KERAJAAN
SAFAWI
Muhammad Hadidi
jurusan Syariah FAI UMM
Safawi adalah
sebuah nama kerajaan Islam di Persia yang memerintah tahun 1501 – 1722, yang
berhasil memajukan dunia Islam kembali dari kemunduran, kendatipun tidak setara
dengan kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Umawiyah di spanyol dan Abbasiyah di
Baghdad, khusus di bidang ilmu pengetahuan. Ia memberi ciri nasionalisme kepada
bangsa Iran dengan identitas
baru, yaitu aliran Syi'ah yang menjadi landasan bagi perkembangan nasionalisme Iran abad
modern
Sejarah safawi
bermula dari perjuangan Safi
al-Din Ishak al-ardabily (1252 – 1334) pendiri dan pemimpin tarekat Safawiyah.
Dalam dekade 1301 – 1447 M gerakan Safawi bercorak murni keagamaan dengan
tarekat Safawiyah sebagai sarananya. Jumlah pengikutnya semakin besar. Karena
tidak mencampuri politik, gerakannya dapat berjalan dengan aman baik pada masa
kekuasaan Ilkhan maupun pada masa penjarahan Timur Lenk.
Dalam dekade 1447 – 1501 M Safawi memasuki tahap gerakan politik, sama
halnya dengan gerakan sanusiyah di Afrika Utara. Mahdiyah di Sudan dan
Maturidiyah serta Naksyabandiyah di Rusia. Sebagai gerakan politik dimulai di
bawah pimpinan Junaid ibnu Ali. Akibatnya, Safawi mulai terlibat
konflik-konflik dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada di Persia waktu itu,
misalnya konflik politik dengan kerajaan-kerajaan Koyonlo (domba hitam) yang
bermazhab syi'ah dan dengan kerajaan ak-Koyonlo (domba putih) yang bermazhab
Sunni di bawah kekuasaan Imperium Usmani. Karena kegiatan politiknya, Junaid
mendapat tekanan berta dari Raja Kara Koyonlo di daerah Ardabil,
sehingga ia terpaksa meninggalkan daerah tersebut dan meminta suaka politik
dengan raja Ak-Koyonlo.
Di antara kegiatan politik yang penting dilakukan
Safawi dalam dekade ini adalah penyerangan militer guna mendapat wilayah untuk
dijadikan sebagai basis gerakan dan mengadakan aliansi politik dengan Raja
Ak-Koyonlo, Uzun Hasan. Walaupun sampai pada masa pimpinan Haidar Ibnu unaid,
Safawi belum dapat mewujudkan cita-citanya, namun ia sempat memberikan suatu
atribut kepada para pendukungnya dengan serba merah yang ebrumbai dua belas,
sehingga mereka terkenal dengan sebutan Qizilbas (Kepala Merah). Rumbai dua
belas yang melambang Syi'ah Isna 'Asyariyah (Dua Belas Imam) mempunyai pengaruh
yang besar dalam menanamkan sifat fanatisme dan militansi para pengikut Syi'ah
dengan pemimpinnya. Puncak gerakan Safawi terjadi pada masa pimpinan Ismail
Ibnu Haidar, adik dari Ali Ibnu Haidar. Ia beruasaha memanfaatkan kedudukannya
sebagai Mursyid untuk mengkonsolidasikan kekuatan politiknya. Secara
sembunyi-sembunyi ia menjalin hubungan yang erat dengan seluruh pengikutnya.
Dalam waktu kurang lebih lima
tahun, ia berhasil menghimpun kekuatan yang cukup besar. Setelah berhasil
menaklukan Syirwan, ia bergerak menuju Ak-Koyonlo. Dalam suatu peperangan yang
sengit di Sharur dekat Nackhchiwan tahun 1501 ia berhasil memenangkan
peperangan dengan gemilang, sehingga pada tahun itu juga ia memasuki kota
Tebrez seraya memproklamasikan berdirinya kerajaan Safawi dengan ia sendiri
sebagai Syahnya yang pertama dan menetapkan Syi'ah Dua Belas sebagai agama
resmi kerajaan Safawi. Dengan diproklamasikannya kerajaan Safawi sebagai
kerajaan dan ditetapkan pula Syi'ah sebagai agama kerajaan maka merdekalah Persia dari
pengaruh dari kerajaan Usmani dan kekuatan asing lainnya.
Kemajuan kerajaan safawi sudah dimulai sejak Syah Abbas yang Agung (1587
– 1629), Syah kelima dari kerajaan Safawi, baik di bidang politik, militer
maupun ekonomi dan pembangunan, kecuali di bidang sains, teknologi, hukum dan
filsafat yang kurang maju. Menjelang kehancurannya, kerajaan Safawi secara
formal diperintah oleh empat orang Syah, yaitu Syah dari Safi Mirza (1629 –
1667 M), Syah Sulaiman (1667 – 1694 M), Syah Husain (1694 – 1722 M) sebagai
raja terakhir. Dari keempat raja tersebut yang berhasil menahan kemerosotan kerajaan
hanya Syah Abbas II, sedangkan ketiga Syah lainnya tidak berdaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Prof, Dr, MA, 2001, Ensiklopedi Islam, jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoe.
Rasyidi, HM, Prof, Dr, 1993, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Departemen
Agama.
Labels:
Sejarah
A.
Awal Peradaban Islam di Persia
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perkembangan peradaban Islam baru
bekembang di Persia
sejak dinasti Abbasyiah di Baghdad mengalami kemunduran. Namun demikian,
perkembangan peradaban Islam kala itu masih sebatas permulaan. Sejatinya,
perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya kerajaan Safawi
yang dipelopori oleh Safi al-Din yang hidup sejak tahun 1252 hingga 1334 M.[1]
Kerajaan ini berdiri di saat kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya.
Kerajaan ini pertama kali dipimpin oleh Ismail. Ia berkuasa kurang lebih selama
23 tahun, yakni antara tahun 1501 sampai 1524 M.
Kerajaan Safawi itu sendiri berasal dari sebuah gerakan tarekat bernama Safawiyah yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat Safawiyah ini didirikan bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di Turki. Hingga di masa perkembangannya, nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.
Sebagai pendiri kerajaan, Safi al-Din dikenal sebagai pribadi yang agamis. Ia merupakan keturunan Musa al-Kazhim yang terkenal sebagai imam Syi’ah yang keenam. Setelah ia berguru dengan Syaikh Taj al-Din Ibrahim Zahidi dan menjadi menantunya, ia mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301 M. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan golongan Ahl al-Bid’aH Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil inilah, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-murid di daerahnya masing-masing.[2]
B. Proses Perkembangan Peradaban Islam di Persia
Peradaban Islam di Persia berkembang cukup cepat. Hal ini ditandai dengan mulai meluasnya daerah kekuasaan pada masa kepemerintahan Abbas I yang menjadi raja kelima dari dinasti Safawi. Meskipun pada masa pemerintahannya sering terjadi perebutan daerah kekuasaan dengan kerajaan Turki Usmani yang notabenenya sebagai sesama kerajaan Islam, namun pada masa pemerintahannya inilah, perkembangan peradaban Islam mulai berkembang pesat.
Ahmad al-Santanawi mengungkapkan bahwa perkembangan peradaban Islam di Persia diawali dengan penunjukkan kota Isfahan sebagai Ibu kota kerajaan Safawi pada saat Abbas I menjadi penguasa kerajaan Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yakni Jayy dan Yahudiyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi.[3]
Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan kota ini masuk dalam wilayah Islam. Pemdapat pertama mengatakan bahwa penaklukkan kota ini terjadi pada tahun 19 H atas perintah khalifah Umar Ibn Khattab. Sedangkan pendapat kedua yang beraliran Bashrah menyebutkan bahwa kota ini ditaklukkan pada tahun 23 H di bawah pimpinan Abu Musa al-Asy’ari. Namun terlepas dari kedua perbedaan di atas, al-Santanawi menyatakan bahwa Isfahan menjadi kota penting sebagai pusat industri dan perdagangan setelah penaklukkan kedua terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.[4]
Dengan demikian, peradaban Islam di Persia mulai berkembang pesat setelah kota Isfahan berhasil ditaklukkan oleh bala tentara Dinasti Abbasiyyah untuk yang kedua kalinya. Berangkat dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa proses perkembangan peradaban Islam di Persia dilakukan dalam rangka perluasan daerah kekuasaan.
C. Kemajuan Peradaban Islam di Persia
Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban memiliki arti yang hampir sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan dalam hal perwujudannya. Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan peradaban lebih diwujudkan dalam hal politik, ekonomi dan teknologi.[5] Demikian juga dengan kemajuan peradaban Islam di Persia.
Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam di Persia khususnya dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pusat perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur dan Barat. Sebelum dikuasai sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis. Di samping itu, raja Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent) sebagai daerah yang maju di sektor pertanian.
Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Mereka inilah yang selalu hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di sana. Pada masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari kerajaan lain pada masa yang sama.
Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat perkembangan peradaban Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. XVI, 2004, hlm. 138.
[2] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, hlm. 60.
[3] Ahmad al-Santanawi, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, hlm. 258-259.
[4] Ibid., hlm. 259.
[5] Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 5.
Kerajaan Safawi itu sendiri berasal dari sebuah gerakan tarekat bernama Safawiyah yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat Safawiyah ini didirikan bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di Turki. Hingga di masa perkembangannya, nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.
Sebagai pendiri kerajaan, Safi al-Din dikenal sebagai pribadi yang agamis. Ia merupakan keturunan Musa al-Kazhim yang terkenal sebagai imam Syi’ah yang keenam. Setelah ia berguru dengan Syaikh Taj al-Din Ibrahim Zahidi dan menjadi menantunya, ia mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301 M. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan golongan Ahl al-Bid’aH Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil inilah, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-murid di daerahnya masing-masing.[2]
B. Proses Perkembangan Peradaban Islam di Persia
Peradaban Islam di Persia berkembang cukup cepat. Hal ini ditandai dengan mulai meluasnya daerah kekuasaan pada masa kepemerintahan Abbas I yang menjadi raja kelima dari dinasti Safawi. Meskipun pada masa pemerintahannya sering terjadi perebutan daerah kekuasaan dengan kerajaan Turki Usmani yang notabenenya sebagai sesama kerajaan Islam, namun pada masa pemerintahannya inilah, perkembangan peradaban Islam mulai berkembang pesat.
Ahmad al-Santanawi mengungkapkan bahwa perkembangan peradaban Islam di Persia diawali dengan penunjukkan kota Isfahan sebagai Ibu kota kerajaan Safawi pada saat Abbas I menjadi penguasa kerajaan Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yakni Jayy dan Yahudiyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi.[3]
Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan kota ini masuk dalam wilayah Islam. Pemdapat pertama mengatakan bahwa penaklukkan kota ini terjadi pada tahun 19 H atas perintah khalifah Umar Ibn Khattab. Sedangkan pendapat kedua yang beraliran Bashrah menyebutkan bahwa kota ini ditaklukkan pada tahun 23 H di bawah pimpinan Abu Musa al-Asy’ari. Namun terlepas dari kedua perbedaan di atas, al-Santanawi menyatakan bahwa Isfahan menjadi kota penting sebagai pusat industri dan perdagangan setelah penaklukkan kedua terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.[4]
Dengan demikian, peradaban Islam di Persia mulai berkembang pesat setelah kota Isfahan berhasil ditaklukkan oleh bala tentara Dinasti Abbasiyyah untuk yang kedua kalinya. Berangkat dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa proses perkembangan peradaban Islam di Persia dilakukan dalam rangka perluasan daerah kekuasaan.
C. Kemajuan Peradaban Islam di Persia
Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban memiliki arti yang hampir sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan dalam hal perwujudannya. Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan peradaban lebih diwujudkan dalam hal politik, ekonomi dan teknologi.[5] Demikian juga dengan kemajuan peradaban Islam di Persia.
Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam di Persia khususnya dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pusat perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur dan Barat. Sebelum dikuasai sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis. Di samping itu, raja Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent) sebagai daerah yang maju di sektor pertanian.
Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Mereka inilah yang selalu hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di sana. Pada masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari kerajaan lain pada masa yang sama.
Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat perkembangan peradaban Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. XVI, 2004, hlm. 138.
[2] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, hlm. 60.
[3] Ahmad al-Santanawi, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, hlm. 258-259.
[4] Ibid., hlm. 259.
[5] Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 5.
notokat 7:58 PM