Muhammadiyah Malang
|
|
Hudzaifah.org -
Menikah memang dianjurkan dalam Islam terutama mereka yang masih muda usia.
Rasulullah SAW bersabda, "Wahai para pemuda, siapa diantar kalian yang
telah mampu, maka menikahlah."
Namun bila belum mampu baik secara finansial maupun juga dari segi-segi yang lain, maka menikah bukan merupakan solusi yang terbaik. Karena harus menambah beban kehidupan yang lebih banyak. Karena pernikahan itu tidak lain adalah tanggung-jawab. Karena itu sikap tawazun adalah lebih utama. Memang banyak sekali orang yang menganjurkan menikah dini dengan disertai dengan beragam dalil serta contoh. Untuk beberapa kasus dan kondisi, bisa saja menjadi solusi tepat, tetapi bukan berarti menikah dini menjadi satu-satunya solusi tetap. Bahkan bila salah perhitungan, bukan solusi yang didapat melainkan masalah baru. Karena itu Rasulullah SAW pun menganjurkan para pemuda untuk menikah dengan terlebih menyebutkan bila sudah mampu dan siap. Hadits itupun juga menjelaskan bagaiman bila belum siap, yaitu disunnahkan untuk berpuasa. Artinya, menikah muda memang sebuah solusi pada suatu kasus tapi bukan berarti berlaku pada semua kasus. Ada kondisi tertentu dimana seseorang memang belum siap untuk pernikahan, karena itu ada solusi lain yang ditawarkan dalam hadits itu. Jadi pertimbangkan masak-masak dan minta juga penilaian orang-orang yang telah menikah, pikirkan susah dan senangnya, terutama juga restu dari orang tua yang tentunya punya sekian banyak harapan. Bila ternyata semua memberi lampu hijau dan kita yakin dengan kemampuan kita, maka bismillah, segera menikah. Sebaliknya, bila tentangan dan tantangannya jauh lebih banyak, maka berpikir dua tiga kali lebih bijaksana ketimbang sekedar memaksakan kehendak. [] Sumber : www.syariahonline.com |
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka,secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (Q.S. Ar-Ra’ad : 22)
5 Feb 2012
|
::
Aku Dimakamkan ::
Muhammad Hadidi
Universitas Muhammadiyah Malang
Perlahan tubuhku ditutup tanah Perlahan semua pergi meninggalkanku Masih terdengar jelas langkah langkah terakhir mereka Aku sendirian di tempat gelap yang tak pernah terbayang sendiri ... menunggu keputusan Kekasih belahan hati, belahan jiwa pun pergi, Kawan dekat .. rekan bisnis ... atau orang-orang lain, aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka. Kekasihku menangis, sangat pedih, aku pun demikian, Mereka menangis, tak kalah sedih, dan aku juga, Tangan kananku menghibur mereka, kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan, tetapi aku tetap sendiri, disini menunggu perhitungan Menyesal sudah tak mungkin, Tobat tak lagi dianggap, dan ma'af pun tak bakal didengar aku benar-benar harus sendiri Tuhanku, [entah dari mana kekuatan itu datang, setelah sekian lama aku tak lagi dekat denganNya] Jika Kau beri aku satu lagi kesempatan, Jika Kau pinjamkan lagi beberapa hari milikMu beberapa hari saja Aku harus berkeliling, memohon ma'af pada mereka, yang selama ini telah merasakan zalimku, yang selama ini sengsara karena aku, yang tertindas dalam kuasaku. yang selama ini telah aku sakiti hati nya yang selama ini telah aku bohongi Aku harus kembalikan, semua harta kotor ini, yang kukumpulkan dengan wajah gembira, yang kukuras dari sumber yang tak jelas, yang kumakan, bahkan yang kutelan. Aku harus tuntaskan janji janji palsu yg sering ku umbar dulu Dan Tuhan, beri lagi aku beberapa hari milikMu untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta teringat kata kata kasar dan keras yg menyakitkan hati mereka maafkan aku ayah dan ibu mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayang mu beri juga aku waktu, untuk berkumpul dengan kekasihku untuk sungguh sungguh beramal soleh Aku sungguh ingin bersujud dihadapMu, bersama mereka .... begitu sesal diri ini karena hari hari telah berlalu tanpa makna Penuh kesia - siaan Kesenangan yang pernah kuraih dulu Tak ada artinya sama sekali Mengapa ku sia sia saja, waktu hidup yang hanya sekali itu Andai ku bisa putar ulang waktu itu Aku dimakamkan hari ini Dan aku harus sendiri Untuk waktu yang tak terbayangkan |
Macam-macam
Qiyas
Qiyas dibagi menjadi dua, Iqtirani (silogisme
katagoris) dan Istitna’I (silogisme hipotesis),sesuai dengan definisi qiyas
diatas,satu qadhaiyyah atau beberapa qadhaiyyah yang tidak dikaitkan
antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhaiyyah baru, Jadi
untuk memberikan hasil(konklusi) diberikan beberapa qadhaiyyah yang saling
berkaitan dan itulah yang namanya qiyas sebagai kumpulan dari beberapa
qadhaiyyah yang berkaitan yang jika
benar maka dengan sendirinya(li dzatihi) akan menghasilkan qadhaiyyah yang
lain.
1. Pertama adalah qiyas iqtirani (silogisme
katagoris):
qiyas atau silogisme yang mana mawdlu’ dan mahmulnya itu natijahnya(hasilnya
terpisah pada dua muqaddimah)
Contohnya :
-
Tembaga
adalah barang tambang (Mukaddimah Shugra)
-
Setiap
barang tambang konduktor yang baik untuk panas (Mukaddimah kubra)
-
Tembaga
adalah konduktor yang baik untuk panas (Natijah)
Yang paling berperan
dalam qiyas penghubung antara mawdhu’ mukaddimah- shugra dengan mahmul
mukaddimah kubra dan penghubung itu di sebut had- awsath. Jadi yang
menjadi had awsath disini adalah barang tambang(ma’dinun)
Dilihat dari kedudukkan had
awsathnya pada Mukaddimah shugra dan qubra ada empat bentuk:
1. As Syakl Awwal adalah Qiyas yang had
awsth-nya menjadi makmul pada mukaddimah shugra dan
menjadi mawudu’ pada mukaddimah kubra.
Contoh:
-
Setiap
Nabi itu ma’shum
-
Setiap orang
ma’shum adalah teladan yang baik
-
Maka “setiap nabi adalah teladan yang baik”
-
Ma’shum adalah
awsath,yang
menjadi mahmul pada mukaddimah suhugra dan menjadi mawdhu’ pada mukaddimah kubra.
2. Syakl kedua adalah qiyas yang had awshat-nyal menjadi mahmul pada kedua
mukaddimah-nya.Misalnya”Setiap Nabi ma’shum”,dan “Tidak
satupun pendosa itu ma’shum”,Maka “tidak satupun dari nabi itu pendosa”
Tetapi disini kita tidak akan banyak membahas tentang Syakl kesatu dan
syakl kedua,tetapi kita akan membahas
tentang Syakl ketiga dan ke empat dan syarat-syaratnya untuk menjadi sebua
argumentasi.
3. As Syakl yang ketiga adalah qiyas yang mana had awsathnya menjadi
maudhu’ pada mukaddimanya,mukaddimah sughra ataupun kubra.
Contohnya :
-Setiap Nabi ma’shum
-Setiap Nabi adalah imam
-Sebagian orang ma’shum adalah imam
Syarat-syarat Syakl yang ketiga
adalah:
a.Mukaddimah shugra harus berupa
mujabah (setiap nabi ma’shum)
b.Salah satu dari kedua mukaddimah
harus kulliyah.
4. As Syakl yang ke empat adalah qiyas
yang mana had awsathnya menjadi maudhu’ pada mukaddimah shugra dan menjadi
mahmul pada mukaddimah kubra
Contoh:
-Setiap Ma’shum adalah nabi
-Setiap nabi adalah teladan yang
baik dan ma’sum
-Maka setiap yang ma’sum adalah
teladan yang baik
Syarat-syarat
Syakl keempat :
a. Kedua mukaddimahnya harus mujabah
b. Mukaddimnah shugra harus kulliyah
c. Kedua mukaddimah harus berbeda
kualitasnya(kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus
kulliyah
Muhammad Hadid
Universitas Muhammadiyah Malang
Pendahuluan
Manusia
terlahir dalam keadaan bodoh tidak tahu suatu apapun, kemudian tuhan
menciptakan indra untuknya, baik indra penglihat, pendengar perasa atau
indra-indra lain. Dengan indra-indra di atas manusia belum ada bedanya dengan
hewan, akhirnya tuhan menciptakan akal sebagai alat untuk berfikir, dengan akal
inilah ada perbedaan antara menusia dan hewan. Namun di sana tuhan juga
menciptakan kekuatan-kekuatan internal atau eksternal yang dapat mempengaruhi
keberadaan akal tersebut dalam berfikir, sehingga terkadang bahkan seringkali
mereka melakukan kesalahan, karena itu Ilmu Mantiq ada untuk
menanggulaginya dengan meletakkan batas-batas tertentu dalam berfikir, sehingga
manusia menjadi terjaga dari kesalahan tersebut.
Doktor
Muhammad Rabi’ al-Jauhary, doktor al-Azhar fakultas Ushuluddin
menyebutkan dalam bukunya”Dhowabitu al-Fikr” bahwa kecendrungan,
pengaruh, kebiasaan, taklid dan kepentingan pribadi seringkali mempengaruhi
akal dalam berfikir. Beliau juga menyebutkan dalam buku
tersebut bahwa seandainya manusia hanya dibekali akal saja tanpa adanya
pengaruh-pengaruh di atas, maka Ilmu Mantiq tidak perlu untuk
diterapkan.
Ibnu Sina mengatakan bahwa
Mantiq adalah alat untuk berfikir yang dapat mengantarkan kita untuk mengetahui
keabsahan Had atau Qiyas Burhany. Dengan kata lain kalau kita
sudah mengetahui penjabaran sesuatu secara sempurna dengan pelantara Had,
maka kita berarti telah mencapai drajat permulaan ilmu. Dan bila kita
mengetahui Qiyas Burhany, berarti kita telah sampai pada puncak
pengetahuan.
Difinisi
Ilmu Mantiq
Mantiq(Bahasa
Arab)mempunyai dua sinonim kata, pertama Logic(Bahasa Inggris). Kedua
Laguque(Bahasa Prancis) yang keduanya diambil dari kata”Logos” bahasa
Yunani. Adapun difinisinya ada dua, pertama, difinisi yang meninjau dzat
dan pembahasan(Maudu’) Ilmu Mantiq yang dikenal denganTa’rif Haddy.
Yaitu ilmu yang membahas batas-batas dalam berfikir. Kedua, difinisi
yang meninjau hasil dan tujuan ilmu tersebut yang dikenal dengan Ta’rif
Rasmy. Yaitu alat yang berbentuk peraturan yang dapat menjaga kesalahan
dalam berfikir. Di sana juga ada difinisi-difinisi lain meninjau para ulama’nya
:
· Aristotales. Ilmu Mantiq adalah
alat sebuah ilmu. Sementara yang dibahas(al-Maudu’) adalah ilmu itu
sendiri atau bentuk
ilmu, yang dikenal dengan Tashawwur Qadim bagi Mantiq.
· Ibnu Sina. Mantiq adalah produk
pemikiran yang dapat mengetahui keabsahan had shahih yang diberi nama
penjabaran(Ta’rif) dan keabsahan Qiyas yang diberi nama Burhan.
· Ghazali. Mantiq adalah
undang-undang yang dapat membantu kita untuk mengetahui keabsahan Had
dan Qiyas. Dan sebenarnya masih banyak difinisi-difinisi lain. Lihat
kitab”Mi’yaru al-Ulum” karangan al-Ghazaly, “al-Shury Mundzu
Aristotales Hatta Ushurina al-Hadhir karangan Imam Ali al-Nassyar.
Macam-Macam
Ilmu Mantiq
Mantiq
apabila ditinjau dari sisi perkembangannya dibagi menjadi dua bagian, pertama, Mantiq Qadim. Kedua Mantiq
Hadits(baru). Mantiq Hadits ini adalah wujud baru bagi Ilmu Mantiq.
Dalam dua mantiq ini banyak sekali perbedaan yang mencolok, seperti Tashowur.
Tashowur kalau dalam Mantiq al-Qadim adalah menjadi pokok yang sangat
berharga, berbeda dalam Mantiq al-Hadits. Contoh lain adalah metode percobaan(Manhaj
al-Tajriby) dan penelitian(Manhaj al-Istiqra’ie) yang menyalahi
metode berfikir(Manhaj al-Nadhory) atau Qiyas
Sementara bila ditinjau dari sisi Tabi’atnya
mantiq dibagi dua bagian juga, pertama Mantiq al-Shury. Kedua
Mantiq al-Mady. Dua pembagian ini adalah salah satu masalah terpenting
yang dikaji dalam Ilmu Mantiq. Adapun Maudu’ dari Mantiq al-Shury
adalah kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengan akal pikiran sebagai
peletaknya. Kinerja Mantiq ini adalah menawarkan kaidah-kaidah yang kita
butuhkan agar nanti kesimpulan yang kita dapatkan bisa benar. Sementara yang
dibahas(maudu’) dalam Mantiq al-Mady adalah kaidah-kaidah yang
sesuai dengan kenyataan.
Aristotales membagi Mantiqnya menjadi dua bagian juga Mantiq
Shoghir(Logica Minor) yang kita kenal sekarang dengan Mantiq Shoghir
al-Dhoyyiq dan Mantiq Kabir(Logica Utens, Logica Major). Mantiq
shoghir adalah Mantiq yang mempelajari tentang peraturan(kaidah-kaidah)
dalam berfikir, sementara Mantiq Kabir adalah Mantiq yang mempelajari kinerja
akal yang mencocoki pengetahuan(Ilmu). Pemikiran ini kemudian diusung
oleh Ibnu Sina karena beliau adalah termasuk ulama’ yang benar-benar memahami
mantiqnya Aristotales.Dua mantiq ini adalah nama lain
dua mantiq sebelumnya(Mantiq Shury dan Mady). Pembagian mantiq
ini bisa lebih jelas kita ketahui dengan mempelajari buku-buku Aritotales atau
mempelajari perkembangan mantiq-mantiq sebelum Aristotales, seperti mantiqnya
Plato dan Socrates.
Perkembangan
Ilmu Mantiq
Kaum
shopisme(al-Sufsatho’iyun) berpandangan bahwa panca indra alat tunggal yang
dapat mengetahu segala sesuatu, sementara akal tidak. Kebenaran segala sesuatu
adalah kebanaran yang dianggap indra benar, menyalahi indra berarti
meninggalkan kebenaran dan tak akan pernah menemukan kebenaran. Untuk
menyebarkan pandangannya tersebut mereka menggunakan kata-kata yang tersusun
rapi Cuma mengandung racun yang menyesatkan. Mereka benar-benar meresahkan
masyarakat pada saat itu, masyarakat Yunani. Namun langkah mereka dicegat oleh
Socrates.
Socrates
adalah pengajar pertama filsafat yang berfilasafat selama hidupnya. Beliau
lahir di Athena tahun 469 SM. Dalam mantiqnya beliau
berbicara dua Maudu’ Ilmu Mantiq, yaitu penjabaran(Ta’rif, Qaulu al-Syareh)
dan pengusutan(Istiqra’). Dengan keberadaan
beliau akhirnya bangsa Yunani kembali seperti semula.
Kemudian
misi Socrates tersebut diteruskan oleh muridnya, Plato. Beliau juga lahir di
Athena tahun 327-347 SM. Beliau datang untuk memperjelas keberadaan dua
pembahasan(Maudu’) Ilmu Mantiq, (Istiqra’ dan Ta’rif) yang dibawa
oleh Socrates guru beliau, namun beliau menambahkan dua pembahasan lain dari
pembahasan Ilmu Mantiq, yaitu al-Qismah al-Aqliyah dan al-Qismah
al-Manthiqiyah.
Kemudian di
tahun 384 SM di Athena juga datanglah Aristotales. Beliau dikenal sebagai”Saikhul
Islam”, karena beliau adalah orang pertama yang menyusun dan membukukan
Ilmu Mantiq di abad ke empat sebelum kelahiran Isa AS. Dalam bermantiq beliau
terpengaruh oleh orang-orang sebelum beliau(Socrates dan Plato). Bukunya
tentang mantiq terdiri dari delapan bagian yaitu:
Categori(membahas tentang genus dan bagian-bagiannya), Hermeneutika (tentang
proposisi), Sylogisme (tentang Qiyas), Demonstrasi (tentang Qiyas yang
menyimpulkan keyakinan), Dialektika (ilmu debat), Sofistika (Qiyas yang
menyesatkan), Retorika (seni agitasi masa) dan Poetica (seni menyusun kata-kata
puitis).
Mantiq Dalam
Islam
Sebelum
kemunculan Islam orang Arab tidak mengenal Ilmu Mantiq, walaupun kaidah-kaidah
Mantiq tersebut bisa kita temukan dalam Syair-syair mereka dalam bentuk yang
berbeda, seperti syair Zuhair Bin Abi Salma :
لسان الفتى نصف ونصف فؤاده *
فلم يبق الا صورة اللحم والدم
Lisan pemuda adalah sebagian,
sementara sebagian yang lain adalah hatinya * maka tidak ada yang tersisa
kecuali sebentuk daging dan darah
Syair ini
berbicara tentang mantiq yaitu penjabaran akan Insan. Manusia adalah
hayawan yang berfikir. Syair ini berbicara tentang Fasl dan
keistimewaannya.
Kemudian
dalam perkembangannya Mantiq ini diambil alih oleh Umat Islam, yaitu di
masa-masa penaklukan sebagai kebutuhan untuk membentengi Aqidah Islam dan
melawan cercaan terhadap pondasi islam dari kaum Majusi, Yahudi, Nasrani
yang juga menggunakan Mantiq dan Falsafah untuk mempertahankan keyakinannya.
Di awal-awal
masa kekhalifahan Abbasiyah Ilmu Mantiq itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
namun masih tercampur dengan sekat-sekat filsafat Yunani sehingga
menghawatirkan bila dikonsumsi orang awam, baru setelah kedatangan al-Ghazali
sekat-sekat Yunani dalam mantiq tersebut akhirnya dibersihkan, yaitu di abad ke
5 H yang beliau tuangkan dalam kitabnya”Mi’yaru al-Ulum”. Karena itu
tidak ada alasan bagi para ulama’ untuk mengharamkan mempelajari Ilmu Mantiq.
Terkait
dengan hukum Ilmu Mantiq ada dua sisi yang perlu diperhatikan, Aqidah dan
bahasa. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pada awal-awal Mantiq itu
tercampur dengan filsafat sehingga ulama’ berselisih pendapat tentang hukum
mempelajarinya yang mana perselisihan tersebut nantinya kembali pada dua sisi
di atas, Aqidah dan Bahasa:
1. Wajib mempelajarinya dengan
alasan tidak adanya perbedaan antara Mantiq dan Islam dan sebagai kebutuhan
untuk membentengi akidah islam. Pendapat ini adalah pendapat para filusuf
islam, seperti al-Kindy, al-Faraby, Ibnu Sina dan filusuf–filusf islam lainnya.
2. Haram mempelajarinya, karena
pokok-pokok dalam mantiq menyalahi
poko-pokok islam. Di antara ulama’-ulama’ islam yang mengingkari keberadaan
Ilmu Mantiq adalah Ibnu Qutaibah dalam karangannya”Muqaddimatu Adabi
al-Katib” dan Ibnu Atsir.
3. Boleh mempelajarinya, tapi husus
bagi sesorang yang sudah kuat akidahnya.
Empat perbedaan hukum mempelajari Ilmu Mantiq di atas
bila kita cermati kembali pada sisi yang berhubungan dengan akidah. Di sana
juga ada perbedaan lain namun meninjau bahasa. Disebutkan bahwa imam Syafi’ie
sangat mengingkari keberadaan Ilmu Mantiq dengan berlandaskan ilmu tersebut
bersandar pada bahasa Yunani yang kebanyakan menyalahi pokok-pokok dalam Bahasa
Arab, karena itu tidak mungkin memberlakukan ilmu mantiq tersebut dalam dalam
islam.
Faidah Mempelajari
Ilmu Mantiq
Dari uraian
di atas jelas bagi kita akan urgensitas Ilmu Mantiq tersebut sebagai satu
bidang ilmu yang menawarkan batas-batas dan peraturan dalam berfikir, sehingg
pemikiran kita dapat terjaga dari kesalahan. Dan sangat penting rasanya penulis
sebutkan Faidah-faidah yang dapat kita rasakan sebab mempelajari ilmu tersebut,
yaitu sebagai berikut :
·
Membantu kita untuk mengetahui esesnsi pemikiran kita
dan tabi’at akal kita.
·
Membantu kita menjahui kesalahan dalam berfikir kalau kaidah-kaidah
mantiq ini benar-benar diterapkan.
·
Membantu konsisten dalam kebenaran dan menjauhi
kesalahan berfikir dan mengungkap kesalahan akan apa yang kita pikirkan.
·
Tidak fanatik dalam berpendapat.
·
Tidak tunduk pada kecendrungan dan hawa nafsu.
·
Menolak syubhat dari pendebat.
·
Dapat mengetahui keabsahan sebuah dalil.
Referensi :
1. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al
al-Tahdzib, cet, 3
2. Doktor Muhammad Rabi’ al-Jauhary, Dhowabitu
al-Fikr, cet,5
3. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al
al-Tahdzib, cet, 3
4. Al-Ghazali, Mi’yaru al-Ulum
5. Doktor
Ali al-Nassyar, al-Shury Mundzu Aristotales Hatta Ushurina al-Hadhir
6.
Al-Tadzhib ala Tahdzibi al-Mantiq, muqarrar fakultas ushuluddin, termin pertama
Langganan:
Postingan (Atom)