23 Agu 2012

Formalisasi Syariat Islam dalam Konteks Kekinian


Oleh 
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah Universitas Muhammadiyah Malang

Muhammad Hadidi S.HI



                Karena nilai keabadian dan universalitas Alquran terletak pada prinsip moralnya, maka pernyataan hukum (legal specific) seperti hukum potong tangan, cambuk, jilid, dan sebagainya, tidak berlaku secara universal. Hukuman itu hanyalah solusi temporal dan bersifat tentatif atas
            Tampaknya, tidak ada isu tentang Islam dan politik di Indonesia yang cukup sensitif, aktual, dan kontroversial, kecuali isu formalisasi syariat Islam. Yang menarik untuk dicermati lebih lanjut dari maraknya tuntutan formalisasi syariat Islam hingga kini adalah, belum terlihat adanya pemaknaan yang lebih maju terhadap syariat. Sesuatu yang sering dilupakan oleh umat Islam bersemangat (konservatif) dalam melihat syariat Islam adalah dari aspek historisnya. Karena itu, kalangan konservatif menganggap, bahwa formalisasi syariat adalah dengan merevitalisasi (kalau bukan mengadopsi) nilai-nilai keislaman yang berkembang di Timur Tengah sebagai jalan untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi.
            Jika demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa agama dipahami sebagai warisan kesejarahan yang harus diterima secara taken for granted (bi la kaifa). Alhasil, syariat dipahami secara reduksionis menjadi hukum-hukum partikular (fikih). Syariat dimaknai hanya menutupi aurat, mencantumkan huruf Arab, memberlakukan hukum cambuk, yang diperkuat dengan pengawasan oleh polisi syariat. Realitas ini secara kasat mata bisa dilihat dan sangat jelas terbentang dalam layar syariat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah berlaku sejak 1 Muharram 1423 H.
            Sejak awal memang dapat dibaca bahwa kultur keberagamaan yang berkembang di Aceh tidak memberikan ruang yang luas bagi budaya, sehingga langgam keberagamaan terlihat bersifat simbolik-literalistik. Aceh tidak mempunyai eksperimentasi yang cukup untuk memahami agama dengan menggunakan optik budaya, yang memungkinkan adanya bergaining discourse antara ajaran keagamaan dan budaya. Di satu sisi, agama harus mengikuti budaya, tapi di sisi lain, budaya harus mengakomodasi agama. Namun, teori timbal-balik kebudayaan terlihat sangat langka dalam disket keagamaan yang berkembang di Aceh selama ini.
Persoalannya, bagaimana membangun wajah syariat Islam yang selama ini terkesan menakutkan dan cenderung ‘kearab-araban’ alias ahistoris itu, menjadi sosok syariat yang elegan, tidak menakutkan, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan sosial, sekaligus tidak bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme yang kini menjadi isu politik global. Dengan kata lain, syariat Islam yang seperti apakah yang sekiranya relevan untuk dikembangkan dalam konteks kekinian? Inilah fokus kajian tulisan ini.

Syariat Simbolik
            Eksperimentasi syariat Islam di Aceh (termasuk hukum cambuk), sesungguhnya memberikan gambaran yang kuat tentang apa yang saya sebut dengan syariat simbolik. Bahwa yang menjadi ukuran dalam pemberlakuan syariat Islam di propinsi 'tsunami' itu adalah doktrin-doktrin sekunder dalam teks-teks keagamaan. Dengan kata lain, apa yang terjadi di Aceh dengan pemaknaan syariat sebenarnya tidak menyentuh esensi syariat, melainkan hanya sekadar euforia yang bersifat simbolik. Agama tidak lagi dipahami sebagai esensi, substansi, dan komitmen, tetapi tradisi kearaban yang bersifat sekunder.
Lebih dari itu, dengan adanya polisi syariat yang diproyeksikan menjadi pengawas dan pengontrol bagi pemberlakuan syariat, maka terjadilah ideologisasi syariat. Artinya, penerapan syariat akan sangat tergantung pada sejauh mana peran aparat keamanan (polisi), bukan pada kebebasan masyarakat untuk menerapkan ajaran agamanya sesuai dengan pemahamannya.
Implikasinya, polisi syariat sangat dimungkinkan akan melahirkan kecenderungan represif dan otoritarianistik. Syariat hanya akan diterapkan secara terpaksa bagi masyarakat, sedangkan pemerintah lokal dan aparat keamanan tidak mendapatkan kontrol yang serupa. Polisi syariat tidak hanya berdampak negatif bagi suasana keberagamaan yang pluralis dan inklusif, tetapi dipastikan dapat memandulkan tradisi ijtihad atas doktrin-doktrin keagamaan, karena pemahaman keagamaan sangat terpaut dengan otoritas politik.
            Jika syariat simbolik semacam ini diterapkan dan masuk dalam sistem hukum dan politik di Indonesia, maka sangat dimungkinkan akan mengulangi sejarah kelabu dalam Dinasti Umayah dan Abbasiyah, yang menggunakan syariat sebagai komoditas politik (Misrawi, 2001). Kecenderungan ke arah ini sangat nampak dalam penerapan hukum cambuk di Aceh. Indikasinya sangat jelas, ketika ternyata hukum cambuk itu hanya diberlakukan untuk mereka yang berekonomi lemah, seperti penjudi, pemabuk, dan pezina (Perda No 3/2003). Sama sekali tidak menyentuh tindak pidana dengan kerugian sosial, ekonomi, serta politik yang lebih besar, seperti pelaku korupsi yang biasanya 'dekat' dengan politik kekuasaan.
Bila ini yang terjadi, maka atas nama syariat, peminggiran terhadap kaum minoritas dan tindakan represif dapat berlaku secara massif. Hal ini jelas bertentangan dengan substansi syariat Islam sebagai jalan agama menuju keadilan dan harmoni sosial.

Syariat Liberal
            Uraian di atas menggambarkan, ketika syariat Islam dipahami secara simbolik dan direduksi dengan kawasan wajib tutup aurat, diawasi oleh polisi syariat, penerapan hukum cambuk, atau hukum potong tangan, tampaknya tidak relevan dan bahkan kontraproduktif bila diterapkan di Indonesia yang pluralistik ini.
Namun, jika dipahami dengan paradigma liberal (syariat liberal), maka akan menemukan karakternya yang inklusif dan toleran, sekaligus relevan dengan realitas kekinian yang dihadapkan pada isu pluralisme, demokrasi, dan HAM, yang menjadi agenda utama politik dunia global, termasuk di Indonesia.
            Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: A Sourcebook (1998), memetakan syariat Islam dalam visi liberalnya menjadi tiga. Pertama, liberal syariah, dalam pengertian bahwa syariat dalam teks tertulis adalah bersifat liberal jika dipahami secara benar. Sikap liberal ini bukan semata-mata pilihan manusia, tetapi perintah dari Tuhan yang termaktub dalam Alquran. Kedua, silent syariah, dalam pengertian bahwa tidak semua persoalan hidup tertampung dalam syariat. Karena dalam kenyataannya, syariat tidak menyediakan jawaban atau konsep tentang masalah tertentu, sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada manusia atau menggunakan mekanisme ijtihad. Ketiga, interpreted syariah, dalam pengertian bahwa praktik syariat dipahami dan dijelaskan oleh penafsiran manusia. Interpretasi manusia terhadap syariat dilakukan sebagai model kreativitas intelektual terhadap doktrin agama yang memang membutuhkan tafsir karena tidak tercakupnya semua problem kehidupan manusia.
Itu sebabnya, Qomaruddin Khan dalam Political Concepts of Islam (1983), sebagaimana dikutip oleh Zada (2001), menyayangkan pandangan yang salah dari sejumlah kaum Muslimin bahwa Alquran berisi penjelasan yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Sehingga mereka cukup mendasarkan agendanya pada bagaimana memberlakukan atau menerapkan pesan-pesan Alquran secara literal.
            Padahal, pandangan literal ini mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang literal, yang hanya menekankan dimensi 'luar'-nya. Dan, kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi 'kontekstual' dan 'dalam' dari prinsip-prinsip Islam.
Karena itu, apa yang mungkin tersirat di balik 'penampilan-penampilan tekstualnya' hampir-hampir terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya. Dalam contohnya yang ekstrem, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara kaum Muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan Alquran sebagai instrumen Ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.
            Karena itu pula, letak pokok masalahnya adalah, bagaimana memahami syariat yang tertuang dalam Alquran. Itu sebabnya, konteksnya bukan lagi bagaimana memberlakukan syariat Islam, melainkan bagaimana memahami syariat Islam dalam visi Islam liberal, sehingga syariat Islam secara praksis tidak bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme yang tumbuh dalam dunia modern.
            Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud syariat liberal adalah menafsirkan syariat Islam secara substansial dalam konteks masyarakat kekinian. Perlu dicatat, bahwa kata 'liberal' yang dilekatkan pada kata 'syariat' sama sekali bukanlah penggagahan, apalagi konspirasi manipulatif terhadap syariat itu sendiri. Melainkan, meminjam terminologi Ulil Abshar Abdalla (2002), menafsirkan syariat Islam secara non-literal, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.

Epestimologi Syariat Liberal
            Persoalan substansial yang harus dikedepankan ketika ingin membangun syariat liberal, adalah masalah epestimologi (metodologi). Dalam konteks ini, paling tidak ada tiga tokoh Muslim kontemporer yang kerangka epestimologinya dapat dijadikan sebagai basis acuan metodologis untuk membangun syariat liberal. Ketiganya adalah Fazlur Rahman (selanjutnya disebut Rahman) dengan double movement theory (teori gerakan ganda), Muhammad Shahrur dengan limitation theory (teori batas atau hudud), dan Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta’wil. Dari ketiga metodologi tersebut, hemat saya, double movement theory yang diintrodusir oleh Fazlur Rahman, tampaknya, cukup relevan untuk dikembangkan dalam upaya membangun syariat liberal.
            Nah, karena double movement theory itu pada dasarnya dimaksudkan untuk menafsirkan Alquran secara lebih kontekstual, maka memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan Rahman sendiri terhadap Alquran menjadi hal yang niscaya. Dalam buku Devine Revelation and The Prophet (1978), sebagai seorang muslim, Rahman meyakini betul bahwa Alquran merupakan kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun. Keyakinan ini, bagi Rahman, bersifat pivotal alias tidak bisa diganggu gugat. Tanpa keyakinan semacam ini, demikian Rahman, maka tidak seorang pun dapat disebut sebagai muslim nominal sekalipun.
            Selanjutnya, dalam The Qur’anic Concept of God, The Universe and Man (1967), Rahman menampik doktrin tradisional yang mengatakan bahwa proses turunnya Alquran kepada Nabi SAW itu bersifat mekanik dan eksternal. Menurutnya, proses pewahyuan Alquran sebenarnya merupakan proses kreatif yang secara psikologis terjadi pada diri Nabi. Karena itu, dalam pandangan Rahman, Jibril bukanlah agen eksternal yang seolah-olah menyampaikan wahyu seperti tukang pos yang mengantarkan surat. Jibril adalah agen Allah SWT yang ada pada diri Nabi dan menjadi bagian dari diri Nabi itu sendiri, dan karenanya, Alquran menyebut Jibril dengan sebutan 'Ruh' (QS.26:194). Ruh yang dimaksudkan di sini adalah kekuatan, kemampuan atau agensi yang berkembang dalam hati Nabi dan yang jika diperlukan dapat berubah menjadi operasi wahyu yang aktual, meskipun pada awalnya Ruh itu 'turun' dari 'atas'.
            Lebih lanjut, dalam buku Islam (1979), Rahman mengatakan, "Ketika persepsi intuitif moral Muhammad mencapai puncaknya yang tertinggi dan menjadi identik dengan hukum moral itu sendiri (sesungguhnya di saat-saat seperti ini perilakunya sendiri mendapat pujian Alquran), maka 'kalimat-kalimat wahyu diberikan bersama-sama dengan inspirasi itu sendiri'. Dengan demikian, Alquran adalah murni kata-kata ilahi. Tetapi, tentu saja secara sepadan ‘berhubungan intim’ dengan pribadi terdalam dari Muhammad dan tidak bisa diamati secara mekanis seperti halnya sebuah catatan. Kalam ilahi tersebut mengalir melalui pikiran atau hati Nabi".
            Dari sini dapat dipahami, bahwa menurut Rahman, Alquran adalah kalamullah yang mengalir melalui ingatan dan pikiran Nabi untuk merespon situasi moral-sosial Arab ketika itu dan muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-historis. Dengan katan lain, Alquran adalah respon 'samawi' terhadap kondisi aktual 'Bumi'. Inilah yang kemudian membawa Rahman pada satu konklusi bahwa keabadian Alquran tidak terletak pada arti redaksional dan tekstualnya, tetapi pada makna di balik redaksi itu, yakni prinsip moralnya. Dengan demikian, Alquran bukanlah kitab undang-undang, tetapi lebih merupakan kitab tuntunan moral.
            Dari sinilah, kemudian Rahman mengintrodusir sebuah metodologi penafsiran Alquran yang menjamin aktualisasi ajaran Alquran kapan dan di mana pun, yaitu double movement theory. Teori ini terdiri dari dua gerakan. Pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general). Artinya, sebelum seorang mufassir (penafsir) mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti alasan-alasan hukumnya (ratio legis-‘illat), baik yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit. Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik yang berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan saat Alquran diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang mufassir. Baru setelah itu, dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh Alquran. Dengan demikian, gerakan pertama ini merupakan upaya untuk memastikan apa sebenarnya yang menjadi cita-cita moral (ideal-moral) dari pernyataan hukum yang dikandung oleh Alquran.
            Kedua, dari yang umum kepada yang khusus. Artinya, pesan-pesan atau prinsip-prinsip Alquran yang ditemukan lewat gerakan pertama tersebut kemudian diproyeksikan, diformulasikan, dan diterjemahkan pada konteks kekinian untuk mengukur sekaligus menjawab kasus-kasus kontemporer. Meski proses ini membutuhkan kajian cermat terhadap situasi dewasa ini agar pengukuran kasus-kasus itu bisa dilakukan secara tepat, namun dari langkah inilah sebenarnya diharapkan nilai-nilai Alquran akan tetap segar dan hidup sepanjang zaman (salihun likulli zaman).
            Dengan demikian, metodologi yang diintrodusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif, mondar-mandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik. Metodologi semacam ini tentu saja akan membawa implikasi, bahwa yang namanya hukum Allah dalam pengertian seperti yang dipahami oleh manusia itu tidak ada. Yang ada dan abadi hanyalah prinsip moral. Dengan demikian, hukum potong tangan, misalnya, hanyalah salah satu model hukuman yang di-istimbath-kan (digali) dari prinsip moral, demikian pula hukum-hukum yang lain, seperti jilid seratus kali bagi pezina ghair muhsan (belum menikah), dan sebagainya.
Karena itu, menurut Abu Hapsin (2002), apa yang disebut ayat ahkam (ayat hukum) dalam terminologi ushuliyyin (pakar ushul fikih), dipandang Rahman sebagai 'quasi' hukum, bukan hukum. Sebab, hukum Allah yang abadi dan universal itu tidak terletak pada teks Alquran, tetapi terletak pada prinsip moralnya. Ayat tentang pencurian, misalnya, mengandung prinsip atau cita-cita moral bahwa hak milik harus dijaga. Penjagaan hak milik ini sudah barang tentu tidak harus diwujudkan dalam bentuk hukuman potong tangan sebagaimana tersurat dalam Alquran, tetapi boleh diganti dengan bentuk hukuman lain (penjara, misalnya) selama jelas-jelas dijamin bahwa hukuman pengganti itu dapat memelihara dan menjaga hak kepemilikan seseorang atas harta bendanya.
            Muhammad al-Jabiri dalam Wijhatu al-Nazhr (1992) telah berhasil menafsirkan secara liberal hukum potong tangan sebagai salah satu tema penting dalam syariat Islam. Pertama, hukum potong tangan adalah hukum yang sudah ada pada Islam di Arab. Kedua, di masyarakat Badui dikenal dengan tradisi nomaden, sehingga sangat sulit bagi pelaku pencurian untuk dipenjara. Karena itu, hukuman yang diberikan adalah hukum potong tangan. Sedang pada masa Islam, situasinya tidak berubah, sehingga hukum potong tangan tetap berlaku.
Atas dasar argumentasi di atas, kemudian al-Jabiri memandang bahwa hukuman bagi pencuri substansinya bukanlah potong tangan, melainkan hukuman yang bisa membuat si pelaku menjadi jera. Ini artinya, hukum potong tangan bisa saja diganti dengan, misalnya, hukuman penjara. Demikian pula dengan hukum cambuk yang kini diberlakukan di Aceh, yang tentu saja sangat mungkin diganti dengan hukuman penjara.

Epilog
            Uraian di atas menyajikan sebuah fakta tak terbantahkan, bahwa sesungguhnya eternalitas Alquran itu tidak terletak pada arti teksnya (zahir al-nas), melainkan terletak pada prinsip dan cita-cita moralnya. Alquran bukanlah kitab undang-undang yang siap saji, karena bagaimanapun ia merupakan hasil dari sebuah proses dialogis antara pesan-pesan Samawi yang abadi dengan kondisi aktual Bumi pada saat Alquran diturunkan.
            Lebih dari itu, karena nilai keabadian dan universalitas Alquran terletak pada prinsip moralnya, maka pernyataan hukum (legal specific) seperti hukum potong tangan, cambuk, jilid, dan sebagainya, tidak berlaku secara universal. Hukuman itu hanyalah solusi temporal dan bersifat tentatif atas peristiwa-peristiwa yang muncul saat Alquran diturunkan. Dengan kata lain, hukuman itu merupakan suatu produk transaksi antara keabadian Allah dan situasi ekologis aktual bangsa Arab abad ke-7. Karenanya, bentuk hukuman itu bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi waktu dan tempat (taghayyur al-ahkam bi-taghayyur al-amkan wa al-azman), asalkan tetap mencerminkan nilai dan prinsip moral Alquran yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut dengan maqashid al-syari’ah.
            Walhasil, dari gagasan liberalisme yang diusung oleh Rahman melalui double movement theory-nya itu, ia seolah-olah ingin mengatakan dan berwasiat kepada kita: "Bahwa perdebatan tentang syariat Islam hendaknya tidak lagi berkutat pada formalisasi diktum-diktum syariat (Alquran-Alsunnah) dalam sistem hukum yang berlaku di sebuah negara, melainkan terletak pada bagaimana menemukan makna substantif syariat Islam dalam visi liberalnya". Penulis pun mengamininya dan haq al-yakin, karena hanya dengan syariat liberal inilah, maka syariat Islam akan menemukan sosoknya yang elegan, tidak menakutkan, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan sosial dan zaman, sekaligus relevan untuk diterapkan dalam konteks kekinian. Demikianlah, Wailallahi Turja’ al-Umur…[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar