29 Apr 2012


Tafsir Ahkam II
Hukum Mengangkat Pemimpin Non Muslim



Disusun
Oleh:
MohdHadidi
201010020311017

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012


  (28) Janganlah orang-orang yang beriman menjadikan orang­ kafir sebagai pemimpin melainkan orang-orang yang beriman. Dan barang siapa, yang berbuat demikian niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka  dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.
    (29) Katakanlah: “Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu nyatakan, Allah pasti mengetahuinya.” Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.[1]

A.    Makna Ayat  di atas
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنينَ
"Janganlah orang-orang yang beriman menjadikan orang­ kafir sebagai pemimpin melainkan orang-orang yang beriman." (pangkal ayat 28).
    Di sini terdapat perkataan aulia'. Arti kata wali, yang berarti pemimpin atau pengurus atau teman karib, ataupun sahabat ataupun pelindung. Di surat al-Baqarah ayat 256 kita telah diberikan pegangan, bahwasanya wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung dan pengurus orang yang beriman hanya Allah. Di ayat itu Tuhan memberikan jaminannya sebagai wali, bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari gelap kepada terang. Dan di dalam ayat itu juga diterangkan bahwa wali orang yang kafir adalah Thaghut dan Thaghut itu akan mengeluarkan mereka dari terang kepada gelap.( Lihat Tafsir Ibnu kassir)
     Maka di dalam ayat yang tengah kita bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman, agar mereka jangan mengambil or­ang kafir menjadi wali (Pemimpin). Jangan orang yang tidak percaya kepada Tuhan dijadikan wali sebagai pemimpin, atau wali sebagai sahabat. Karena akibatnya kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam suasana thaghut Kalau dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya menyembah thaghut. Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan diajaknya kepada jalan sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.

وَ مَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ في‏ شَيْ‏ءٍ
" Dan barang siapa, yang berbuat demikian niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah"
    Tegasnya, dengan sebab mengambil wali kepada kafir, baik pimpinan atau persahabatan, niscaya lepaslah dari perwalian Allah, putus dari pimpinan Tuhan, maka celakalah yang akan mengancam.
إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقاةً
" kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka "
         Beratus-ratus tahun lamanya negeri-negeri Islam banyak yang dijajah oleh pemerintahan yang bukan Islam, karena terpaksa. Karena tergagah, karena senjata untuk melawan dan kekuatan untuk bertahan tidak ada lagi. Maka tetaplah larangan pertama, yaitu tidak menukar wali dari Allah kepada mereka. Kalau ini tidak dapat dinyatakan keluar, hendaklah disimpan terus di dalam hati dan hendaklah selalu awas sebenar-benar awas, supaya dengan segala daya-upaya bahaya mereka itu untuk membelokkan dari Allah kepada Thaghut dapat ditangkis. Pendeknya , sampai kepada saat yang terakhir wajib melawan , walaupun dalam hati.[2]
وَ يُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
"Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya."
       Di sambungan ayat ini Allah Ta'ala memberi peringatan dengan keras, bahwa di dalam urusan ini, khusus dalam taqiyah, janganlah dipandang enteng. Jangan sampai sikap taqiyah itu dijadikan tempat lari untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab menghadapi lawan. Hendaklah awas dan jangan sekali-kali lupa bahwa diri Allah Ta'ala senantiasa ada, senantiasa mengawasi, dan menilik sepak terjang yang kamu lakukan. Karena kalau taqiyah itu akan membawa agama Allah jadi lemah, bukanlah dia taqiyah lagi tetapi beralih menjadi sikap pengecut. Itu sebabnya maka ujung ayat lebih menjelaskan pula, bahwa baik di waktu kamu sedang kuat, lalu menolak kerjasama dengan musuh yang akan melemahkan agamamu, atau sedang lemah sehingga terpaksa kamu mengambil sikap taqiyah, namun ingatlah:
وَ إِلَى اللهِ الْمَصيرُ
"Dan kepada Allahlah tujuan kamu." (ujung ayat 28).
      Akhir ayat ini mengingatkan kita akan perumpamaan hidup kita yang tengah berlayar di tengah lautan besar, menaiki sebuah bahtera. Sejak dari permulaan berlayar kita telah menentukan tujuan dan arah di mana bahtera itu akan berlabuh. Lalu pelayaran kita teruskan.    Tetapi oleh karena laut itu tidak senantiasa tenang, bahkan ada gelombang, ada taufan, ada badai dahsyat, sudahlah dalam perhitungan bahwa kadang-kadang bahtera itu akan dihalau oleh angin entah ke mana. Tetapi betapa pun hebatnya pukulan gelombang, namun nakhoda kapal wajib tetap menjaga pedoman, tidak boleh berkisar dari tujuan semula. Tujuan bahtera hidup beragama ialah Allah.
     Untuk kelengkapan penafsiran ini hendaklah kita tilik lagi ayat 8 dan ayat 9 dari surat 60 (al-Mumtahanah). Surat ini pun diturunkan di Madinah. Di ayat 8 ditegaskan bahwa terhadap kafir yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusirmu dari kampung halaman kamu, tidaklah mengapajika hidup berdampingan dengan damai ( an-tabarru-hum ) dan berhubungan secara adil ( watuq-sithu ilaihim ) ; memberi dan menerima, duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Lalu di ayat 9 ditegaskan lagi, bahwa jika musuh itu memerangi kamu dalam hal agama dan mengusir kamu dari kampung halaman kamu dan dengan terang-terang pula pengusiran itu, tidaklah kamu boleh bersahabat atau berhubungan dengan mereka.
       Niscaya kita dapat berpikir lebih lanjut tentang isi sekalian ayat ini. Baik ayat-ayat yang tegas melarang dan memerintahkan supaya selalu awas, atau ayat yang membolehkan berhubungan dengan mereka, karena taqiyah atau karena kuat. Kalau kita kuat tentu tidak berhalangan kalau kita berhubungan dan berdamai dengan kafir, membuat perjanjian-perjanjian dagang, utang piutang dan lain-lain sebagainya, terutama hidup bernegara di zaman modern, tidaklah ada satu negeri yang dapat memencilkan diri dari negeri lain. Sudahlah selayaknya jika wakil-wakil dari negeri dan negara Islam duduk bersama bermusyawarat memperkatakan soal­-soal internasional dengan wakil-wakil negara-negara lain.
     Adapun sikap awas dan waspada, sikap tidak lupa kepada diri Allah, niscaya tidak boleh dilepaskan, baik di waktu lemah, atau pun di waktu kuat.
قُلْ إِنْ تُخْفُوا ما في‏ صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللهُ وَ يَعْلَمُ ما فِي السَّماواتِ وَ ما فِي الْأَرْضِ                                                        
    "Katakanlah: Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam dada kamu, atau pun kamu nampakkannya, namun Allah mengetahuinya juga, dan Diapun mengetahui apa yang ada di semua langit dan apa yang di bumi. " (pangkal ayat 29)
        Ayat ini adalah pengikat jiwa yang halus sekali bagi orang-­orang yang beriman. Dia adalah sebagai sambungan dari Allah memperingatkan tentang diriNya tadi. Mereka pada pokoknya dilarang keras lebih mementingkan pimpinan orang kafir dan mengangkat mereka jadi wali, sehingga melebihkan pandangan kepada mereka daripada memandang sesama mu'min. Cuma di saat yang terpaksa dan menilai keadaan, baru boleh melakukan taqiyah. Di ayat ini diperingatkan bahwa Tuhan mengetahui apa yang kamu sembunyikan dalam dada dan mana yang kamu nampakkan dan nyatakan.
      Orang banyak dapat kamu kicuh, dan Tuhan tidak! Maka lebih tertekanlah peringatan ini kepada Ulil-Amri, orang-orang yang bertanggung-jawab; jangan sampai misalnya membela kelemahan diri dengan menyebut taqiyah. Kontrol sejati adalah di tangan Tuhan , dan sewaktu-waktu pekerjaan yang curang dan busuk akan berbau juga oleh orang banyak. Disebut dalam ayat ini, bahwa yang diketahui Allah itu bukan saja isi dada manusia yang tersembunyi atau sikap manusia yang nyata. Usahkan itu, sedangkan rahasia semua langit dan bumi lagi diketahuiNya.
       Kadang-kadang ditafsirkan dengan nyata di hadapan mata kita. Yaitu pertalian isi dada manusia dengan mulutnya dengan rahasia langit dan bumi. Satu hal pernah kejadian. Yaitu pada suatu hari seorang kepala negara yang sombong berkata sambil mendabik dadanya, bahwa kita manusia ini harus sanggup menundukkan alam. Dua hari saja sesudah dia berpidato sombong akan menundukkan alam itu, terjadilah hujan lebat di kota kediamannya, yaitu hujan lebat yang membawa banjir besar. Dia yang berpidato itu terpaksa dihusung atau ditandu orang ketika akan keluar dari istana, sebab mobil yang akan membawanya tidak dapat berjalan dalam banjir dan mesinnya tidak bisa hidup.
      Maka orang yang menyaksikan berkata: "raja kita katanya hendak menundukkan alam. Sekarang dia juga rupanya yang wajib tunduk kepada alam!"
     Seorang pemimpin komunis tidak berTuhan pernah berkata dalam satu rapat umum: "Kalau kamu tidak bisa bergerak membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam, lebih baik tukar celanamu dengan sarung (jadi perempuan)." Sehari sesudah dia bercakap berapi-api itu, kaum komunis mengadakan berontak hendak merebut kekuasaan dan membunuh enam orang Jendral.
       Rupanya pemberontakan mereka hanya berjalan sehari saja sedang petang harinya sudah dapat digagalkan. Maka Pemimpin Komunis yang sombong itu terpaksa lari meninggalkan kota, benar-benar dengan menukar celana dengan sarung.Itulah sebabnya maka akhir ayat berbunyi:
وَ اللهُ عَلى‏ كُلِّ شَيْ‏ءٍ قَديرٌ
"Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu Maha Kuasa." (ujung ayat 29).
        Hanya orang Mu'min yang dapat merasai hal yang seperti ini. Betapa kekuasaan Allah atas isi dada manusia dan betapa kekuasaan Allah atas seluruh langit bumi. Kadang-kadang kita bertemu dengan kemenangan padahal menurut perhitungan kita belum nampak pintunya. Kadang-kadang kita merasa bahwa rencana kita akan berjalan menurut yang kita gariskan.[3] Tiba-tiba datang saja kejadian lain yang tidak pula kita sangka-sangka sehingga rencana Allah jualah yang berjalan. Oleh sebab itu maka baik di waktu senang, sekali-kali janganlah lupa memperhitung kan Maha Kuasanya Allah.

B.     Asbabun Nuzul Ayat Diatas
      Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu Abbas berkata: "Al-Hajjaj bin 'Amr mengikat janji setia kawan dengan Ka'ab bin al-Asyraf (pemuka Yahudi yang terkenal sebagai penafsir) dan Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid. Ketiga orang ini telah bermaksud jahat hendak mengganggu kaum Anshar itu lalu ditegur oleh Rifa'ah bin al-Mundzir dan Abdullah bin Jubair dan Sa'ad bin Khatamah, supaya mereka menjauhi orang-orang Yahudi yang tersebut itu. Hendaklah mereka berawas diri dalam perhubungan dengan mereka, supaya agama mereka jangan difitnah oleh orang-­orang Yahudi itu. Tetapi orang-orang yang diberi peringatan itu tidak memperdulikannya." Inilah kata Ibnu Abbas yang menjadi sebab turunnya ayat ini.
     Ada lagi suatu riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari beberapa jalan riwayat, bahwasanya tafsir ayat ini ialah bahwa Allah melarang orang-or­ang yang beriman bersikap lemah-lembut terhadap orang kafir dan mengambil mereka jadi teman akrab melebihi sesama beriman, kecuali kalau orang-orang kafir itu lebih kuat daripada mereka. Kalau demikian tidaklah mengapa memperlihatkan sikap lunak, tetapi hendaklah tetap diperlihatkan perbedaan di antara agama orang yang beriman dengan agama mereka. Untuk mendekatkan kepada faham kita, bacalah pula tafsir surat al-Mumtahanah (Surat 60 ayat 1). Seorang sahabat Nabi yang terkemuka, pernah turut dalam peperangan Badar, bernama Hathib bin Abi Balta'ah, seketika Rasulullah saw menyusun kekuatan buat menaklukkan Makkah, dengan secara diam-diam dan rahasia telah mengutus seorang perempuan ke Makkah, membawa suratnya kepada beberapa orang musyrikin di Makkah, menyuruh mereka bersiap-siap, sebab Makkah akan diserang.
    Maksudnya ialah untuk menjaga dirinya sendiri. Sebab kalau serangan itu gagal, dia sendiri tidak akan ada yang memperlindunginya di Makkah. Dia tidak mempunyai keluarga besar di Makkah, seperti sahabat-­sahabat Rasulullah s.a.w, yang lain. Dengan mengirim surat itu dia hendak mencari perlindungan. Syukurlah Tuhan memberi isyarat kepada Rasulullah tentang kesalahan Hathib itu, sehingga beliau suruh kejar perempuan itu, sampai digeledah surat itu di dalam sanggulnya. 'Umar bin Khattab telah meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh Hathib karena perbuatannya yang dipandang berkhianat itu. Untuk kepentingan[4] diri sendiri dia telah membuat hubungan dengan orang kafir. Perbuatannya itu salah. Sebab dia telah membocorkan rahasia peperangan, syukurlah suratnya itu dapat ditangkap. Kalau bukanlah karena jasanya selama ini, terutama karena dia telah turut dalam peperangan Badar, niscaya akan berlakulah atas dirinya hukuman berat.

C.     Kandungan Hukum dalam ayat Ali-Imran Ayat 28-29.

        Dari ayat di atas  terdapat perkataan aulia'. Dahulupun pernah kita uraikan arti kata wali, yang berarti pemimpin atau pengurus atau teman karib, ataupun sahabat ataupun pelindung. Oleh sebab itulah orang mukmin dilarang mengangkat pemimpin (wali) dari orang-orang kafir. Hal inilah yang merupakan kandungan hukum dari tafsir Qur’an surat Ali Imran ayat 28-29 diatas yang merupakan penegasan kepada orang mukmin untuk tidak menggangkap pemimpinya dari orang kafir.
   Tidak hanya pada ayat 28-29 akan tetapi di ayat yang lain juga, dijelaskan menganai tidak bolehnya mengangkat pemimpin orang mukmin dari orang kafir seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah[5] ayat 256 kita telah diberikan pegangan, bahwasanya wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung dan pengurus orang yang beriman hanya Allah. Di ayat itu Tuhan memberikan jaminannya sebagai wali, bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari gelap kepada terang. Dan di dalam ayat itu juga diterangkan bahwa wali orang yang kafir adalah Thaghut dan Thaghut itu akan mengeluarkan mereka dari terang kepada gelap.
   Kemudian di dalam ayat yang lain kita telah bertemu pula keterangan bahwasanya orang beriman sesama beriman yang sebahagian menjadi wali dari yang lain, sokong-menyokong, bantu­ membantu, sehingga arti wali di sini ialah persahabatan. Maka di dalam ayat yang tengah kita bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman, agar mereka jangan mengambil or­ang kafir menjadi wali. Intinya orang yang beriman hendaklah mengangkat pemimpin juga dari orang yang beriman karena pemimpin adalah orang yang mengajak kepada kebenaran yak amar ma’ruf nahi munkar.
  Selanjutnya kandungan ayat hukum ayat diatas tentnag penegasan secara tegas bahwa dilarangnya mengangkat pemimpin dari orang kafir mulai dari kata “Janganlah orang yang tidak percaya kepada Tuhan dijadikan wali sebagai pemimpin, atau wali sebagai sahabat. Karena akibatnya kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam suasana thaghut Kalau dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya menyembah thaghut.
  Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan diajaknya kepada jalan sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik, kita sudah ketahui bahwa pemimpinlah yang menuntun kita kepada kebenaran menuju kepada ajaran alquran dan sunnah Rasulullah Saw, sehingga pemimpin dalam Islam menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat yang dipimpinnya, dan bukankah nanti juga pemimpin akan di minta pertanggung jawaban atas yang dipimpinya, hala inilah yang sangat di perlukan bahwa orang yang beriman hendaklah mengangkat pemimpin dari orang yang beriman juga,”.




D.    Kesimpulan Penulis
    
 Dari tafsir surat Ali Imran ayat 28-29 diatas dan berdasarkan kandungan hukum dalam ayat diatas penulis menyimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

Ø  Orang Mukmin dilarang mengangkat pemimpin dari orang kafir yang memimpin dirinya dan masyrakat kecuali dalam kondisi darurat.
Ø  Orang kafir tidak tidak dibenarkan memimpin orang mukmin (orang yang beriman) dikhawatirkan akan membawa orang-orang yang beriman  jauh dari Allah
Ø  Dan pemimpin orang yang beriman hendaklah orang yang beriman juga, sehingga lebih membawa kepada jalan-jalan kebenaran yakni kebenaran islam dan menjadi pemimpin yang sesui dengan tuntutan islam.dll

   Terahir demikianlah makalah tentang tafsir Surat Ali Imran  ayat 28-29 ini semoga bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi kita yang mempelajari tafsir mengenai hukum mengangkap peimpin dari orang-orang kafir (non Muslim). Berdasarkan ayat tersebut dai atas ternyata orang yang beriman dilarang mengangkat pemimpin dari orang kafir semoga bermanfaat. walhuallam bissawwab.(Hadidi.com).

DAFTAR PUSTAKA
__________Tafsir Ibnu Katsir/ Mukadimah Tafsir Ibnu Katsir pengantar“Syekh Imam Al-Hafiz, Imaduddin Abul Fida Ismail ibnul Khatib Abu Hafs, Umar ibnu Kasir”
__________ Tafsir  http://ibnukatsir.wordpress.com dan bilma’sur didownload dari http://www.vbaitullah.or.id.Kumpula PDf tafsir bil ma’sur mufassir diuplod tgl 29/maret 2011
__________Tafsir Ath Thabari
_________ Kumpulan hukum dalam tafsir surat Ali Imran ayat 28-29, “Mengakat pemimpin daro orang kafir”oleh  Arif Fathul Ulum bin AhmadSaifullah”2004.

_________Tafsir Al Misbah penulis Qurais Shihab.

_______ Jalalain Assyuthi dan assukani.


[1] . Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong
[2] . Disalin dari tafsir Ibnu Kasir Al Furqon 01/II/1424H.

[3] 1Majmu' Fatawa 13/330.
4.Tafsir Thobari: 1/161.
.
5.Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad yang shahih.
6.Majmu' Fatawa: 13/332
[5]  Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar