Oleh
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah
Universitas Muhammadiyah Malang
Iman kepada Allah telah dipadu dengan
ayat yang terlebih dahulu, yaitu bahwasanya seluruh kekuasaan adalah pada
Allah. Kalau ada manusia berkuasa, maka itu adalah anugerah belaka dari Allah,
dan Allah pun bersedia pula mencabut kekuasaan itu kembali. Orang tidak akan
mulia kalau bukan Allah yang memuliakan dan orang tidak hina kalau bukan Allah
yang menghinakan. Sehingga walaupun seluruh isi dunia untuk menghinakan engkau,
kalau tidak hina kata Tuhan, tidaklah engkau akan hina. Walaupun sepakat isi dunia
hendak memuliakan engkau, kalau Tuhan akan menetapkan hina, dunia tidaklah
dapat menolong. Kecil kita dan kecil dunia, di hadapan Tuhan.
Sekarang setelah
mendapat pendirian yang demikian, datanglah tuntunan yang maha penting:
لا يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنينَ
"Janganlah
mengambil orang-orang yang mu'iminin akan orang-orang kafir jadi pemimpin ,
lebih daripada orang-orang yang beriman."
(pangkal ayat 28).
Di sini terdapat
perkataan aulia'. Dahulupun pernah kita uraikan arti kata wali,
yang berarti pemimpin atau pengurus atau teman karib, ataupun sahabat ataupun
pelindung.
Di surat al-Baqarah
ayat 256 kita telah diberikan pegangan, bahwasanya wali yang sejati, artinya
pemimpin, pelindung dan pengurus orang yang beriman hanya Allah. Di ayat itu
Tuhan memberikan jaminannya sebagai wali, bahwa orang yang beriman akan
dikeluarkan dari gelap kepada terang. Dan di dalam ayat itu juga diterangkan
bahwa wali orang yang kafir adalah Thaghut dan Thaghut itu akan mengeluarkan
mereka dari terang kepada gelap.
Kemudian di dalam
ayat yang lain kita telah bertemu pula keterangan bahwasanya orang beriman
sesama beriman yang sebahagian menjadi wali dari yang lain, sokong-menyokong,
bantu membantu, sehingga arti wali di sini ialah persahabatan. Maka di dalam
ayat yang tengah kita bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang
beriman, agar mereka jangan mengambil orang kafir menjadi wali.
Jangan orang yang
tidak percaya kepada Tuhan dijadikan wali sebagai pemimpin, atau wali sebagai
sahabat. Karena akibatnya kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam
suasana thaghut Kalau dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu
akan dibawanya menyembah thaghut. Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan
diajaknya kepada jalan sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.
Menurut riwayat yang
dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu Abbas
berkata: "Al-Hajjaj bin 'Amr mengikat janji setia kawan dengan Ka'ab bin
al-Asyraf (pemuka Yahudi yang terkenal sebagai penafsir) dan Ibnu Abi Haqiq dan
Qais bin Zaid. Ketiga orang ini telah bermaksud jahat hendak mengganggu kaum
Anshar itu lalu ditegur oleh Rifa'ah bin al-Mundzir dan Abdullah bin Jubair dan
Sa'ad bin Khatamah, supaya mereka menjauhi orang-orang Yahudi yang tersebut
itu. Hendaklah mereka berawas diri dalam perhubungan dengan mereka, supaya
agama mereka jangan difitnah oleh orang-orang Yahudi itu.
Tetapi orang-orang
yang diberi peringatan itu tidak memperdulikannya." Inilah kata Ibnu Abbas
yang menjadi sebab turunnya ayat ini.Ada lagi suatu riwayat lain yang
dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari beberapa
jalan riwayat, bahwasanya tafsir ayat ini ialah bahwa Allah melarang orang-orang
yang beriman bersikap lemah-lembut terhadap orang kafir dan mengambil mereka
jadi teman akrab melebihi sesama beriman, kecuali kalau orang-orang kafir itu
lebih kuat daripada mereka. Kalau demikian tidaklah mengapa memperlihatkan
sikap lunak, tetapi hendaklah tetap diperlihatkan perbedaan di antara agama
orang yang beriman dengan agama mereka.
Untuk mendekatkan
kepada faham kita, bacalah pula tafsir surat al-Mumtahanah (Surat 60 ayat 1).
Seorang sahabat Nabi yang terkemuka, pernah turut dalam peperangan Badar,
bernama Hathib bin Abi Balta'ah, seketika Rasulullah saw menyusun kekuatan buat
menaklukkan Makkah, dengan secara diam-diam dan rahasia telah mengutus seorang
perempuan ke Makkah, membawa suratnya kepada beberapa orang musyrikin di
Makkah, menyuruh mereka bersiap-siap, sebab Makkah akan diserang.
Maksudnya ialah untuk
menjaga dirinya sendiri. Sebab kalau serangan itu gagal, dia sendiri tidak akan
ada yang memperlindunginya di Makkah. Dia tidak mempunyai keluarga besar di
Makkah, seperti sahabatsahabat rasulullah s.a.w, yang lain. Dengan mengirim
surat itu dia hendak mencari perlindungan. Syukurlah Tuhan memberi isyarat
kepada Rasulullah tentang kesalahan Hathib itu, sehingga beliau suruh kejar
perempuan itu, sampai digeledah surat itu di dalam sanggulnya. 'Umar bin
Khattab telah meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh Hathib karena
perbuatannya yang dipandang berkhianat itu. Untuk kepentingan diri sendiri dia
telah membuat hubungan dengan orang kafir. Perbuatannya itu salah. Sebab dia
telah membocorkan rahasia peperangan, syukurlah suratnya itu dapat ditangkap.
Kalau bukanlah karena jasanya selama ini, terutama karena dia telah turut dalam
peperangan Badar, niscaya akan berlakulah atas dirinya hukuman berat.
Hathib bin Abi
Balta'ah termasuk sahabat besar, namun demikian sekali-sekali orang besarpun
bisa terperosok kepada satu langkah yang merugikan negara dengan tidak
disadari, karena lebih mengutamakan memandang kepentingan diri sendiri. Maka
dalam surat al-Mumtahanah ayat 1 diperingatkan supaya orang-orang beriman
jangan mengambil orang kafir menjadi wali, karena menumpahkan kasih-sayang.
Padahal kalau telah
terjadi pertentangan (konfrontasi) dengan musuh, dalam hal ini di antara kaum
Muslimin di Madinah dan kaum Musyrikin di Makkah, hubungan pribadi tidak boleh
dikemukakan lagi. Mungkin pribadi-pribadi orang di Madinah dengan dengan
pribadi orang di Makkah tidak ada selisih, tidak bermusuh, malah
berkawan, bersahabat karib, tetapi dalam saat yang demikian hubungan pribadi
tidak boleh ditonjolkan, sebab akan mengganggu jalannya penentuan kalah -
menang diantara golongan yang berhadapan.
وَ مَنْ يَفْعَلْ
ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ في شَيْءٍ
"Dan
barangsiapa yang berbuat demikian itu , maka tidaklah ada dari Allah sesuatu
juapun."
Tegasnya, dengan
sebab mengambil wali kepada kafir, baik pimpinan atau persahabatan, niscaya
lepaslah dari perwalian Allah, putus dari pimpinan Tuhan, maka celakalah yang
akan mengancam.
إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا
مِنْهُمْ تُقاةً
"Kecuali
bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas."
Beratus-ratus tahun
lamanya negeri-negeri Islam banyak yang dijajah oleh pemerintahan yang bukan
Islam, karena terpaksa. Karena tergagah, karena senjata untuk melawan dan
kekuatan untuk bertahan tidak ada lagi. Maka tetaplah larangan pertama, yaitu
tidak menukar wali dari Allah kepada mereka. Kalau ini tidak dapat dinyatakan
keluar, hendaklah disimpan terus di dalam hati dan hendaklah selalu awas
sebenar-benar awas, supaya dengan segala daya-upaya bahaya mereka itu untuk
membelokkan dari Allah kepada Thaghut dapat ditangkis. Pendeknya , sampai
kepada saat yang terakhir wajib melawan , walaupun dalam hati.
Taqiyah
Bersikap lunak-lembut
kepada musuh, yang merupakan satu ketundukan dan menyerah, karena musuh itu
lebih kuat, itulah yang dinamai sikap taqiyah. Kepala selalu
terangguk-angguk merupakan setuju, padahal hati bukan setuju. Mulut senantiasa
tersenyum, musuh yang kafir itu menyangka bahwa si Mu'min telah tunduk, padahal
bukan tunduk.
Orang yang tidak
memahami ajaran Islam menyamakan saja sikap begini dengan munafik. Padahal
munafik ialah bermulut manis, bersikap lembut dan tersenyum-senyuin di dalam
menyembunyikan pendirian yang salah, yang kufur. Seperti orang munafik mengakui
di hadapan Rasulullah s.a.w. bahwa mereka telah percaya bahwa beliau memang
utusan Allah, padahal hati mereka tidak mengaku. Walaupun yang mereka katakan
benar, kalau kata yang benar itu tidak dari hati, mereka tetap berdusta. Itulah
orang yang munafik.
Tetapi kalau kita
yakin bahwa kita di pihak yang benar, dalam lindungan hukum-hukum Allah dan
Rasul, sedang musuh kuat, sehingga kita tidak kuat bertindak menentang musuh
Tuhan itu, kalau kita menunjukkan muka manis dan mengangguk-angguk, bukanlah
munafik namanya, melainkan taqiyah.
Dalam satu seminar di
Jakarta dalam bulan September 1966 seorang sahabat menyatakan pendapat bahwa
sikap taqiyah yang menjadi pegangan sangat teguh dari kaum Syi'ah adalah
menunjukkan sikap yang lemah.
Lalu penafsir ini
membantah: "Memang kaum Syi'ah mempunyai ajaran taqiyah, tetapi ini
bukanlah alamat kelemahan!" Terlepas dari pendirian penafsir sendiri yang
bukan Syi'ah, tetapi penganut Mazhab Sunni, penafsir kagum akan ajaran taqiyah
kaum Syi'ah itu. Sebab bagi mereka taqiyah bukan kelemahan, melainkan satu
siasat yang berencana. Oleh sebab itu maka Mazhab Syi'ahlah satu mazhab politik
yang banyak sekali mempunyai rencana-rencana rahasia, yang baru diketahui oleh
musuh-musuhnya setelah musuh itu menghadapi kenyataan.
Kerajaan-kerajaan
Syi'ah yang berdiri di mana-mana, baik di Asia atau Afrika di zaman-zaman
Khalifah-khalifah Baghdad, kebanyakan pada mulanya adalah gerakan yang
dirahasiakan. Berdirinya gerakan Bani Abbas menentang Bani Umayyah, mulanya
ialah gerakan rahasia yang timbul di Khurasan. Kerajaan Bani Idris di Afrika,
Kerajaan Fathimiyah di Mesir yang dahulu bernama Ubaidiyah di Qairouan mulanya
adalah gerakan rahasia.
Gerakan Hasan Shabah
yang terkenal dengan nama "Hasysyasyin (Assasin) adalah mulanya gerakan
sangat rahasia. Oleh sebab itu kalau kaum Syi'ah memakai pendirian taqiyah,
bukanlah kelemahan, melainkan siasat yang berencana. Oleh sebab itu kalau ada
orang Islam yang menyerah kepada kekuasaan kafir, sampai kerja sama atau
membantu kafir, padahal tidak ada rencana hendak terus menumbangkan kerajaan
kafir itu, bukanlah itu taqiyah, tetapi menggadaikan diri sendiri kepada musuh.
وَ يُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
"Dan
Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya."
Di sambungan
ayat ini Allah Ta'ala memberi peringatan dengan keras, bahwa di dalam urusan
ini, khusus dalam taqiyah, janganlah dipandang enteng. Jangan sampai sikap
taqiyah itu dijadikan tempat lari untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab
menghadapi lawan. Hendaklah awas dan jangan sekali-kali lupa bahwa diri Allah
Ta'ala senantiasa ada, senantiasa mengawasi, dan menilik sepak terjang yang
kamu lakukan. Karena kalau taqiyah itu akan membawa agama Allah jadi lemah,
bukanlah dia taqiyah lagi tetapi beralih menjadi sikap pengecut. Itu sebabnya
maka ujung ayat lebih menjelaskan pula, bahwa baik di waktu kamu sedang kuat,
lalu menolak kerjasama dengan musuh yang akan melemahkan agamamu, atau sedang
lemah sehingga terpaksa kamu mengambil sikap taqiyah, namun ingatlah:
وَ إِلَى اللهِ الْمَصيرُ
"Dan
kepada Allahlah tujuan kamu." (ujung
ayat 28).
Akhir ayat ini
mengingatkan kita akan perumpamaan hidup kita yang tengah berlayar di tengah
lautan besar, menaiki sebuah bahtera. Sejak dari permulaan berlayar kita telah
menentukan tujuan dan arah di mana bahtera itu akan berlabuh. Lalu pelayaran
kita teruskan. Tetapi oleh karena laut itu tidak senantiasa tenang, bahkan ada
gelombang, ada taufan, ada badai dahsyat, sudahlah dalam perhitungan bahwa
kadang-kadang bahtera itu akan dihalau oleh angin entah ke mana. Tetapi betapa pun
hebatnya pukulan gelombang, namun nakhoda kapal wajib tetap menjaga pedoman,
tidak boleh berkisar dari tujuan semula. Tujuan bahtera hidup beragama ialah
Allah.
Untuk kelengkapan
penafsiran ini hendaklah kita tilik lagi ayat 8 dan ayat 9 dari surat 60 (al-Mumtahanah).
Surat ini pun diturunkan di Madinah. Di ayat 8 ditegaskan bahwa terhadap kafir
yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusirmu dari kampung halaman kamu,
tidaklah mengapajika hidup berdampingan dengan damai ( an-tabarru-hum ) dan
berhubungan secara adil ( watuq-sithu ilaihim ) ; memberi dan
menerima, duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Lalu di ayat 9 ditegaskan lagi,
bahwa jika musuh itu memerangi kamu dalam hal agama dan mengusir kamu dari
kampung halaman kamu dan dengan terang-terang pula pengusiran itu, tidaklah
kamu boleh bersahabat atau berhubungan dengan mereka.
Niscaya kita dapat
berpikir lebih lanjut tentang isi sekalian ayat ini. Baik ayat-ayat yang tegas
melarang dan memerintahkan supaya selalu awas, atau ayat yang membolehkan berhubungan
dengan mereka, karena taqiyah atau karena kuat. Kalau kita kuat tentu tidak
berhalangan kalau kita berhubungan dan berdamai dengan kafir, membuat
perjanjian-perjanjian dagang, utang piutang dan lain-lain sebagainya, terutama
hidup bernegara di zaman modern, tidaklah ada satu negeri yang dapat
memencilkan diri dari negeri lain. Sudahlah selayaknya jika wakil-wakil dari
negeri dan negara Islam duduk bersama bermusyawarat memperkatakan soal-soal
internasional dengan wakil-wakil negara-negara lain.
Adapaun sikap awas
dan waspada, sikap tidak lupa kepada diri Allah, niscaya tidak boleh
dilepaskan, baik di waktu lemah, atau pun di waktu kuat.
قُلْ إِنْ تُخْفُوا ما في صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللهُ وَ يَعْلَمُ ما فِي السَّماواتِ وَ ما فِي الْأَرْضِ
"Katakanlah:
Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam dada kamu, atau pun kamu nampakkannya,
namun Allah mengetahuinya juga, dan Diapun mengetahui apa yang ada di semua
langit dan apa yang di bumi. " (pangkal
ayat 29).
Ayat ini adalah
pengikat jiwa yang halus sekali bagi orang-orang yang beriman. Dia adalah
sebagai sambungan dari Allah memperingatkan tentang diriNya tadi. Mereka pada
pokoknya dilarang keras lebih mementingkan pimpinan orang kafir dan mengangkat
mereka jadi wali, sehingga melebihkan pandangan kepada mereka daripada
memandang sesama mu'min. Cuma di saat yang terpaksa dan menilai keadaan, baru
boleh melakukan taqiyah. Di ayat ini diperingatkan bahwa Tuhan mengetahui apa
yang kamu sembunyikan dalam dada dan mana yang kamu nampakkan dan nyatakan.
Orang banyak dapat
kamu kicuh, dan Tuhan tidak! Maka lebih tertekanlah peringatan ini kepada
Ulil-Amri, orang-orang yang bertanggung-jawab; jangan sampai misalnya membela
kelemahan diri dengan menyebut taqiyah. Kontrol sejati adalah di tangan Tuhan ,
dan sewaktu-waktu pekerjaan yang curang dan busuk akan berbau juga oleh orang
banyak. Disebut dalam ayat ini, bahwa yang diketahui Allah itu bukan saja isi
dada manusia yang tersembunyi atau sikap manusia yang nyata. Usahkan itu,
sedangkan rahasia semua langit dan bumi lagi diketahuiNya.
Kadang-kadang
ditafsirkan dengan nyata di hadapan mata kita. Yaitu pertalian isi dada manusia
dengan mulutnya dengan rahasia langit dan bumi. Satu hal pernah kejadian. Yaitu
pada suatu hari seorang kepala negara yang sombong berkata sambil mendabik
dadanya, bahwa kita manusia ini harus sanggup menundukkan alam. Dua hari saja
sesudah dia berpidato sombong akan menundukkan alam itu, terjadilah hujan lebat
di kota kediamannya, yaitu hujan lebat yang membawa banjir besar. Dia yang
berpidato itu terpaksa dihusung atau ditandu orang ketika akan keluar dari
istana, sebab mobil yang akan membawanya tidak dapat berjalan dalam banjir dan
mesinnya tidak bisa hidup.
Maka orang yang
menyaksikan berkata: "raja kita katanya hendak menundukkan alam. Sekarang
dia juga rupanya yang wajib tunduk kepada alam!"
Seorang pemimpin
komunis tidak berTuhan pernah berkata dalam satu rapat umum: "Kalau kamu
tidak bisa bergerak membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam, lebih baik tukar
celanamu dengan sarung (jadi perempuan)." Sehari sesudah dia bercakap
berapi-api itu, kaum komunis mengadakan berontak hendak merebut
kekuasaan dan membunuh enam orang Jendral.
Rupanya pemberontakan
mereka hanya berjalan sehari saja sedang petang harinya sudah dapat digagalkan.
Maka Pemimpin Komunis yang sombong itu terpaksa lari meninggalkan kota,
benar-benar dengan menukar celana dengan sarung.Itulah sebabnya maka akhir ayat
berbunyi:
وَ اللهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَديرٌ
"dan
Allah atas tiap-tiap sesuatu Maha Kuasa." (ujung ayat 29).
Hanya orang Mu'min
yang dapat merasai hal yang seperti ini. Betapa kekuasaan Allah atas isi dada
manusia dan betapa kekuasaan Allah atas seluruh langit bumi. Kadang-kadang kita
bertemu dengan kemenangan padahal menurut perhitungan kita belum nampak
pintunya. Kadang-kadang kita merasa bahwa rencana kita akan berjalan menurut
yang kita gariskan. Tiba-tiba datang saja kejadian lain yang tidak pula kita
sangka-sangka sehingga rencana Allah jualah yang berjalan. Oleh sebab itu maka
baik di waktu senang, sekali-kali janganlah lupa memperhitung kan Maha Kuasanya
Allah.
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ ما عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَراً
"(Ingatlah)
akan hari yang tiap-tiap orang akan menerima ganjaran amal baik yang telah
tersedia." (pangkal ayat 30).
Di sini diberikan
ketegasan dan jaminan bagi setiap orang yang beramal baik, bahwa ganjarannya
akan diterimanya kontan, telah tersedia di hadapan matanya. Akan mengobat
hatinya yang sudah gundah dan akan menghilangkan segala kepenatan dan akan
menghabis kan segala kecewa.
وَ ما عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ
"Dan
amalan-amalan yang burukpun."
Artinya bahwa amalan
yang burukpun akan menerima ganjaran yang telah tersedia pula, sebagai akibat
dari perbuatannya sendiri, sehingga:
تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَها وَ بَيْنَهُ أَمَداً بَعيداً
"Inginlah dia
(kiranya) di antara balasan amal buruknya itu dengan dirinya di antarai oleh
masa yang jauh."
Tegasnya: baik dan
buruk (amalan) akan menerima ganjaran Tuhan dengan kontan dan tersedia nyata di
hadapan mata (Muh-dharan). Orang yang berbuat baik tentu akan merasai
gembira yang sangat tinggi dan rasa bahagia yang tiada taranya seketika
berhadapan langsung dengan balasan amalnya. Tetapi bagaimana orang yang beramal
buruk ? Diapun akan menerima ganjaran kontan pula, hadir pula di hadapan
matanya.
Niscaya perasaan di
waktu itu akan lain. Niscaya kalau hal itu dapat dielakkan, akan dia elakkan.
Atau dia minta supaya diperlambat, diundur-undur; dia takut menghadapi
kenyataan sehingga dia mengharap supaya di antara dia dengan ganjaran amalnya
itu diadakan jarak yang jauh. Dia pasti kalah, dan dia tahu itu.
Tetapi dia minta
supaya kekalahan itu diundurkan. Tetapi benarlah apa yang dikatakan oleh
seorang pujangga: "hidup ialah menunda kekalahan." Sebab itu Tuhan
memperingatkan lagi sebagai telah diperingatkanNya di ayat yang di atas tadi:
وَ يُحَذِّرُكُمُ
اللهُ نَفْسَهُ
"Dan
Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya."
Sebab itu janganlah
kamu abaikan tugas hidupmu. Pilihlah sendiri jalan yang benar dan jauhilah yang
salah, jujurlah terhadap Allah. Sebab Dia Ada, dan Dia mengawasi kamu. Ingatlah
itu benar-benar dan awaslah.
وَ اللهُ رَؤُفٌ بِالْعِبادِ
"Dan
Allah amatlah sayang kepada hamba-hambaNya." (ujung
ayat 30).
Dengan peringatan
hati-hati dan awas yang agak keras di atas semuanya tadi, terasalah bahwa
masing-masing kita yang mengakui dirinya hamba Allah, tidak pernah lepas dari
tilikan Allah.
Maka kitapun
berhati-hatilah, baik dalam isi dada yang dirahasiakan, atau sikap hidup yang
dinampakkan. Tetapi di dalam kehati-hatian itu kitapun insaf bahwa kita ini
manusia, ada saja kelemahan kita masing-masing. Lautan ini amat luas, dimana
akan berlabuh belum tahu.
Sedang berjalan
menuju tujuan yang dituju itu, entah putus nyawa di tengah jalan, entah mati
jauh karena kehausan. Kadang-kadang terasa betapa banyak halangan yang wajib
dilalui, banyak duri dan onak.
Semuanya itu
diketahui oleh Tuhan. Oleh sebab itu, di samping kerasnya peringatan yang Dia
berikan, Diapun tetap sayang dan belas kasihan akan semua hambaNya yang memang
membina tujuan hidupnya mencapai ridha Allah. Oleh sebab itu jika dalam
perjalanan sulit itu, sekali-sekali bertemu dengan luluk dan lumpur yang
mengotori baju, lekaslah bersihkan. Dan membersihkan batin dari daki-daki
kedosaan ialah dengan bertaubat dan beristighfar.