Pengaruh Keluarga Asal
Terhadap Perkawinan
|
||
Oleh
Muhammad Hadidi
Jurusan
Islamic Law UMM
|
||
Sebelum menikah,
saya sudah pacaran cukup lama lho dengan suami/istri saya...Tapi kenapa, ya,
kok setelah menikah sepertinya sikapnya berubah dan tuntutannya pun sulit
dipahami. Sepertinya, apapun yang saya kerjakan selalu salah dan tidak sesuai
dengan keinginannya. Saya bingung...bagaimana sih “standard” atau kriteria
yang benar buat dia ?
|
||
Pertanyaan tersebut sering
muncul dalam sebuah kehidupan perkawinan, tidak memandang usia perkawinan itu
baru atau pun lama. Kenapa hal itu bisa terjadi sedangkan masa pacaran seakan
dilewati tanpa masalah yang berarti?
|
||
Persatuan Dua Pribadi
|
||
Menikah dapat diartikan
secara sederhana sebagai persatuan dua pribadi yang berbeda. Konsekuensinya,
akan banyak terdapat perbedaan yang muncul. Mengapa saat pacaran hal itu
tidak menjadi soal? Proses pacaran pada intinya adalah mekanisme untuk
mempelajari dan menganalisis kepribadian pasangan serta belajar saling
menyesuaikan diri dengan perbedaan tersebut. Dalam pacaran, akan dilihat,
apakah perbedaan tersebut masih dapat ditolerir atau tidak. Namun masalahnya,
selama masa pacaran orang sering mengabaikan realita sehingga kurang peka
terhadap permasalahan atau perbedaan yang ada – bahkan seringkali
mereka memasang harapan bahwa semua itu “akan berubah” setelah menikah. Yang
sering terjadi, banyak pasangan yang kecewa karena harapan mereka tidak
terwujud dan tidak ada perubahan yang terjadi, bahkan setelah bertahun-tahun
menikah.
|
||
Satu hal yang sering kurang
disadari oleh orang yang menikah adalah bahwa bersatunya dua pribadi bukanlah
persoalan yang sederhana. Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri
dan punya latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda, entah itu latar
belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal atau pun pengalaman pribadinya
selama ini.
|
||
Pengaruh Keluarga Asal
|
||
Para
ahli mengatakan bahwa pola asuh orang tua atau pun kualitas hubungan yang
terjalin antara orang tua dengan anak, merupakan faktor penting yang kelak
mempengaruhi kualitas perkawinan seseorang, menentukan pemilihan pasangan,
mempengaruhi pola interaksi/komunikasi antara suami-istri dan dengan anak,
mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan, dan mempengaruhi persepsi
orang tersebut terhadap perannya sendiri. Intinya, hubungan orang tua-anak
ikut mempengaruhi seseorang dalam mengarungi kehidupan perkawinan di masa
mendatang.
|
||
1. Hubungan orang tua-anak
|
||
Menurut
penelitian Henker (1983), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara
orang tua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan
tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah
tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri.
Jika hubungan dengan orang tuanya dulu memuaskan dan membahagiakan, maka
kesan emosi yang positif akan tertanam dalam memori dan terbawa pada
kehidupan perkawinannya sendiri. Orang demikian, biasanya tidak mengalami
masalah yang berarti dalam kehidupan perkawinannya sendiri. Sebaliknya, dari
pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orang tua, akan terekam
dalam memori dan menimbulkan stress (yang berkepanjangan, baik ringan maupun
berat). Berarti, ada the unfinished business dari masa lalu yang
terbawa hingga kehidupan berikutnya, termasuk kehidupan perkawinan. Segala
emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi/pola
pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri,
terhadap pasangan dan terhadap makna perkawinan itu sendiri.
|
||
2.
Sikap penolakan orang tua
|
||
Kurangnya
perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab
kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan
perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan
penerimaan orang tua – namun seringkali orang tua tetap tidak memberikan
respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak
pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan,
rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa
hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi dan sikapnya dalam menjalin
relasi dengan orang lain. Pada saat menikah, bisa jadi seorang istri menikahi
suaminya karena merindukan figur ayah yang melindungi dan mencurahkan
perhatian dan kasih sayang – seperti yang tidak pernah didapatnya dahulu.
Atau, bisa jadi seorang pria mencari wanita yang dapat menjadi substitusi
dari ibunya dahulu, yang sangat ia dambakan cinta dan perhatiannya.
Masalahnya,
anak yang tumbuh dengan kondisi deprivasi emosional (kurang terpenuhinya
kebutuhan emosional), di masa dewasanya, cenderung mentransferkan kebutuhan
akan perhatian, cinta, penghargaan, penerimaan dan rasa aman kepada
pasangannya. Mereka menuntut pasangannya untuk men-supply kebutuhan emosional
mereka yang tidak terpenuhi waktu
kecil. Biasanya, orang demikian menjadi sangat demanding, terlalu
tergantung pada pasangannya, tidak mandiri, cari perhatian dan sangat manja.
|
||
3. Identifikasi figur orang tua
|
||
Seringkali
tanpa sadar seseorang mencari pasangan yang seperti ibunya atau ayahnya.
Mereka mengharapkan agar pasangannya memperlakukan dia seperti perlakuan ayah
dan ibu terhadapnya. Harapan tersebut pada dasarnya tidaklah realistis dan
sering mendatangkan persoalan yang besar. Ucapan “saya bukanlah ayahmu/ibumu,
jadi berhentilah berharap saya akan menjadi seperti dia !”. Pernyataan ini
merupakan cermin adanya tuntutan dan keinginan seseorang untuk menjadikan
pasangannya seperti ayah/ibunya.
|
||
4. Ketergantungan
yang berlebihan terhadap orang tua
|
||
Kelekatan
yang berlebihan dan tidak sehat terhadap salah satu orang tua (biasanya
terhadap orang tua lawan jenis) di masa kanak-kanak, jika tidak
berubah/mengalami perkembangan – dan jika setelah menikah masih tetap lengket
dengan orang tuanya – maka hal ini akan menimbulkan persoalan besar dengan
pasangan. Pasangan akan merasa diabaikan dan disingkirkan, sehingga timbul
perasaan marah, kesal, iri, cemburu serta emosi negatif lainnya. Ketergantungan tersebut sering membuat
pasangan jengkel karena hal-hal kecil sekali pun ditanyakan kepada orang tua
dan tergantung pada respon atau pilihan orang tua. Tentu saja pasangan merasa
tidak dihargai karena selalu berada di bawah bayang-bayang mertuanya.
Pasangan merasa posisinya hanya sebagai pelengkap yang tidak signifikan dalam
menentukan arah kehidupan keluarga.
Pada
beberapa kasus, ketergantungan tersebut bersifat dua arah. Artinya, anak
menjadi sumber sense of self dari orang tua (karena keberadaan anak
membuat dirinya merasa berguna, dibutuhkan, berarti), sehingga orang tua
ingin terus berperan sebagai orang tua yang menentukan kehidupan sang anak
meskipun sang anak telah dewasa dan berkeluarga. Bisa jadi, orang tua itu pun
sejak anaknya masih kecil, menanamkan pengertian dan sikap-sikap yang
menstimulasi ketergantungan anak terhadap orang tua. Salah satunya, orang tua
yang over-protective dan
terlalu dominan, malah menimbulkan rasa kurang percaya diri dan
kemandirian pada anak. Anak akan memandang bahwa dirinya tidak dapat berbuat
apa-apa tanpa orang tua, dan anak bukan siapa-siapa tanpa orang tuanya.
|
||
Kenali Diri Sendiri
|
||
Melihat hal-hal di atas, maka amatlah disarankan bagi
mereka yang akan menikah, untuk benar-benar mempelajari dinamika yang terjadi
pada diri sendiri, kepribadian diri, sifat, karakter, kecenderungan positif
maupun negatif, motivasi dalam mencari suami/istri, prioritas dan kebutuhan
dalam hidup. Pelajarilah hubungan antara diri sendiri dengan orang tua, dan
temukan – manakah dari hubungan dengan orang tua yang tidak ingin
diulangi/terulang dalam kehidupan perkawinan di masa mendatang. Pelajari kesalahan-kesalahan
atau kekeliruan yang tanpa sadar dilakukan orang tua di masa yang lalu, baik
dalam memelihara kehidupan perkawinan, maupun dalam mengasuh dan membesarkan
anak. Seringkali orang baru menyadari setelah bertahun-tahun, bahwa ternyata
kehidupan perkawinannya hampir sama dengan kehidupan perkawinan orang tuanya.
Dan, pasangan yang dipilih, mempunyai kesamaan karakteristik dengan salah
satu figur orang tuanya. Jika hal ini berakibat positif – tentunya tidak
menjadi masalah. Namun, yang lebih sering terjadi justru yang sebaliknya.
Oleh sebab itu, orang merasa hidup dalam “kesusahan dan penderitaan” yang
tiada akhir; padahal, semua itu dimulai oleh dirinya serta berdasarkan
pilihan dan tindakan dirinya sendiri.
Bagi Anda yang akan maupun sudah menikah:
mempelajari dan meneliti diri sendiri, memang lebih sulit dari meneliti orang
lain. Namun, jika sudah mampu melihat kenyataan diri, maka orang akan lebih
mampu bersikap bijaksana terhadap orang lain, termasuk pada pasangan. Ia akan
melihat, mengapa dan bagaimana keadaan internal dalam dirinya bisa
berpengaruh terhadap pasangan dan terhadap hubungan antara keduanya. Jadi,
jika terjadi masalah, tidak langsung menyalahkan pasangan, melainkan
introspeksi ke dalam dulu. Jika seseorang merasa pasangannya kurang
memperhatikan, cobalah telaah, apakah keadaan itu riil atau kah cermin dari
adanya kebutuhan dan kehausan akan perhatian? Apakah ada bentuk
ketergantungan yang bersifat kekanak-kanakan, yang diharapkan dapat dipenuh
oleh pasangan? Apakah tuntutan yang ada realistis, atau karena merasa
ketakutan dan tidak aman terhadap hubungan itu sendiri (takut pasangan tidak
setia, takut ditinggalkan, takut diabaikan, takut tidak diperhatikan).
Melalui mekanisme tersebut, maka sebuah perkawinan dapat bertumbuh dengan lebih
sehat – karena kedua belah pihak, mau melepaskan diri dari masa lalu dan
belajar dari kesalahan untuk membangun kehidupan dan keluarga yang mandiri di
masa sekarang ini.
Sebagai
penutup, ada satu hal yang tidak kalah pentingnya, seperti yang dikatakan
oleh Rice, penulis buku "Intimate Relationship, Marriages and
Families" (1990):
|
||
After
marriage, the primary loyalty of a husband and wife should be to one another,
rather than to parents, or else the primary relationship is weakened by
conflicting loyalties and by the interference of parents
|
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka,secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (Q.S. Ar-Ra’ad : 22)
24 Jan 2012
Sentimen Anti Hijab, Sebuah Pelanggaran HAM
Oleh Muhammad Hadidi
Jurusan Syariah/ Konsentrasi Family Law FAI UMM
Dewasa ini, sebagian besar media massa Barat, baik cetak
maupun elektronik, berusaha untuk menampilkan wajah Islam secara tidak benar.
Contoh nyata dari upaya ini adalah kesan terorisme yang ditujukan kepada gerakan
intifadah rakyat Palestina dalam menghadapi aksi kejahatan rezim Zionis Israel
atau diperkenalkannya Islam sebagai biang terorisme selepas peristiwa 11
September. Masalah hak asasi manusia dalam Islam juga merupakan salah satu
sasaran serangan media massa Barat. Apalagi, sebagian besar media massa di
Barat, seperti Perancis, Jerman, dan Inggris, umumnya berada dalam genggaman
para kapitalis Yahudi yang menyimpan dendam mendalam terhadap Islam yang
berakar sejak mulai munculnya Islam berabad-abad yang lampau.
Jika kita melihat secara teliti, akan tampak bahwa
negara-negara yang secara zahir mengumbar isu hak asasi manusia dan demokrasi,
justeru yang pertama-tama melecehkan kehormatan bangsa-bangsa lain dan
melanjutkan kezaliman dan diskriminasi terhadap yang lain. Dengan melihat
kepada beberapa pasal dari Piagam Hak Asasi Manusia, kita akan melihat bahwa
sesungguhnya sentimen anti hijab yang terjadi di negara-negara Eropa adalah
sebuah pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal ketiga Piagam Hak Asasi Manusia menyebutkan,
“Setiap orang mendapat hak kebebasan individu dan keamanan.” Sedangkan dalam
pasal kelima disebutkan: Tidak ada siapapun yang boleh disiksa atau dianiaya
secara tidak manusiawi, atau menjadi sasaran penghinaan. Pasal 18 dan 19 dari
piagam itu mengungkapkan: Setiap orang mempunyai hak kebebasan agama,
berpendapat, berkeyakinan, dan kebebasan bersuara.
Selain Piagam HAM, perjanjian lain seperti perjanjian Hak
Asasi Manusia Eropa turut mendukung hal itu. Tetapi adakah perjanjian ini
dilaksanakan secara benar seperti apa yang tertuang dalam undang-undang dasar
negara-negara tersebut atau tidak? Hal ini merupakan masalah yang memerlukan
penelitian yang lebih mendalam.
Undang-undang dasar seluruh negara Eropa Barat menjamin
kebebasan beragama. Tentunya jaminan hak yang disebut dalam undang-undang dasar
itu tidak mencakup umat Islam. Karena di negara-negara ini penganut Islam tidak
dibenarkan melaksanakan aktifitas sosial agama mereka yang amat konstruktif dan
bermanfaat. Negara-negara Eropa Barat hanya membenarkan umat Islam mendirikan
masjid, melangsungkan ibadah, dan membentuk organisasi atau penerbitan agama.
Masalah hijab di beberapa negara Eropa boleh disebut
sebagai contoh dari pelanggaran hak asasi manusia yang disebutkan dalam
undang-undang dasar negara-negara tersebut. Di Jerman, para pelajar muslim
tidak mungkin ikut serta dalam beberapa cabang pelajaran olahraga, khususnya
renang. Tetapi para pelajar itu terpaksa ikut dalam pelajaran tersebut.
Fereshteh Laden, imigran muslim yang menamatkan studi di Jerman, kini mempunyai
hak untuk bekerja sebagai guru. Tetapi dikarenakan ia mengunakan jilbab, dia
tidak diterima oleh pusat pendidikan manapun dan usahanya berulang kali tidak
membuahkan hasil.
Di Inggeris yang mengklaim sebagai negara demokrasi, umat
Islam mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Mereka tidak mendapat hak
seperti yang diperoleh oleh umat Yahudi dan Kristen. Apa yang terjadi pada diri
ibu Faridah Kanuni merupakan satu contoh nyata dari perkara tersebut. Ibu
Kanuni, 22 tahun bekerja sebagai insinyur listrik di sebuah pabrik di kawasan
Latun. Sekembalinya dari Mekah, dia membuat keputusan untuk memakai hijab.
Faridah Kanuni di-PHK dari tempat kerjanya hanya karena alasan hijabnya bisa
tersangkut pada gerigi mesin di pabrik tersebut.
Di Perancis, krisis serius pertama yang berhubungan
dengan hijab bermula pada tahun 1989 saat massa media meliput berita
dikeluarkannya tiga orang pelajar yang mengenakan pakaian Islami dari sekolah
mereka. Pada tahun 1990, di pinggiran kota Paris, lima orang pelajar berhijab
diberhentikan dengan alasan melanggar ketentuan sekolah. Peristiwa ini terus
berlanjut pada tahun-tahun seterusnya hingga saat ini. Dan belum ada keputusan
apapun di Prancis yang memihak kepada pelajar muslimah berhijab.
Reaksi keras dalam menghadapi hijab yang dikenakan wanita
muslim di negara-negara Eropa itu mungkin saja dikarenakan rasa khawatir akan
pengaruh dan infiltrasi jihab pada diri kaum wanita yang selama bertahun-tahun
menyaksikan budaya bebas Barat. Jamilah Briggite, warga Hamburg Jerman yang
telah memeluk agama Islam mengatakan, “Menurut pandangan saya, hijab memberikan
kekuatan yang menakjubkan kepada wanita. Seolah-olah ia adalah tanda yang
memberi peringatan kepada orang lain bahwa saya tidak ingin menjadi fokus pandangan.”
Ibu Fatimah Harnes, adalah salah seorang wanita Austria
yang baru memeluk agama Islam mengatakan, “Hari ini saya mengetahui bahwa hijab
merupakan pelindung bagi kaum perempuan. Dalam realitanya, hijab Islam yang
tidak memperlihatkan bentuk tubuh manusia, telah menunjukkan nilai-nilai
spiritual dan insani seseorang, dan ini adalah suatu yang amat indah.”
Zahra Shahrbarman, salah seorang perempuan yang baru
memeluk agama Islam berkata, “Wanita dalam masyarakat Barat terpaksa bersaing
dengan wanita-wanita lain untuk menarik perhatian suami mereka, dan berupaya
untuk tidak memiliki kekurangan apapun dari yang lain. Wanita Barat senantiasa
merasa khawatir suami mereka akan dirampas oleh wanita lain. Berkembangnya
kebebasan tanpa batas di Barat membuat satu dari dua keluarga, memiliki
hubungan seks tak sah. Jika melihat dengan teliti, kita akan dapat membuat
kesimpulan bahwa wanitalah yang selalunya dirugikan dan inilah yang mereka
sebut dengan persamaan hak perempuan dan pria.”
Jika manusia keluar dari jeratan dugaan dan prasangka dan
merujuk kepada akal, tentu ia akan mendapatkan bahwa hijab yang ditekankan oleh
Islam adalah suatu hal yang logis dan benar. Karena akal manusia cenderung
kepada sesuatu yang menjamin kepentingannya atau menyelamatkannya dari bahaya
melalui jalan yang paling benar. Dalam hal ini, pakaian yang menutupi tubuh
wanita memberi kesan atau meninggalkan pengaruh positif seperti ketenteraman
jiwa, keselamatan dan imunitas dari kerusakan moral. Selain dari itu, ia dapat
memperkokohkan sendi-sendi keluarga dan menyelamatkan generasi.
Ungkapan bahwa hijab tidak sejalan dengan produktifitas,
hanyalah pernyataan miring yang keluar dari orang-orang jahil atau yang sengaja
melecehkan hak-hak para wanita muslimah. Karena di dunia hari ini, khususnya
pengalaman dari revolusi Islam Iran menunjukkan bahwa wanita yang berpakaian
layak bisa hadir secara aktif di semua sektor sosial, ekonomi, ilmiah, seni dan
hukum, tanpa halangan apapun. Realitasnya, hijab merupakan sebuah penghargaan
kepada kedudukan dan martabat wanita sekaligus sebuah perhatian kepada kaum
Hawa sebagai bagian dari umat manusia. Sedangkan proses hedonisme yang lazim di
Barat, tidak sesuai dengan kemuliaan dan kedudukan mulia kaum perempuan.M-Adid.com
Reaksi Emosi Yang Muncul Akibat Perselingkuhan
Muhammad Hadidi
Weni adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama
menikah dan mempunyai 2 orang anak. Ia merasa sangat terkejut dan syok ketika
suaminya berterus terang padanya bahwa dirinya berselingkuh, meskipun sejak saat
itu suaminya mengaku sudah menghentikan perbuatannya dan ingin kembali ke
keluarganya karena merasa bersalah dan berdosa. Weni merasa dibohongi,
dikhianati dan dibodohi oleh suami karena selama ini dia sama sekali tidak
melihat tanda-tanda yang mencurigakan. Jadi, Weni tidak habis pikir, kenapa
selama ini sampai tidak tahu perbuatan suaminya itu, dan apa pula kesalahannya
sampai sang suami tega mengkhianatinya !
Kesedihan dan kekecewaan itu benar-benar dirasakan
secara mendalam oleh Weni, sampai dia sendiri akhirnya tidak mengerti kenapa
setelah peristiwa itu tubuhnya sering bereaksi secara aneh. Seperti waktu
sedang membaca majalah, tiba-tiba saja jantungnya berdetak keras sekali; atau
ketika sedang masak, tiba-tiba ia merasa kaku dan tangannya tidak bisa
digerakkan; pada waktu sedang menonton televisi, tiba-tiba saja tangannya
berkeringat. Selain itu, Weni juga kehilangan nafsu makan dan berat badannya
makin lama makin turun.
Weni sulit sekali melupakan apa yang sudah diperbuat
oleh suami terhadapnya. Berkali-kali muncul dalam pikiran bayangan ketika
suaminya sedang bermesra-mesraan dengan selingkuhannya, atau sedang makan malam
berdua, ketika suaminya sedang memeluk dan memegang tangannya, apalagi ketika
tidak pulang dengan alasan ada tugas ke luar kota….membayangkan apa yang
terjadi di antara mereka semakin membuat perasaan Weni hancur dan tersayat.
Weni sendiri menyadari, bahwa setelah pengakuan suaminya itu ia malah jadi
sering curiga dan tidak percaya pada semua kata-kata dan aktivitas suaminya. Untuk
itu, ia sering memonitor setiap gerakan suaminya. Tidak hanya itu, Weni jadi
mudah sekali tersinggung, dan hampir semua kata-kata suaminya ditanggapi dengan
kemarahan. Weni merasa dirinya semakin sulit mengendalikan emosinya sendiri.
Menurut pandangan para
ahli, reaksi yang terlihat pada Weni adalah reaksi yang wajar jika seseorang
menghadapi suami yang berselingkuh, dan reaksi tersebut mengindikasikan bahwa
Weni mengalami serangan kecemasan dan gejala-gejala seperti layaknya orang yang
mengalami peristiwa traumatis. Biasanya, pasangan yang menghadapi masalah
perselingkuhan akan mengalami kondisi depresi yang lebih berat ketimbang
pasangan yang sedang mengalami permasalahan lainnya. Tidak jarang salah satu
pihak karena tidak tahan akan beban mental yang harus ditanggung, akhirnya
memutuskan untuk bunuh diri atau membunuh pasangannya. Memang tindakan tersebut
kelihatannya sangat ekstrim, namun pada kenyataannya hal tersebut sering
terjadi, apalagi di Indonesia.
Mengingat kemungkinan
yang akan terjadi jika dalam kehidupan sebuah keluarga sedang dilanda masalah
perselingkuhan, maka jika masih ingin menyelamatkan kehidupan perkawinan,
sebaiknya meminta bantuan orang-orang yang ahli seperti halnya konselor
perkawinan atau pun terapis agar tekanan emosional dan energi negatif yang
berputar-putar dalam keluarga tersebut dapat diselesaikan dengan baik.
Secara singkat,
tahapan-tahapan di bawah ini baik untuk dilakukan jika ada di antara Anda yang
mengalami masalah serupa di atas :
1.
Biarkan diri Anda mengalami segala macam perasaan yang
berkecamuk dalam hati dan pikiran, jangan ditekan atau pun di tahan-tahan
karena emosi yang ditekan hanya akan menghabiskan energi yang diperlukan untuk
membangun kembali kehidupan Anda. Energi negatif yang ditahan-tahan justru akan
membuat diri Anda semakin dilingkupi kemarahan dan sulit untuk bisa berpikir
dan bertindak positif.
2.
Cobalah meminta bantuan terapis, konselor atau pun
orang-orang yang ahli dalam mengatasi persoalan perkawinan. Carilah terapis
yang benar-benar mampu membantu Anda mengekspresikan perasaan dan mengendalikan
perasaan Anda tersebut.
3.
Curahkanlah segala perasaan, kepahitan dan kekecewaan
Anda pada Tuhan, karena pada akhirnya Tuhan pasti akan membantu Anda mengatasi
kerumitan hidup jika Anda memang benar-benar menghendakinya.
Ketidakpuasan
dalam Kehidupan Perkawinan Karena Harapan dan Impian akan Romantisme
Oleh
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Jurusan syariah konsentrasi Family Law
Universitas Muhammadiyah Malang
“Harapan yang
terlalu tinggi terhadap pasangan dan terhadap kehidupan perkawinan itu sendiri
dapat menjadi bumerang bagi kelangsungan hidup perkawinan seseorang”
Banyak orang terlalu cepat
merasa tidak puas dalam kehidupan perkawinan yang mungkin baru saja dijalani
beberapa saat. Seringkali mereka tidak sadar, bahwa mereka sendiri lah yang
membuka peluang bagi ketidakpuasan tersebut karena sejak awal mereka sudah
menaruh harapan dan impian yang terlalu tinggi baik terhadap pasangan maupun
terhadap kehidupan perkawinan itu sendiri. Setelah mereka menghadapi kenyataan
hidup yang sebenarnya, mereka lantas merasa kecewa dan mulai menyalahkan
pasangannya.
Seringkali mereka lupa,
bahwa ketidakmatangan pribadi mereka sendiri lah yang ikut mempengaruhi
dinamika yang terjadi dalam menghadapi setiap persoalan rumah tangga. Lama
kelamaan, karena masing-masing tidak berusaha untuk memperbaiki diri malah
mencari hiburan dan kompensasinya sendiri, maka cinta yang menjadi pengikat di
antara mereka semakin pudar. Bagaimana pun juga, jika dalam sebuah keluarga
atau pun perkawinan sudah tidak diwarnai oleh perasaan cinta dan afeksi
terhadap pasangan, mudah sekali timbul kebosanan di antara mereka. Jika
kebosanan itu tidak segera ditanggulangi, maka lambat laun akan
mempengaruhi sikap dan perilaku interaksi serta komunikasi antara pasangan
tersebut. Sikap apatis, pasif atau bahkan pasif-agresif bisa menjadi indikasi
adanya masalah dalam kehidupan perkawinan seseorang. Emotional divorce banyak dialami oleh keluarga-keluarga mulai dari
keluarga baru hingga keluarga yang sudah bertahun-tahun lamanya sehingga cinta
kasih yang menggebu pada akhirnya padam dan menjadi dingin. Meskipun secara
fisik pasangan suami istri tersebut tidak hidup secara terpisah (masih tinggal
serumah), namun secara emosional sudah terdapat jarak yang membentang. Dengan
pudarnya cinta di antara mereka, semakin longgarlah ikatan dan komunikasi di
antara suami istri tersebut sehingga mendorong salah satu atau keduanya untuk
mencari seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan, entah itu kebutuhan emosional
maupun kebutuhan fisik seperti kebutuhan seksual.
KELUARGA
DAN PERKAWINAN
Oleh
Muhammad Hadidi
Jurusan Sayariah Universitas Muhammadiyah Malang
Keluarga, seperti ayah,
ibu, saudara yang lebih besar, dan keluarga-keluarga yang lain seperti paman
dari ibu ataupun dari ayah bisa membantu pemuda dan pemudi yang ingin
berkeluarga. Bagaimanapun juga, mereka mempunyai pengalaman yang cukup luas
dalam kehidupan, bahkan mereka telah merasakan manis dan pahitnya kehidupan.
Karenanya, mereka bisa memberikan petunjuk kepada pemuda jalan yang benar dan
menawarkan kepadanya seorang wanita yang hendak dinikahinya, kemudian
memberikan kesempatan untuk mengambil keputusan.
Jika ia tidak dapat
mengambil keputusan, maka orang tua harus menjelaskan apa yang baik bagi lelaki
tadi tanpa harus melakukan intervensi dalam masalah-masalah pribadi.
Selanjutnya, mereka tetap harus menyerahkan kepada lelaki tadi untuk mengambil
keputusan terakhir. Perlu kami tegaskan kepada seluruh keluarga dalam masalah
penting ini, yaitu bahwa pemuda dan pemudilah yang ingin hidup bersama dalam
waktu yang cukup panjang dan bukannya orang-orang tua itu. Karena itu, merekalah
yang harus membuat keputusan untuk menerima satu sama lain. Oleh karena itu
tugas keluarga (orang tua) hanyalah memberitahukan kepada mereka mengenai
pengalaman-pengalamannya atau nasihat-nasihatnya yang berharga.
Adalah tidak adil jika
orang tua memutuskan perkawinan anak-anak mereka tanpa mempedulikan pendapat
mereka, karena yang demikian ini akan membawa kehidupan yang penuh kesusahan
dan kepedihan. Jika sampai terjadi, menurut pendapat saya hal ini adalah sebuah
dosa besar yang akan dipertanyakan pada hari kiamat.
Pentingnya Musyawarah
dalam Perkawinan
Musyawarah mempunyai
peranan yang penting di dalam Islam. Al-Quran dan hadist-hadist telah
menjelaskan dan mewasiatkan pentingnya musyawarah. Allah berfirman kepada Nabi
SAWW,
“Dan bermusyawarahlah
kepada mereka dalam suatu perkara, maka jika engkau memutuskan untuk melakukan
sesuatu hendaknya bertawakal kepada Allah.” (QS. Ali Imron : 159)
Kepada kaum muslimin,
Allah berfirman, “Dan dalam perkara mereka, hendaklah mereka selalu bermusyawarah.”
(QS. Asy-Syura : 38).
Dalam sebuah hadist
tentang musyawarah, Rasulullah SAWW ditanya, “Apakah hazm itu
? Rasulullah SAWW menjawab, “Tidak ada penolong yang lebih dipercaya
kecuali musyawarah dan tidak ada kesempurnaan akal seperti pandai dalam
mengatur.” Rasul SAWW juga bersabda, “Bermusyawarah dengan orang yang
berpengalaman dan yang mampu memberikan nasehat akan memberikan barakah,
petunjuk, serta taufik dari Allah. Maka jika ia (orang yang berpengalaman itu)
menyarankan kepadamu sesuatu, maka turutilah dan jangan melakukan keputusan
yang berbeda karena itu akan membuatmu celaka.”
Bermusyawarah dengan orang
yang berpengalaman dapat memberikan faedah dan pelajaran yang berharga. Begitu
pula seseorang yang bermusyawarah dengan orang lain dalam masalah-masalah
penting, ia akan sedikit melakukan kesalahan dan penyesalan.
Akan tetapi, berkaitan
dengan orang yang kita ajak bersmusyawarah itu tentu saja ada sejumlah kriteria
yang harus kita perhatikan dengan baik. Pertama-tama, tidak mungkin kita
bermusyawarah dengan sembarang orang, karena orang bodoh tidak mengetahui
kepentingan yang sebenarnya. Lagi pula, bagaimana mungkin orang bodoh itu
mampu menjelaskannya sesuatu kepada orang yang mengajaknya bermusyawarah?
Yang kedua, hendaknya
orang yang diajak bermusyawarah itu adalah seorang mu’min dan taat
beragama, karena orang yang tidak beriman sangat sulit untuk
dipercaya disebabkan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan agama. Bahkan sebaliknya, ia akan sangat mungkin menjerumuskan
kita ke jurang kesesatan dan kerusakan.
Ketiga, hendaknya ia
seorang yang sarat akan rasa persaudaraan dan kejujuran serta karena jika belum
diketahui kejujurannya, maka tidak mungkin ia dipercayai pendapat-pendapatnya
atau diperhatikan keputusan-keputusannya, bahkan kadang-kadang ia menyesatkan
orang yang meminta pendapatnya serta bisa membongkar rahasianya.
Imam Shadiq a.s. berkata,
“Musyawarah tidak akan terjadi kecuali dengan empat syarat dan siapapun harus
mengetahui empat syarat tersebut…. Empat syarat itu ialah: pertama,
orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang cukup matang pemikirannya; kedua
tidak terikat namun ta’at beragama; ketiga ia mampu berfungsi
sebagai teman, dan yang keempat ia mampu menjadi saudara yang bisa Anda
percayai dalam menyimpan rahasia Anda, karena ia akan mengetahui apa yang Anda
ketahui kemudian menyimpannya (sebagai rahasia). Sesungguhnya, jika dia seorang
yang matang pemikirannya (berakal), maka kamu akan mendapatkan manfaat darinya.
Jika dia seorang yang tidak terikat namun ta’at beragama, maka ia akan
betul-betul berusaha menasehatimu. Jika dia seorang teman dan saudara, dia akan
menyimpan rahasiamu yang telah kamu sampaikan kepadanya. Jika dia tahu
rahasiamu, maka dia mengetahui maksudmu. (Jika keempat syarat ini terpenuhi)
maka musyawarah dan nasehat bisa berlangsung.” (Makarim Al-Akhlak ; 367).
Oleh karena itu, kita
harus bermusyawarah dengan orang yang berpengalaman, beragama, dipercayai dan
penasehat, terutama dalam masalah perkawinan yang sangat penting dan
menentukan. Orang yang paling utama untuk diminta sarannya dalam masalah
perkawinan bagi seorang pemuda adalah orang tua, dengan syarat mereka termasuk
orang-orang yang pandai mengatur serta mempunyai cukup pengetahuan.
Bagaimanapun juga, orang tua adalah seorang yang paling jujur sekaligus yang
pang mampu memainkan peranan sebagai penasehat bagi anak-anaknya dibanding
orang lain. Adalah suatu kesalahan jika anak-anak tidak bermusyawarah dengan
orang tua mereka dalam masalah perkawinan, karena mereka (orang tua) adalah
pembimbing terbaik bagi anak-anak mereka dalam masalah sepenting ini. Mereka
juga mempunyai cukup pengalaman dalam kehidupan. Walhasil, mereka adalah
orang-orang yang dapat dipercaya dalam memberikan nasehat.
Tentu saja perlu ditegaskan
lagi bahwa orang tua hanyalah penasehat yang fungsinya adalah memberikan
petunjuk untuk kemudian membiarkan anak-anak mereka mengambil keputusan, dan
bukan mereka yang memutuskan serta memastikan perkawinan anak-anak mereka itu.
Setelah bermusyawarah dengan kedua orang tua, seorang pemuda bisa juga
bermusyawarah dengan kakek, nenek, saudara, paman, bibi, dengan tetap
memperhatikan syarat-syarat di atas. Tahap berikutnya, musyawarah bisa
dilakukan dengan seorang mu’min yang berwawasan luas dan dapat dipercaya
terutama teman dan kerabat.
Di sini kami merasa harus
memberikan nasehat kepada siapapun yang diajak bermusyawarah. Adalah sudah
menjadi tanggung jawab agama, akal, dan kemanusiaan Anda untuk ikut
memperhatikan dan menjelaskan masalah yang dipaparkan oleh orang yang mengajak
bermsyawarah tersebut. Anda juga harus menjalankan tugas ini dengan penuh
kejujuran tanpa harus menutup-nutupi kenyataan. Seandainya Anda berbohong dalam
bermusyawarah, maka ketahuilah bahwa Anda harus bertanggung jawab di hadapan
Allah. Maka katakanlah yang sebenarnya walaupun membahayakan diri, kerabat,
ataupun teman Anda. Amirul Mukminin Ali a.s. berkata, “Siapapun yang menipu
kaum muslimin dalam bermusyawarah, maka aku berlepas diri darinya (jika ia
sampai mendapatkan azab dari Allah).”
Peran Istikharah dalam
Perkawinan
Banyak orang yang
mempercayai istikharah (meminta pilihan kepada Allah) dalam perkawinan
anak-anak mereka. Kami di sini akan membahas masalah istikharah ini.
Sebelumnya kami ingatkan di sini bahwa istikharah tidak akan berguna
bagi siapapun kecuali setelah ia berusaha dan bermusyawarah. Karenanya, ada
sejumlah langkah yang dilakukan terlebih dahulu oleh seseorang.
Pertama-tama, wanita, lelaki, serta keluarga mereka harus melihat dan
mencari tahu tentang calon suami dan istri mereka masing-masing. Jika mereka
ragu, maka segeralah bermusyawarah dengan orang yang dapat dipercaya. Kalaupun
mereka sampai pada keyakinan setelah melakukan musyawarah ini, maka hendaknya
perkawinan segera dilangsungkan. Namun, bila keraguan dan kebingungan tidak
juga hilang setelah mereka melakukan kedua langkah tadi, maka istikharah merupakan
jalan yang terakhir.
Istikharah, seperti
yang nampak dari namanya, adalah doa dan permohonan kebaikan kepada Allah.
Manusia mengangkat tangannya untuk berdoa ketika dalam keadaan bingung dan
meminta kepada Allah agar mengaruniai hidayah kepadanya demi kebaikan agama,
dunia dan akheratnya. Ketika itulah ia melepaskan diri dari kebingungan dan
memulai bertawakal kepada Allah SWT serta mengharapkan agar doanya terkabul.
Sebagai penutup, kami
ingatkan lagi bahwa usaha dan musyawarah lebih diutamakan dari pada istikharah.
Sebagian orang telah terbiasa ber-istikharah untuk setiap perbuatannya.
Padahal, istikharah yang bukan pada tempatnya kadang-kadang menyebabkan
kebingungan dan malah membuatnya terhalang untuk melakukan pekerjaan. []
__________
Diterjemahkan dari kitab Ikhtiar
al-Jauz karya Ayatullah Ibrahim Amini.
Langganan:
Postingan (Atom)