Nama
: Muhammad Hadidi
Nim : 201010020311017
Tugas Tafsir Ahkam Qs.
Al-Hujurat:9-10
Artinya:
9. Dan jika ada dua golongan dari kalangan
orang-orang mukmin bertikai, maka damaikanlah antara keduanya itu. Kemudian
jika salah satu diantara keduanya itu menganiaya (menyerang) golongan yang
lain, maka perangilah golongan yang menganiaya itu sehingga mereka kembali
kepada hukum Allah. Kemudian jika mereka itu sudah mau kembali, maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku jujurlah kamu karena sesungguhnya
Allah suka kepada orang-orang yang
jujur. 10. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka buatlah
kedamaian antara saudaramu itu, dan takutlah kepada Allah, supaya kamu mendapat
rahmat.(Qs. Al-Hujurat 9-10)
Asbabun Nuzul dari ayat 9-10 yaitu:
a. Riwayat
Bukhari, Muslim, Ibnu Jarir dan lain-lain dari Anas r.a yang mengatakan sebagai
berikut: “ Ada seorang menyarankan kepada Nabi saw. Untuk pergi ke tempat
Abdullah bin Ubay , lalu beliau pun pergi sambil menunggang himar yang dikawal
beberapa orang sambil berjalan kaki. Setelah Nabi saw. Sampai Abdullah bin Ubay berkata : Jangan mendekat, karena bau
busuknya ontamu iti mengganggu aku. Lalu ada sahabat anshar menjawab : Demi
Allah onta Rasulullah saw. Lebih harum baunya daripada kamu. Mendengar ucapan
semacam itu, salah seorang dari kelompok Abdullah marah, dan disusul dengan
kemarahan orang Anshar. Akhirnya terjadilah perkelahian antara kedua golongan
tersebut. Lalu turunlah ayat: “Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin
itu bertikai….dan seterusnya…”
b. Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwa Usamah bin Zaid r.a menceritakan, bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. Menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah yang sedang sakit,
melewati sekelompok manusia yang sedang duduk-duduk, yang di situ terdapat
Abdullah bin Ubay dan Abdullah bin Rawahah. Tiba-tiba Abdullah bin Ubay menutup
mukanya dengan selendang, seraya berkat: Jangan kalian mengotori kami dengan
debu. Lalu Abdullah bin Rawahah menjawab: Sungguh himar Rasulullah saw. Lebih
harum baunya daripada engkau. Mendengar suara itu, masing-masing golongan
bangkit rasa ta’assubnya sehingga terjadilah perkelahian antara mereka, ada
yang memukul dengan sandal, tangan dan pelepah kurma. Lalu turunlah ayat
tersebut.
c. Hadis
tentang asbanun nuzul Qs. Al-Hujurat: 9
حَدَّثَنَامُسَدَّدٌحَدَّثَنَامُعْتَمِرٌقَالَسَمِعْتُأَبِيأَنَّأَنَسًارَضِيَاللَّهُعَنْهُقَالَقِيلَلِلنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَلَوْأَتَيْتَعَبْدَاللَّهِبْنَأُبَيٍّفَانْطَلَقَإِلَيْهِالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَوَرَكِبَحِمَارًافَانْطَلَقَالْمُسْلِمُونَيَمْشُونَمَعَهُوَهِيَأَرْضٌسَبِخَةٌفَلَمَّاأَتَاهُالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَقَالَإِلَيْكَعَنِّيوَاللَّهِلَقَدْآذَانِينَتْنُحِمَارِكَفَقَالَرَجُلٌمِنْالْأَنْصَارِمِنْهُمْوَاللَّهِلَحِمَارُرَسُولِاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَأَطْيَبُرِيحًامِنْكَفَغَضِبَلِعَبْدِاللَّهِرَجُلٌمِنْقَوْمِهِفَشَتَمَهُفَغَضِبَلِكُلِّوَاحِدٍمِنْهُمَاأَصْحَابُهُفَكَانَبَيْنَهُمَاضَرْبٌبِالْجَرِيدِوَالْأَيْدِيوَالنِّعَالِفَبَلَغَنَاأَنَّهَاأُنْزِلَتْ {وَإِنْطَائِفَتَانِمِنْالْمُؤْمِنِينَاقْتَتَلُوافَأَصْلِحُوابَيْنَهُمَا}
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami
Mu’tamar yang berkata aku mendengar ayahku yang berkata bahwa Anas radiallahu
‘anhu berkata dikatakan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] seandainya
anda menemui Abdullah bin Ubay maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
berangkat dengan menaiki keledai sedangkan kaum muslimin berjalan kaki di tanah
yang tandus. Ketika Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menemuinya, Abdullah
bin Ubay berkata “menjauhlah dariku demi Allah bau keledaimu mengaggangguku”.
Seseorang dari kaum Anshar dintara mereka berkata “demi Allah keledai
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lebih harum darimu” maka orang dari
kaumnya Abdullah marah dan mencacinya. Kemudian setiap orang dari kedua
kelompok menjadi marah. Dan diantara mereka terjadi saling pukul dengan pelepah
kurma, tangan dan sandal kemudian sampai kepada kami bahwa turun ayat “jika dua
kelompok kaum mukminin berperang maka damaikanlah antara keduanya” [Shahih
Bukhari 3/183 no 2691]
Asbabun
nuzul Al Hujurat ayat 9 di atas terkait dengan dua kelompok yang saling
berselisih sehingga terjadi saling pukul diantara mereka.
- Kelompok pertama adalah kelompok yang membela Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diantaranya salah seorang dari kaum Anshar dan sahabatnya.
- Kelompok kedua adalah yang membela Abdullah bin Ubay. Kelompok ini termasuk di dalamnya Abdullah bin Ubay berserta sahabat-sahabatnya.
Kedua
kelompok ini tetap disebut Allah SWT dengan “kaum mukminin” padahal pada
kelompok kedua terdapat Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya yang masyhur
dikenal sebagai munafik. Apakah kaum munafik ini yang disebut “kaum
mukminin”?. Jelas tidak, maka yang dapat dipahami dari lafaz tersebut
adalah diantara mereka yang membela Abdullah bin Ubay terdapat kaum mukminin
yang terpengaruh oleh Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya yang munafik.
Ayat
ini membuktikan bahwa jika dalam suatu kelompok terdapat orang-orang mukmin dan
sebagian kecil orang munafik maka kelompok tersebut masih disebut sebagai
kelompok kaum mukminin.Dari sini dapat diterima bahwa walaupun di dalam
kelompok Muawiyah terdapat orang yang munafik maka itu tidak bertentangan
dengan hadis Imam Hasan di atas.
Tafsir:
1. Perkataan
“Dan jika ada dua golongan dari kalangan orang-orang mukmin bertikai”. Bahwa
kata “thaifah” (golongan) adalah
tunggal (mufrad) tetapi berarti banyak (jama’), karena “golongan” itu
menunjukkan pada sejumlah manusia. Oleh karena itu, kata berikutnya dengan
mempergunakan “iqtataluu”(mereka
bertikai) guna menjaga arti. Karena setiap
thaifah dari kedua thaifah itu
adalah suatu jama’ah. Kemudian berikutnya Allah berfirman ”maka damaikanlah
antara keduanya”, tidak dikatakan “antara mereka”, guna menjaga kemurnian
lafal. Sedang titik utama dalam suasana pertingkaian, berarti terjadilah
fitnah, sedangg mereka itu bercampur baur. Justru itu dhamir dalam kata “ashlihu” itu dijamakkan. Kemudian dalam
kondisi damai itu, masing-masing kelompok bersepakat, sehingga mereka bagaikan
dua golongan. Untuk itu, maka “bainahuma” itu diduakan (mustanna).
2. Imam
Fakhrur Razi berkata: Allah mengatakan “minal mukminin”, bukan “minkum”,
padahal yang dituju adalah orang-orang mukmin, adalah karrena sebelumnya telah
disebut kalimat “hai orang-orang yang beriman” yang terasa sangat jelek kalau
disebutkan “minkum”, sekaligus untuk menghilangkan kesalahpahaman, dikiranya
orang yang diseru itu adalah lain dari orang-orang mukmin yang dimaksud
terdahulu. Sebagaimana seorang tuan mengatakan pada hambanya:”Kalau engkau meliahat
salah seorang hambaku berbuat sesuatu yang kurang baik, maka cegahlah”. Omongan
seperti itu berarti melarang orang yang diajak omong tersebut dari melakukan
perbuatan serupa. Ini adalah suatu cara yang sangat baik. Begitu jugalah halnya
firman Allah,”jika ada golongan orang-orang mukmin yang bertinkai….dan
seterusnya” di sini, tidak dipakainya kata “minkum” (dari antara kamu), adalah
maksdunya melarang kamu bertikai. Jadi maksudnya persis seperti seorang tua
yang berbicara dengan hambanya tadi.
Hukum yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah:
Dari ayat ini kita bisa mengambil
sepuluh pelajaran penting, di antaranya sebagai berikut:
1.
Meskipun iman memang bisa mencegah
konflik, tetapi kalau itu terjadi di tengah-tengah masyarakat mukmin maka itu
hanyalah peristiwa insidentil dan bukan kebiasaan mereka. Kerana kata-kata iqatatalû
tidak menunjukkan hal yang terjadi secara terus menerus, berbeza dengan kata yaqtatiluna
yang menunjukkan kebiasaan yang sering mereka lakukan.
2.
Etika mengajarkan kepada kita untuk
menisbatkan segala kekurangan dan kesalahan kepada diri peribadi dan bukan
kepada orang lain. Ayat ini tidak mengatakan bahawa dua kelompok dari kalian
tapi mengatakan dua kelompok orang-orang mukmin, iaitu seolah-lah mengatakan
kalian tidak akan melakukan demikian.
3. Perang biasanya
tidak hanya mengambil nyawa pihak-pihak yang bertempur tetapi juga
mengorbankan pihak ketiga yang tidak terlibat. Kata-kata iqtatalû dalam
bentuk plural untuk menujukkan semua pihak.
4. Orang-orang
Muslim harus memiliki pendapat yang tegas terhadap orang-orang yang berperang
dan jangan membiarkan itu terjadi berlarut-larut. Maka damaikanlah!
5. Bersikaplah
proaktif untuk mendamaikan peperangan di antara komuniti Muslimin. Preposisi fa
di dalam frasa fa ashlihû menunjukan erti segera dan cepat.
6. Kalau salah
satu kelompok kaum mukminin berperang melawan para pemberontak, maka semua
pihak harus membantu peperangan ini untuk melumpuhkan kaum pemberontak. Jika
salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang berbuat zalim
itu, maka perangilah yang berbuat zalim itu.
7. Untuk
memelihara stabilitas dan keamanan serta demi tegaknya keadilan, kalau perlu
perangilah dan bunuhlah orang-orang yang zalim.
8. Kekerasan dapat
dilawan dengan kekerasan lagi. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim
terhadap (golongan) yang berbuat zalim itu, maka perangilah yang berbuat zalim
itu. Namun Islam juga menyuguhkan hukuman untuk memberi kesempatan dan
waktu kepada kaum yang memberontak (zalim) itu.
9. Untuk melumpuhkan
kaum yang zalim kita tidak boleh bersikap lembut.
10. Dalam
melumpuhkan orang-orang yang zalim, kita tidak boleh membabi buta menyerang
keluarga, isteri, dan anak-anaknya. Kita hanya mendatangi orang yang bersalah
tersebut.
11. Ketika
melumpuhkan kelompok para pembangkang, janganlah memikirkan
pertimbangan-pertimbangan lain apakah orang itu dari kalangan sendiri ataukah
dari orang luar. Maka perangilah orang-orang yang zalim (memberontak).
12. Kebangkitan
masyarakat Muslim dilandasi oleh tujuan-tujuan yang suci.
13. Berjuang itu
dari awal sampai akhir, tidak diikat oleh bulan dan waktu tertentu. Seperti
lamanya seorang pasien yang harus berada dalam penanganan doktor begitu juga
dengan obat-obatan yang harus dikonsumsi, ia harus terus melakukan itu
sampai sihat kembali.
14. Perjuangan
melumpuhkan para pemberontak bukan kerana dipicu oleh kepentingan-kepentingan
ras, bangsa, kaum, atau untuk membalas dendam atau untuk mencari popularitas
tetapi tujuan yang ingin dicari adalah mengembalikan mereka ke jalan yang benar.
15. Dalam situasi
peperangan ketika kita tidak mengetahui mana pihak yang menyerang, maka kita
harus berusaha mati-matian untuk menghentikan fitnah tersebut dan mencari
solusi damai. Namun untuk selanjutnya ketika kita mengetahui pihak pemberontak,
maka usaha-usaha untuk menghentikan fitnah dan menciptakan perdamaian
diarahkan demi membela hak-hak yang mazlum dan mengambil hak itu dari yang
zalim.
16. Tugas komuniti
Muslim berbeza-beza tergantung situasi dan kondisi. Kadang-kadang mereka harus
menawarkan perdamaian kadang-kadang mereka juga harus berperang. Di dalam ayat
ini kata damaikanlah (ashlihû) dan perangilah
disebut dua kali.
17. Manakala
pihak-pihak yang berperang berhasil didudukkan secara bersama-sama, maka
kerugian-kerugian harus ditanggung oleh pihak agresor. Imam Ali as mengatakan,
“Umat yang tidak mahu mengembalikan hak yang lemah dari yang kuat maka umat itu
tidak memiliki martabat.”
18. Ketika suasana
dicekam oleh kemarahan dan anarki, maka sampaikan kata-kata nasihat secara
bertahap.
19. Perdamaian itu
sangat penting kerana dapat mengembalikan hak yang hilang, sementara sikap diam
atas peperangan itu banyak kerugiannya kerana mengorbankan sekian nyawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar