SESUNGGUHNYA pluralisme telah menjadi kesadaran
agama-agama sejak mula. Agama umumnya muncul dalam lingkungan pluralistik dan
membentuk eksistensi diri dalam menanggapi pluralisme itu. Bahkan, dikatakan
bahwa setiap agama justru lahir dari proses perjumpaan dengan kenyataan
pluralitas. Dus, pluralisme adalah fakta sosial yang selalu ada dan telah
menghidupi tradisi agama-agama. Walau demikian, dalam menghadapi dan menanggapi
kenyataan adanya berbagai agama yang demikian pluralistik itu, agaknya setiap
umat beragama tidaklah monolitik. Mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan
yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok
yang saling berhadap-hadapan.
SESUNGGUHNYA pluralisme telah menjadi kesadaran
agama-agama sejak mula. Agama umumnya muncul dalam lingkungan pluralistik dan
membentuk eksistensi diri dalam menanggapi pluralisme itu. Bahkan, dikatakan
bahwa setiap agama justru lahir dari proses perjumpaan dengan kenyataan
pluralitas. Dus, pluralisme adalah fakta sosial yang selalu ada dan telah
menghidupi tradisi agama-agama. Walau demikian, dalam menghadapi dan menanggapi
kenyataan adanya berbagai agama yang demikian pluralistik itu, agaknya setiap
umat beragama tidaklah monolitik. Mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan
yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok
yang saling berhadap-hadapan.
Pertama, kelompok yang menolak secara mutlak gagasan
pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok eksklusivis. Dalam memandang
agama orang lain, kelompok ini sering kali menggunakan standar-standar
penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama
lain. Secara teologis, misalnya, mereka beranggapan bahwa hanya agamanyalah
yang paling otentik berasal dari Tuhan, sementara agama yang lain tak lebih
dari sebuah konstruksi manusia, atau mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah
mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umatnya sendiri. Mereka memiliki
kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agama
diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Agama orang lain dipandang
bukan sebagai jalan keselamatan paripurna. Mereka mendasarkan
pandangan-pandangannya itu pada sejumlah ayat di dalam Alquran. Misalnya, [1] QS Ali Imran (3): 85, [2] QS
Ali Imran (3): 19 [3] QS Al-Maidah (5): 3. [4] QS An-Nisa (4): 144.
Kedua, kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan yang
tak terhindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa agama semua nabi
adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik-titik persamaan
sebagai benang merah yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang
dibawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang
membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat
teknis-operasinal bukan yang substansial-esensial, seperti tentang mekanisme
atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi
menu favorit di kalangan kelompok kedua ini. Misalnya, [1] QS Al-Kafirun (109):6 [2] QS Al-Baqarah (2):
256. [3] QS Al-Maidah (5): 69, [4] QS Al-An'am (6): 108.
Melihat hal di atas, maka muncul tarik tambang antara
satu ayat dengan ayat yang lain. Betapa, dalam satu spektrum, pluralisme
Quranik diungkapkan melalui janji penyelamatan terhadap orang-orang yang
beragama selain agama Islam (QS Al-Baqarah (2):62). Sementara pada spektrum
yang lain, absolutisme Islam juga terpampang dengan tegas dalam Alquran. Kontradiksi nyata antara beberapa
ayat Alquran yang mengakui sumber-sumber penyelamatan otentik lainnya di satu
sisi dan ayat-ayat lain yang menyatakan Islam sebagai satu-satunya sumber
penyelamatan di sisi yang lain harus diatasi untuk memungkinkan tegaknya sebuah
tata kehidupan berdampingan secara damai dengan umat agama lain.
Dalam kenyataannya sayang sekali tidak banyak para
ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki perhatian utama untuk coba
menyelesaikan ayat-ayat kontradiktif tersebut, baik dengan cara memperbarui
penafsiran maupun dengan menyusun sebuah metodologi tafsir yang baru. Hingga
sekarang, sekelompok pemikir Islam yang concern
pada gagasan pluralisme agama biasanya hanya mengutip satu-dua ayat yang
mendukung pluralisme agama dan sering kali melakukan pengabaian bahkan terkesan
“lari” dari ayat-ayat yang menghambat jalan pendaratan pluralisme agama.
Demikian juga sebaliknya. Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari
sudut pluralisme agama, para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang
secara literal jelas-jelas mendukung pluralisme agama.
Penyelesaian metodologis
Terhadap
sejumlah kontradiksi antara satu ayat yang mendukung pluralisme agama si satu
pihak dan ayat yang menolaknya di pihak yang lain tentu saja harus ada
penanganan dan penyelesaian metodologis. Sebab, sebagai teks yang memiliki
otoritas mutlak yang tak terbantahkan, Alquran adalah kunci untuk menemukan dan
memahami konsep pluralisme agama dalam Islam. Pembacaan terhadap kitab Alquran
sendiri secara cermat menyangkut tema pluralisme agama bukan saja sangat
berguna, melainkan terasa sangat mendesak di tengah semarak kekerasan di Indonesia
yang sering kali berbasiskan sejumlah teks agama, termasuk Alquran.
Untuk
kepentingan itu, pada hemat saya, Alquran kiranya perlu dipecah ke dalam dua
macam kategori.
Pertama, adalah ayat-ayat yang bersifat universal, ushul, ghayat (tujuan) dan lintas-batas
yang meliputi batas historis, ideologi, etnis, suku, bahkan agama. Ayat-ayat
seperti ini biasanya lebih banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar ajaran
dalam Islam, seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan (termasuk kesetaraan
gender), pluralisme (termasuk pluralisme agama), dan penegakan hak asasi
manusia (iqamah huquq al-insan).
Dalam lansekap ini, maka ayat-ayat yang mendukung pluralisme adalah ayat-ayat ushul yang derajat relevansinya tidak
terikat oleh ruang dan waktu.
Kedua, adalah ayat-ayat Alquran yang tergolong sebagai ayat partikular, juz`iy, fushul, dan wasilah. Yaitu, ayat-ayat yang biasanya berbicara tentang hal-hal
yang teknis-operasional dengan demikian ia terikat oleh konteks spasial. Masuk
dalam kategori model ayat kedua ini, di antaranya, adalah ayat-ayat yang
terkait dengan waris, ketidakadilan gender, perintah memerangi orang
kafir-musyrik, diskriminasi terhadap perempuan dan nonmuslim, dan lain-lain.
Dengan mengacu pada ayat yang demikian, maka dapat dimaklumi sekiranya para
ulama fikih klasik mempunyai pendirian teologis yang eksklusif. Mayoritas
pemikir fikih Islam klasik, misalnya, berpandangan bahwa (1) tidak
diperkenankan bagi orang kafir dzimmi
untuk tampil lebih unggul dari orang Islam; (2) nonmuslim tidak boleh menjadi
kepala negara bagi umat Islam; (3) nonmuslim adalah warga negara kelas dua, dan
sebagainya.
Menghadapi ayat-ayat partikular yang cenderung
eksklusif bahkan diskriminatif itu, maka pada hemat saya tidak bisa lain
kecuali harus segera ditundukkan ke dalam pengertian ayat dalam kategori
pertama. Ayat partikular mesti ditaklukkan ke dalam sinaran ayat-ayat
universal. Ayat yang fushul dapat
direvisi oleh ayat-ayat yang ushul.
Dengan demikian, ayat yang mendukung pluralisme agama dapat menganulir ayat
yang tidak mendukungnya. Inilah yang dimaksud oleh kaidah ushul fikih sebagai naskh
al-ayat bi al-ayat. Satu ayat dapat dianulir oleh ayat yang lain. Menurut
Ibnu al-Muqaffa, sayangnya umat Islam telah lama terlena oleh ayat-ayat yang fushul (partikular) dengan pengabaian
yang nyaris sempurna terhadap ayat-ayat yang ushul (universal). Ia menyatakan, I'rif al-ushul wa al-fushul; fa inna katsiran min al-nas yathlubuna
al-fushul ma'a idha'at al-ushul. Ketahuilah olehmu yang terperinci dan yang
prinsip. Karena sebagian besar dari manusia, mencari yang ayat-ayat terperinci,
sambil menggabaikan ayat-ayat yang prinsip.
Padahal,
dalam konteks masyarakat yang semakin mengarah pada kehidupan demokratis dan
pluralistik, maka mengacu pada model ayat kedua tadi kiranya tidak cukup
menolong. Sebaliknya, dengan berpegangan pada prinsip dasar ajaran seperti yang
tertuang di dalam model ayat pertama, diharapkan dapat membantu terciptanya
masyarakat yang rukun-damai. Terlebih dalam kasus Indonesia. Bahwa Indonesia bukanlah negara yang
hanya didirikan oleh komunitas muslim saja, melainkan oleh seluruh warga
negara, baik yang beragama Hindu, Buddha, Kristen, maupun Islam. Indonesia berdiri di atas seluruh jerih payah
seluruh warga negara Indonesia.
Dengan demikian, memperlakukan umat nonmuslim persis seperti yang ada di dalam
ayat-ayat partikular yang kemudian ditegaskan di dalam fikih Islam, bukan hanya
tidak bijak bestari melainkan juga bertentangan dengan logika ayat-ayat
universal yang mendukung pluralisme agama.
TERORISME
Oleh: Cucup Mochamad Supriadi
Sandiwara
Mengecam Terorisme?
Bagi
kelompok yang terakhir ini, melakukan perusakan dengan mengebom, termasuk
dengan meledakkan diri, adalah bagian dari jihad. Pengakuan para pelaku bom Bali I seperti Imam Samudra dan Amrozi, sangat
terang-benderang bahwa mereka melakukan hal itu karena.
Ada yang luput dari perhatian kita di tengah gencarnya
berita tentang terorisme akhir-akhir ini. Beberapa hari lalu (4/12), sekelompok
organisasi Islam “garis keras” mengadakan pertemuan yang menurut saya cukup
penting, khususnya karena mereka mendiskusikan tema yang sangat relevan, yakni
tentang konsep jihad.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh, antara lain, MMI
(Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), dan HTI (Hizbut
Tahrir Indonesia), para aktivis Islam itu berpandangan bahwa jihad tidak bisa
dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi, seperti meneror dan melakukan
bom bunuh diri.
Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di tanah air
selama ini, menurut mereka, bukanlah jihad, dan karenanya para pelakukanya
bukanlah syahid (martir) yang mendapatkan ganjaran surga. Sebaliknya, para
pelaku bom bunuh diri itu adalah penjahat yang harus dikecam. Dari sekian
banyak pendapat, yang menarik perhatian saya adalah pandangan Achmad Junaidi
Ath Thayyibi, salah seorang ketua HTI, yang mengatakan bahwa pelaku peledakan
bom di Indonesia tak sesuai dengan hukum Islam, sebab aksi-aksi itu hanya
menyengsarakan rakyat sipil. Menurut dia, dalam Islam, para pelaku teroris yang
tertangkap harus dihukum potong tangan atau disalib untuk mempermalukan para
pelakunya.
Pandangan semacam Ath Thayyibi itu penting, karena
selama ini para tokoh Islam cenderung ragu-ragu dalam mengambil sikap terhadap
terorisme dan bom bunuh diri. Bahkan sebagian di antara mereka tampak
mendukung, khususnya jika obyek pengeboman adalah tempat-tempat yang dianggap
musuh Islam, seperti pengeboman WTC di Amerika atau pengeboman kafe dan
diskotek di Bali.
Konsep Kabur
Jihad adalah sebuah konsep Islam yang sangat kabur
karena telah menjadi topik wacana berbagai kelompok Islam. Oleh kalangan
moderat, jihad diartikan bukan hanya perang, tapi juga berbagai aktivitas yang
mengarah kepada kebaikan. Pendidikan, pengobatan, serta kegiatan-kegiatan
sosial lainnya yang dapat memberikan maslahat bagi masyarakat juga bisa
dianggap sebagai jihad.
Sementara itu, oleh sebagian aktivis Islam, jihad
diartikan sebagai perjuangan fisik bersenjata melawan musuh-musuh Allah. Tidak
jelas benar apa yang mereka maksudkan dengan “musuh-musuh Allah.” Tapi, dalam
praktinya, “musuh-musuh Allah” yang mereka maksudkan adalah tempat-tempat
publik yang secara langsung maupun tak langsung berkaitan dengan dunia Barat
dan kemaksiatan, seperti kedutaan besar asing (milik orang-orang Barat kafir),
kafe-kafe dan bar (berkaitan dengan maksiat).
Bagi kelompok yang terakhir ini, melakukan perusakan
dengan mengebom, termasuk dengan meledakkan diri, adalah bagian dari jihad.
Pengakuan para pelaku bom Bali I seperti Imam
Samudra dan Amrozi, sangat terang-benderang bahwa mereka melakukan hal itu
karena panggilan jihad.
Dualisme makna jihad memang bukan persoalan baru.
Dalam wacana pemikiran Islam, ada dua makna jihad yang selalu dipertentangkan,
yakni antara jihad dengan cara-cara damai (silmi)
dan jihad lewat peperangan (harbi).
Sepanjang sejarah Islam, kaum Muslim bersaing dalam memperebutkan kedua makna
ini. Sementara kaum “Muslim moderat” berusaha memberikan citra positif terhadap
istilah jihad, kaum “Muslim radikal” memberikan citra yang keras dan cenderung
negatif terhadap konsep ini.
Jihad Negatif
Menarik untuk dicatat bahwa sejak 50 tahun terakhir,
jihad dalam maknanya yang negatif, yakni peperangan, kekerasan, dan terorisme,
mendominasi wacana dan pentas politik kehidupan kaum Muslim di seluruh dunia.
Dari Mesir hingga Indonesia,
kata “jihad” selalu digunakan dan diasosiasikan dengan kelompok atau organisasi
radikal. Di Mesir ada kelompok “al-Jihad al-Islami” yang dikenal, salah
satunya, karena berhasil membunuh presiden Anwar Sadat; di Pakistan ada
“Harakat ul-Jihad-i-Islami” yang populer karena aksi-aksi kekerasannya; di
Indonesia ada “Laskar Jihad” yang dikenal karena keterlibatannya dalam konflik
agama di Ambon.
Di dunia Barat dan di dunia luar Islam secara umum,
jihad dalam pengertian negatif lebih sering ditemukan ketimbang yang positif.
Bagi sebagian orang-orang non-Muslim, jihad bahkan identik dengan perang dan
kekerasan.
Kelompok-kelompok Islam keras yang menggunakan nama
“jihad” pada organisasi mereka tentu saja sangat berperan penting dalam
mendistorsi makna jihad. Tapi, pada hemat saya, mereka bukan satu-satunya
elemen dalam menyumbangkan makna pejoratif terhadap jihad. Para
tokoh Islam garis keras secara umum juga turut menyumbangkan citra negatif
terhadap konsep ini.
Sebelum polisi menggrebek dan menembak mati gembong
teroris Azahari, misalnya, kita hampir tak pernah mendengar ada tokoh Islam
garis keras yang secara terbuka mengecam terorisme. Mereka bahkan cenderung
mendukung atau paling tidak menyetujui tindakan-tindakan pengeboman yang
terjadi. Sebagian dari mereka bahkan menyatakan bahwa itu adalah salah satu
bentuk jihad dalam melawan Amerika dan Barat.
Sandiwara
Karena itu, pertemuan
kelompok-kelompok radikal dengan keputusan mereka menyatakan bahwa terorisme
dan bom bunuh diri bukan bagian dari jihad merupakan sebuah langkah maju, meski
sangat terlambat. Saya katakan terlambat karena pernyataan ini dikeluarkan
setelah begitu banyak peristiwa kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan
jihad. Soal keterlambatan pernyataan itu juga mengundang kecurigaan sebagian
orang. Ada yang
mencurigai bahwa kelompok-kelompok radikal itu mengeluarkan pernyataan simpatik
hanya alasan politis belaka, yakni untuk “cuci tangan” agar mereka tak
dikaitkan dengan kelompok Azahari dan para teroris lainnya. Di tengah gencarnya
polisi memburu para pelaku teroris, kelompok-kelompok radikal sepertinya ingin
mencari selamat dengan ikut-ikutan mengecam para teroris.
Terlepas apakah pernyataan para
tokoh Islam radikal itu lahir dari hati nurani dan kejujuran, bagi saya,
pernyataan positif itu tetap penting, paling tidak untuk mendukung kampanye
anti terorisme dan kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh pemerintah dan
tokoh-tokoh Muslim moderat selama ini. Publik akan menilai sendiri apakah para
tokoh Islam radikal itu sedang bersandiwara atau memang betul-betul berbicara
atas nama kejujuran dan hati nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar