31 Mar 2012

Tafsir Ahkam oleh Muhammad Hadidi


1.      Surat Ali Imran ayat 28-30 larangn Mengangkat Pemimpin Dari  Orang Kafir

  (28) Janganlah mengambil orang-orang yang mukminin orang­orang yang kafir jadi pemimpin lebih daripada orang-orang yang beriman. Dan barang siapa, yang berbuat demikian itu maka tidaklah ada dari Allah sesuatu juapun. Kecuali bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas. Dan Allah memperingatkan, kamu benar-benar akan diriNya.Dan kepada Allahlah tujuan kamu.

    (29) Katakanlah: Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam dada kamu, ataupun kamu nampakkannya, namun Allah mengetahui­nya juga, dan Diapun mengetahui apa yang ada disemua langit dan apa yang di bumi. Dan Allah atas tiap­tiap sesuatu Maha Kuasa.

   (30) (Ingatlah) akan hari yang tiap-tiap orang akan mene­rima ganjaran amal baik yang telah tersedia. Dan amalan-amalan yang buruk­pun, inginlah dia (kiranya) di antara balasan amal buruk­nya itu dengan dirinya diantarai oleh masa yang jauh. Dan Allah mempe­ringatkan kamu benar-benar akan dirNya. Dan Allah amatlah sayang kepada hamba-hambanya.
    

v  Tafsirnya Ibnu kasir sebagai berikut :

لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنينَ
"Janganlah mengambil orang-orang yang mu'iminin akan orang-orang kafir jadi pemimpin , lebih daripada orang-orang yang beriman." (pangkal ayat 28).
    Di sini terdapat perkataan aulia'. Arti kata wali, yang berarti pemimpin atau pengurus atau teman karib, ataupun sahabat ataupun pelindung. Di surat al-Baqarah ayat 256 kita telah diberikan pegangan, bahwasanya wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung dan pengurus orang yang beriman hanya Allah. Di ayat itu Tuhan memberikan jaminannya sebagai wali, bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari gelap kepada terang. Dan di dalam ayat itu juga diterangkan bahwa wali orang yang kafir adalah Thaghut dan Thaghut itu akan mengeluarkan mereka dari terang kepada gelap.
     Maka di dalam ayat yang tengah kita bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman, agar mereka jangan mengambil or­ang kafir menjadi wali. Jangan orang yang tidak percaya kepada Tuhan dijadikan wali sebagai pemimpin, atau wali sebagai sahabat. Karena akibatnya kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam suasana thaghut Kalau dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya menyembah thaghut. Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan diajaknya kepada jalan sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.
v  Pendapat Ulama Mengenai Ayat di Atas
      Menurut Hathib bin Abi Balta'ah termasuk sahabat besar, namun demikian sekali-sekali orang besarpun bisa terperosok kepada satu langkah yang merugikan negara dengan tidak disadari, karena lebih mengutamakan memandang kepentingan diri sendiri. Maka dalam surat al-Mumtahanah ayat 1 diperingatkan supaya orang-orang beriman jangan mengambil orang kafir menjadi wali, karena menumpahkan kasih-sayang.
v   Asbabun Nuzul Ayat Diatas
      Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu Abbas berkata: "Al-Hajjaj bin 'Amr mengikat janji setia kawan dengan Ka'ab bin al-Asyraf (pemuka Yahudi yang terkenal sebagai penafsir) dan Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid. Ketiga orang ini telah bermaksud jahat hendak mengganggu kaum Anshar itu lalu ditegur oleh Rifa'ah bin al-Mundzir dan Abdullah bin Jubair dan Sa'ad bin Khatamah, supaya mereka menjauhi orang-orang Yahudi yang tersebut itu. Hendaklah mereka berawas diri dalam perhubungan dengan mereka, supaya agama mereka jangan difitnah oleh orang-­orang Yahudi itu. Tetapi orang-orang yang diberi peringatan itu tidak memperdulikannya." Inilah kata Ibnu Abbas yang menjadi sebab turunnya ayat ini.
     Ada lagi suatu riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari beberapa jalan riwayat, bahwasanya tafsir ayat ini ialah bahwa Allah melarang orang-or­ang yang beriman bersikap lemah-lembut terhadap orang kafir dan mengambil mereka jadi teman akrab melebihi sesama beriman, kecuali kalau orang-orang kafir itu lebih kuat daripada mereka. Kalau demikian tidaklah mengapa memperlihatkan sikap lunak, tetapi hendaklah tetap diperlihatkan perbedaan di antara agama orang yang beriman dengan agama mereka. Untuk mendekatkan kepada faham kita, bacalah pula tafsir surat al-Mumtahanah (Surat 60 ayat 1). Seorang sahabat Nabi yang terkemuka, pernah turut dalam peperangan Badar, bernama Hathib bin Abi Balta'ah, seketika Rasulullah saw menyusun kekuatan buat menaklukkan Makkah, dengan secara diam-diam dan rahasia telah mengutus seorang perempuan ke Makkah, membawa suratnya kepada beberapa orang musyrikin di Makkah, menyuruh mereka bersiap-siap, sebab Makkah akan diserang.
Maksudnya ialah untuk menjaga dirinya sendiri. Sebab kalau serangan itu gagal, dia sendiri tidak akan ada yang memperlindunginya di Makkah. Dia tidak mempunyai keluarga besar di Makkah, seperti sahabat­sahabat rasulullah s.a.w, yang lain. Dengan mengirim surat itu dia hendak mencari perlindungan. Syukurlah Tuhan memberi isyarat kepada Rasulullah tentang kesalahan Hathib itu, sehingga beliau suruh kejar perempuan itu, sampai digeledah surat itu di dalam sanggulnya. 'Umar bin Khattab telah meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh Hathib karena perbuatannya yang dipandang berkhianat itu. Untuk kepentingan diri sendiri dia telah membuat hubungan dengan orang kafir. Perbuatannya itu salah. Sebab dia telah membocorkan rahasia peperangan, syukurlah suratnya itu dapat ditangkap. Kalau bukanlah karena jasanya selama ini, terutama karena dia telah turut dalam peperangan Badar, niscaya akan berlakulah atas dirinya hukuman berat.

وَ مَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ في‏ شَيْ‏ءٍ
"Dan barangsiapa yang berbuat demikian itu , maka tidaklah ada dari Allah sesuatu juapun."
Tegasnya, dengan sebab mengambil wali kepada kafir, baik pimpinan atau persahabatan, niscaya lepaslah dari perwalian Allah, putus dari pimpinan Tuhan, maka celakalah yang akan mengancam.
إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقاةً
"Kecuali bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas."
         Beratus-ratus tahun lamanya negeri-negeri Islam banyak yang dijajah oleh pemerintahan yang bukan Islam, karena terpaksa. Karena tergagah, karena senjata untuk melawan dan kekuatan untuk bertahan tidak ada lagi. Maka tetaplah larangan pertama, yaitu tidak menukar wali dari Allah kepada mereka. Kalau ini tidak dapat dinyatakan keluar, hendaklah disimpan terus di dalam hati dan hendaklah selalu awas sebenar-benar awas, supaya dengan segala daya-upaya bahaya mereka itu untuk membelokkan dari Allah kepada Thaghut dapat ditangkis. Pendeknya , sampai kepada saat yang terakhir wajib melawan , walaupun dalam hati.




2.      Surat An-Nisa Ayat 2-3 Membahas Tentang Poligami Dalam Islam
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوب كَبِيرًا (2) وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)
Artinya:
     Dan berikanlah kepada anak-anak yatim itu harta-harta mereka. Dan janganlah kalian mengganti yang buruk dengan yang baik, jangan mencampurkan harta mereka ke dalam harta kalian, sesungguhnya (perbuatan itu) merupakan dosa yang besar.Dan apabila kalian takut tidak bisa berbuat adil kepada anak-anak perempuan yang yatim (untuk kalian jadikan istri), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kalian senangi, dua atau tiga atau empat. Bila kalian takut tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah satu perempuan saja atau budak-budak kalian. Yang demikian itu lebih membuat kalian tidak berbuat zhalim.( An-Nisa’ 2-3)

v   Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 2-3
   Ayat 2.
    Ayat ini ditujukan untuk para pengurus anak-anak yatim. Baik itu individual ataupun di bawah satu kelompok atau yayasan. Ayat ini berisi, peringatan dari Allah untuk memberikan harta anak-anak yatim sesuai dengan hak mereka dan tidak menguranginya sama sekali. Larangan dari Allah untuk mengambil harta anak yatim yang baik-baik dan digunakan untuk kepentingan diri sendiri sedangkan anak-anak yatim malah diberi yang buruk-buruk,  larangan untuk mencampur harta kita dengan harta anak yatim. Mengapa? Karena perbuatan tersebut akan menyebabkan berbagai kedholiman yang merugikan hak-hak anak yatim.
Ayat 3.
   Terkadang pengasuh anak yatim perempuan ada yang tertarik dengan anak yatim tersebut. Mungin karena cantiknya atau hartanya. Boleh saja menikahi mereka. Tetapi kalau dikhawatirkan tidak bisa bersikap adil setelah menikahinya, maka sebaiknya jangan menikahi anak yatim tersebut. Sebaiknya menikahi perempuan-perempuan lain yang menyenangkan dan yang kamu sukai, dua, tiga, empat, tapi jangan lebih, Akan tetapi, bila di khawatirkan tidak bisa adil terhadap istri yang lebih dari satu, maka menikahlah dengan satu perempuan saja, atau dengan budak kalian. Hal yang demikian lebih membuat kalian bisa berlaku adil dan tidak menzhalimi orang lain. Untuk lebih rincinya sbb:

1.        الْيَتَامَى  adalah bentuk jamak dari al-yatiim, yang berarti anak yatim. Yatim secara bahasa diartikan dengan yang ditinggal oleh bapaknya baik sebelum atau sesudah baligh. Tetapi menurut pengertian syara’, yatim adalah anak yang belum baligh dan ditinggal mati oleh bapaknya. Yatim berlaku untuk anak lelaki atau perempuan. Bila ditinggal mati oleh ibu, seorang anak tidak dinamakan yatim. Karena fungsi bapak sebagai punggung kehidupan dan  pengayom keluarga masih tetap berjalan. Selain itu kondisi seorang anak yang ditinggalkan oleh ayah secara sosial ekonomi sangat berbeda dengan ditinggalkan oleh seorang ibu.
2.       وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ  dan berikanlah kepada anak-anak yatim itu harta-harta mereka. yang dimaksud dengan pemberian di sini bukan untuk dipasrahkan kepada mereka, karena mereka masih kecil, belum bisa menggunakan harta mereka sendiri dengan benar. Yang dimaksud dengan pemberian di sini adalah menjaga dan merawat harta mereka supaya tidak habis sehingga bisa diberikan kepada mereka bila sudah tiba waktunya nanti.
3.        وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ  Janganlah kalian itu menukar harta kalian yang buruk (berkualitas rendah) dengan harta anak yatim yang baik. Kalian menikmati enaknya harta anak yatim sedangkan mereka kalian beri yang buruk-buruk dari harta kalian. Ringkasnya, Allah melarang segala jenis dan bentuk kezhaliman terhadap harta anak yatim.

4.      Kita harus berhati-hati jangan sampai harta kita tercampur dengan harta anak-anak yatim yang kita urus. Sebab, apabila harta mereka itu tercampur dengan harta kita, maka ditakutkan kita nanti akan memakan harta mereka dan mereka terzhalimi. Padahal dalam surat Al-Ma’un disebutkan bahwa:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2)

    Apa pendapatmu tentang orang yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak yatim (2).
v  Pendapat Ulama Menurut Imam al-Alusi dalam tafsirnya, yang dimaksud menghardik anak yatim dalam ayat (QS. Al-Dluha: 9). Adalah segala bentuk ucapan maupun perbuatan yang menyakiti dan menghina anak yatim termasuk berwajah masam, berbicara kasar (Tafsir al-Alusi, 30/163). Apalagi sampai memakan hartanya tanpa hak, menzalimi haknya, tidak memberi makanan dan memperdagangkannya. 
5.       Rasulullah saw. sangat menghargai dan menyayangi anak-anak yatim. Sehingga, besok di akhirat beliau menjanjikan kelebihan bagi orang yang mau menyantuni anak yatim:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى


Artinya: Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang menanggung anak yatim baik itu kerabatnya atau dari orang lain, aku dan dia seperti 2 hal ini.” Malik memberi isyarat dengan jari telunjuk dan tengahnya. (H.R. Muslim)

Ayat 3:
1.      Seorang lelaki yang mengasuh anak yatim perempuan boleh saja menikahi anak yatim yang dia asuh bila dia tertarik pada anak yatim tersebut. Namun, apabila dia merasa nanti setelah menikah malah akan menzhaliminya dengan berbuat tidak adil padanya, maka sebaiknya dia tidak menikah dengan anak yatim tersebut. Hendaklah dia menikahi perempuan-perempuan lain dan menarik menurut dirinya. Boleh saja menikahi 2 atau 3 atau 4 perempuan. Adapun selebihnya tidak diperbolehkan. Berbuat zhalim terhadap anak yatim misalnya dengan tidak memberikan mahar yang selayaknya atau tidak menyerahkan harta yang seharusnya menjadi harta istrinya (bekas yatim). Intinya menikahi anak yatim yang menjadi asuhannya menjadi haram, apabila dikhawatirkan akan terjadi kedhaliman terhadap anak tersebut.

2.    وَإِنْ خِفْتُمْ  dan kalau kalian khawatir. Kata khawatir di sini ada makna ‘tahu’. Jadi bukan hanya khawatir saja. Dia juga tahu bahwa bila dia berpoligami, dia tidak akan bisa adil. Dia tahu kalau dia menikahi yatim, dia tidak bisa adil. Maka dari itu, dia menghindarinya. (tafsir Thanthawi)

3.    فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ  maka nikahilah perempuan-perempuan yang kalian sukai. Kalimat ini memang berupa perintah. Tetapi tidak setiap perintah itu bermakna wajib. Dalam ayat ini perintah untuk menikah lebih dari satu wanita adalah mubah. Hal sama dengan perintah makan dan minum yang terdapat dalam surah al-`Araf:31.

4.    Huruf waw dalam مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ  berarti atau bukan dan. Sehingga batas maksimal untuk poligami adalah 4. Tidak boleh lebih dari itu. Lantas mengapa Rasulullah saw mempunyai 11 istri? Itu hanya khusus untuk Rasulullah saw. ada sebagian sunnah beliau yang tidak boleh ditiru oleh umat beliau. Salah satunya adalah ini.

6.      Apabila kalian tidak menjamin bisa berbuat adil kepada istri yang lebih dari satu, maka hendaknya kalian menikah hanya dengan satu istri saja. Tetapi ini bukan berarti mengingkari dan melarang poligami. Yang bisa menjamin keadilan untuk istri yang lebih dari satu, maka tidak ada larangan baginya. Setiap orang yang bertaqwa kepada Allah ia lebih tahu terhadap kemampuan yang dimiliki. Bukan hanya sekedar memenuhi keingainan berpoligami.  Berpoligami boleh-boleh saja. Asal hal kedepan juga harus dipikirkan; bisa adil atau tidak dan bisa mencukupi lahir batin atau tidak. Tidak boleh berpoligami hanya sekadar menuruti hawa nafsu saja.
3.     Hukum Perkawinan dengan orang Non- Muslim

وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلاَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {221
     Artinya :“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221).
Tafsir Ayat : 221
      Maksudnya, { وَلاَ تَنْكِحُوْا } “Dan janganlah kamu menikahi” wanita-wanita, { الْمُشْرِكَاتِ } “musyrik” selama mereka masih dalam kesyirikan mereka, { حَتَّى يُؤْمِنَّ } “hingga mereka beriman”; karena seorang wanita mukmin walaupun sangat jelek parasnya adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik walaupun sangat cantik parasnya. Ini umum pada seluruh wanita musyrik, lalu dikhususkan oleh ayat dalam surat al-Maidah tentang bolehnya menikahi wanita ahli Kitab, sebagaimana Allah berfirman,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِاْلإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ صَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلُُّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ {5}
    “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah : 5)
      { وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنَّ } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” Ini bersifat umum yang tidak ada pengecualian di dalamnya. Kemudian Allah menyebutkan hikmah dalam hukum haramnya seorang mukmin atau wanita mukmin menikah dengan selain agama mereka dalam firmanNya, {       أُوْلئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ } “Mereka mengajak ke neraka”, yaitu, dalam perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan kondisi-kondisi mereka. Maka bergaul dengan mereka adalah merupakan suatu yang bahaya, dan bahayanya bukanlah bahaya duniawi, akan tetapi bahaya kesengsaraan yang abadi. Dapat diambil kesimpulan dari alasan ayat melarang dari bergaul dengan setiap musyrik dan pelaku bid’ah; karena jika menikah saja tidak boleh padahal memiliki maslahat yang begitu besar, maka hanya sebatas bergaul saja pun harus lebih tidak boleh lagi, khususnya pergaulan yang membawa kepada tingginya martabat orang musyrik tersebut atau semacamnya di atas seorang muslim seperti pelayanan atau semacamnya.
    Dalam firmanNya, { وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)” terdapat dalil tentang harus adanya wali dalam nikah. [ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ ] “Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan”, maksudnya, menyeru hamba-hambaNya untuk memperoleh surga dan ampunan yang di antara akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala siksaan. Hal itu dengan cara mengajak untuk melakukan sebab-sebabnya berupa amal shalih, bertaubat yang sungguh-sungguh, berilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya.{ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ } “Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya)” maksudnya, hukum-hukumNya, dan hikmah-hikmahnya, { لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ } “k epada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Hal tersebut mewajibkan mereka untuk mengingat apa yang telah mereka lupakan dan mengetahui apa yang tidak mereka ketahui serta mengerjakan apa yang telah mereka lalaikan.
Kesimpulan :
  •    Diharamkan bagi seorang mukmin menikahi wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahli Kitab (baik Yahudi ataupun Nashrani) sebagaimana di nyatakan dalam firman Allah Ta’ala yang tersebut diatas (“…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik….” (QS. Al-Maidah : 5)), akan tetapi walaupun hal itu dibolehkan yang lebih utama adalah hendaknya seorang mukmin tidak menikah dengan mereka (wanita ahli kitab), karena akan berakibat kepada anak keturunannya (akan mengikuti agama dan akhlak ibunya yang musyrikah), atau bisa jadi berakibat buruk bagi dirinya, karena kecantikan, kecerdasan, atau akhlaknya yang akan menjadikan laki-laki tersebut hilang akal sehingga menyeretnya kepada kekufuran.

  •    Terdapat kaidah ‘Berlakunya sebuah hukum itu tergantung ada atau tidak adanya penyebab’, karena dalam firman Allah “..sebelum mereka beriman..”. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Ketika label –musyrikah- pada seseorang telah hilang maka halal dinikahi, dan sebaliknya ketika label –musryikah- masih ada maka haram menikahinya’. Ayat diatas menunjukkan bahwa seorang suami adalah ‘wali’ bagi dirinya. Diharamkan bagi seorang wanita muslimah menikah dengan seorang kafir secara mutlaq tanpa terkecuali. Baik dari Ahli Kitab dari lainnya, dalam firman Allah yang lain ditegaskan : “…. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka….” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
  •    Syarat adanya seorang wali bagi seorang wanita ketika menikah, sebagaimana firmanNya “…Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman…”, ayat tersebut ditujukan untuk para wali bagi wanita mukminah, dengan demikian tidak sah hukumnya menikah tanpa wali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan dalam sabda beliau, “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali”, dalam hadits shahih riwayat Abu Daud beliau bersabda, “Wanita mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, batal, batal (3x).”.


4.     Hukum Haramnya memakan Daging Babi


Al-Baqarah Ayat 172-173
يايهاالذين امنواكلوامن طيبت مارزقنكم واشكروالله ان كنتم اياه تعبد ون
انما حرؐم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير ومااهلَ به لغيرالله ۚ فمن اضطر غير با غ وَلاعادفلا اشم عليه ۗ انَ الله غفورحيم
  
 

     Artinya “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”. “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembilih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Tafsir ayat
   Penjelasan tentang makanan-makanan yang di haramkan tersebut dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik di Mekkah maupun di Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang di cabut sendiri nyawanya oleh Allah.
    Tafsir Al-Baqarah Ayat  236-237 Tentang Talaq Sebelum Mencampuri dan telah Menyebutkan Mahar
    Setelah menjelaskan tentang hukum yang terkait dengan talak sebelum mencampuri dan belum menentukan mahar, dalam ayat berikut ini Allah Ta’ala menjelaskan tentang hukum talak sebelum mencampuri dan telah menyebut atau menentukan mahar, serta hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengannya. Allah Ta’ala berfirman.
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَن تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِ.

   Artinya: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan." (Al-Baqarah: 237).
Tafsir Ayat : 237
    Yaitu apabila kalian mentalak istri-istri kalian sebelum bercampur dan setelah menentukan maharnya, maka wanita-wanita yang diceraikan itu memiliki hak dari mahar yang telah ditentukan tersebut setengahnya dan bagi kalian setengahnya lagi. inilah yang wajib selama tidak ada kata maaf maupun kelapangan dada, di mana wanita itu memaafkan (haknya yang) setengah tersebut untuk diberikan kembali kepada suaminya tersebut apabila maafnya itu sah adanya, { أَوْ يَعْفُوَا الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ } "atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah", yaitu suami menurut pendapat yang paling benar karena ditangannyalah tergantung keputusan melepas ikatan nikah itu, dan karena wali tidak sah memaafkan apa yang wajib untuk wanita, karena posisinya bukan orang yang berhak untuk itu dan tidak pula wakil dalam hal itu, pendapat lain berkata, bahwa yang memegang ikatan nikah itu adalah ayah, dan itulah yang ditunjukkan oleh lafazh ayat yang mulia ini .
   Kemudian Allah menganjurkan untuk memaafkan dan bahwasanya tindakan memaafkan itu lebih dekat kepada ketakwaan kepadaNya, karena hal itu adalah kebajikan yang mengakibatkan kelapangan dada, dan juga karena manusia itu tidaklah sepatutnya melalaikan dirinya untuk berbuat kebaikan dan hal yang layak, lalu melupakan keutamaan yang merupakan setinggi-tingginya derajat pergaulan. Karena bergaul dengan manusia itu ada dua tingkatan; pertama, keadilan dan kejujuran yang wajib, yaitu mengambil yang wajib dan memberikan yang wajib, dan kedua, keutamaan dan kebajikan yaitu memberikan sesuatu yang bukan wajib dan toleransi dalam hak serta mengendalikan apa yang ada dalam nafsu pribadi. Maka seyogyanya manusia tidak melupakan tingkatan yang satu ini walaupun hanya pada beberapa kesempatan saja, khususnya bagi orang yang di antara anda dan dirinya ada sebuah pergaulan atau hubungan. Karena Allah akan memberikan ganjaran terhadap orang-orang yang berbuat baik dengan keutamaan dan kemuliaan. Allah Ta’ala berfirman, { إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ } "Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan".
    Penjelasan tentang hukum wanita yang di talak sebelum dicampuri dan telah ditentukan atau disebutkan maharnya, maka baginya (wanita yang di talaq tersebut) berhak (wajib) mendapatkan separuh dari mahar yang tersebut kecuali apabila ia merelakan untuk tidak memintanya, demikian juga bagi suami yang telah menceraikannya tersebut apabila merelakan untuk memberikan seluruh mahar yang tersebut kepadanya maka hal itu adalah lebih baik. Mengajak kepada langgengnya saling cinta mencintai, memuliakan dan saling berbuat baik antara dua keluarga; keluarga wanita yang diceraikan dan keluarga suami yang menceraikan. Sehingga perceraian bukan menjadi penyebab permusuhan dan perpecahan atau putusnya hubungan.
       Bahwa apabila seseorang menceraikan istrinya sebelum di campuri dan telah menentukan maharnya maka wajib baginya memberikan setengah dari mahar yang tersebut kepada istri yang dicerai tersebut. Bahwa apabila ia telah berkhalwat (berduaan di tempat tertutup, pen), dan belum mencampurinya maka tidak ada kewajiban baginya kecuali setengah dari mahar yang tersebut; akan tetapi dalam hal ini para sahabat menyepadankan hukum khalwah dengan hukum yang telah mencampurinya (jima’) dalam masalah wajibnya iddah, dan menqiaskan kepada hal tersebut sehingga wajib baginya membayar mahar secara keseluruhan walaupun hanya berkhalwah.
   Bolehnya mentalak sebelum mencampuri istrinya dan telah menentukan mahar baginya. Bahwa penentuan mahar adalah ditentukan oleh suami bukan oleh istri, sebagaimana ayat, “padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya”. Bolehnya bagi seorang wanita menggugurkan hak maharnya yang merupakan kewajiban bagi suaminya, baik sebagian atau seluruhnya dari mahar yang harus diberikan kepadanya. Dengan syarat wanita tersebut adalah wanita yang merdeka (bukan budak), baligh, berakal, dan rasyidah (mampu membelanjakan hartanya dengan baik). Bolehnya bagi seorang wanita membelanjakan hartanya –walaupun dengan cara disedekahkan atau tabaru’at-.
    Bolehnya bagi seorang suami memaafkan dan memberikan seluruh mahar kepada mantan istrinya yang ia cerai sebelum ia mencampurinya dan mahar telah ditentukan. Bahwa pernikahan adalah termasuk ‘Aqad’ (perjanjian), yang mana memiliki konsekwensi bolehnya mewakilkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mewakilkan di dalam perjanjian (aqad); maka boleh pula seseorang mewakilkan kepada seseorang untuk melakukan aqad nikah baginya.  Anjuran untuk memberikan maaf, sebagaimana ayat, “dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa”. Menjelaskan ahwa amal-amal itu bertingkat-tingkat kemuliaannya dan keutamaannya. Sudah sepatutnya bagi seorang insan untuk tidak melupakan keutamaan bersama saudara-saudaranya didalam muamalah sehari-hari. Bahwa ilmu Allah dan penglihatanNya meliputi segala sesuatu dari apa-apa yang kita perbuat. Wallahu a’lam

Kesimpulan Ayat
   Seperti penegasan pada ayat-ayat al quran bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu, Dialah pencipta alam semesta ini; juga telah dijelaskan siapa saja yang mengambil Tuhan selain Allah maka dia akan mendapat balasannya yang setimpal. Dan pada ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Allah adalah pemberi rezeki kepada manusia dan makhluk yang lain, sekaligus Allah menerangkan mana makanan yang halal dan mana yang haram.
       Allah juga membolehkan manusia seluruhnya memakan makanan yang telah di berikan Allah di bumi ini, yang halal dan yang baik saja, serta meninggalkan yang haram, sebab yang haram itu sudah jelas. Juga agar manusia tidak mengikuti langkah-langkah setan, dalam hal makanan, sebab setan itu adalah musuh mereka. Oleh sebab itu, setan tidak pernah menyuruh kepada kebaikan. Bahkan dia hanya menyuruh kepada kejelekan. Dan setan itu juga menyuruh manusia agar menghalalkan atau mengharamkan sesuatu sesuai dengan kehendak manusia tanpa perintah dari Allah. Bahkan menyuruh manusia agar mengatakan bahwa itu adalah syariat Allah, sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan musyrikin Quraisy.

5.     Laki-laki adalah Pemimpin Bagi Kaum Wanita

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Asbab An-Nuzul
Diceritakan dari Hasan beliau berkata : “Ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW lalu berkata : “Sesungguhnya suamiku telah menampar  mukaku,” lalu Nabi bersabda, ‘Diberlakukan qishash di antara kalian.’ Lalu Allah menurunkan ayat :“Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa- gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum diwahyukan kepadamu. Jabir Bin Khazm berkata : “Saya mendengar Hasan membacanya : “  mãômur  ” dengan menashabkan pada“wahyah” Sedangkan Hajjaj berkata : “Kemudian Nabi SAW menahan sebentar hingga turun ayat :   "Arrijaalu qawwaamuna 'alannisa......."

       Makna yang terkandung dalam ayat
Nusyuz pada asalnya berarti “terangkat” atau tertinggi. Seorang perempuan yang keluar meninggalkan rumah dan tidak melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan menganggap ia lebih tinggi dari suaminya, singkat kata yaitu istri yang durhaka pada suaminya.
Secara bahasa, nusyuz berarti penentangan. Sedangkan istilah, Istri nusyuz adalah istri yang telah keluar dari ketaatan kepada suaminya dan tidak menjalankan segala kewajiban yang telah diperintahkan kepadanya, seperti: tidak memenuhi kebutuhan biologis suami, tidak menjauhkan dirinya dari hal-hal yang tidak disukai dan menyebabkan suami tidak bergairah kepadanya, tidak berhias dan membersihkan dirinya padahal suami menginginkannya dan keluar rumah tanpa izin suaminya. Oleh karenanya, seorang istri tidak masuk dalam katagori nusyuz hanya dengan meninggalkan ketaatan atas sesuatu yang tidak diwajibkan pada seorang istri.


 Maka, jika ia tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah dan segala kebutuhan suami yang tidak berkaitan dengan kebutuhan biologis seperti: menyapu, menjahit, memasak dan selainnya—walaupun menyiapkan air minum dan menyiapkan tempat tidur—semua itu tidak  masuk katagori nusyuz.“Nusyuz pun dapat terjadi pada seorang suami. Yaitu, jika seorang suami tidak menjalankan kewajiban yang menjadi hak-hak istri, seperti tidak memberikan nafkah dan lain sebagainya”Syiqaq adalah perselisihan, percekcokan dan permusuhan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami istri. Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak suami dan istri secara bersama- sama, dengan demikian syiqaq berbeda dengan nusyuz, yang perselisihannya hanya berawal dan terjadi pada salah satu pihak, suami atau istri.






 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar