9 Mei 2012

onsentration Test of Biological Agent to Many Culture of Lettuce Vareties by Organic Culture System


C
Dyah Roeswitawati, Erny Ishartati, and Syarif Husen
Jurusan Agroteknologi, UMM, Jl. Tlogomas 246 Malang

Abstrak
Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (intercropping), penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah.
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pertanian dan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang. Alat yang digunakan adalah cawan petri, beacker glass, tabung reaksi, jarum ose, seed boxs, baby bags, sprayer, timbangan. Bahan yang digunakan biakan murni isolat (bakteri dan jamur antagonis), media selektif jamur dan bakteri, media tular jamur dan bakteri, molase, air. Biopestisida terbuat dari jamur dan bakteri antagonis yang sudah diuji kemampuannya menekan perkembangan penyakit yang menyerang tanaman, tanpa mengakibatkan polusi (kerusakan lingkungan dan aman bagi hewan piaraan dan manusia), dapat disosialisasikan ke petani sayur-sayuran sehingga tanaman tumbuh secara normal dan dapat berproduksi secara optimal.
Tujuan mengendalikan hama dan penyakit dalam budidaya beberapa jenis tanaman  sawi dengan memanfaatkan mikroba antagonis (jamur dan bakteri) dan limbah organik sehingga dapat mengurangi polusi udara dan lingkungan

Key Words: ,pertanian organik, biopestisida

PENDAHULUAN
Keberhasilan pembangunan pertanian selama ini telah memberikan dukungan yang sangat tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, namun demikian disadari bahwa dibalik keberhasilan tersebut terdapat kelemahankelemahan yang perlu diperbaiki. Produksi yang tinggi yang telah dicapai banyak didukung oleh teknologi yang memerlukan input (masukan) bahan-bahan anorganik yang tinggi terutama bahan kimia pertanian seperti pupuk urea, TSP/SP-36, KCl, pestisida, herbisida, dan produk-produk kimia lainnya yang berbahaya bagi kesehatan dengan dosis yang tinggi secara terus-menerus, terbukti menimbulkan banyak pencemaran yang dapat menyumbang degradasi fungsi lingkungan dan perusakan sumberdaya alam, serta penurunan daya dukung lingkungan. Adanya kesadaran akan akibat yang ditimbulkan dampak tersebut, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanian yang berwawasan lingkungan.
Dewasa ini masyarakat sangat peduli terhadap alam dan kesehatan, maka muncullah teknologi alternatif lain, yang dikenal dengan “pertanian organik”, “usaha tani organik”, “pertanian alami”, atau “pertanian berkelanjutan masukan rendah”. Pengertian tersebut pada dasarnya mempunyai prinsip dan tujuan yang sama, yaitu untuk melukiskan sistem pertanian yang bergantung pada produk-produk organik dan alami, serta secara total tidak termasuk penggunaan bahan-bahan sintetik.
Tujuan Penelitian
Mengendalikan hama dan penyakit dalam budidaya beberapa jenis tanaman  sawi dengan memanfaatkan mikroba antagonis (jamur dan bakteri) dan limbah organik sehingga dapat mengurangi polusi udara dan lingkungan
Hipotesis
Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (intercropping), penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pertanian dan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang. Alat yang digunakan adalah cawan petri, beacker glass, tabung reaksi, jarum ose, seed boxs, baby bags, sprayer, timbangan. Bahan yang digunakan biakan murni isolat (bakteri dan jamur antagonis), media selektif jamur dan bakteri, media tular jamur dan bakteri, molase, air.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Split Plot yang disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dengan 3 (tiga) kali ulangan. Sebagai petak utama adalah kultivar sawi, yang terdiri dari Brasica rapa kelompok chinensis dan Brasica rapa kelompok parachinensis, sedangkan sebagai anak petak adalah konsentrasi biopestida yang terdiri dari 6 (enam) level yaitu : (1) 10 cc/l air, (2) 20 cc/l air, (3) 30 cc/l air, (4) 40 cc/l air, (5) 50 cc/l air, dan (6) Tanpa Biopestisida (Kontrol)
Persiapan lahan pembibitan dapat dilakukan bersamaan dengan pengolahan tanah untuk penanaman. Karena lebih efisien dan benih akan lebih cepat beradaptasi terhadap lingkungannya. Ukuran bedengan pembibitan yaitu lebar 80 – 120 cm dan panjangnya 1 – 3 meter. Dua minggu sebelum di tabur benih, bedengan pembibitan ditaburi dengan pupuk kandang.  Cara melakukan pembibitan ialah sebagai berikut : benih ditabur, lalu ditutupi tanah setebal 1 – 2 cm, lalu disiram dengan sprayer, kemudian diamati 3 – 5 hari benih akan tumbuh setelah berumur 3 – 4 minggu sejak disemaikan tanaman dipindahkan ke bedengan. Lahan pertanaman yang digunakan pada lokasi penelitian berbentuk bedengan. Petak utama berukuran (2,70 x 7,20) m2 sebanyak 9 bedeng, sedangkan anak petak berukuran (1,20 x 3,30) m2 sebanyak 54 bedeng. Jarak antar bedengan 30 cm2, dan jarak antar tanaman 30 x 30 cm2.
Biopestisida terbuat dari jamur dan bakteri antagonis yang sudah diuji kemampuannya menekan perkembangan penyakit yang menyerang tanaman, tanpa mengakibatkan polusi (kerusakan lingkungan dan aman bagi hewan piaraan dan manusia).
Aplikasi bakteri antagonis dilaksanakan 10 ml (dengan kepadatan populasi 10 13/ml) tiap 10 kg tanah, dengan pertimbangan potensi inokulum bakteri dalam berinteraksi melawan patogen di dalam tanah adalah 10 8 koloni per gram tanah.  yaitu dengan perhitungan sebagai berikut: bilamana 10 ml (dengan kepadatan populasi 1013/ml)   inokulum diinvestasikan dalam 10 kg tanah berarti terdapat 1014 koloni per 104 g tanah. atau 1010 koloni per gram tanah, atau setiap gram media tanah setelah diinvestasikan antagonis terdapat 1010 propagul bakteri antagonis per gram tanah.  Sedangkan potensi inokulum bakteri antagonis dalam berinteraksi dengan patogen dalam tanah adalah ± 108 koloni per gram tanah.
Inokulan jamur antagonis (Trichoderma sp., Penicillium sp. dan Aspergillus sp.) sebelumnya dicampur secara merata dengan media dedak/sekam padi basah (diberi air dulu hingga kelembaban 70%) . Perbandingan 1 (inokulan) : 3 (media sekam padi). Dibiarkan dulu 1 minggu (diharapkan jamur antagonis sudah beradaptasi dalam media). Kemudian ditaburkan ke tanah areal pertanaman yang sudah berumur 10 hari setelah tanam. Pemupukan kedua dilakukan pada saat tanaman umur 20 hst
Semua pupuk hayati tersebut di atas diberikan sebelum tanam. Satu minggu kemudian (setelah diberi jamur antagonis)  maka bakteri antagonis dapat disemprotkan ke permukaan tanaman sayur yang sudah berumur 15 hst. Konsentrasi yang digunakan sesuai perlakuan dan masing-masing dilarutkan dalam 1 liter air, kemudian disemprotkan secara merata di atas permukaan tanaman. Dosis yang disarankan adalah 600 liter per hektar. Penyemprotan kedua dilakukan pada saat tanaman sudah berumur 30 hst (atau 1 minggu setelah pemberian jamur antagonis)

Parameter pengamatan berupa :
a.       Habistus tanaman : tinggi tanaman (Diamati dengan mengukur tinggi tanaman dengan penggaris, yang dimulai 5 cm dari permukaan tanah sampai titik tumbuh),
b.      Daun : bentuk daun, warna daun, luas daun (dengan menggunakan kertas millimeter), jumlah helaian daun (dihitung satu persatu), tangkai daun, warna tangkai daun, dan tepi daun.
c.       Diameter Batang : diukur dengan menggunakan jangka sorong, 10 cm diatas pangkal batang).
d.      Berat Segar Tanaman
e.       Berat Kering Tanaman
f.       Tingkat Serangan Hama dan Penyakit

HASIL DAN  PEMBAHASAN
A.    Hasil
Analisis rangam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara perlakuan varietas dan konsentrasi terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, panjang tanaman. Demikian juga masing-masing perlakuan (varietas dan konsentrasi)   tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap masing-masing peubah diatas.
Secara garis besarnya masing-masing varietas yang diuji menunjukkan respon yang sama atas perlakuan pemberian biopestisida dengan berbagai konsentrasi, hal tersebut ditunjukan pada peubah yang diamati meliputi : intensitas serangan hama, intensitas serangan penyakit, berat basah tanaman serta berat kering tanaman.
Intensitas Serangan Penyakit
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa serangan penyakit mulai terjadi pada saat tanaman berumur lebih dari empat puluh hari setelah transplanting dengan intensitas yang terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Dosis biopestisida yang diujikan terhadap masing-masing varietas tidak menunjukkan perbedaan nyata dan intensitas serangan tidak lebih dari 0,03 %, hak tersebut sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 1.
                          
Gambar 1. Perlakuan Penyemprotan Biopestisida pada Beberapa Varietas Sawi terhadap Intensitas Serangan Penyakit

Intensitas Serangan Hama
Seperti pada hasil pengamatan intensitas penyakit, hasil pengamatan intensitas hama menunjukkan bahwa serangan hama mulai terjadi pada saat tanaman berumur lebih dari empat puluh hari setelah transplanting dengan intensitas yang terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Dosis biopestisida yang diujikan terhadap masing-masing varietas tidak menunjukkan perbedaan nyata dan intensitas serangan tidak lebih dari 0,03 % dan meningkat terus hingga 0,07% pada saat tanaman berumur 70 hari. Padahal  tanaman sawi biasa dipanen pada umur 40 hari sehingga keberadaan hama dan serangan pathogen tidak berarti terhadap pengurangan hasil panen, hasil pengamatan terhadap intensitas serangan hama dan patogen tersebut sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 2.


                          
Gambar 2. Perlakuan Penyemprotan Biopestisida pada Beberapa Varietas Sawi terhadap Intensitas Serangan Hama

Berat Basah per Tanaman
            Masing-masing varietas yang diuji menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata terhadap peubah berat basah per tanaman, sedangkan  konsentrasi biopestisida yang diujikan terhadap masing yaitu –masing varietas sawi menunjukkan pola yang sama, yaitu konsentrasi terbaik pada perlakuan pemberian biopestisida 30 cc/liter air sebagaimana disajikan pada Gambar 3.
Berat Kering per Tanaman
            Sebagaimana pada berat basah per tanaman, untuk data berat kering menunjukkan pola yang sama yaitu masing-masing varietas yang diuji menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata dan konsentrasi biopestisida yang diujikan terhadap masing yaitu –masing varietas sawi menunjukkan pola yang sama, yaitu konsentrasi terbaik pada perlakuan pemberian biopestisida 30 cc/liter air sebagaimana disajikan pada Gambar 4.


                     
Gambar 3. Perlakuan Penyemprotan Biopestisida pada Beberapa Varietas Sawi terhadap Berat Basah per Tanaman


                     
Gambar 4. Perlakuan Penyemprotan Biopestisida pada Beberapa Varietas Sawi terhadap Berat Kering per Tanaman.


B.     Pembahasan
The International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) menyatakan bahwa pertanian organik bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dengan kuantitas memadai, (2) membudidayakan tanaman secara alami, (3) mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian, (4) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang, (5) menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik pertanian, (6) memelihara keragaman genetik sistem pertanian dan sekitarnya, dan (7) mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani.
Bertanam dengan memiliki varietas yang cukup banyak di lahan pertanian dapat mengurangi kondisi ekstrim dari cuaca, hama penggangu tanaman, dan harga pasar. Peningkatan diversifikasi tanaman dan jenis tanaman lain seperti pohon-pohon dan rumput-rumputan, juga dapat memberikan kontribusi terhadap konservasi lahan, habitat binatang, dan meningkatkan populasi serangga yang bermanfaat. Beberapa langkah kegiatan yang dilakukan : (a) menciptakan sarana penyediaan air, yang menciptakan lingkungan bagi katak, burung dan binatang-binatang lainnya yang memakan serangga dan insek ; (b) Menanam tanaman-tanaman yang berbeda untuk meningkatkan pendapatan sepanjang tahun dan meminimalkan pengaruh dari kegagalan menanam sejenis tanaman saja.
Di Indonesia sendiri, gaung pertanian organik sudah berkembang sekitar 10 tahun yang lalu, akan tetapi pemainnya dapat dihitung dengan jari (Trubus No. 363, 2000). Kemudian meningkat pesat sejak terjadi krisis moneter, dimana sebagian besar saprodi yang digunakan petani melonjak harganya berkali-kali lipat. Petani mulai melirik alternatif lain dengan model pertanian organik. Melalui proses adaptasi, pertanian organik mulai digeluti dan mendapat respon yang cukup baik, dengan ditandai oleh bermunculnya kelompok petani organik di berbagai daerah. Keuntungan pokok pertanian organik sangat bervariasi, dalam beberapa kajian ekonomi menyatakan bahwa pertanian organik memiliki akses nyata terhadap prospek jangka panjang. Beberapa studi menunjukkan bahwa pertanian organik berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tenaga kerja dibandingkan dengan pertanian konvensional. Terutama pada sistem pertanian organik melalui diversifikasi tanaman, perbedaan pola tanam dan jadwal tanam dapat mendistribusikan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan waktunya.
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo Untung, 1997). Beberapa kegiatan yang diharapkan dapat menunjang dan memberikan kontribusi dalam meningkatkan keuntungan produktivitas pertanian dalam jangka panjang, meningkatkan kualitas lingkungan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan antara lain adalah
Bertanam dengan memiliki varietas yang cukup banyak di lahan pertanian dapat mengurangi kondisi ekstrim dari cuaca, hama penggangu tanaman, dan harga pasar. Peningkatan diversifikasi tanaman dan jenis tanaman lain seperti pohon-pohon dan rumput-rumputan, juga dapat memberikan kontribusi terhadap konservasi lahan, habitat binatang, dan meningkatkan populasi serangga yang bermanfaat. Beberapa langkah kegiatan yang dilakukan : (a) menciptakan sarana penyediaan air, yang menciptakan lingkungan bagi katak, burung dan binatang-binatang lainnya yang memakan serangga dan insek ; (b) Menanam tanaman-tanaman yang berbeda untuk meningkatkan pendapatan sepanjang tahun dan meminimalkan pengaruh dari kegagalan menanam sejenis tanaman saja.
Pengelolaan nutrisi tanaman dengan baik dapat meningkatkan kondisi tanah dan melindungi lingkungan tanah. Peningkatan penggunaan sumberdaya nutrisi di lahan pertanian, seperti pupuk kandang dan tanaman kacang-kacangan (leguminosa) sebagai penutup tanah dapat mengurangi biaya pupuk anorganik yang harus dikeluarkan. Beberapa jenis pupuk organik yang bisa digunakan antara lain: pengomposan ; penggunaan kascing ; penggunaan pupuk hijauan (dedaunan) ; penambahan nutrisi pada tanah dengan emulsi ikan dan rumput laut.
Sebagai gambaran, di Austria dan Switzerland menunjukkan bahwa kebutuhan pertanian organik diperkirakan mencapai lebih dari 10 persen, sedangkan Amerika, Perancis, Jepang dan Singapura meningkat rata-rata 20 persen setiap tahun. Permintaan akan produk-produk organik merupakan peluang dunia usaha baru baik untuk tujuan ekspor maupun kebutuhan domestik. Beberapa negara berkembangpun mulai memanfaatkan peluang pasar ekspor produk organik ini terhadap negara maju, diantaranya buah-buah daerah tropik untuk industri makanan bayi ke Eropa, herbas Zimbabwe ke Afrika Selatan, kapas Afrika ke Uni Eropa, dan teh Cina ke Belanda dan kentang ke Jepang. Umumnya, ekspor produk organik dijual dengan harga cukup tinggi, biasanya 20 persen lebih tinggi dari produk pertanian non-organik.
Semua organisme yang dapat berintraksi baik secara positif atau bermanfaat bagi patogen maupun berinteraksi secara negatif atau merugikan bagi patogen.  Kondisi biologi tanah meliputi mikroorganisme yang berinteraksi dengan patogen tersebut, dimana interaksinya dapat menguntungkan atau sebaliknya merugikan atau mengganggu patogen tersebut.  Bilamana interaksinya mengganggu patogen tersebut, mikroorganisme tentu menjadi kuat dan tidak dapat dieliminasi dari lingkungan. 

KESIMPULAN
            Hama dan penyakit pada tanaman sayuran tidak bisa dianggap remeh, apalagi selama ini petani hanya mengandalkan pestisida kimia yang harganya mahal dan merusak lingkungan.
            Dengan memanfaatkan biopestisida ( bakteri antagonis dan jamur antagonis ) dalam budidaya tanaman sayuran dapat menekan perkembangan hama dan penyakit tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Mikroba natagonis (jamur dan bakteri) banyak didapat di alam dan semua bahannya ada di alam yaitu dapat diperbanyak dengan memanfaatkan limbah. Biopestisida terbuat dari jamur dan bakteri antagonis yang sudah diuji kemampuannya menekan perkembangan penyakit yang menyerang tanaman, tanpa mengakibatkan polusi (kerusakan lingkungan dan aman bagi hewan piaraan dan manusia), dapat disosialisasikan ke petani sayur-sayuran sehingga tanaman tumbuh secara normal dan dapat berproduksi secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2000. Pertanian Organik. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. http://organic-indonesia.deptan.go.id/psa/article.
Anton Apriantono. 2010. Pertanian Organik Dan Revitalisasi Pertanian, Pidato Pada Workshop dan Kongres II Maporina dengan tema yang cukup menantang yaitu: Menghantarkan Indonesia Menjadi Produsen Organik Terkemuka. http://www.litbang.deptan.go.id
Anwar H. 2008. Pertanian Organik (Organic Agriculture). Pertanian Organik Lindungi Bumi . www.saungtani.com
Asrulhoesein, 2010.  Bangun Pertanian Organik Indonesia. Kompasiana18 April. http://organic-indonesia.deptan.go.id/psa/articl
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian - (Indonesian Agency for Agricultural Research and Development/ IAARD). 2009.  Prospek Pertanian Organik di Indonesia e-mail: info@litbang.deptan.go.id
Badan Pusat Ststistik. 2009.      http://www.bps.go.id//aboutus.php diakses tanggal 5 Juli 2010
Balai Penelitian Tanaman Hias Pacet-Cipayung. 2010. Mikroba Antagonis sebagai Agen Pengendali Penyakit Tanaman. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr2620 44.pdf.  diakses tanggal 16 Februari 2010
Bonsall, R. R.B., Weller, D.M., Thomahow, L.S. 2007. Quantification of 2,4-Diacetylphloroglucinol Produced by Fluorescent Pseudomonas spp. In Vitro and in the Rhizosphere of Wheat. Department of Plant Pathology, Washington State University,1 and Root Disease and Biological Control Research Unit, Agricultural Research Service, U.S. Department of Agriculture,2 Pullman, Washington 99164-6430. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1389124/ diakses tanggal 05 maret 2010
Fahy and Lloyd, 1983 dalam Arwiyanto et all, 2007. Sifat-Sifat Fenotipik Pseudomonas fluoresen, Agensia Pengendalian Hayati Penyakit Lincat pada Tembakau Temanggung. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. http://www.unsjournals.com/D/D0802/D080215.pdf. diakses tanggal 16 februari 2010
Hamim Sudarsono. 2010.  Prospek Pertanian Organik di Indonesia.
Hasanuddin. 2003. Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan secara Terpadu. Jutusan Hama dan Penyakit Tumbtuhan, Fak. Pertanian. USU. Digitized by USU digital library.
Isroi . 2009. Bioteknologi Mikroba Untuk Pertanian Organik. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia , Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Email: ipardboo@indo.net.id ; isroi@ipard.com
Kasumbogo, U. 1993. Pengantar Pengelolaan hama Terpadu. Gajah Mada university Press..273 hal.
Linda S., Thomashow and David M. Weller. 1998. Role of a Phenazine Antibiotic from Pseudomonas fluorescens in Biological Control of Gaeumannomyces graminis var. tritici. Journal of Bacteriology, Vol. 8 (170) :. 3499-3508 .
Mette Neiendam Nielsen, Jan Sørensen, Johannes Fels,  Hans Christian Pedersen. 1998. Secondary Metabolite- and Endochitinase-Dependent. Antagonism toward Plant-Pathogenic Microfungi of Pseudomonas fluorescens Isolates from Sugar Beet Rhizosphere. Applied and Environmental Microbiology, American Society for Microbiology. Vol. 64, No. 10, p. 3563–3569.
Raaijmakers, J.M.  1999.  Diversity, Host Affinity, and Broad-Spectrum Activity of Antibiotic-Producing Pseudomonas spp.  Wageningen Universiteit voor Fytopathologie.  Wageningen.
Sayed, W. El, Mona Abd El-Megeed, A. B. Abd El-Razik , K.h. Soliman and S. A. Ibrahiim. 2008. Isolation and Identification of Phenazine-1-Carboxylic acid from different Pesudomonas isolates and its Biological activity against Alternaria solani Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 4(6): 892-901.
Suntoro Wongso Atmojo. 2010. Solo Pos : Degradasi Lahan & Ancaman bagi Pertanian, Edukasi.net, Ilmu Tanah Fak. Pertanian UGM, Yogyakarta.
Triwidodo Arwiyanto, YMS Maryudani, Nining Nurul Azizah. 2007. Sifat-Sifat Fenotipik Pseudomonas fluoresen, Agensia Pengendalian Hayati Penyakit Lincat pada Tembakau Temanggung BIODIVERSITAS,  ISSN: 1412-033X. Vol. 8, No. 2 : 147-151.
Walker, R.,CMJ Innes and E.J. Allan. 2001. The Potential Biocontrol Agent Pseudomonas antimicrobica Inhibits Germination of Conidia and outgrowth of Botrytis cinerea. Appl. Microbiol. (32) : 246 – 246.
Wikipedia. 2009. Pseudomonas fluorescens, Introduction ; Scientific classification ; General characteristics ,http://en.wikipedia.org/wiki/File:Ambox_style.png



Gambar hasil uji biopestisida ditampilkan pada Gambar di bawah ini :


     

                                   (A)                                                                                        (B)


Pada Gambar di atas  bahwa tanaman yang tidak disemprot dengan biopestisida menunjukkan daunnya habis dimakan serangga (A) dan tanaman yang  disemprot dengan biopestisida menunjukkan daunnya utuh karena tidak  dimakan serangga .


ARTIKEL RESEARCH GRANT
 
 




















                                                                                                                                                                  



UJI  DOSIS  Agents  HAYATI  PADA
BUDIDAYA  BEBERAPA  JENIS  SAWI
MELALUI  SISTEM  ORGANIK
 
Penanggung Jawab Program
Prof.Dr. Ir. Dyah Roeswitawati, MS.
 
FAKULTAS PERTANIAN-PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
NOPEMBER  2011
 
 




























Tidak ada komentar:

Posting Komentar