7 Jul 2012

Metode Kritis-Historis dalam Studi Al-Qur’an



Oleh
 Muhammad Hadidi 
Mahasiswa Syariah Universitas Muhammadiyah Malang
 

Metode Kritis-Historis
Para orientalis menggunakan metode kritis-historis (überlieferungsgeschichtliche)  ketika mengkaji al-Qur’an. Orientalis yang termasuk paling awal mengaplikasikan metode tersebut ke dalam studi al-Qur’an adalah Theodor Nöldeke (1836-1930).[1]  Sehingga kini, metode tersebut masih terus digunakan oleh para orientalis lain.

Asumsi dasar dari metode-kritis historis ini adalah teks al-Qur’an, sebagaimana teks-teks “kitab suci” lainnya telah mengalami perubahan-perubahan. Selain tidak memiliki autografi dari naskah asli, wajah teks asli juga telah dirusak (berubah), sekalipun alasan perubahan itu demi kebaikan. Manuskrip-manuskrip awal al-Qur’Én, misalnya, tidak memiliki titik dan baris, serta ditulis dengan khat Kufi yang sangat berbeda dengan tulisan yang saat ini digunakan. Jadi, teks yang diterima (textus receptus) saat ini, bukan fax dari al-Qur’Én yang pertama kali. Namun, ia adalah teks yang merupakan hasil dari berbagai proses perubahan ketika periwayatannya berlangsung dari generasi ke generasi di dalam komunitas masyarakat.[2]

Menurut Arthur Jeffery, seorang orientalis berasal dari Australia, al-Qur’Én menjadi teks standart dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberapa tahap.[3] Dalam pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat (the action of community). Tindakan komunitas masing-masing agama.yang menjadikan sebuah kitab itu suci.[4] Penduduk Kufah, misalnya, menganggap MuÎÍaf ‘AbdullÉh ibn Mas‘Ëd sebagai al-Qur’Én edisi mereka (their Recension of the Qur’Én). Penduduk Basra menganggap MuÎÍaf AbË MËsÉ, penduduk Damaskus dengan MuÎÍaf MiqdÉd ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan MuÎÍaf Ubay.[5]
Dengan menggunakan metode kritis-historis, para orientalis menganalisa sejarah teks al-Qur’Én dari zaman Rasulullah saw sampai tercetaknya teks al-Qur’Én. Ketika Muhammad hidup, dalam pandangan Aloys Sprenger (1813-1893), [6]  Hartwig Hirshfeld (m. 1934),[7] dan Arthur Jeffery, [8] Régis Blachère,[9] Muhammad tidak berniat untuk menghimpun materi wahyu ke dalam sebuah mushaf.
Mengenai mushaf yang dihimpun pada zaman AbË Bakr dan ‘Umar, sebagian orientalis seperti Leone Caentani (m. 1935) dan Friedrich Schwally (m. 1919)[10] menolak jika pada zaman Abu Bakr, al-Qur’Én telah dihimpun. Menurut Caentani, atsar mengenai mushaf telah dihimpun pada zaman Abu Bakr bertujuan untuk menjustifikasi tindakan ‘UthmÉn menghimpun al-Qur’Én.[11] Sedikit berbeda dengan kedua orientalis tersebut, orientalis lain seperti Arthur Jeffery menganggap bahwa Mushaf Abu Bakr ada namun mushaf tersebut bukanlah mushaf resmi)., namun mushaf pribadi (It was a private collection made for the first Caliph AbË Bakr).[12] Jeffery menegaskan banyak muÎÍaf lain yang beredar dan beredar di berbagai wilayah. Diantaranya, SÉlim ibn Mu‘qib, ‘AlÊ ibn AbÊ ÙÉlib, Anas ibn MÉlik, AbË MËsÉ al-Ash‘arÊ, Ubay ibn Ka‘b dan AbdullÉh ibn Mas‘Ëd.[13] Beragam mushaf sudah beredar di berbagai wilayah. MuÎÍaf MiqdÉd ibn al-AswÉd,[14] yang berdasarkan kepada MuÎÍaf ibn Mas‘Ëd beredar di Damaskus. MuÎÍaf Ibn Mas‘Ëd digunakan di KËfah. MuÎÍaf AbË MËsÉ al-Ash‘arÊ di Basra dan Mushaf Ubay ibn Ka‘b di Syiria. Pendapat Jeffery yang menganggap mushaf Abu Bakar adalah mushaf pribadi diikuti oleh para orientalis lain seperti Richard Bell,[15] Régis Blachère,[16]  dan bahkan pemikir Muslim seperti MusÏafÉ MandËr.[17]
Dengan kajian historis-kritis, Arthur Jeffery juga menyimpulkan sebenarnya    terdapat muÎÍaf-muÎÍaf tandingan (rival codices) yang menandingi Mushaf Uthmani. Menurut Jeffery, terdapat 15 muÎÍaf primer dan 13 muÎÍaf sekunder.[18] Bagi Jeffery, banyaknya MuÎÍaf pra-‘UthmÉni menunjukkan bahwa pilihan ‘UthmÉn terhadap tradisi teks Medinah tidak berarti pilihan terbaik.[19] Jeffery juga menyimpulkan Ibn Mas‘Ëd menolak untuk menyerahkan muÎÍafnya kepada ‘UthmÉn yang mengirim teks standart ke KËfah.[20]Dalam pandangan Jeffery, Ibn Mas‘Ëd mengeluarkan al-FÉtiÍah,[21] surah al-NÉs dan al-Falaq dari al-Qur’Én. Jeffery juga berpendapat Ubay ibn Ka‘b telah menambahkan dua ekstra surah yaitu al-HafÌ dan al-khalÉ[22]ke dalam al-Qur’an. Jeffery juga menyalahkan tindakan ‘UthmÉn yang menutup perbedaan mushaf;[23] menuduh al-×ajjÉj ibn YËsuf al-ThaqÉfÊ telah membuat al-Qur’an baru dan mengecam pembatasan ikhtiyÉr (the limitation of ikhitiyÉr) yang dilakukan oleh sultan Ibn MuqlÉ (m. 940 M) dan sultan Ibn ‘ÔsÉ (m. 946 M) pada tahun 322 H karena desakan dan rekayasa Ibn MujÉhid (m. 324/936 M).[24] Disebabkan persoalan-persoalan yang disebutkan di atas, Jeffery ingin menyusun al-Qur’Én dengan bentuk yang baru ia sebut sebagai al-Qur’Én edisi kritis (a critical edition of the Qur’Én).
Metode kritis-historis yang diterapkan para orientalis sebenarnya berasal dari studi kritis kepada Bibel. Metode kritis-historis muncul disebabkan Bibel memiliki persoalan yang sangat mendasar seperti persoalan teks, banyaknya naskah asal, versi teks yang berbeda-beda, redaksi teks, gaya bahasa (genre) teks dan bentuk awal teks (kondisi oral sebelum Bibel disalin). Persoalan-persoalan tersebut melahirkan kajian Bibel yang kritis-historis. Akhirnya, lahirlah kajian-kajian kritis Bibel yang mendetil seperti kajian mengenai studi filologi (philological study), kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk (form criticism), kritik redaksi (redaction-criticism), dan kritik teks (textual criticism), sebagaimana yang akan dipaparkan di bawah ini.
Kajian Filologis
Kajian filologis (philological study) sangat penting untuk menentukan makna yang diinginkan pengarang. Kajian filologis bukan hanya mencakup kosa kata, morfologi, tata bahasa, namun ia juga mencakup studi bentuk-bentuk, signifikansi, makna bahasa dan sastra.[25]
Pada tahun 2001, Christoph Luxenberg (nama samaran), dengan pengetahuan Syiria-Aramaik yang masih perlu dipertanyakan (shaky) menyimpulkan al-Qur’Én perlu dibaca dalam bahasa Aramaik. Dalam pandangan Luxenberg, sebagian besar al-Qur’Én tidak benar secara tata bahasa Arab. Al-Qur’Én ditulis dalam dua bahasa, Aramaik dan Arab.[26]
Luxenberg menulis “Cara membaca al-Qur’Én dengan bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa al-Qur’Én” (Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclüsselung der Koransprache). Dengan menggunakan metode ilmiah filologis, (the scientific method of philology) Luxenberg ingin menghasilkan teks al-Qur’Én yang lebih jelas (producing a clearer text of the Qur’Én). Ia berpendapat bahwa pada zaman Muhammad, bahasa Arab bukanlah bahasa yang tertulis. Bahasa komunikasi yang tertulis adalah bahasa Syiriak. Bahasa Syiriak ini digunakan di Timur Dekat sejak dari abad kedua hingga abad ketujuh. Syiriak adalah bahasa Edesssa, sebuah kota di atas Mesopotamia. Ketika Edessa berhenti menjadi sebuah entitas politik, orang-orang Kristen masih menggunakan bahasa tersebut yang kemudian menjadi sebuah budaya. Bahasa tersebut menyebar ke seluruh Asia sejauh Malabar dan Timur Cina. Ketika al-Qur’Én muncul, bahasa Syiriak masih menjadi bahasa komunikasi pada umumnya masyarakat Aramaean, Arab dan sedikit bangsa Persia. Dan yang paling penting diketahui, menurut Luxenberg, literatur Syiriak-Aramaik adalah ekslusifitas Kristen.[27]
Kajian filologis Luxenberg terhadap al-Qur’Én menggiringnya untuk menyimpulkan: (1) bahasa al-Qur’Én sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit dipahami kecuali dengan merujuk pada bahasa Syriak-Aramaik yang konon merupakan merupakan lingua franca pada masa itu; (2) Bukan hanya kosakatanya berasal dari Syriak-Aramaik, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syiria (Peshitta); (3) Al-Qur’Én yang ada tidak otentik, perlu ditinjau kembali dan diedit ulang.[28]
Kajian Sastra
            Kritik sastra (literary criticism) memiliki banyak maksud. Salah satunya merujuk kepada pendekatan khusus ketika mengkaji sejarah teks Bibel, yang disebut juga dengan studi sumber (source criticism). Kritik sumber pertama kali muncul pada abad 17 dan 18 ketika para sarjana Bibel menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel. Mereka menyimpulkan kandungan Bibel akan lebih mudah dipahami jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bibel diteliti.[29]
Salah seorang tokoh dalam studi sumber dalam Perjanjian Lama (L) adalah Jean Astruc (1684-1766). Menurutnya, Musa menulis Taurat berdasarkan beberapa dokumentasi tertulis, bukan dari inspirasi ilahi apalagi tradisi lisan turun-temurun.[30] Jean Astruc mendasarkan teorinya disebabkan hal berikut. Dalam Kejadian 1 menggunakan kata Elohim untuk menyebut nama Tuhan, sedangkan cerita dalam Kejadian 2 dan 4 menggunakan kata Yahweh. Berdasarkan kepada fakta ini, Jean Astruc menyimpulkan Musa memiliki dua sumber dokumen. Dokumen pertama yang dengan regular menggunakan Elohim dan dokumen yang kedua secara teratur menggunakan kata Yahweh.[31]

Source criticism mendapat wajah baru setelah Julius Wellhausen (1844-1918) menulis Prolegomena to the History of Israel (1878).  Menurut Wellhausen, sumber bagi Musa untuk menulis Taurat berasal dari 4 dokumen, yang disebut dengan dokumen J, E, D dan P. Materi dalam dokumen “J” (disebut demikian sebagai singkatan kepada Yahweh [Jehovah]) diduga telah ditulis sekitar 850 S.M di kawasan Kerajaan bagian selatan. Dokumen dalam “J” itu adalah personal, biografis dan anthropormohis. Dokomen dalam “J” meliputi kenabian seperti etika dan refleksi teologis. Materi dalam dokumen “E” (disebut demikian sebagai singkatan kepada Elohim [Tuhan]) dan ditulis sekitar tahun 750 S. M. di kawasan Kerajaan bagian Utara. Dokumen dalam “E” lebih objektif, kurang menyentuh masalah etika dan refleksi teologis dan lebih kepada partikular yang konkrit. Menurut beberapa sarjana setelah Wellhausen, kedua dokumen tersebut digabungkan sekitar taahun 650 S. M. oleh seorang editor yang tidak diketahui. Hasilnya menjadi “JE.” Karangan tersebut menjadi lengkap dangan materi “D” dan “P”. “D” ditulis sekitar tahun 621 S.M., dan “P” ditulis sekitar 570 sampai 445 S.M. Materi dalam dokumen “P” menyentuh asal-mula dan institusi teokrasi, genealogi, ritual dan pengorbanan (sacrifices).[32]

Kritik Bentuk
Kritik sumber memiliki kelemahan-kelemahan. Menurut Hermann Gunkel (1862-1932), kritik sumber (source criticism), yang memfokuskan penelitian kepada pengarang dan kapan pengarang tersebut berkarya, bukanlah prioritas dalam studi kritis PL. Sebabnya, metode tersebut tidak cukup untuk menemukan akar-akar pemikiran keagamaan. Menurut Gunkel, fokus penelitian yang lebih penting untuk dilakukan adalah menelusuri latar-belakang teks dan fikiran keagamaan para pengarang, mencari asal mula (Sitz im Leben) dari bentuk (Gattungen) yang digunakan, serta menelusuri asal-mula motif dan tema di dalam dokumen-dokumen. Oleh sebab itu, kembali kepada sejarah ketika zaman transmisi oral, suatu keadaan dimana kehidupan sebenarnya ditemukan sangat penting untuk dikaji.[33]

Bagi Gunkel, kritik-kritik sumber telah mengabaikan puisi lisan dan bentuk-bentuk primitif yang masih ada dalam Taurat.[34] Padahal, memahami struktur, setting dan maksud dari setiap unit susastra dibelakang materi PL yang eksis, merupakan hal yang lebih penting. Gunkel mengibaratkan penafsir yang memulai dengan pengarang dan dokumen (yang menjadi fokus penelitian source criticism) bagaikan membangun rumah dengan atap. Gunkel tidak bermaksud menolak pendekatan source criticism yang dilakukan Wellhausen. Namun, dalam pandangannya, penelitian genre (Gattungsforschung) adalah penelitian yang lebih mendasar dan prioritas. Baginya, dengan mengetahui genre atau jenis-jenis sastra (literary types) yang terwakili di dalam PL, maka kesusastraan Israel kuno secara menyeluruh, yaitu hubungannya yang fungsional dengan seluruh kehidupan masyarakat beserta sejarahnya dapat dipahami.[35]

Dalam Perjanjian Baru, “sejarah-bentuk” (Formgeschichte) dipelopori oleh sarjana Jerman seperti Martin Dibelius (1919), K. L. Schmidt (1919) dan Rudolph Bultmann (1921). Aplikasi form criticism ke dalam studi Perjanjian Baru memiliki dua asumsi dasar. Pertama, ada sebuah periode mengenai dakwah Yesus oleh orang-orang yang mempercayainya, yang mendahului penulisan Bibel. Kedua, dalam periode tersebut materi dari dan mengenai Yesus kebanyakannya telah beredar sebagai unit-unit oral yang dapat ditentukan dan diklasifikasikan menurut bentuk-bentuknya. Jadi, Bibel adalah hasil dari memilih dan memilah yang sampai kepada para penulis Bibel di dalam berbagai bentuk.[36]
Kritik Redaksi dan Kritik Teks     
            Kritik redaksi (redaction criticism) di dalam studi Bibel bertujuan untuk menentukan bagaimana para pengarang Bibel menggunakan materi-materi yang ada di tangan mereka. Kritik redaksi berusaha untuk memahami mengapa para penulis Bibel menulis seperti itu dan mempelajari materi-materi yang mereka tambahkan ke dalam karangan mereka. Kritik redaksi memfokuskan kepada apa yang dimasukkan dan apa yang tidak beserta perubahan-perubahan sumber-sumber yang diketahui pangarang Bibel. Bukan kepada tradisi oral dan sumber-sumber Bibel itu sendiri.[37]
Kritik teks (textual criticism) akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu edit (recension) dan amandemen (emendation). Mengedit adalah memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di dalam manuskrip-manuskrip yang terbaik.[38]

Kesimpulan
Metode kritis-historis yang berasal dari problematika studi Bibel tidak tepat untuk diterapkan ke dalam studi al-Qur’an. Sebabnya, al-Qur’an tidak memiliki persoalan teks sebagaimana yang dialami oleh Bibel. Al-Qur’Én adalah tanzÊl. Jadi, al-Qur’Én tidak sama dengan dengan teks karangan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudia benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.[39] Allah juga berfirman yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’Én) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[40] Allah juga berfirman yang artinya:  “Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”[41]

             Selain itu, metode kritis-historis tidak dibangun atas dasar keimanan. Padahal, ilmu mengenai al-Qur’Én adalah menyangkut masalah keimanan. Oleh sebab itu, kaum Muslimin perlu berhati-hati ketika membaca karya orientalis mengenai al-Qur’Én. Abu Hurayrah, Ibn ÑAbbas, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, al-Dahhak, Ibrahim al-Nakhai menyatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah din (agama). Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” (inna hadza al-Ñilm din fanzuru Ñamman ta´khuzuna dinakum).[42]
Selain itu, para orientalis tidak bisa dianggap sebagai pakar dalam studi al-Qur’Én. Sebabnya, mereka tidak memenuhi beberapa persyaratan untuk menafsirkan al-Qur’Én, seperti akidah yang sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-ÙabarÊ, misalnya, menegaskan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan! (min shartihi ÎiÍÍat al-itiqÉd, wa luzËm sunnat al-dÊn, fainna man kÉna magmËÎan ‘alayhi fÊ dÊnihi, lÉ yu’taaamana ‘alÉ al-dunyÉ, fa kaifa ‘alÉ al-dÊn!).[43] Senada dengan al-ÙabarÊ, al-SuyËÏÊ mengatakan bahwa sikap sombong, cenderung kepada bidah, tidak tetap iman dan mudah goyah dengan godaan, cinta dunia yang berlebihan dan terus-menerus melakukan dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah swt.[44]

Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’Én sangat penting bagi seorang yang mengkaji al-Qur’Én dan metode-kritis adalah parasit yang akan menghilangkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an.

ISID, 20 agustus 206


[1] Pemaparan lebih mendalam mengenai karya Nöldeke tersebut, lihat karya penulis Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 49-50.  
[2] Arthur Jeffery, The Qur’Én as Scripture (New York: Russell F. Moore Companya, 1952), 89-90, selanjutnya disingkat Scripture.
[3] Arthur Jeffery, “The Qur’Én as Scripture,” MW 40 (1950), 41.
[4] Arthur Jeffery menyatakan: “It was the community which decided this matter of what was and what was not Scripture. It was the community which selected and gathered together for its own use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of religious authority valid for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur Jeffery, “The Qur’Én as Scripture,” MW 40 (1950), 43.
[5] Arthur Jeffery, Scripture, 94-95.
[6]Muhammad sebagai penyampai al-Qur’Én untuk orang ‘yang buta huruf’ bukan untuk ditulis di atas kertas. Dikutip dari Daniel A. Madigan, The Qur’Én’s Self-Image: Writing and Authority in Islam’s Scripture (New Jersey: Princeton University Press, 2001), 18, selanjutnya diringkas The Qur’Én’s Self-Image.
[7] Muhammad lebih suka para muridnya menghapal materi wahyu tersebut. Lihat Hartwig Hirschfeld, New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran (London: Royal Asiatic Society, 1902), 5, selanjutnya diringkas New Research.
[8] Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’Éns, (LEiden: E. J. Birll, 1937), 5-6, selanjutnya diringkas Materials.
[9] Dikutip dari Daniel A. Madigan, The Qur’Én’s Self-Image, 21.
[10] Ibid., 8
[11] Harald Motzki, “The Collection of the Qur’Én: A Reconstruction of Western Views in Light of Recent Methodological Developments,” DerIslam  78 (2001), 7.
[12] Arthur Jeffery, Scripture, 94.
[13] Ibid.
[14] Jeffery memberi catatan bahwa mungkin yang dimaksud bukan MiqdÉd tetapi  Mu‘az ibn Jabal. Hal ini sudah diungkapkan oleh Bergsträsser. Lihat catatan kaki Materials, 374.
[15] W. M. Watt & Richard Bell, Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), 40-42. Bell menyimpulkan ÍadÊtÍ mengenai al-Qur’Én dihimpun pada masa kekhalifahan AbË Bakr dielaborasi hanya untuk menghindari supaya ‘himpunan’ al-Qur’Én yang pertama kali bukanlah fakta yang muncul belakangan.
[16] Menurut Blachère, AbË Bakr dan ‘Umar menyuruh Zayd menghimpun al-Qur’Én karena perasaan inferior dibanding para sahabat lain yang telah terlebih dahulu memiliki muÎÍaf. Dikutip dari ‘AbdË ØabËr ShÉhin, TÉrikh al-Qur’Én (Kairo: DÉr al-Qalam, 1966), 108-09.
[17] Ia berpendapat motivasi yang mendorong AbË Bakr dan ‘Umar adalah perasaan rendah diri (murakkab naqÎ), dan karena ‘Umar memberikan muÎÍaf tersebut kepada anaknya, maka muÎÍaf tersebut adalah harta pribadi (mÉliyah shakÎiyyah). Dikutip dari, ‘AbdË ØabËr ShÉhin, TÉrikh al-Qur’Én, 109.
[18]Arthur Jeffery, Materials, 14.
[19] Jeffery menyatakan: “It is possible, as we have already seen, that in choosing the Medinan text tradition for canonization ‘‘UthmÉn chose the best of the text available. We can never know this for certain the one way or the other unless the unexpected happens and we recover some considerable portion of one of the rival texts. A collection of the variants still surviving from the old codices is our sole means of forming any judgment as to the type of text they presented.” Arthur Jeffery, Materials, 15.
[20] Ibid., 20-21.
[21] Lihat Arthur Jeffery, “A Variant Text of the Fatiha”, MW 29 (1939), 158.
[22] Ibid., 116.
[23] Arthur Jeffery, Materials, 7-8.
[24]Arthur Jeffery, Scripture, 99.
[25] Edgar Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress Press, 1975), 49, selanjutnya diringkas The Historical-Critical Method.
[26] François De Blois, Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclüsselung der Koransprache. By ‘Christoph Luxenberg’ (anonim), JQS 5 (2003), 92-97.
[27] Ibid., 3.
[28] Dikutip dari Syamsuddin Arif, “Al-Qur’Én, Orientalisme dan Luxenberg,” al-Insan 1 (2005), 19.
[29] Richard N. Soulen and R. Kendal Soulen, Handbook of Biblical Criticism (London: Westminster John Knox Press, 2001), 105; 178-79.
[30] C. Houtman, ‘The Pentateuch,” dalam The World of the Old Testament: Bible Handbook, ed. A. S. Vand Der Woulde (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1989), 2:170, selanjutnya disingkat The Pentateuch.
[31] Ibid., 2:171.
[32] Allen P. Ross, “Genesis,” dalam The Bible Knowledge Commentary: An Exposition of the Scriptures by Dallas Seminary Faculty, editor John F Walvoord dan Roy B. Zuck (Sp Publications, Inc., 1985), 15-16.
[33] C. Houtman, The Pentateuch, 2: 176.
[34] Lawrence Boadt, Reading the Old Testament: An Introduction (New York: Paulist Press, 1984), 106.
[35] Dikutip dari dari John H. Hayes, An Introduction to Old Testament Study (Tennessee: Abingdon, 1979),, 127-29.
[36] Edwin D. Freed, The New Testament: A Critical Introduction (California: Wadsworth Publishing Company, edisi kedua 1991), 78.
[37] Ibid., 80-81.
[38]Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 156. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah perkembangan textual criticism di dalam Perjanjian Baru, lihat juga juga karyanya yang lain seperti A Textual Commentary on the Greek New Testament (United Bible Societies’, 1975), dan The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance (Oxford; Oxford University Press: 1975).
[39]  Surah al-Haqqah (69: 44-46).
[40] Surah al-Najm (53: 3-4).
[41] Lihat juga firman Allah dalam surah-surah lain, seperti: Surah Fussilat (41: 42); al-Shuara’ (26: 192); al-Sajdah (32: 2); al-Zumar (39: 1); al-Mumin (40: 2); Fussilat (41: 2); al-Jathiyah (45: 2); al-Ahqaf (46: 20) al-Waqiah (56: 80); al-Haqqah (69: 43).
[42] ImÉm AbÉ HÉtim MuÍammad ibn ×ibbÉn, Kitab al-MajruhÊn min al-MuhaddithÊn wa al-ÖuÑafÉ’ wa al-MatrËkÊn, editor MaÍmËd IbrÉhÊm ZÉyid (×alb/Aleppo: DÉr al-WaÑy, 1396 H), 1: 21-23.
[43] Dikutip dari JalÉl al-DÊn al-SuyËÏÊ, al-ItqÉn fÊ ÑulËm al-Qur’Én (Beirut: DÉr al-KitÉb al-ArabÊy, 2003), 854.
[44] Ibid., 854-55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar