C
Dyah Roeswitawati, Erny Ishartati, and Syarif Husen
Jurusan Agroteknologi,
UMM, Jl. Tlogomas 246 Malang
Abstrak
Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian
berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian,
seperti tumpangsari (intercropping), penggunaan mulsa, penanganan
tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan
sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan
produktivitas tanah.
Penelitian dilaksanakan
di laboratorium Pertanian dan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Malang. Alat yang digunakan adalah cawan petri, beacker glass, tabung reaksi, jarum ose,
seed boxs, baby bags, sprayer,
timbangan. Bahan yang digunakan biakan murni isolat (bakteri dan jamur
antagonis), media selektif jamur dan bakteri, media tular jamur dan bakteri,
molase, air. Biopestisida
terbuat dari jamur dan bakteri antagonis yang sudah diuji kemampuannya menekan
perkembangan penyakit yang menyerang tanaman, tanpa mengakibatkan polusi
(kerusakan lingkungan dan aman bagi hewan piaraan dan manusia), dapat
disosialisasikan ke petani sayur-sayuran sehingga tanaman tumbuh
secara normal dan dapat berproduksi secara optimal.
Tujuan mengendalikan hama dan penyakit dalam budidaya beberapa jenis
tanaman sawi dengan memanfaatkan mikroba
antagonis (jamur dan bakteri) dan limbah organik sehingga dapat mengurangi
polusi udara dan lingkungan
Key Words: ,pertanian
organik, biopestisida
PENDAHULUAN
Keberhasilan pembangunan pertanian selama ini telah memberikan dukungan
yang sangat tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, namun
demikian disadari bahwa dibalik keberhasilan tersebut terdapat
kelemahankelemahan yang perlu diperbaiki. Produksi yang tinggi yang telah
dicapai banyak didukung oleh teknologi yang memerlukan input (masukan)
bahan-bahan anorganik yang tinggi terutama bahan kimia pertanian seperti pupuk
urea, TSP/SP-36, KCl, pestisida, herbisida, dan produk-produk kimia lainnya
yang berbahaya bagi kesehatan dengan dosis yang tinggi secara terus-menerus,
terbukti menimbulkan banyak pencemaran yang dapat menyumbang degradasi fungsi
lingkungan dan perusakan sumberdaya alam, serta penurunan daya dukung
lingkungan. Adanya kesadaran akan akibat yang ditimbulkan dampak tersebut,
perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanian yang berwawasan
lingkungan.
Dewasa ini masyarakat sangat peduli terhadap alam dan kesehatan, maka
muncullah teknologi alternatif lain, yang dikenal dengan “pertanian organik”,
“usaha tani organik”, “pertanian alami”, atau “pertanian berkelanjutan masukan
rendah”. Pengertian tersebut pada dasarnya mempunyai prinsip dan tujuan yang
sama, yaitu untuk melukiskan sistem pertanian yang bergantung pada
produk-produk organik dan alami, serta secara total tidak termasuk penggunaan
bahan-bahan sintetik.
Tujuan Penelitian
Mengendalikan
hama dan penyakit dalam budidaya beberapa jenis tanaman sawi dengan memanfaatkan mikroba antagonis
(jamur dan bakteri) dan limbah organik sehingga dapat mengurangi polusi udara
dan lingkungan
Hipotesis
Pertanian
organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di
dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (intercropping),
penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik
memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan
sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah.
METODE
PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pertanian dan di kebun percobaan
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang. Alat yang digunakan adalah
cawan petri, beacker glass, tabung
reaksi, jarum ose, seed boxs, baby bags, sprayer, timbangan.
Bahan yang digunakan biakan murni isolat (bakteri dan jamur antagonis), media
selektif jamur dan bakteri, media tular jamur dan bakteri, molase, air.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Split Plot yang disusun dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dengan 3 (tiga) kali ulangan. Sebagai
petak utama adalah kultivar sawi, yang terdiri dari Brasica rapa
kelompok chinensis dan Brasica rapa kelompok parachinensis,
sedangkan sebagai anak petak adalah konsentrasi biopestida yang terdiri dari 6
(enam) level yaitu : (1) 10 cc/l air, (2) 20 cc/l air, (3) 30 cc/l air, (4) 40 cc/l
air, (5) 50 cc/l air, dan (6) Tanpa Biopestisida (Kontrol)
Persiapan lahan pembibitan dapat dilakukan
bersamaan dengan pengolahan tanah untuk penanaman. Karena lebih efisien dan
benih akan lebih cepat beradaptasi terhadap lingkungannya. Ukuran bedengan
pembibitan yaitu lebar 80 – 120 cm dan panjangnya 1 – 3 meter. Dua minggu
sebelum di tabur benih, bedengan pembibitan ditaburi dengan pupuk kandang. Cara melakukan pembibitan ialah sebagai
berikut : benih ditabur, lalu ditutupi tanah setebal 1 – 2 cm, lalu disiram
dengan sprayer, kemudian diamati 3 – 5 hari benih akan tumbuh setelah berumur 3
– 4 minggu sejak disemaikan tanaman dipindahkan ke bedengan. Lahan pertanaman
yang digunakan pada lokasi penelitian berbentuk bedengan. Petak utama berukuran
(2,70 x 7,20) m2 sebanyak 9 bedeng, sedangkan anak petak berukuran
(1,20 x 3,30) m2 sebanyak 54 bedeng. Jarak antar bedengan 30 cm2,
dan jarak antar tanaman 30 x 30 cm2.
Biopestisida
terbuat dari jamur dan bakteri antagonis yang sudah diuji kemampuannya menekan
perkembangan penyakit yang menyerang tanaman, tanpa mengakibatkan polusi (kerusakan
lingkungan dan aman bagi hewan piaraan dan manusia).
Aplikasi bakteri antagonis dilaksanakan 10 ml (dengan kepadatan populasi 10
13/ml) tiap 10 kg tanah, dengan pertimbangan potensi inokulum
bakteri dalam berinteraksi melawan patogen di dalam tanah adalah 10 8
koloni per gram tanah. yaitu dengan
perhitungan sebagai berikut: bilamana 10 ml (dengan kepadatan populasi 1013/ml) inokulum diinvestasikan dalam 10 kg tanah
berarti terdapat 1014 koloni per 104 g tanah. atau 1010
koloni per gram tanah, atau setiap gram media tanah setelah
diinvestasikan antagonis terdapat 1010 propagul bakteri antagonis
per gram tanah. Sedangkan potensi
inokulum bakteri antagonis dalam berinteraksi dengan patogen dalam tanah adalah
± 108 koloni per gram tanah.
Inokulan jamur antagonis (Trichoderma sp., Penicillium sp. dan Aspergillus
sp.) sebelumnya dicampur secara merata dengan media dedak/sekam padi basah
(diberi air dulu hingga kelembaban 70%) . Perbandingan 1 (inokulan) : 3 (media
sekam padi). Dibiarkan dulu 1 minggu (diharapkan jamur antagonis sudah
beradaptasi dalam media). Kemudian ditaburkan ke tanah areal
pertanaman yang sudah berumur 10 hari setelah tanam. Pemupukan kedua dilakukan
pada saat tanaman umur 20 hst
Semua pupuk hayati tersebut di atas diberikan
sebelum tanam. Satu minggu kemudian (setelah diberi jamur
antagonis) maka bakteri antagonis dapat
disemprotkan ke permukaan tanaman sayur yang sudah berumur 15 hst. Konsentrasi
yang digunakan sesuai perlakuan dan masing-masing dilarutkan dalam 1 liter air,
kemudian disemprotkan secara merata di atas permukaan tanaman. Dosis yang
disarankan adalah 600 liter per hektar. Penyemprotan kedua dilakukan pada saat
tanaman sudah berumur 30 hst (atau 1 minggu setelah pemberian jamur antagonis)
Parameter
pengamatan berupa :
a.
Habistus tanaman : tinggi tanaman
(Diamati dengan mengukur tinggi tanaman dengan penggaris, yang dimulai 5 cm
dari permukaan tanah sampai titik tumbuh),
b.
Daun : bentuk daun, warna daun, luas
daun (dengan menggunakan kertas millimeter), jumlah helaian daun (dihitung satu
persatu), tangkai daun, warna tangkai daun, dan tepi daun.
c.
Diameter Batang : diukur dengan
menggunakan jangka sorong, 10 cm diatas pangkal batang).
d.
Berat Segar Tanaman
e.
Berat Kering Tanaman
f.
Tingkat Serangan Hama dan Penyakit
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Analisis
rangam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara perlakuan varietas dan
konsentrasi terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, panjang
tanaman. Demikian juga masing-masing perlakuan (varietas dan konsentrasi) tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap masing-masing peubah diatas.
Secara garis besarnya
masing-masing varietas yang diuji menunjukkan respon yang sama atas perlakuan
pemberian biopestisida dengan berbagai konsentrasi, hal tersebut ditunjukan
pada peubah yang diamati meliputi : intensitas serangan hama, intensitas
serangan penyakit, berat basah tanaman serta berat kering tanaman.
Intensitas Serangan Penyakit
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa serangan penyakit mulai terjadi pada
saat tanaman berumur lebih dari empat puluh hari setelah transplanting dengan
intensitas yang terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Dosis
biopestisida yang diujikan terhadap masing-masing varietas tidak menunjukkan
perbedaan nyata dan intensitas serangan tidak lebih dari 0,03 %, hak tersebut sebagaimana
yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1.
Perlakuan Penyemprotan Biopestisida pada Beberapa Varietas Sawi terhadap
Intensitas Serangan Penyakit
Intensitas Serangan Hama
Seperti pada hasil pengamatan intensitas penyakit, hasil pengamatan
intensitas hama menunjukkan bahwa serangan hama mulai terjadi pada saat tanaman
berumur lebih dari empat puluh hari setelah transplanting dengan intensitas
yang terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Dosis biopestisida yang
diujikan terhadap masing-masing varietas tidak menunjukkan perbedaan nyata dan
intensitas serangan tidak lebih dari 0,03 % dan meningkat terus hingga 0,07%
pada saat tanaman berumur 70 hari. Padahal
tanaman sawi biasa dipanen pada umur 40 hari sehingga keberadaan hama
dan serangan pathogen tidak berarti terhadap pengurangan hasil panen, hasil
pengamatan terhadap intensitas serangan hama dan patogen tersebut sebagaimana
yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2.
Perlakuan Penyemprotan Biopestisida pada Beberapa Varietas Sawi terhadap
Intensitas Serangan Hama
Berat Basah per Tanaman
Masing-masing varietas yang diuji
menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata terhadap peubah berat basah per
tanaman, sedangkan konsentrasi
biopestisida yang diujikan terhadap masing yaitu –masing varietas sawi
menunjukkan pola yang sama, yaitu konsentrasi terbaik pada perlakuan pemberian
biopestisida 30 cc/liter air sebagaimana disajikan pada Gambar 3.
Berat Kering per Tanaman
Sebagaimana pada berat basah per
tanaman, untuk data berat kering menunjukkan pola yang sama yaitu masing-masing
varietas yang diuji menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata dan konsentrasi
biopestisida yang diujikan terhadap masing yaitu –masing varietas sawi
menunjukkan pola yang sama, yaitu konsentrasi terbaik pada perlakuan pemberian
biopestisida 30 cc/liter air sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3.
Perlakuan Penyemprotan Biopestisida pada Beberapa Varietas Sawi terhadap Berat
Basah per Tanaman
Gambar 4.
Perlakuan Penyemprotan Biopestisida pada Beberapa Varietas Sawi terhadap Berat
Kering per Tanaman.
B.
Pembahasan
The International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM)
menyatakan bahwa pertanian organik bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk
pertanian yang berkualitas dengan kuantitas memadai, (2) membudidayakan tanaman
secara alami, (3) mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam
ekosistem pertanian, (4) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka
panjang, (5) menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan
teknik pertanian, (6) memelihara keragaman genetik sistem pertanian dan
sekitarnya, dan (7) mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas
dalam sistem usaha tani.
Bertanam dengan memiliki varietas yang cukup banyak di lahan pertanian
dapat mengurangi kondisi ekstrim dari cuaca, hama penggangu tanaman, dan harga
pasar. Peningkatan diversifikasi tanaman dan jenis tanaman lain seperti
pohon-pohon dan rumput-rumputan, juga dapat memberikan kontribusi terhadap
konservasi lahan, habitat binatang, dan meningkatkan populasi serangga yang
bermanfaat. Beberapa langkah kegiatan yang dilakukan : (a) menciptakan sarana
penyediaan air, yang menciptakan lingkungan bagi katak, burung dan
binatang-binatang lainnya yang memakan serangga dan insek ; (b) Menanam
tanaman-tanaman yang berbeda untuk meningkatkan pendapatan sepanjang tahun dan
meminimalkan pengaruh dari kegagalan menanam sejenis tanaman saja.
Di Indonesia sendiri, gaung pertanian organik sudah berkembang sekitar 10
tahun yang lalu, akan tetapi pemainnya dapat dihitung dengan jari (Trubus No.
363, 2000). Kemudian meningkat pesat sejak terjadi krisis moneter, dimana
sebagian besar saprodi yang digunakan petani melonjak harganya berkali-kali
lipat. Petani mulai melirik alternatif lain dengan model pertanian organik.
Melalui proses adaptasi, pertanian organik mulai digeluti dan mendapat respon
yang cukup baik, dengan ditandai oleh bermunculnya kelompok petani organik di
berbagai daerah. Keuntungan pokok pertanian organik sangat bervariasi, dalam
beberapa kajian ekonomi menyatakan bahwa pertanian organik memiliki akses nyata
terhadap prospek jangka panjang. Beberapa studi menunjukkan bahwa pertanian
organik berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tenaga kerja dibandingkan
dengan pertanian konvensional. Terutama pada sistem pertanian organik melalui
diversifikasi tanaman, perbedaan pola tanam dan jadwal tanam dapat
mendistribusikan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan waktunya.
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan
sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya
tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi
pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin.
Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan
kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan
akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap
lingkungan (Kasumbogo Untung, 1997). Beberapa kegiatan yang diharapkan
dapat menunjang dan memberikan kontribusi dalam meningkatkan
keuntungan produktivitas pertanian dalam jangka panjang,
meningkatkan kualitas lingkungan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat
pedesaan antara lain adalah
Bertanam dengan memiliki varietas yang cukup banyak di lahan pertanian
dapat mengurangi kondisi ekstrim dari cuaca, hama penggangu tanaman, dan harga
pasar. Peningkatan diversifikasi tanaman dan jenis tanaman lain seperti
pohon-pohon dan rumput-rumputan, juga dapat memberikan kontribusi terhadap
konservasi lahan, habitat binatang, dan meningkatkan populasi serangga yang
bermanfaat. Beberapa langkah kegiatan yang dilakukan : (a) menciptakan sarana
penyediaan air, yang menciptakan lingkungan bagi katak, burung dan
binatang-binatang lainnya yang memakan serangga dan insek ; (b) Menanam
tanaman-tanaman yang berbeda untuk meningkatkan pendapatan sepanjang tahun dan
meminimalkan pengaruh dari kegagalan menanam sejenis tanaman saja.
Pengelolaan nutrisi tanaman dengan baik dapat meningkatkan kondisi tanah
dan melindungi lingkungan tanah. Peningkatan penggunaan sumberdaya nutrisi di
lahan pertanian, seperti pupuk kandang dan tanaman kacang-kacangan (leguminosa)
sebagai penutup tanah dapat mengurangi biaya pupuk anorganik yang harus
dikeluarkan. Beberapa jenis pupuk organik yang bisa digunakan antara lain:
pengomposan ; penggunaan kascing ; penggunaan pupuk hijauan (dedaunan) ;
penambahan nutrisi pada tanah dengan emulsi ikan dan rumput laut.
Sebagai gambaran, di Austria dan Switzerland menunjukkan bahwa kebutuhan
pertanian organik diperkirakan mencapai lebih dari 10 persen, sedangkan
Amerika, Perancis, Jepang dan Singapura meningkat rata-rata 20 persen setiap
tahun. Permintaan akan produk-produk organik merupakan peluang dunia usaha baru
baik untuk tujuan ekspor maupun kebutuhan domestik. Beberapa negara
berkembangpun mulai memanfaatkan peluang pasar ekspor produk organik ini
terhadap negara maju, diantaranya buah-buah daerah tropik untuk industri
makanan bayi ke Eropa, herbas Zimbabwe ke Afrika Selatan, kapas Afrika ke Uni
Eropa, dan teh Cina ke Belanda dan kentang ke Jepang. Umumnya, ekspor produk organik
dijual dengan harga cukup tinggi, biasanya 20 persen lebih tinggi dari produk
pertanian non-organik.
Semua organisme yang dapat berintraksi
baik secara positif atau bermanfaat bagi patogen maupun berinteraksi secara
negatif atau merugikan bagi patogen.
Kondisi biologi tanah meliputi mikroorganisme yang berinteraksi dengan
patogen tersebut, dimana interaksinya dapat menguntungkan atau sebaliknya
merugikan atau mengganggu patogen tersebut.
Bilamana interaksinya mengganggu patogen tersebut, mikroorganisme tentu
menjadi kuat dan tidak dapat dieliminasi dari lingkungan.
KESIMPULAN
Hama dan penyakit pada tanaman
sayuran tidak bisa dianggap remeh, apalagi selama ini petani hanya mengandalkan
pestisida kimia yang harganya mahal dan merusak lingkungan.
Dengan memanfaatkan biopestisida (
bakteri antagonis dan jamur antagonis ) dalam budidaya tanaman sayuran dapat
menekan perkembangan hama dan penyakit tanpa mengakibatkan kerusakan
lingkungan. Mikroba natagonis (jamur dan bakteri) banyak didapat di alam dan
semua bahannya ada di alam yaitu dapat diperbanyak dengan memanfaatkan limbah. Biopestisida
terbuat dari jamur dan bakteri antagonis yang sudah diuji kemampuannya menekan
perkembangan penyakit yang menyerang tanaman, tanpa mengakibatkan polusi
(kerusakan lingkungan dan aman bagi hewan piaraan dan manusia), dapat
disosialisasikan ke petani sayur-sayuran sehingga
tanaman tumbuh secara normal dan dapat berproduksi secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anton Apriantono. 2010. Pertanian Organik Dan
Revitalisasi Pertanian, Pidato Pada Workshop dan Kongres II Maporina dengan
tema yang cukup menantang yaitu: Menghantarkan Indonesia Menjadi Produsen
Organik Terkemuka. http://www.litbang.deptan.go.id
Anwar H. 2008. Pertanian Organik (Organic
Agriculture). Pertanian Organik Lindungi Bumi . www.saungtani.com
Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian - (Indonesian Agency for Agricultural
Research and Development/ IAARD). 2009.
Prospek Pertanian Organik di Indonesia e-mail: info@litbang.deptan.go.id
Bonsall, R. R.B., Weller, D.M., Thomahow, L.S. 2007. Quantification of 2,4-Diacetylphloroglucinol Produced
by Fluorescent Pseudomonas spp. In Vitro and in the Rhizosphere of
Wheat. Department of Plant Pathology, Washington State University,1 and
Root Disease and Biological Control Research Unit, Agricultural Research
Service, U.S. Department of Agriculture,2 Pullman, Washington
99164-6430. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1389124/ diakses tanggal 05 maret 2010
Fahy and
Lloyd, 1983 dalam Arwiyanto et all,
2007. Sifat-Sifat Fenotipik Pseudomonas
fluoresen, Agensia Pengendalian Hayati Penyakit Lincat pada Tembakau
Temanggung. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. http://www.unsjournals.com/D/D0802/D080215.pdf.
diakses tanggal 16 februari 2010
Hamim Sudarsono. 2010. Prospek
Pertanian Organik di Indonesia.
Hasanuddin.
2003. Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem Pengendalian Penyakit
Tumbuhan secara Terpadu. Jutusan Hama dan Penyakit Tumbtuhan, Fak. Pertanian.
USU. Digitized by USU digital
library.
Isroi . 2009. Bioteknologi Mikroba Untuk Pertanian
Organik. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia , Lembaga Riset
Perkebunan Indonesia. Email: ipardboo@indo.net.id ; isroi@ipard.com
Kasumbogo,
U. 1993. Pengantar Pengelolaan hama Terpadu. Gajah Mada university Press..273
hal.
Linda S., Thomashow and David M. Weller.
1998. Role of a Phenazine Antibiotic from Pseudomonas fluorescens in
Biological Control of Gaeumannomyces graminis var. tritici.
Journal of Bacteriology, Vol. 8 (170) :. 3499-3508 .
Mette Neiendam Nielsen, Jan Sørensen,
Johannes Fels, Hans Christian Pedersen.
1998. Secondary Metabolite- and Endochitinase-Dependent. Antagonism toward
Plant-Pathogenic Microfungi of Pseudomonas fluorescens Isolates from
Sugar Beet Rhizosphere. Applied and Environmental Microbiology, American
Society for Microbiology. Vol. 64, No. 10, p. 3563–3569.
Raaijmakers, J.M. 1999.
Diversity, Host Affinity, and Broad-Spectrum Activity of
Antibiotic-Producing Pseudomonas spp.
Wageningen Universiteit voor Fytopathologie. Wageningen.
Sayed, W. El, Mona
Abd El-Megeed, A. B. Abd El-Razik , K.h. Soliman and S. A. Ibrahiim. 2008. Isolation and
Identification of Phenazine-1-Carboxylic acid from different Pesudomonas isolates
and its Biological activity against Alternaria solani Research Journal
of Agriculture and Biological Sciences, 4(6): 892-901.
Suntoro Wongso Atmojo. 2010. Solo Pos :
Degradasi Lahan & Ancaman bagi Pertanian, Edukasi.net, Ilmu Tanah Fak.
Pertanian UGM, Yogyakarta.
Triwidodo Arwiyanto, YMS Maryudani, Nining
Nurul Azizah. 2007. Sifat-Sifat Fenotipik Pseudomonas fluoresen, Agensia
Pengendalian Hayati Penyakit Lincat pada Tembakau Temanggung
BIODIVERSITAS, ISSN: 1412-033X. Vol. 8,
No. 2 : 147-151.
Walker,
R.,CMJ Innes and E.J. Allan. 2001. The Potential Biocontrol Agent Pseudomonas
antimicrobica Inhibits Germination of Conidia and outgrowth of Botrytis
cinerea. Appl. Microbiol. (32) : 246 – 246.
Gambar hasil uji biopestisida
ditampilkan pada Gambar di bawah ini :
(A) (B)
Pada
Gambar di atas bahwa tanaman yang tidak
disemprot dengan biopestisida menunjukkan daunnya habis dimakan serangga (A)
dan tanaman yang disemprot dengan
biopestisida menunjukkan daunnya utuh karena tidak dimakan serangga .
|
|
|
|
|
|
|
UJI DOSIS Agents HAYATI PADA
BUDIDAYA BEBERAPA
JENIS SAWI
MELALUI SISTEM ORGANIK
|
|
|
|
|
Penanggung Jawab Program
Prof.Dr. Ir. Dyah Roeswitawati, MS.
|
|
|
|
|
FAKULTAS PERTANIAN-PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
NOPEMBER 2011
|
|