risalah berjudul Islamic Science Towards definition, .untuk proses perjalanan pengkajiannya itu lihat “acknowledgement” hal. v. al-Attas, SMN, Prolegomena, lihat “Introduction” 1-37. Cf. Al-Attas, S.M.N., "Opening Address, The Worldview of Islam, an Outline" in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of Modernity, Historical and Contemporary Contexts, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, 28-29.
[47] Al-Attas menyebut pandangan ini sebagai “artificial coherence” karena ia tidak bersifat alami dalam konteks hakekat fitrah manusia, karena itu sifatnya selalu berubah dengan perubahan sosial. 
[48] SMN, Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin,  ISTAC, 2000, hal. 164-165
[49] Myers, Eugene A., Arabic Thought and The Western Word, Fredrick Ungar Publishing Co.New York, 1964,  pp. 83.
[50] Alain Touraine, Critique of Modernity, Blackwell, Oxford, UK, 1995, hal. 9-10
[51] JW.Schoorl, Modernization, terjemahan bahasa Indonesia oleh  RG.Soekadijo, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Berkembang, Penerbit Gramedia, Jakarta, 1981, hal. 4 
[52]  Menurut Huston Smith pendekatan yang bersifat teistik para pemikir Barat, yang ditandai oleh pemikiran yang memposisikan konsep Tuhan secara sentral dalam berbagai diskursus  hanya berjalan hingga abad ke sebelas. Lihat Smith, Huston, Beyond The Post-Modern Mind, Quest Book, The Theosophical Publishing House, Wheaton, Illinois, USA, 1989,  hal. 5.
[53] David Harvey, The Condition of Postmodernity, Cambridge, Blackwell, 1991, 12-3.
[54] James E.Crimmins, (ed) Religions, Secularizatin dan Political Thought, London, Routledge, 1990, 7.
[55] Alain Finkielkraut, The Defeat of The Mind,  (trans. by Judith Friedlander, New York Columbia University Press, 1995, 18. 
[56]  Ibid, 19.
[57] Hugh J.Silverman, “The Philosophy of Postmodernism”, dalam Hugh J.Silverman (ed) Postmodernism-Philosophy and the Art, London, Routledge, 1990, hal. 5.
[58] Untuk diskusi yang lebih detail mengenai hal ini lihat Nancy Love, Marx, Nietzsche, and Modernity, New York,  Columbia University Press, 1986, khususnya bab satu, 1-7 dan empat, 113-134. 
[59] Gianni Vattimo, The End of Modernity, 167.
 [60]Nietzsche, F, Will To Power, 8-9.
[61] Gianni Vattimo, The End of Modernity, 19.
[62] Jon R.Snyder, (trans.) in Gianni Vattimo, The End of Modernity, , xi.
[63] Nietzsche, Friedrich, Twilight of the Idol, trans. R.J. Hollingdale (Harmondsworth: Penguin, 1968), 41. Dalam Will To Power, dia mengatakan, “Truth is the kind  of error”, lihat Nietzsche, Friedrich, The Will To Power, 493.
[64] Jon R.Snyder, in Gianni Vattimo, The End of Modernity, xii.
[65] Ibid, xiii.
[66] Pernyataan aslinya adalah sbb: everything is text, that the basic material of text, societies and almost anything is meaning, that meaning are there to be decoded or ‘deconstructed’, that the notion of objective reality is suspect. Lihat Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion, Routledge, London-New York, 1993, 23.
[67]  Ibid, 35
[68]  Ibid, 24
[69] Ronald Inglehart and Pippa Norris, The True Clash of Civilization, dalam http://www.keepmedia.com/pubs/ForeignPolicy/2003/03/01/6424/?extID=10047&data=samuel_huntington
[70]  Aslinya:”Indeed, the Islamic world would seem more vulnerable to liberal ideas in the long run than the reverse, since such liberalism has attracted numerous and powerful Muslim adherent over the past century and  a half.  Part of the the reason for current, fundamentalist revival is the stregth of the perceived threat from liberal, Western values to traditional Islamic societies. Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Avon Book, New York, 1992,hal 45-46.
[71] Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, dalam
 http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
[72] http://www.newyorker.com/critics/books/?040517crbo_books
[73] Ronald et al, The True….
[74] Thomas F Wall, Thinking.. , 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar