26 Feb 2012

MENGAPA BARAT MENJADI SEKULAR-LIBERAL?



Oleh: Adian Husaini
(Ph.D. Candidate, ISTAC-IIUM)


            All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” (Lord Acton)

“Beware of a women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind”.

            Sekularisasi memang merupakan fenomena khas dalam dunia Kristen. Menurut Bernard Lewis, “Sejak awal mula, kaum Kristen diajarkan --  baik dalam  persepsi maupun praktis -- untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya.” 1 Dalam bukunya, Christianity in World History, Arend Theodor van Leeuwen, mencatat, bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa pesan sekularisasi. Kata Leeuwen, “Christianization and secularization are involved together in a dialectical relation.”  Maka, menurutnya, persentuhan antara kultur sekular Barat dengan kultur tradisional religius  di Timur Tengah dan Asia, adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab, kultur sekular adalah hadiah Kristen kepada dunia.(Christianity’s gift to the world). 2
            Pandangan Lewis dan Leeuwen merupakan babak baru dalam sejarah peradaban Barat, dimana ke-Kristenan telah mengalami tekanan berat, sehingga dipaksa untuk memperkecil atau membatasi wilayah otoritasnya. Gereja dipaksa menjadi sekular, dengan melepaskan wilayah otoritasnya dalam dunia politik. Fenomena sekularisasi dan liberalisasi pada peradaban Barat – yang kemudian diglobalkan ke seluruh dunia --  sebenarnya dapat ditelusuri dari proses sejarah yang panjang yang dialami  oleh salah satu peradaban besar di dunia ini. Dalam buku The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, Owen Chadwick menulis satu bab berjudul “On Liberalism”. Kata ‘liberal’ secara harfiah  artinya “bebas” (free), artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). “The liberal state,” tulis Chadwick, “must be the secular state.” 3
            Dalam sejarah Kristen Eropa, kata “secular” dan “liberal”  dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkeraman kekuasaan Gereja, yang sangat kuat dan hegemonik di Zaman Pertengahan.  Proses berikutnya bukan saja dalam bidang sosial-politik, tetapi juga menyangkut metodologi pemahaman keagamaan. Misalnya, muncul pemikiran Yahudi Liberal (Liberal Judaism), dengan tokohnya Abraham Geiger. 4 Begitu juga merebaknya pemikiran teologi liberal dalam dunia Kristen. Proses sekularisasi-liberalisasi agama, kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, termasuk Islam.
Mengapa Barat kemudian memilih jalan hidup sekular-liberal? Setidaknya, ada tiga faktor penting yang menjadi latar belakang, mengapa Barat memilih jalan hidup sekular dan liberal dan kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya ke seluruh dunia, termasuk di dunia Islam.  Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Kedua, problema teks Bible. Dan ketiga, problema teologis Kristen. Ketiga problema itu terkait satu dengan lainnya, sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya melahirkan sikap berpikir sekular-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat modern. 

Pertama, problem sejarah Kristen

Sejarah Kekristenan, kata Bernard Lewis, banyak diwarnai dengan perpecahan (skisma) dan kekafiran (heresy), dan dengan konflik antar kelompok yang berujung pada peperangan atau persekusi. Sejarah bermula sejak zaman Konstantine, dimana terjadi konflik antara Gereja Konstantinopel, Antioch, dan Alexandria. Lalu, antara Konstantinopel dan Roma; antara Katolik dan Protestan dan antara berbagai sekte dalam Kristen. Setelah konflik-konflik berdarah banyak terjadi, maka muncul kalangan Kristen yang berpikir, bahwa kehidupan toleran antar kelompok masyarakat hanya mungkin dilakukan jika kekuasaan Gereja untuk mengatur politik dihilangkan, begitu juga campur tangan negara terhadap Gereja. 5
            Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages). Mereka menyebutnya sebagai ‘Zaman Pertengahan’ (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen  sebagai institusi yang dominan dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan munculnya zaman reneissance sekitar abad ke-14. Karena itu, mereka menyebut zaman baru dengan istilah “renaissance” yang artinya “rebirth” (lahir kembali). Mereka seperti merasa, bahwa ketika hidup di bawah cengkeraman kekuasaan Gereja, mereka mengalami kematian. Sebab, ketika itu Gereja  yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Sejarah dominasi kekuasaan Gereja bisa ditelusuri sejak awal mula tumbuhnya Kristen sebagai agama negara di zaman Romawi. Besarnya kekuasaan yang dimiliki Gereja melahirkan berbagai penyimpangan.  Tahun 1887, Lord Acton seperti menyindir  hegemoni kekuasaan Gereja dan menulis surat kepada Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: “All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” 6
            Untuk memahami latar belakang persekusi yang sangat brutal terhadap kaum non-Kristen dan kelompok-kelompok heretics lainnya, yang kemudian melahirkan trauma keagamaan, perlu ditelaah sejarah dan latar belakang upaya Gereja di zaman Petengahan dalam membangun kekuatan hegemoniknya. Salah satu fenomena penting dalam sejarah Abad Pertengahan di Eropa adalah upaya Gereja Kristen untuk memperoleh dan memelihara kekuatan politiknya. Agama Kristen mulai mendapatkan peluang kebebasan – setelah beratus-tahun mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi – dari Kaisar Konstantine, yang pada tahun 313 M mengeluarkan Edict of Milan. 7 Dengan dikeluarkannya Edict of Theodosius pada tahun 392, agama Kristen memegang posisi sebagai agama negara (state-religion) dari Imperium  Romawi (Roman Empire). 8
            Di akhir masa Kekaisaran Romawi, ketika institusi-institusi kenegaraan Romawi mengalami kehancuran,  institusi Gereja meraih kekuatan dan signifikansinya. Organisasi Gereja tumbuh menjadi lebih kuat dan keanggotannya semakin meningkat. Ketika itu, Agama Kristen (Christianity) merupakan prinsip pemersatu dan Gereja menjadi insitusi yang dominan dan sentral. Tidak ada satu pun aspek kehidupan di Abad Pertengahan yang tidak tersentuh oleh pengaruh Gereja. 9
            Ketika Kekaisaran Romawi runtuh pada tahun 476, Gereja tetap mempertahankan sistem administrasi Romawi dan memelihara elemen-elemen peradaban Yunani-Romawi (Greeco-Roman civilization).  Sebagai agen pemersatu, Gereja menyediakan jawaban bagi masyarakat tentang konsep kehidupan dan kematian. Dalam kehidupan social yang menuju kehancuran ketika itu, Gereja merupakan satu-satunya institusi yang memberikanalternatif rekonstruksi kehidupan.  Karena itu, kemudian pengaruh Gereja meluas begitu cepat di seluruh daratan Eropa, melibas berbagai pengaruh pandangan dan kepercayaan tradisional Eropa. Sepanjang daratan Eropa, dari Italia sampai Irlandia, sebuah masyarakat baru, berpusat pada Kekristenan, terbentuk.  Selama Abad Pertengahan, ketika kota-kota mengalami kehancuran, biara-biara menjelma menjadi pusat-pusat kebudayaan, dan tetap bertahan sampai munculnya kembali kota-kota di masa kemudian. Ketika itu, biara-biara juga menyediakan perawatan dan bantuan bagi orang-orang sakit dan miskin serta menyiapkan tempat bagi para pengembara. 10
            Awal-awal Abad Pertengahan merupakan periode pembentukan institusi Kepausan. Gereja Romawi (Roman Church) mulai teorganisasi dengan baik di zaman Paus Gregory I (590-604) – yang dikenal sebagai “the Great”. Dialah yang membangun awal mula birokrasi kepausan masa Pertengahan dan memperkuat kekuasaan kepausan (papacy’s power).  Gregory menggunakan metode administrasi Romawi untuk mengorganisasikan kekayaan Gereja di Italia, Sicilia, Sardinia, Gaul, dan wilayah lainnya. Ia meperkuat otoritas kepausan atas bishops and para pastur lainnya, mengirimkan misionaris ke Inggris untuk menaklukkan Anglo-Saxons, dan melakukan aliansi dengan Perancis. Paus Gregory juga melakukan aktivitas ekonomi dengan mengimpor gandum untuk memberi makan prajurit Romawi dan mengirimkan pasukan melawan kelompok heretic Lombards. Karena itu, Greorius I,  dari sudut tertentu, dipandang sebagai “penyusun kekuatan politik kepausan” (creator of the political  power of the popes). Akhirnya, pada abad ke-8, aliansi antara Paus dan Raja Pippin dari Perancis, berhasil mendirikan “Kerajaan Kepausan” (Papal States) dan mengatur dukungan Paus untuk memberikan legitimasi terhadap keluarga Pippin.  Tahun 754,  Pippin berjanji untuk mengembalikan teritori patrimoni dari St. Peter the territories. Sebagai balasan, Paus Stephen III menjanjikan akan memberikan hukuman pengucilan (excommunicated) terhadap raja-raja Perancis yang tidak berasal dari keluarga Pippin. Tahun 800, Paus Leo III, membuat keputusan besar dalam politik kepausan, dengan meletakkan mahkota kerajaan kepada anak Pippin, Charlemagne, yang diangkat sebagai “Emperor of the Romans”. Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari Kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) ke Barat. 11
            Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan kemudian juga memicu konflik politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: negara dan Gereja.  Contoh yang menarik terjadi pada kasus konflik antara Paus Gregory VII dan Raja Henry IV pada paruh abad ke-11. Konflik bermula ketika Gregory melarang keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat gereja. Paus berargumen, bahwa konsep Gereja sebagai monarkhi berasal dari tradisi Imperium Romawi. Paus sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan bishops, mengadakan suatu Sidang Umum dan mengeluarkan peraturan moral dan keagamaan. Jika Paus mengucilkan seorang penguasa, maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar tubuh Kekristenan, dan karena itu ia tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen (Christendom). Raja Henry IV menolak klaim Paus tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang langsung dari Tuhan. Menghadapi tentangan itu, Gregory menyerukan kepatuhan pasif terhadap Henry IV. Pada akhir pertarungan, Henry  IV takluk dan dipaksa menemui Gregory di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya. Kasus ini menunjukkan keefektivan kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap Raja yang sangat besar kekuasaannya di Eropa. 12
            Kemenangan Gregory tampaknya meningkatkan moral Gereja dalam menghadapi segala sesuatu yang dipandang sebagai “musuh”. Apalagi, sejumlah penguasa Kristen juga berhasil merebut kembali daerah-daerah yang sebelumnya direbut oleh Muslim. Tahun 1091 Count Roger berhasil merebut Sicily. Pada tahun 1085, Kristen Spanyol, dengan bantuan tentara Perancis berhasil mempertahankan Toledo dari serangan Muslim.Paus dan bishops kemudian lebih jauh melangkah untuk mendorong masyarakat membentuk milisi-milisi. Salah satunya adalah Bishop Toul yang kemudian menjadi Paus Leo IX tahun 1049. Dua bulan setelah penobatannya, Paus Leo IX membentuk milisi Romawi untuk memerangi bangsa Norman yang mengancam menyerbu wilayahnya. Pada tahun 1053, ia sendiri yang memimpin pasukannya dalam peperangan. Dua puluh tahun kemudian, Paus Gregory VII menyerukan semua rakyat Eropa untuk membentuk milisi yang dia namakan sebagai “the Knight of St. Peter”. 13
            Di zaman hegemoni kekuasaan Gereja inilah lahir sebuah institusi Gereja yang sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya, yang dikenal sebagai “INQUISISI”.  Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal,  menggambarkan kejahatan institusi Inquisisi Kristen dalam sejarah sebagai berikut: “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrumen teror dalam Gereja Katolik sampai dengan akhir abad ke-17. Metode inquisisi ini juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan persekusi dan kontrol terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka”. (Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century. Its methods were also used by Protestants to persecute and control the Catholics in their countries). 14
Ada sebagian tokoh Gereja yang berusaha melakukan pembelaan (apologetic). Tentang upaya apologetik dalam soal Inquisisi itu, Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, mencatat, bahwa sikap itu hanya menambah kemunafikan menjadi kejahatan. (it merely added hypocricy to wickedness). Yang sangat mengherankan dalam soal ini adalah penggunaan cara siksaan dan pembakaran terhadap korban. Dan itu bukan dilakukan oleh musuh-musuh Gereja, tetapi dilakukan sendiri oleh orang-orang tersuci yang bertindak atas perintah wakil Kristus (Vicar of Christ).  Peter de Rosa mencatat: “How ever, the Inquisition was not only evil compared with the twentieth century, it was evil compared with the tenth and elevent when torture was outlawed and men and women were guaranteed a fair trial. It was evil compared with the age of Diocletian, for no one was then tortured and killed in the name of Jesus crucified.” (Betapa pun, inquisisi tersebut bukan hanya jahat saat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-20, tetapi ini juga jahat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-10 dan ke-11, saat dimana penyiksaan tidak disahkan dan laki-laki serta wanita dijamin dengan pengadilan yang fair. Ini juga jahat dibandingkan dengan zaman Diocletian, dimana tidak seorang pun disiksa dan dibunuh atas nama Jesus yang tersalib). 15
Ketika pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid. Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah.  Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila. Pasukan Perancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut. 16
            Henry Charles Lea, seorang sejarawan Amerika, menulis kejahatan Inquisisi di Spanyol dalam empat volume bukunya: A History  of the Inquisition of Spain, (New York: AMS Press Inc., 1988). Dalam bukunya ini, Lea membantah bahwa Gereja tidak dapat dipersalahkan dalam kasus Inquisisi, sebagaimana misalnya dikatakan oleh seorang tokoh Kristen, Father Gam, yang menyatakan: “The inquisition is an institution for which the Church has no responsibility.”  (Inquisisi adalah satu institusi dimana Gereja tidak memiliki tanggung jawab untuk itu). Ini adalah salah satu bentuk apologi di kalangan pemimpin Kristen. Lea menunjuk bukti sebagai contoh bahwa dalam kasus bentuk hukuman terhadap korban inquisisi, otoritas gereja mengabaikan pendapat bahwa menghukum kaum “heretics” (kaum yang dicap menyimpang dari doktrin resmi gereja) dengan membakar hidup-hidup adalah bertentangan dengan semangat Kristus. Tapi, sikap gereja ketika itu menyatakan, bahwa membakar hidup-hidup kaum heretics adalah suatu tindakan yang mulia. 17
            Ketika melakukan berbagai bentuk kekejaman itu, Gereja bertindak sebagai wakil Tuhan, dan mengatasnamakan Tuhan. Karena itu, kesalahan yang dilakukan Gereja adalah kesalahan pada agama itu sendiri. Ini berbeda dengan Islam, yang tidak mengenal institusi kekuasaan agama (Theokrasi), sebagaimana yang terjadi pada sejarah Kristen. Para pemimpin Gereja diakui haknya  untuk mengampuni dosa manusia.
Karena itu, tidaklah tepat jika konsep politik dalam Islam, yang diterapkan selama ratusan tahun, yakni konsep khilafah, disebut dengan istilah dalam tradisi Kristen, yaitu “theokrasi”. Abul A’la Maududi malah menyebut Theokrasi sebagai pemerintahan setan.  Padahal, ketika memegang hegemoni kekuasaan yang begitu besar, justru ketika itulah, terjadi berbagai penyalahgunaan kekuasaan, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan dari dalam tubuh Gereja sendiri. Mereka menyebutnya dengan istilah “reformasi”.
            Salah satu yang mendorong Martin Luther melakukan  pemberontakan terhadap Paus adalah praktik jual beli surat pengampunan dosa.  Pada 31 Oktober 1517, Marthin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (Ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman. Ia terutama menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” (indulgences) oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan geraja dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus. 18
Bahkan, kata Luther, kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki secara bersamaan. Kekuatan jahat dalam kehidupan haruslah memiliki tubuh dan nyawa. Nyawa dari kekuatan Anti-Kristus adalah Paus, daging dan tubuhnya adalah Turki…Bangsa Turki adalah bangsa yang dimurkai Tuhan. (Antichrist is the Pope and the Turk together. A beast full of life must have a body and soul. The spirit or soul of Antichrist is the Pope, his flesh and body the Turk … The Turk are the people of the Wrath of God). 19
            Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan. Pemberontakan demi pemberontakan terus berlangsung, sehingga dunia Kristen Eropa kemudian terbelah menjadi dua bagian besar, Katolik dan Protestan. Beratus-ratus tahun kedua agama ini bersaing dan saling melakukan berbagai aksi pembantaian. Kisah perebutan tahta di Inggris menarik untuk disimak, bagaimana Raja Henry VIII (1491-1547) memisahkan diri dari Paus dan membentuk Gereja sendiri, hanya karena Paus menentang perkawinannya dengan Anne Boleyn dengan menceraikan istrinya terdahulu, Catharine of Aragon. Tahta Inggris akhirnya jatuh ke tangan Protestan (Anglikan) setelah Vatikan gagal mencegah tampilnya Elizabeth I (1558-1603) sebagai ratu Inggris menggantikan Queen Mary  yang Katolik. Sebuah film berjudul “Elizabeth” yang dibintangi oleh Cate Blanchett menggambarkan perebutan tahta Inggris antara Katolik dan Protestan yang diwarnai dengan berbagai tindakan kejam yang di luar batas perikemanusiaan, baik yang dilakukan tokoh-tokoh Katolik maupun tokoh Protestan.
Di Perancis, pertarungan antara Katolik dan Protestan juga berlangsung sangat sengit. Salah satu kisah yang paling mengerikan adalah pembantaian kaum Protestan – terutama Calvinists --  di Paris, oleh kaum Katolik tahun 1572 yang dikenal sebagai “The St. Bartholomew’s Day Massacre”. Diperkirakan 10.000 orang mati. Selama berminggu-minggu jalan-jalan di Paris dipenuhi dengan mayat-mayat laki-laki, wanita, dan anak-anak, yang membusuk. 20
Perancis juga dikenal dengan Revolusi-nya (1789) yang dahsyat yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.  Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan.  Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Perancis. 21
Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu:, ialah: “Berhati-hatilah, jika anda berada didepan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind).”  22
Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan. Bukti-bukti penyimpangan kekuasaan politik oleh para penguasa agama di Eropa dengan mudah ditemukan. Pada tahap selanjutnya, mereka terus mencari dalil-dalil dan alasan teologis untuk memperkuat argumentasi sekularisasi, khususnya ditemukan pada ayat-ayat tertentu pada Bible. Ini adalah trauma Barat pada sejarah keagamaan mereka, yang sangat berbeda dengan pengalaman sejarah Islam, atau peradaban lainnya. Menghadapi serangan yang sangat kuat tersebut pihak Kristen akhirnya menyerah dan menerima proses sekularisasi sebagai bagian dari kenyataan. Bahkan, banyak yang berargumen bahwa sekularisasi adalah bagian dari ajaran Kristen itu sendiri. 23
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan. Seorang psikolog Barat, Scott Peck, menyatakan: “Sekali kata ‘religion’ disebutkan di dunia Barat, ini akan membuat orang berpikir tentang: … inquisisi, tahyul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, pembakaran dukun, larangan-larangan, ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, dan kegilaan. Apakah semua ini yang Tuhan lakukan untuk manusia atau apa yang manusia lakukan terhadap Tuhan. Ini merupakan bukti kuat bahwa percaya kepada Tuhan sering menjadi dogma yang menghancurkan.” 24
Persepsi tentang agama Kristen semacam itulah yang kemudian membentuk persepsi kolektif tentang perlunya dilakukan “sekularisasi” dalam kehidupan masyarakat. Agama (institusi Gereja) harus dipisahkan dari wilayah politik, karena kekuasaan Gereja yang absolut sudah terbukti menyelewengkan dan memanipulasi kekuasaan untuk kepentingan pemuka agama. Di zaman pertengahan, memang Gereja mendominasi wilayah kekuasaan masyarakat. Kemampuan Paus Urban II untuk menggalang kekuatan masyarakat Kristen Eropa menunjukkan bagaimana kuatnya pengaruh Gereja. Institusi Inquisisi juga merupakan bukti kuatnya cengkeraman kekuasaan Gereja tersebut. Kekuatan terpenting di Zaman Pertengahan adalah Gereja. Sebagai sentral kekuatan, Gereja membutuhkan penjagaan atas hegemoninya untuk memelihara kepentingan-kepentingannya. Maka, segala sesuatu yang dipersepsikan sebagai ancaman, haruslah dihancurkan.  Kadangkala, Gereja mencoba menyatukan masyarakat Kristen dengan menempatkan sesuatu sebagai “common enemy”, sebagaimana yang terjadi dalam Crusade, ketika Paus Urban II mengambarkan Muslim sebagai musuh Kristen. Institusi Inquisisi juga dibentuk dalam kerangka membasmi musuh-musuh Gereja. Apa yang dilakukan Gereja di Zaman Pertengahan dalam menghimpun dan mengkonsentrasikan kekuasaan (power) dapatlah dikatakan sebagai suatu bentuk pemeliharaan hegemoni. Paus sendiri ketika itu menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber kekuasaan bagi seluruh wilayah Kristen. Dalam hal kepercayaan Gereja,    bahwa bumi adalah pusat tata surya, Gereja pada abad ke-17 dan juga Inquisitor-General-nya, secara terbuka menganut kepercayaan bahwa seluruh alam semesta bergerak mengelilingi Mahkota Paus. 25  Robert N. Bellah mencatat, bahwa “The Pope in the early Middle Ages comes close to claiming to be the head of an international super state to which all secular political authorities had to bow.” 26 (Paus, di Abad-abad Pertengahan, hampir mengklaim sebagai ketua negara-super internasional, dimana semua penguasa politik sekuler harus tunduk padanya). Di Abad-abad  Pertengahan, Gereja memang merupakan kekuatan dominan dalam politik. Disamping memegang kekuatan agama, Gereja juga mengendalikan kekuatan besar dalam ekonomi. Di abad ke-10,  Gereja merupakan pemilik lahan terbesar di Eropa Barat. Ketika itu Gereja memiliki hampir sepertiga  wilayah Itali dan sejumlah besar kekayaan di wilayah lain. 27

Kedua, problema teks Bible

Problema ini berkaitan dengan otentisitas teks Bible dan makna yang terkandung di dalamnya. Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara al-Quran dengan Bible, dengan menyatakan, bahwa semuanya adalah Kitab Suci, dan semuanya mukjizat. Padahal, kalangan ilmuwan Barat yang jeli, bisa membedekan antara kedua Kitab agama itu. Teks al-Quran tidak mengalami problema sebagaimana problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam.” 28
Hebrew Bible (Kristen menyebutnya Perjanjian Lama), misalnya, hingga kini masih merupakan misteri. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization). Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi. 29
Perjanjian Baru (The New Testament) juga menghadapi banyak problem otentisitas teks. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Satu bukunya berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (Oxford University Press, 1985). Dalam bukunya yang lain, yang berjudul “A Textual Commentaary on the Greek New Testament”,  (terbitan United Bible Societies, corrected edition  tahun 1975), Metzger menulis di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya.
            Bahasa Yunani (Greek) adalah bahasa asal The New Testament. Melalui bukunya ini, Metzger menunjukkan, rumitnya problema kanonifikasi Teks Bible dalam bahasa Greek. Banyaknya ragam teks dan manuskrip menyebabkan keragaman teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya. Cetakan pertama The New Testament bahasa Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus. (Ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bible untuk melengkapinya.  Untuk Kitab Wahyu (Revelation) misalnya, ia gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. 30
            Dalam bukunya yang lain,  The Early Versions  of the New Testaments, Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul, “Limitation of Latin in Representing Greek”:  Although the Latin language is in general very suitable for use in making a translation  from Greek, there still remain certain features which can not be expressed in Latin.”  31
            Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bible dalam bahasa Greek. Teks in digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Greek yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bible dalam bahasa Greek. Dalam edisi Greek ini dikenal istilah  Textus Receptus  yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. 32 Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. (the way is open for the possible edition of another book or epistle to the New Testament canon). 33
Jadi, menurut Prof. Metzger, adalah mungkin menghadirkan edisi lain dari The New Testatement. Jelas, fakta semacam itu tidak terpikir kaum Muslimin, hingga kini. Apalagi kaum Muslim juga tidak mengalami problema bahasa al-Quran. Mereka masih membaca al-Quran dalam bahasa Arab dan beribadah dalam bahasa Arab, sesuatu yang tidak dapat dinikmati oleh kaum Kristiani pada umumnya. Bagaimana pun telitinya, satu terjemahan pasti tidak akan mampu mengekspresikan bahasa asalnya dengan tepat. Apalagi, jika terjemahan itu sudah dilakukan ke berbagai bahasa. Ambillah satu contoh ayat dalam Bible. Misal, Kitab 1 Raja-raja 11:1 dalam sejumlah versi Bible ditulis sebagai berikut: Versi Lembaga Alkitab Indonesia (2000) ditulis:  “Ada pun Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing. Disamping anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon, dan Het.” Dalam The Living Bible ditulis: “King Salomon married any other girls besides the Egyptian princess. Many of them came from nations where idols were worshipped – Moab, Ammon, Edom, Sidon and from the Hittites.”  Sedangkan Bible King James Version menulis: But King Solomon loved many strange women, together with the daughter of Paharaoh, women of Moabites, Ammonites, Edomites, Zidonians, and Hittites.” Ada pun The Bible Revised Standard Version menulis:  “Now King Solomon loved many foreign women; the daughter of Pharaoh, and Moabites, Ammonite, E’domite, Sido’niah, and Hittite women.”  Ada pun dalam edisi Latin ‘Vulgate’, ditulis: “rex autem Salomon amavit mulieres alienigenas multas filiam quoque Pharaonis et Moabitidas et Ammanitidas Idumeas et Sidonias et Chettheas.” 
Perhatikan, bagaimana sejumlah versi Bible menggunakan kata “mencintai” (loved/amavit), sedangkan The Living Bible menggunakan kata “married”. Faktanya, Salomon memang mengawini wanita-wanita asing itu. Kejahatan Salomon versi Bible digambarkan dalam Kitab 1 Raja-Raja 11:1-9, digambarkan perilaku Salomo yang tidak patut dilakukan oleh seorang nabi utusan Allah – dalam konsepsi Islam. Bagian dalam Bible ini diberi judul “Salomo Jatuh ke dalam penyembahan berhala”.
“(1) Ada pun Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing. Disamping anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon, dan Het. (2) Padahal tentang bangsa-bangsa itu Tuhan telah berfirman kepada orang Israel: “Janganlah kamu bergaul dengan mereka dan mereka pun janganlah bergaul dengan kamu, sebab sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah mereka. Hati Salomo telah terpaut kepada mereka dengan cinta. (3) Ia mempunyai tujuh ratus istri dan tiga ratus gundik; istri-istrinya itu menarik hatinya dari pada Tuhan. (4) Sebab pada waktu Salomo sudah tua, istri-istrinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada Tuhan, Allahnya, seperti Daud, ayahnya. (5) Demikianlah, Salomo mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, dewa kejijikan sembahan orang Amon, (6) dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan, seperti Daud, ayahnya. (7) Pada waktu itu Salomo mendirikan bukit pengorbanan bagi Kamos, dewa kejijikan sembahan orang Moab, di gunung di sebelah Timur Yerusalem dan bagi Molokh, dewa kejijikan sembahan bani Amon. (8) Demikian juga dilakukannya bagi semua istrinya, orang-orang asing itu, yang mempersembahkan korban ukupan dan korban sembelihan kepada allah-allah mereka. (9) Sebab itu Tuhan menunjukkan murkanya kepada Salomo, sebab hatinya telah menyimpang dari pada Tuhan, Allah Israel, yang telah dua kali menampakkan diri kepadanya.”
            Fakta semacam ini tentu tidak mudah dipahami, sebab dalam konsepsi Bible, penyembah berhala harus dijatuhi hukuman mati. Dalam Alkitab terbitan LAI, Kitab Ulangan 17:2-7 diletakkan di bawah judul “Hukuman Mati untuk penyembah Berhala”:
(2) Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, Allahmu, dengan melangkahi perjanjian-Nya, (3) dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau kepada matahari, atau bulan atau segenap tentara langit, hal yang telah Kularang itu; (4) dan apabila hal itu diberitahukan atas terdengar kepadamu, maka engkau harus memeriksanya baik-baik. Jikalau ternyata benar dan sudah pasti, bahwa kekejian itu dilakukan diantara orang Israel, (5) maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu keluar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus kau lempari dengan batu sampai mati. (6) Atas keterangan dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati; atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati. (7) Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.”

                       

Ketiga, Problema Teologi  Kristen


            Dr. C. Groenen ofm, seorang teolog Belanda, mencatat, bahwa “seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem”. Setelah membahas perkembangan pemikiran tentang Yesus Kristus (Kristologi) dari para pemikir dan teolog Kristen yang berpengaruh, ia sampai pada kesimpulan, bahwa kekacauan para pemikir Kristen di dunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural di Barat. “Kesimpang siuran itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia Barat,” tulis Groenen. 34
            Setelah membahas puluhan konsep para teolog besar di era Barat modern, Groenen memang akhirnya “menyerah” dan “lelah”, lalu sampai pada kesimpulan klasik, bahwa konsep Kristen tentang Yesus memang “misterius” dan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Sebab itu, jangan dipikirkan. Kata dia: “iman tidak tergantung pada pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus, relevansi dan kebenaran abadi-Nya, akhirnya hanya tercapai dengan hati yang beriman dan berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar dari otak manusia, meski otak itu sangat cerdas dan tajam sekali pun.” 35
Sepanjang sejarah peradaan Barat, terjadi banyak problema serius dalam perdebatan teologis. Di zaman pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk mengklarifikasi,  menjelaskan, dan menunjangnya. Sejumlah ilmuwan seperti Saint Anselm, Abelard,  dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara akal (reason) dan teks Bible (revelation). Sikap para ilmuwan dan pemikir abad pertengahan digambarkan:
“They did not reject Christian beliefs that were beyond the grasp of human reason and therefore could not be deduced by rational argument. Instead, they held thst such truths rested entirely on revelation and were to be accepted on faith. To medieval thinkers, reason did not have  an independent existence but ultimately had to acknowledge a supra-rational, superhuman standard of truth. They wanted rational thought to be directed by Christian ends and guided by scriptural and ecclesiastical authority.” 36

Problema yang kemudian muncul ialah, ketika para ilmuwan dan pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas Gereja, justru pada kedua hal itulah terletak problema itu sendiri. Disamping menghadapi problema otentisitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sejumlah ilmuwan mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengatahuan, seperti Gelileo Galilei (1546-1642) dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nicolaus Copernicus, dibakar hidup-hidup. 37
            Jika para ilmuwan dipaksa tunduk kepada doktrin teologis yang mereka sendiri sulit memahaminya, tentu muncul benturan pemikiran. Padahal, konsepsi teologis Kristen – terutama fakta dan posisi ketuhanan Yesus --  telah menjadi ajang perdebatan ramai di kalangan Kristen, sepanjang sejarahnya. Kelompok-kelompok yang tidak menyetujui doktrin resmi Gereja dicap sebagai heretics dan banyak diantaranya yang diburu dan dibasmi. Contohnya, adalah satu kelompok yang bernama Cathary yang hidup di Selatan Perancis. Kelompok Cathary adalah penganut Catharism, satu kelompok heresy radikal di Zaman Pertengahan. Cathary percaya bahwa karena daging adalah jahat, maka Kristus tidak mungkin menjelma dalam tubuh manusia. Karena itu, Kristus tidaklah disalib dan dibangkitkan. Dalam ajaran Cathary, Yesus bukanlah Tuhan, tapi Malaikat. Untuk memperhambakan manusia, tuhan yang jahat menciptakan gereja, yang mempertontonkan “sihirnya” dengan mengejar kekuasaan dan kekayaan. Ketika kaum ini tidak dapat disadarkan dengan persuasif, Paus Innocent III menyerukan kepada raja-raja untuk memusnahkan mereka dengan senjata, sehingga ribuan orang dibantai. 38
            Doktrin teologi Kristen tidaklah tersusun di masa Yesus, tetapi beratus tahun sesudahnya, yakni pada tahun 325 dalam Konsili Nicea. Adalah Kaisar Constantine yang memelopori Konsili Nicea, yang menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja. Konsili menjadikan Roma sebagai pusat resmi Christian orthodoxy. Kepercayaan yang berbeda dengan yang resmi dipandang sebagai heresy. Dalam Konsili ini, aspek-aspek Ketuhanan Yesus diputuskan melalui voting. Buku The Messianic Legacy,  mencatat, bahwa Kristen memang berhutang pada Constantine, tetapi tidak dapat dikatakan Constantine adalah seorang Kristen atau meng-Kristenkan Romawi. Cerita tentang ‘konversi’ Constantine diperdebatkan. Ia tetaplah penganut paganisme. Tuhannya adalah Sol Invictus, dewa matahari kaum pagan. Paganisme juga menjadi agama resmi Romawi ketika itu. Buku ini menyebut pengaruh paganisme Constantine terhadap Kristen. Tahun 321 M, keluar Edict yang menetapkan hari Minggu sebagai hari istirahat. Padahal, sebelumnya, Kristen tetap menghormati hari Sabtu. Sampai abad ke-4, hari kelahiran Yesus diperingati pada 6 Januari. Tapi, pada tradisi persembahan Sol Invictus, hari terpenting adalah 25 Desember. 39
The Interpreter’s Dictionary of the Bible menjelaskan, bahwa istilah ‘trinitas’ (Latin: trinitas, Inggris: trinity) merujuk pada pengertian: “the coexistence of Father, Son, and Holy Spirit in the Unity of the Godhead”. Istilah ini bukan merupakan istilah Biblical. Tapi, mewakili kristalisasi dari ajaran Perjanjian Baru. Dalam Matius 3:17 disebutkan: "Maka suatu suara dari langit mengatakan, "Inilah anakku yang kukasihi. Kepadanya Aku berkenan." Juga, Lukas 4:41 menyebutkan bahwa Yesus itu adalah Anak Allah."  Konsep Trinitas memang tidak mungkin dipahami dengan akal. Tokoh pemikir Kristen abad ke-13, Thomas Aquinas mengungkapkan dengan kata-kata: “… deum esse trinum et unum est solum creditum, et nullo modo potest demonstrative probari” (That God is three and one is only known by belief,  and it is in no way possible for this to be demonstratively proven by reason). 40
Sejak Konsili Nicea, problem serius dan kontroversial memang masalah ‘ketuhanan Yesus’. Bagaimana menjelaskan kepada akal yang sehat, bahwa Yesus adalah ‘Tuhan’ dan sekaligus ‘manusia’. Apa yang disebut kaum Katolik sebagai ‘Syahadat Nicea’, secara eksplisit mengutuk pemikiran Arius, seorang imam Alexandria yang lahir tahun 280. Arius – didukung sejumlah Uskup – menyebarkan pemahaman bahwa Yesus bukanlah Tuhan adalah tunggal, esa, transenden, dan tak tercapai oleh manusia. Yesus adalah ‘Firman Allah’ yang secara metafor boleh disebut ‘Anak Allah’ bukanlah Tuhan, tetapi makhluk, ciptaan, dan tidak kekal abadi. ‘Syahadat Nicea’ menyatakan:  “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada…” 41
            Tentang konsep ketuhanan Yesus, buku The Messianic Legacy mencatat, bahwa Kristen yang dikenal saat ini bukan berasal dari zaman Yesus, tetapi dari Konsili Nicea, yang dicapai melalui voting. (At Nicea Jesus’s divinity, and the precise nature of his divinity, were established by means of a vote. It is fair to state that Christianity as We know It today derives ultimately not from Jesus’s time, but from the Council of Nicea). 42
Soal ‘Syahadat Katolik’ juga menjadi perbincangan dan kontroversi hebat dalam sejarah Kristen. Konsili Efesus, tahun 431, melarang perubahan apa pun pada ‘Syahadat Nicea’, dengan ancaman kutukan Gereja (anathema). Namun, Konsili Kalsedon, tahun 451, mengubah ‘Syahadat Nicea’. Kutukan terhadap Arius dihapuskan. Naskah syahadat Konsili Kalsedon berasal dari konsili lokal di Konstantinopel tahun 381. Sebab, naskah edisi tahun 325 dianggap sudah tidak memadai untuk berhadapan dengan situasi baru. Kalangan teolog Kristen ada yang menyebut bahwa naskah tahun 381 adalah penyempurnaan naskah tahun 325, tanpa mengorbankan disiplin teologisnya. Naskah syahadat itu di kalangan sarjana disebut “Syahadat dari Nieca dan Konstantinopel” disingkat N-C. Naskah syahadat N-C ini hingga sekarang masih menjadi naskah syahadat penting dari kebanyakan Gereja Kristiani. Namun, pada Konsili Toledo III di Spanyol tahun 589, Gereja Barat melakukan tambahan frasa “dan Putra” (Filioque), pada penggal kalimat “dan akan Roh Kudus … yang berasal dari Bapa”. Penambahan itu dimaksudkan untuk menekankan keilahian dan kesetaraan antara Putra dengan Bapa. Paus, yang mulanya menolak penambahan itu, akhirnya menerima dan mendukungnya. Namun, Gereja Timur menolak, karena melanggar Konsili Efesus. Penambahan ini kemudian menjadi penyebab utama terjadinya skisma – perpecahan – antara dua Gereja (Barat dan Timur) pada abad ke-11. Konsili Vatikan II juga membuat perubahan kecil pada Syahadat N-C, dengan mengganti kata pembuka “Aku percaya” menjadi “Kami percaya”.43
            The Passion of theChrist. Hingga 2004, perdebatan seputar konsep teologi yang berpangkal pada konsep “ketuhanan” Yesus masih bisa disimak. Maraknya kontroversi terhadap film garapan Mel Gibson berjudul "The Passion of the Christ" pada awal 2004 menunjukkan, bagaimana konsep seputar masalah teologi Kristen in masih menjadi kontroversi hebat. Dalam teologi Kristen, peristiwa “penyaliban” (crucifixion) menjadi faktor mendasar,44  namun perdebatan seputar “siapa yang membunuh Yesus” masih berlangsung hebat. Film Gibson mendasarkan pada teks Bible, Yahudi-lah yang harus bertanggung jawab terhadap terbunuhnya Yesus. Vatikan sendiri membela film Gibson dan menyatakan, film itu sudah sesuai dengan Perjanjian Baru. "The Passion" mengisahkan sebagian kehidupan Yesus. Tetapi film itu dinilai menggambarkan bangsa Yahudi bertanggung jawab besar terhadap kematian Yesus. Paus menyatakan film itu sebagai “It is as It  was”, karena ceritanya memang banyak merujuk pada The New Testament. Namun, News Week edisi 16 Februari 2004 menulis, bahwa justru Bible itu sendiri yang boleh jadi merupakan sumber cerita yang problematis. (But the Bible can be a problematic source).  Jika Paus menyatakan film itu sesuai dengan apa adanya, sebagaimana paparan dalam Bible, justru dalam film itu ditemukan berbagai penyimpangan dari cerita versi Bible.
            Dalam Perjanjian Baru, memang dikatakan bahwa Yahudi bertanggung jawab terhadap pembunuhan Yesus. “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang.” (Roma, 11:28). Di antara New Testament, Matius dan Yohanes dikenal paling ‘hostile’ terhadap Judaisme. Yahudi secara kolektif dianggap bertanggung jawab terhadap penyaliban Yesus. “Dan seluruh rakyat itu menjawab: “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami.” (Matius, 27:25). Yahudi juga diidentikkan dengan kekuatan jahat. “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu.” (Yohanes, 8:44). Sikap-sikap anti-Yahudi yang dikembangkan tokoh-tokoh Gereja kemudian, adalah variasi atau perluasan dari tuduhan-tuduhan yang tercantum dalam Injil.
            Namun, kontroversi seputar penyaliban Yesus itu memang terus berlangsung. John Dominic Crossan, professor dalam Biblical Studies di DePaul University Chicago, menulis sebuah buku berjudul Who Killed Jesus? yang isinya membuktikan bahwa pemahaman tradisional terhadap terbunuhnya Yesus, yang digambarkan sebagai perbuatan kaum Yahudi, sebagaimana dipaparkan dalam Perjanjian Baru, bukan hanya salah, tetapi juga berbahaya. Ia juga mempertanyakan berbagai persoalan teologis yang mendasar, seperti “benarkah Yesus mati untuk menebus dosa-dosa manusia?” juga “apakah keimanan kita sia-sia jika tidak ada kebangkitan tubuh Yesus?” 
“Penyaliban” dan “Kebangkitan” adalah doktrin pokok dalam teologi Kristen. Namun, justru di sinilah terjadi perdebatan seru di kalangan teolog Kristen. John Dominic Crossan,  menulis, bahwa cerita tentang kubur Yesus yang kosong adalah “satu cerita tentang Kebangkitan dan bukan kebangkitan itu sendiri”. (Empty tomb stories and physical appearance stories are perfectly valid parables expressing that faith, akin in their own way to the Good Samaritan story. They are, for me, parables of  resurrection not the resurrection itself). Cerita tentang Yesus, seperti tertera dalam Bible, menurut Crossan, disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Yesus. Itulah yang dibuktikan oleh Crossan melalui bukunya tersebut. 45
            Perdebatan seputar Yesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok Yesus itu benar-benar ada atau sekedar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang pengikutnya William Benjamin Smith (1850-1934). 46 Bahkan, perdebatan seputar Yesus itu kadangkala sampai menyentuh aspek moralitas Yesus sendiri dalam aspek sexual. Marthin Luther sendiri dilaporkan menyebutkan, bahwa Yesus berzina sebanyak tiga kali. Arnold Lunn, dalam bukunya, The Revold Against Reason, (London: Eyre&Spottiswoode, 1950), hal. 233, mencatat: “Weimer quoted a passage from the Table-Talk, in which Luther states that Christ committed adultary three times, first with the woman at the well, secondly with Mary Magdalene, and thirdly with the woman taken adultary, “whom he let off so lightly. Thus even Christ who was so holy had to commit adultary before he died.”  Bahkan, The Times, edisi 28 Juli 1967, mengutip ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi tokoh-tokoh Gereja di Oxford tahun 1967: “Women were his friends, but it is men he is said to have loved. The stricking fact was that he remained unmarried, and men who did not marry usually had one of three reasons: they could not afford it; there were no girls, or they were homosexual in nature..” 47
Perdebatan seputar Yesus memang tidak berkesudahan. Padahal, di atas landasan ‘Ketuhanan Yesus’ inilah, teologi Kristen ditegakkan. Pada awal-awal kekristenan, mereka ingin menonjolkan aspek ketuhanan Yesus. Tetapi, teolog-teolog modern kemudian ingin menonjolkan aspek kemanusiaan Yesus, mendekati gagasan Arius yang dulu dikutuk Gereja.   Menyimak perdebatan tentang Yesus yang tiada henti itu, maka teolog Kristen seperti Groenen membuat teori “pokoknya”, bahwa meskipun pemikiran kaum Kristen tentang Yesus Kristus berbeda-beda, tetapi Yesus tetap tidak berubah. “Yesus yang satu dan sama sejak awal diwartakan dan – menurut keyakinan Kristen harus diwartakan – “sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8) dan “sampai ke akhir zaman” (Matius 28:20) kepada “segala makhluk” (Markus 16:15)”. Menurut Groenen, iman memang membutuhkan pemahaman (fides quaerens intellectum), tetapi iman mesti mendahului pemahaman dan selalu melampaui pemahaman. Teologi, kristologi, hanyalah sarana. Kristologi tidak membicarakan Yesus Kristus itu sendiri, tetapi pikiran orang tentang Yesus. 48
            Memang, persoalannya bukan pada diri Yesus – yang  memang hakikatnya tidak tergantung pada pemahaman manusia. Tetapi, yang jadi masalah bagi manusia adalah bagaimana memahami Yesus. Benarkah atau salahkah pemahamannya. Tuhan sendiri pada hekikatnya adalah Tuhan. Tidak berubah hakikat-Nya, apa pun pemahaman manusia tentang Dia. Tetapi, bagaimana manusia memahami Tuhan, di situlah masalahnya. Jika pemahamannya salah, maka dia pun menjadi salah, baik dalam pemikiran maupun tindakan.
Argumentasi Groenen semacam ini tentu sulit dipahami oleh kalangan teolog yang sejak dahulu kala berusaha merumuskan pemahaman tentang Yesus, namun tidak pernah mencapai titik temu. Kepelikan itu bisa dipahami, mengingat Yesus sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa dia adalah Tuhan. Paul Young mencatat, bahwa seluruh penulis Perjanjian Baru menekankan hakikat kemanusiaan Yesus. Ia lapar, haus, dan lelah, sebagaimana manusia lainnya. Ia juga punya emosi, bisa sedih dan senang. Tetapi, beratus tahun kemudian, Yesus dirumuskan dan disembah sebagai Tuhan. “This Jesus, a real human being, is the focus of Christian worship. Such worship contrasts sharply with all other great world religion,” tulis Young. Tentang kepelikan seputar ‘misteri Yesus’, Mark Twain membuat sindiran: “It’s not the parts of the Bible which I can’t understand that bother me, it’s the parts that I can understand.”  Bukan bagian Bible yang tidak dipahaminya yang meresahkannya, tetapi justru bagian yang ia pahami. 49
           
            Problema teologis Kristen, problema teks Bible, dan juga pengalaman Barat yang traumatis terhadap hegemoni Gereja selama ratusan tahun telah membentuk sikap ‘traumatis’ mereka terhadap Kristen. Cara pandang terhadap agama yang lahir dari peradaban Barat adalah konsep yang traumatis terhadap agama. Dari sinilah muncul paham sekularisasi – yang meskipun tidak membunuh agama, tetapi menempatkan agama pada pojok kehidupan yang sempit. Agama ditempatkan dalam wilayah personal dan membatasi wilayah kekuasaan mereka. Tak hanya itu, mereka juga melakukan proses liberalisasi dan dekonstruksi besar-besaran terhadap berbagai doktrin Kristen. Dalam bidang sosial-politik mereka lahirkan konsep sekularisme yang menemukan aplikasi penting pasca Revolusi Perancis, 1789. Dalam bidang Teologi, mereka mengembangkan konsep Teologi Inklusif dan Pluralis yang menolak klaim Kristen sebagai satu-satunya agama yang benar (extra ecclesiam nulla salus). Dalam bidang organisasi keagamaan, mereka menghantam konsep ‘formal religion’ dan mengembangkan konsep agama sebagai aktivitas. Dalam bidang kajian Kitab Suci, mereka mengembangkan ‘hermeneutika’ yang mendekonstruksi konsep Bible sebagai ‘The Word of God’ (dei verbum) dan mengembangkan metode historical criticism terhadap Bible.
            Melalui dominasi dan hegemoninya, Barat berusaha mengglobalkan konsep-konsep keilmuan dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pemikiran Islam. Proses liberalisasi dan sekularisasi di berbagai bidang yang terjadi di dunia Islam tidak lain adalah bagian dari globalisasi yang berangkat dari pengalaman dan realitas Barat dengan berbagai unsur yang membentuknya, seperti tradisi Judeo-Christian, tradisi Greek, dan unsur-unsur suku-suku bangsa Eropa. Sebagai satu peradaban besar yang masih eksis hingga kini, Islam memiliki banyak perbedaan fundamental dengan peradaban Barat.
            Jika perbedaan konsepsi dan sejarah antara teologi Kristen dengan Islam, benar-benar dikaji secara cermat, seyogyanya tidak perlu ada kalangan Muslim yang latah menyebarkan paham sekularisme, pluralisme agama, metode kajian Bible untuk al-Quran dan sebagainya. Penjiplakan yang membabi buta terhadap tradisi Kristen-Yahudi – hanya karena terpesona oleh kemajuan fisik peradaban Barat – bisa dikatakan sama dengan upaya bunuh diri (masuk ke lobang biawak) bagi Islam. Jika peradaban Barat kemudian mengembangkan dan memaksakan paham destruktif terhadap agama ini agar dianut oleh pemeluk agama-agama yang lain, dapatlah dimaklumi. Sebab, peradaban Barat pada hakikatnya memang ‘emoh agama’ atau ‘anti-agama’. Muhammad Asad (Leopold Weiss) mencatat, bahwa Peradaban Barat modern hanya mengakui penyerahan manusia kepada tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tuhannya yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, kenikmatan duniawi. Mereka mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban Romawi Kuno.  Konsep “keadilan” bagi Romawi, adalah ”keadilan” bagi orang-orang Romawi saja.  Sikap semacam itu hanya mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan pada konsepsi hidup yang sama sekali materialistik. Asad menilai, sumbangan agama Kristen terhadap peradaban Barat sangatlah kecil. Bahkan, saripati peradaban Barat itu sendiri sebenarnya ‘irreligious’. (… so characteristic of modern Western Civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to Islam or any other religion, because it is irreligious in its very essence). 50
            Karena itu, sungguh sulit dipahami dengan akal sehat, jika banyak cendekiawan dari kalangan Muslim yang latah dan ikut-ikutan perilaku Barat dalam ‘membunuh agama’ mereka. Jika mereka “masuk ke lobang biawak”, mengapa kaum Muslim harus mengikuti mereka?



1 Bernard Lewis, What Went Wrong?: Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002), hal. 115.
2 Pendapat Leeuwen dikutip dari buku Mark Juergensmeyer, The New Cold War?, (London: University of California Press, 1993), hal. 16-17.
3 Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975), hal. 27.
4 Tentang Abraham Geiger dan Liberal Judaism, lihat Max Wiener, Abraham Geiger  and Liberal Judaism, (The Jewih Publication Society of America, 1962).

5 Bernard Lewis, What Went Wrong?: Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002), hal. 115.

6 Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy,  (London: Bantam Press, 1991), hal. 11.
7 Dengan Edict tersebut, Constantine melarang persekusi terhadap semua jenis monoteisme di Romawi. Ia juga memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh gereja untuk menjadi bagian dari administrasi pemerintahan. Jasa Constantine dalam sejarah perkembangan Kristen diakui banyak pihak. Ia memelopori Konsili Nicea, 325 M, yang menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja. Konsili menjadikan Roma sebagai pusat resmi Christian orthodoxy. Kepercayaan yang berbeda dengan yang resmi dipandang sebagai heresy. Dalam Konsili ini, aspek-aspek Ketuhanan Jesus diputuskan melalui voting. (Lihat, Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, The Messianic Legacy, (New York: Dell Publishing, 1986), hal. 36-42.

8 Marvin Perry, Western Civilization,  hal. 128-129.

9 Joseph H. Lynch, The Medieval Church: A Brief History, (London: Longman, 1992), back cover description; Marvin Perry, Western Civilization, hal. 149.
10 Marvin Perry, Western Civilization, hal. 149-150.
11 Eric O. Hanson, The Catholic Church in World Politics, (Princeton: Princeton  University Press, 1987), hal. 23-24; Marvin Perry,  Western Civilization, hal. 151; Luigi Sturzo, Church and State, (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1962), hal. 52-54.

12 Eric O. Hanson,  The Catholic Church, hal. 24-26.

13 Karen Armstrong, Holy War…, hal. 62-63.

14  Lihat, Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991), hal. 456. Perlu dicatat, bahwa kekejaman Inquisisi dilakukan oleh Gereja, yang memegang otoritas atau wakil Tuhan. Kondisi in sangat berbeda dengan Islam yang tidak mengenal institusi kekuasaan agama (rahbaniyyah). Paus adalah Wakil Kristus (Vicar of Christ) yang diklaim mempunyai sifat infallible (tidak dapat salah). Dan ketika Paus melegalisasikan berbagai kekejaman dan penindasan, maka hal itu dilakukan sebagai wakil Tuhan. Inilah yang tidak terjadi pada tradisi Islam. Jika ada penguasa Islam yang melakukan kesalahan atau kezaliman, maka itu dilakukannya sebagai individu dan tidak atas legalitas keagamaan, meskipun ia mungkin menggunakan alasan keagamaan tertentu. Misal, ada sejumlah laporan yang menyebutkan adanya penguasa Muslim yang memaksa orang-orang Yahudi masuk Islam. Tindakan seperti ini, jika benar, jelas tidak dapat dibenarkan menurut ajaran Islam. Karen Armstrong mengakui, bahwa tidak ada tradisi persekusi dalam sejarah Islam. “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire,” tulis Armstrong. (Karen Armstrong, Holy War … hal. 44).

15 Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal. 246-247.
16  Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, hal. 239. Robert Held, dalam bukunya, “Inquisition”, memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dia paparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat  siksaan yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.

17  Henry Charles Lea,  A History  of the Inquisition of Spain, Vol. 1, hal. 35, Vol. 3, hal.183-185.
18 Lihat, Philip J. Adler, World Civilizations, (Belmont: Wasworth, 2000),  hal. 314-315. Tentang riwayat Martin Luther, lihat Roland H. Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther,, (Nashville: Abingdon Press, 1977).
19 Bernard Lewis, Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993), hal. 73-75.
20 Philip J. Adler, World Civilization, hal. 322. Seorang yang selamat dari pembantaian itu menggambarkan hari yang mengerikan itu: “Tidak seorang pun dapat mengukur berbagai kekejaman yang terjadi dalam pembunuhan-pembunuhan ini… Sebagian besar mereka dimusnahkan dengan belati. Tubuh mereka ditikam, anggota tubuhnya dirusak, mereka dihina dengan cemoohan yang lebih tajam dari pedang … mereka memukul sejumlah orang tua tanpa perasaan, membenturkan kepala mereka ke batu di dermaga dan kemudian melemparkan sosok setengah mati itu ke sungai. Seorang anak yang terbungkus pakaiannya diseret di jalan dengan tali yang dililitkan di lehernya oleh anak-anak berumur sekitar 9 atau 10 tahun. Seorang anak kecil lainnya, digendong oleh seorang penjagal, memain-mainkan jenggotnya dan tersenyum ke padanya, tetapi orang itu bukannya mengasihani si kecil, malahan kemudian menikamnya dengan belati dan kemudian melemparkannya ke sungai, yang menjadi merah karena darah dan tidak dapat kembali ke warna asalnya untuk waktu yang panjang”.

21 Marvin Perry, Western Civilization, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997),  hal.312. 

22 Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975), hal. 107-108.

23 Harian The Jakarta Post, edisi 26  Januari 2004, memuat profil Partai Damai Sejahtera (PDS), satu-satunya partai Kristen di Indonesia yang lolos seleksi sebagai kontestan Pemilu 2004. Beberapa program partai ini diantaranya adalah:  kebebasan beragama dan proteksi terhadap kebebasan tersebut (Freedom of religion and protection for that freedom) dan menjamin pemisahan antara negara dengan agama (to ensure separation of state and religion). PDS adalah partai misionaris yang dipimpin seorang pendeta bernama Ruyandi Hutasoit. Program sekularisasi pihak Kristen ini sebenarnya bertentangan dengan hasil pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, yang menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar dari Geraja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen  bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Geraja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional. (Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: Finnish Missionary Society, 1980), hal. 42-50.

24 Scott Peck, The Road Less Travelled, (London: Arrow Books Ltd, 1990), hal. 237-238. Pendapat Peck dikutip dari tulisan Dr. Fatimah Abdullah berjudul “Konsep Islam sebagai Din, Kajian terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN al-Attas, di Majalah Islamia, edisi ke-3, tahun 2004).


25 Robert Lomas, The Invisible College, (London: Headline Book Publishing, 2002), hal.  20.
26 Robert N. Bellah and Philip E. Hammoud, Varieties of Civil Religion, (New York: Harper & Row Publishers,  1980), hal. xi.
27 Marvin Perry, Western Civilization, hal. 169.
28 Norman Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, (Oxford:Oneworld Publications, 1997), hal. 53. 

29 Richard Elliot Friedman, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989), hal. 15-17.

30 Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”,  (Stutgard: United Bible Societies, 1975), hal. xiii-xxi. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972), hal. 40.

31 Bruce M. Metzger, The Early Versions  of the New Testaments, (Oxford: Clarendon Press, 1977), hal. 362-365.

32 Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”,  hal. xxii-xxiv.

33 Bruce M. Metzger, The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance, (Oxford:Clarendon Press, 1987), hal. 273.

34 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hal. 286.

35 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi…, hal. 285.

36 Marvin Perry, Western Civilization: A Brief History, (New-York: Houghton Mifflin Company, 1997),  hal. 185-186.

37 E.A. Livingstone, Oxford Concise Dictionary of Christian Church, (Oxford: Oxford University Press, 1996). Tentang problema teks Bible, lihat artikel penulis “Hermeneutika dan Problema Teks Bible” (ISLAMIA  edisi perdana, 2004).

38 Marvin Perry,  Western Civilization, hal. 175;  The Encyclopedia Britannica, (London: The Encyclopaedia Britannica Company Ltd., 1926).

39 Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, The Messianic Legacy, (New York: Dell Publishing, 1986), hal. 36-42.
40 The Interpreter’s  Dictionary of the Bible, (Nashville: Abingdon Press, 1989; Douglas C. Hall, The Trinity, (Leiden:  EJ Brill, 1992), hal. 67-68.

41 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi…, hal. 126-127. Teks ‘Syahadat Nicea’ dikutip dari buku Konsili-konsili Gereja karya Norman P. Tanner, hal. 36-37. Bandingkan teks ini dengan buku “Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik: “Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta hal-hal yang kelihatan dan tak kelihatan, Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah, Terang dari Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang pertama lahir dari semua ciptaan, Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala abad ... “ (Alex I. Suwandi PR, Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 9-10.

42 The Messianic Legacy, hal. 40.

43 Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja, hal. 35-41
44 Paul Young, dalam Christianity, menulis, bahwa tanpa ‘resurrection’, maka tidak ada ‘kekristenan’. Ibarat potongan-potongan gambar (jigsaw), maka jika resurrection dibuang, jigsaw itu tidak akan membentuk apa yang disebut sebagai Christianity. (We can not remove a portion of the Christian jigsaw labelled ‘resurrection’ and leave anything which is recognizable as Christian faith. Subtract the resurrection and you destroy the entire picture.” (Paul Young, Christianity, ((London: Hodder Headline Ltd., 2003), hal. 38.

45 Lihat, John Dominic Crossan, Who Killed Jesus (New York: HarperCollins Publishers, 1995), hal. 216-217.

46 Lihat, Howard Clark Kee, Jesus in History, (New York: Harcourt, Brace&World Inc, 1970), hal. 29.

47  Lihat, Muhammad Musthafa al-A’zhami,  The History of The Quranic Text, from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), hal. 269.

48 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi…, hal. 13, 286.

49 Paul Young, Christianity, hal. 15-19.
50 Muhammad Asad, Islam at The Crossroads,  (Kuala Lumpur: The Other Press), hal. 26-29. Edisi pertama buku ini dicetak tahun 1934 oleh Arafat Publications Delhi and Lahore.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar