24 Jan 2012


Sentimen Anti Hijab, Sebuah Pelanggaran HAM
Oleh Muhammad Hadidi
Jurusan Syariah/ Konsentrasi Family Law  FAI UMM

    Dewasa ini, sebagian besar media massa Barat, baik cetak maupun elektronik, berusaha untuk menampilkan wajah Islam secara tidak benar. Contoh nyata dari upaya ini adalah kesan terorisme yang ditujukan kepada gerakan intifadah rakyat Palestina dalam menghadapi aksi kejahatan rezim Zionis Israel atau diperkenalkannya Islam sebagai biang terorisme selepas peristiwa 11 September. Masalah hak asasi manusia dalam Islam juga merupakan salah satu sasaran serangan media massa Barat. Apalagi, sebagian besar media massa di Barat, seperti Perancis, Jerman, dan Inggris, umumnya berada dalam genggaman para kapitalis Yahudi yang menyimpan dendam mendalam terhadap Islam yang berakar sejak mulai munculnya Islam berabad-abad yang lampau.

    Jika kita melihat secara teliti, akan tampak bahwa negara-negara yang secara zahir mengumbar isu hak asasi manusia dan demokrasi, justeru yang pertama-tama melecehkan kehormatan bangsa-bangsa lain dan melanjutkan kezaliman dan diskriminasi terhadap yang lain. Dengan melihat kepada beberapa pasal dari Piagam Hak Asasi Manusia, kita akan melihat bahwa sesungguhnya sentimen anti hijab yang terjadi di negara-negara Eropa adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal ketiga Piagam Hak Asasi Manusia menyebutkan, “Setiap orang mendapat hak kebebasan individu dan keamanan.” Sedangkan dalam pasal kelima disebutkan: Tidak ada siapapun yang boleh disiksa atau dianiaya secara tidak manusiawi, atau menjadi sasaran penghinaan. Pasal 18 dan 19 dari piagam itu mengungkapkan: Setiap orang mempunyai hak kebebasan agama, berpendapat, berkeyakinan, dan kebebasan bersuara.

     Selain Piagam HAM, perjanjian lain seperti perjanjian Hak Asasi Manusia Eropa turut mendukung hal itu. Tetapi adakah perjanjian ini dilaksanakan secara benar seperti apa yang tertuang dalam undang-undang dasar negara-negara tersebut atau tidak? Hal ini merupakan masalah yang memerlukan penelitian yang lebih mendalam.

     Undang-undang dasar seluruh negara Eropa Barat menjamin kebebasan beragama. Tentunya jaminan hak yang disebut dalam undang-undang dasar itu tidak mencakup umat Islam. Karena di negara-negara ini penganut Islam tidak dibenarkan melaksanakan aktifitas sosial agama mereka yang amat konstruktif dan bermanfaat. Negara-negara Eropa Barat hanya membenarkan umat Islam mendirikan masjid, melangsungkan ibadah, dan membentuk organisasi atau penerbitan agama.
Masalah hijab di beberapa negara Eropa boleh disebut sebagai contoh dari pelanggaran hak asasi manusia yang disebutkan dalam undang-undang dasar negara-negara tersebut. Di Jerman, para pelajar muslim tidak mungkin ikut serta dalam beberapa cabang pelajaran olahraga, khususnya renang. Tetapi para pelajar itu terpaksa ikut dalam pelajaran tersebut. Fereshteh Laden, imigran muslim yang menamatkan studi di Jerman, kini mempunyai hak untuk bekerja sebagai guru. Tetapi dikarenakan ia mengunakan jilbab, dia tidak diterima oleh pusat pendidikan manapun dan usahanya berulang kali tidak membuahkan hasil.

      Di Inggeris yang mengklaim sebagai negara demokrasi, umat Islam mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Mereka tidak mendapat hak seperti yang diperoleh oleh umat Yahudi dan Kristen. Apa yang terjadi pada diri ibu Faridah Kanuni merupakan satu contoh nyata dari perkara tersebut. Ibu Kanuni, 22 tahun bekerja sebagai insinyur listrik di sebuah pabrik di kawasan Latun. Sekembalinya dari Mekah, dia membuat keputusan untuk memakai hijab. Faridah Kanuni di-PHK dari tempat kerjanya hanya karena alasan hijabnya bisa tersangkut pada gerigi mesin di pabrik tersebut.
Di Perancis, krisis serius pertama yang berhubungan dengan hijab bermula pada tahun 1989 saat massa media meliput berita dikeluarkannya tiga orang pelajar yang mengenakan pakaian Islami dari sekolah mereka. Pada tahun 1990, di pinggiran kota Paris, lima orang pelajar berhijab diberhentikan dengan alasan melanggar ketentuan sekolah. Peristiwa ini terus berlanjut pada tahun-tahun seterusnya hingga saat ini. Dan belum ada keputusan apapun di Prancis yang memihak kepada pelajar muslimah berhijab. 
Reaksi keras dalam menghadapi hijab yang dikenakan wanita muslim di negara-negara Eropa itu mungkin saja dikarenakan rasa khawatir akan pengaruh dan infiltrasi jihab pada diri kaum wanita yang selama bertahun-tahun menyaksikan budaya bebas Barat. Jamilah Briggite, warga Hamburg Jerman yang telah memeluk agama Islam mengatakan, “Menurut pandangan saya, hijab memberikan kekuatan yang menakjubkan kepada wanita. Seolah-olah ia adalah tanda yang memberi peringatan kepada orang lain bahwa saya tidak ingin menjadi fokus pandangan.”
Ibu Fatimah Harnes, adalah salah seorang wanita Austria yang baru memeluk agama Islam mengatakan, “Hari ini saya mengetahui bahwa hijab merupakan pelindung bagi kaum perempuan. Dalam realitanya, hijab Islam yang tidak memperlihatkan bentuk tubuh manusia, telah menunjukkan nilai-nilai spiritual dan insani seseorang, dan ini adalah suatu yang amat indah.”

      Zahra Shahrbarman, salah seorang perempuan yang baru memeluk agama Islam berkata, “Wanita dalam masyarakat Barat terpaksa bersaing dengan wanita-wanita lain untuk menarik perhatian suami mereka, dan berupaya untuk tidak memiliki kekurangan apapun dari yang lain. Wanita Barat senantiasa merasa khawatir suami mereka akan dirampas oleh wanita lain. Berkembangnya kebebasan tanpa batas di Barat membuat satu dari dua keluarga, memiliki hubungan seks tak sah. Jika melihat dengan teliti, kita akan dapat membuat kesimpulan bahwa wanitalah yang selalunya dirugikan dan inilah yang mereka sebut dengan persamaan hak perempuan dan pria.”
Jika manusia keluar dari jeratan dugaan dan prasangka dan merujuk kepada akal, tentu ia akan mendapatkan bahwa hijab yang ditekankan oleh Islam adalah suatu hal yang logis dan benar. Karena akal manusia cenderung kepada sesuatu yang menjamin kepentingannya atau menyelamatkannya dari bahaya melalui jalan yang paling benar. Dalam hal ini, pakaian yang menutupi tubuh wanita memberi kesan atau meninggalkan pengaruh positif seperti ketenteraman jiwa, keselamatan dan imunitas dari kerusakan moral. Selain dari itu, ia dapat memperkokohkan sendi-sendi keluarga dan menyelamatkan generasi.
Ungkapan bahwa hijab tidak sejalan dengan produktifitas, hanyalah pernyataan miring yang keluar dari orang-orang jahil atau yang sengaja melecehkan hak-hak para wanita muslimah. Karena di dunia hari ini, khususnya pengalaman dari revolusi Islam Iran menunjukkan bahwa wanita yang berpakaian layak bisa hadir secara aktif di semua sektor sosial, ekonomi, ilmiah, seni dan hukum, tanpa halangan apapun. Realitasnya, hijab merupakan sebuah penghargaan kepada kedudukan dan martabat wanita sekaligus sebuah perhatian kepada kaum Hawa sebagai bagian dari umat manusia. Sedangkan proses hedonisme yang lazim di Barat, tidak sesuai dengan kemuliaan dan kedudukan mulia kaum perempuan.M-Adid.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar