Muhammad Hadid
Universitas Muhammadiyah Malang
Pendahuluan
Manusia
terlahir dalam keadaan bodoh tidak tahu suatu apapun, kemudian tuhan
menciptakan indra untuknya, baik indra penglihat, pendengar perasa atau
indra-indra lain. Dengan indra-indra di atas manusia belum ada bedanya dengan
hewan, akhirnya tuhan menciptakan akal sebagai alat untuk berfikir, dengan akal
inilah ada perbedaan antara menusia dan hewan. Namun di sana tuhan juga
menciptakan kekuatan-kekuatan internal atau eksternal yang dapat mempengaruhi
keberadaan akal tersebut dalam berfikir, sehingga terkadang bahkan seringkali
mereka melakukan kesalahan, karena itu Ilmu Mantiq ada untuk
menanggulaginya dengan meletakkan batas-batas tertentu dalam berfikir, sehingga
manusia menjadi terjaga dari kesalahan tersebut.
Doktor
Muhammad Rabi’ al-Jauhary, doktor al-Azhar fakultas Ushuluddin
menyebutkan dalam bukunya”Dhowabitu al-Fikr” bahwa kecendrungan,
pengaruh, kebiasaan, taklid dan kepentingan pribadi seringkali mempengaruhi
akal dalam berfikir. Beliau juga menyebutkan dalam buku
tersebut bahwa seandainya manusia hanya dibekali akal saja tanpa adanya
pengaruh-pengaruh di atas, maka Ilmu Mantiq tidak perlu untuk
diterapkan.
Ibnu Sina mengatakan bahwa
Mantiq adalah alat untuk berfikir yang dapat mengantarkan kita untuk mengetahui
keabsahan Had atau Qiyas Burhany. Dengan kata lain kalau kita
sudah mengetahui penjabaran sesuatu secara sempurna dengan pelantara Had,
maka kita berarti telah mencapai drajat permulaan ilmu. Dan bila kita
mengetahui Qiyas Burhany, berarti kita telah sampai pada puncak
pengetahuan.
Difinisi
Ilmu Mantiq
Mantiq(Bahasa
Arab)mempunyai dua sinonim kata, pertama Logic(Bahasa Inggris). Kedua
Laguque(Bahasa Prancis) yang keduanya diambil dari kata”Logos” bahasa
Yunani. Adapun difinisinya ada dua, pertama, difinisi yang meninjau dzat
dan pembahasan(Maudu’) Ilmu Mantiq yang dikenal denganTa’rif Haddy.
Yaitu ilmu yang membahas batas-batas dalam berfikir. Kedua, difinisi
yang meninjau hasil dan tujuan ilmu tersebut yang dikenal dengan Ta’rif
Rasmy. Yaitu alat yang berbentuk peraturan yang dapat menjaga kesalahan
dalam berfikir. Di sana juga ada difinisi-difinisi lain meninjau para ulama’nya
:
· Aristotales. Ilmu Mantiq adalah
alat sebuah ilmu. Sementara yang dibahas(al-Maudu’) adalah ilmu itu
sendiri atau bentuk
ilmu, yang dikenal dengan Tashawwur Qadim bagi Mantiq.
· Ibnu Sina. Mantiq adalah produk
pemikiran yang dapat mengetahui keabsahan had shahih yang diberi nama
penjabaran(Ta’rif) dan keabsahan Qiyas yang diberi nama Burhan.
· Ghazali. Mantiq adalah
undang-undang yang dapat membantu kita untuk mengetahui keabsahan Had
dan Qiyas. Dan sebenarnya masih banyak difinisi-difinisi lain. Lihat
kitab”Mi’yaru al-Ulum” karangan al-Ghazaly, “al-Shury Mundzu
Aristotales Hatta Ushurina al-Hadhir karangan Imam Ali al-Nassyar.
Macam-Macam
Ilmu Mantiq
Mantiq
apabila ditinjau dari sisi perkembangannya dibagi menjadi dua bagian, pertama, Mantiq Qadim. Kedua Mantiq
Hadits(baru). Mantiq Hadits ini adalah wujud baru bagi Ilmu Mantiq.
Dalam dua mantiq ini banyak sekali perbedaan yang mencolok, seperti Tashowur.
Tashowur kalau dalam Mantiq al-Qadim adalah menjadi pokok yang sangat
berharga, berbeda dalam Mantiq al-Hadits. Contoh lain adalah metode percobaan(Manhaj
al-Tajriby) dan penelitian(Manhaj al-Istiqra’ie) yang menyalahi
metode berfikir(Manhaj al-Nadhory) atau Qiyas
Sementara bila ditinjau dari sisi Tabi’atnya
mantiq dibagi dua bagian juga, pertama Mantiq al-Shury. Kedua
Mantiq al-Mady. Dua pembagian ini adalah salah satu masalah terpenting
yang dikaji dalam Ilmu Mantiq. Adapun Maudu’ dari Mantiq al-Shury
adalah kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengan akal pikiran sebagai
peletaknya. Kinerja Mantiq ini adalah menawarkan kaidah-kaidah yang kita
butuhkan agar nanti kesimpulan yang kita dapatkan bisa benar. Sementara yang
dibahas(maudu’) dalam Mantiq al-Mady adalah kaidah-kaidah yang
sesuai dengan kenyataan.
Aristotales membagi Mantiqnya menjadi dua bagian juga Mantiq
Shoghir(Logica Minor) yang kita kenal sekarang dengan Mantiq Shoghir
al-Dhoyyiq dan Mantiq Kabir(Logica Utens, Logica Major). Mantiq
shoghir adalah Mantiq yang mempelajari tentang peraturan(kaidah-kaidah)
dalam berfikir, sementara Mantiq Kabir adalah Mantiq yang mempelajari kinerja
akal yang mencocoki pengetahuan(Ilmu). Pemikiran ini kemudian diusung
oleh Ibnu Sina karena beliau adalah termasuk ulama’ yang benar-benar memahami
mantiqnya Aristotales.Dua mantiq ini adalah nama lain
dua mantiq sebelumnya(Mantiq Shury dan Mady). Pembagian mantiq
ini bisa lebih jelas kita ketahui dengan mempelajari buku-buku Aritotales atau
mempelajari perkembangan mantiq-mantiq sebelum Aristotales, seperti mantiqnya
Plato dan Socrates.
Perkembangan
Ilmu Mantiq
Kaum
shopisme(al-Sufsatho’iyun) berpandangan bahwa panca indra alat tunggal yang
dapat mengetahu segala sesuatu, sementara akal tidak. Kebenaran segala sesuatu
adalah kebanaran yang dianggap indra benar, menyalahi indra berarti
meninggalkan kebenaran dan tak akan pernah menemukan kebenaran. Untuk
menyebarkan pandangannya tersebut mereka menggunakan kata-kata yang tersusun
rapi Cuma mengandung racun yang menyesatkan. Mereka benar-benar meresahkan
masyarakat pada saat itu, masyarakat Yunani. Namun langkah mereka dicegat oleh
Socrates.
Socrates
adalah pengajar pertama filsafat yang berfilasafat selama hidupnya. Beliau
lahir di Athena tahun 469 SM. Dalam mantiqnya beliau
berbicara dua Maudu’ Ilmu Mantiq, yaitu penjabaran(Ta’rif, Qaulu al-Syareh)
dan pengusutan(Istiqra’). Dengan keberadaan
beliau akhirnya bangsa Yunani kembali seperti semula.
Kemudian
misi Socrates tersebut diteruskan oleh muridnya, Plato. Beliau juga lahir di
Athena tahun 327-347 SM. Beliau datang untuk memperjelas keberadaan dua
pembahasan(Maudu’) Ilmu Mantiq, (Istiqra’ dan Ta’rif) yang dibawa
oleh Socrates guru beliau, namun beliau menambahkan dua pembahasan lain dari
pembahasan Ilmu Mantiq, yaitu al-Qismah al-Aqliyah dan al-Qismah
al-Manthiqiyah.
Kemudian di
tahun 384 SM di Athena juga datanglah Aristotales. Beliau dikenal sebagai”Saikhul
Islam”, karena beliau adalah orang pertama yang menyusun dan membukukan
Ilmu Mantiq di abad ke empat sebelum kelahiran Isa AS. Dalam bermantiq beliau
terpengaruh oleh orang-orang sebelum beliau(Socrates dan Plato). Bukunya
tentang mantiq terdiri dari delapan bagian yaitu:
Categori(membahas tentang genus dan bagian-bagiannya), Hermeneutika (tentang
proposisi), Sylogisme (tentang Qiyas), Demonstrasi (tentang Qiyas yang
menyimpulkan keyakinan), Dialektika (ilmu debat), Sofistika (Qiyas yang
menyesatkan), Retorika (seni agitasi masa) dan Poetica (seni menyusun kata-kata
puitis).
Mantiq Dalam
Islam
Sebelum
kemunculan Islam orang Arab tidak mengenal Ilmu Mantiq, walaupun kaidah-kaidah
Mantiq tersebut bisa kita temukan dalam Syair-syair mereka dalam bentuk yang
berbeda, seperti syair Zuhair Bin Abi Salma :
لسان الفتى نصف ونصف فؤاده *
فلم يبق الا صورة اللحم والدم
Lisan pemuda adalah sebagian,
sementara sebagian yang lain adalah hatinya * maka tidak ada yang tersisa
kecuali sebentuk daging dan darah
Syair ini
berbicara tentang mantiq yaitu penjabaran akan Insan. Manusia adalah
hayawan yang berfikir. Syair ini berbicara tentang Fasl dan
keistimewaannya.
Kemudian
dalam perkembangannya Mantiq ini diambil alih oleh Umat Islam, yaitu di
masa-masa penaklukan sebagai kebutuhan untuk membentengi Aqidah Islam dan
melawan cercaan terhadap pondasi islam dari kaum Majusi, Yahudi, Nasrani
yang juga menggunakan Mantiq dan Falsafah untuk mempertahankan keyakinannya.
Di awal-awal
masa kekhalifahan Abbasiyah Ilmu Mantiq itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
namun masih tercampur dengan sekat-sekat filsafat Yunani sehingga
menghawatirkan bila dikonsumsi orang awam, baru setelah kedatangan al-Ghazali
sekat-sekat Yunani dalam mantiq tersebut akhirnya dibersihkan, yaitu di abad ke
5 H yang beliau tuangkan dalam kitabnya”Mi’yaru al-Ulum”. Karena itu
tidak ada alasan bagi para ulama’ untuk mengharamkan mempelajari Ilmu Mantiq.
Terkait
dengan hukum Ilmu Mantiq ada dua sisi yang perlu diperhatikan, Aqidah dan
bahasa. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pada awal-awal Mantiq itu
tercampur dengan filsafat sehingga ulama’ berselisih pendapat tentang hukum
mempelajarinya yang mana perselisihan tersebut nantinya kembali pada dua sisi
di atas, Aqidah dan Bahasa:
1. Wajib mempelajarinya dengan
alasan tidak adanya perbedaan antara Mantiq dan Islam dan sebagai kebutuhan
untuk membentengi akidah islam. Pendapat ini adalah pendapat para filusuf
islam, seperti al-Kindy, al-Faraby, Ibnu Sina dan filusuf–filusf islam lainnya.
2. Haram mempelajarinya, karena
pokok-pokok dalam mantiq menyalahi
poko-pokok islam. Di antara ulama’-ulama’ islam yang mengingkari keberadaan
Ilmu Mantiq adalah Ibnu Qutaibah dalam karangannya”Muqaddimatu Adabi
al-Katib” dan Ibnu Atsir.
3. Boleh mempelajarinya, tapi husus
bagi sesorang yang sudah kuat akidahnya.
Empat perbedaan hukum mempelajari Ilmu Mantiq di atas
bila kita cermati kembali pada sisi yang berhubungan dengan akidah. Di sana
juga ada perbedaan lain namun meninjau bahasa. Disebutkan bahwa imam Syafi’ie
sangat mengingkari keberadaan Ilmu Mantiq dengan berlandaskan ilmu tersebut
bersandar pada bahasa Yunani yang kebanyakan menyalahi pokok-pokok dalam Bahasa
Arab, karena itu tidak mungkin memberlakukan ilmu mantiq tersebut dalam dalam
islam.
Faidah Mempelajari
Ilmu Mantiq
Dari uraian
di atas jelas bagi kita akan urgensitas Ilmu Mantiq tersebut sebagai satu
bidang ilmu yang menawarkan batas-batas dan peraturan dalam berfikir, sehingg
pemikiran kita dapat terjaga dari kesalahan. Dan sangat penting rasanya penulis
sebutkan Faidah-faidah yang dapat kita rasakan sebab mempelajari ilmu tersebut,
yaitu sebagai berikut :
·
Membantu kita untuk mengetahui esesnsi pemikiran kita
dan tabi’at akal kita.
·
Membantu kita menjahui kesalahan dalam berfikir kalau kaidah-kaidah
mantiq ini benar-benar diterapkan.
·
Membantu konsisten dalam kebenaran dan menjauhi
kesalahan berfikir dan mengungkap kesalahan akan apa yang kita pikirkan.
·
Tidak fanatik dalam berpendapat.
·
Tidak tunduk pada kecendrungan dan hawa nafsu.
·
Menolak syubhat dari pendebat.
·
Dapat mengetahui keabsahan sebuah dalil.
Referensi :
1. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al
al-Tahdzib, cet, 3
2. Doktor Muhammad Rabi’ al-Jauhary, Dhowabitu
al-Fikr, cet,5
3. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al
al-Tahdzib, cet, 3
4. Al-Ghazali, Mi’yaru al-Ulum
5. Doktor
Ali al-Nassyar, al-Shury Mundzu Aristotales Hatta Ushurina al-Hadhir
6.
Al-Tadzhib ala Tahdzibi al-Mantiq, muqarrar fakultas ushuluddin, termin pertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar