KELUARGA
DAN PERKAWINAN
Oleh
Muhammad Hadidi
Jurusan Sayariah Universitas Muhammadiyah Malang
Keluarga, seperti ayah,
ibu, saudara yang lebih besar, dan keluarga-keluarga yang lain seperti paman
dari ibu ataupun dari ayah bisa membantu pemuda dan pemudi yang ingin
berkeluarga. Bagaimanapun juga, mereka mempunyai pengalaman yang cukup luas
dalam kehidupan, bahkan mereka telah merasakan manis dan pahitnya kehidupan.
Karenanya, mereka bisa memberikan petunjuk kepada pemuda jalan yang benar dan
menawarkan kepadanya seorang wanita yang hendak dinikahinya, kemudian
memberikan kesempatan untuk mengambil keputusan.
Jika ia tidak dapat
mengambil keputusan, maka orang tua harus menjelaskan apa yang baik bagi lelaki
tadi tanpa harus melakukan intervensi dalam masalah-masalah pribadi.
Selanjutnya, mereka tetap harus menyerahkan kepada lelaki tadi untuk mengambil
keputusan terakhir. Perlu kami tegaskan kepada seluruh keluarga dalam masalah
penting ini, yaitu bahwa pemuda dan pemudilah yang ingin hidup bersama dalam
waktu yang cukup panjang dan bukannya orang-orang tua itu. Karena itu, merekalah
yang harus membuat keputusan untuk menerima satu sama lain. Oleh karena itu
tugas keluarga (orang tua) hanyalah memberitahukan kepada mereka mengenai
pengalaman-pengalamannya atau nasihat-nasihatnya yang berharga.
Adalah tidak adil jika
orang tua memutuskan perkawinan anak-anak mereka tanpa mempedulikan pendapat
mereka, karena yang demikian ini akan membawa kehidupan yang penuh kesusahan
dan kepedihan. Jika sampai terjadi, menurut pendapat saya hal ini adalah sebuah
dosa besar yang akan dipertanyakan pada hari kiamat.
Pentingnya Musyawarah
dalam Perkawinan
Musyawarah mempunyai
peranan yang penting di dalam Islam. Al-Quran dan hadist-hadist telah
menjelaskan dan mewasiatkan pentingnya musyawarah. Allah berfirman kepada Nabi
SAWW,
“Dan bermusyawarahlah
kepada mereka dalam suatu perkara, maka jika engkau memutuskan untuk melakukan
sesuatu hendaknya bertawakal kepada Allah.” (QS. Ali Imron : 159)
Kepada kaum muslimin,
Allah berfirman, “Dan dalam perkara mereka, hendaklah mereka selalu bermusyawarah.”
(QS. Asy-Syura : 38).
Dalam sebuah hadist
tentang musyawarah, Rasulullah SAWW ditanya, “Apakah hazm itu
? Rasulullah SAWW menjawab, “Tidak ada penolong yang lebih dipercaya
kecuali musyawarah dan tidak ada kesempurnaan akal seperti pandai dalam
mengatur.” Rasul SAWW juga bersabda, “Bermusyawarah dengan orang yang
berpengalaman dan yang mampu memberikan nasehat akan memberikan barakah,
petunjuk, serta taufik dari Allah. Maka jika ia (orang yang berpengalaman itu)
menyarankan kepadamu sesuatu, maka turutilah dan jangan melakukan keputusan
yang berbeda karena itu akan membuatmu celaka.”
Bermusyawarah dengan orang
yang berpengalaman dapat memberikan faedah dan pelajaran yang berharga. Begitu
pula seseorang yang bermusyawarah dengan orang lain dalam masalah-masalah
penting, ia akan sedikit melakukan kesalahan dan penyesalan.
Akan tetapi, berkaitan
dengan orang yang kita ajak bersmusyawarah itu tentu saja ada sejumlah kriteria
yang harus kita perhatikan dengan baik. Pertama-tama, tidak mungkin kita
bermusyawarah dengan sembarang orang, karena orang bodoh tidak mengetahui
kepentingan yang sebenarnya. Lagi pula, bagaimana mungkin orang bodoh itu
mampu menjelaskannya sesuatu kepada orang yang mengajaknya bermusyawarah?
Yang kedua, hendaknya
orang yang diajak bermusyawarah itu adalah seorang mu’min dan taat
beragama, karena orang yang tidak beriman sangat sulit untuk
dipercaya disebabkan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan agama. Bahkan sebaliknya, ia akan sangat mungkin menjerumuskan
kita ke jurang kesesatan dan kerusakan.
Ketiga, hendaknya ia
seorang yang sarat akan rasa persaudaraan dan kejujuran serta karena jika belum
diketahui kejujurannya, maka tidak mungkin ia dipercayai pendapat-pendapatnya
atau diperhatikan keputusan-keputusannya, bahkan kadang-kadang ia menyesatkan
orang yang meminta pendapatnya serta bisa membongkar rahasianya.
Imam Shadiq a.s. berkata,
“Musyawarah tidak akan terjadi kecuali dengan empat syarat dan siapapun harus
mengetahui empat syarat tersebut…. Empat syarat itu ialah: pertama,
orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang cukup matang pemikirannya; kedua
tidak terikat namun ta’at beragama; ketiga ia mampu berfungsi
sebagai teman, dan yang keempat ia mampu menjadi saudara yang bisa Anda
percayai dalam menyimpan rahasia Anda, karena ia akan mengetahui apa yang Anda
ketahui kemudian menyimpannya (sebagai rahasia). Sesungguhnya, jika dia seorang
yang matang pemikirannya (berakal), maka kamu akan mendapatkan manfaat darinya.
Jika dia seorang yang tidak terikat namun ta’at beragama, maka ia akan
betul-betul berusaha menasehatimu. Jika dia seorang teman dan saudara, dia akan
menyimpan rahasiamu yang telah kamu sampaikan kepadanya. Jika dia tahu
rahasiamu, maka dia mengetahui maksudmu. (Jika keempat syarat ini terpenuhi)
maka musyawarah dan nasehat bisa berlangsung.” (Makarim Al-Akhlak ; 367).
Oleh karena itu, kita
harus bermusyawarah dengan orang yang berpengalaman, beragama, dipercayai dan
penasehat, terutama dalam masalah perkawinan yang sangat penting dan
menentukan. Orang yang paling utama untuk diminta sarannya dalam masalah
perkawinan bagi seorang pemuda adalah orang tua, dengan syarat mereka termasuk
orang-orang yang pandai mengatur serta mempunyai cukup pengetahuan.
Bagaimanapun juga, orang tua adalah seorang yang paling jujur sekaligus yang
pang mampu memainkan peranan sebagai penasehat bagi anak-anaknya dibanding
orang lain. Adalah suatu kesalahan jika anak-anak tidak bermusyawarah dengan
orang tua mereka dalam masalah perkawinan, karena mereka (orang tua) adalah
pembimbing terbaik bagi anak-anak mereka dalam masalah sepenting ini. Mereka
juga mempunyai cukup pengalaman dalam kehidupan. Walhasil, mereka adalah
orang-orang yang dapat dipercaya dalam memberikan nasehat.
Tentu saja perlu ditegaskan
lagi bahwa orang tua hanyalah penasehat yang fungsinya adalah memberikan
petunjuk untuk kemudian membiarkan anak-anak mereka mengambil keputusan, dan
bukan mereka yang memutuskan serta memastikan perkawinan anak-anak mereka itu.
Setelah bermusyawarah dengan kedua orang tua, seorang pemuda bisa juga
bermusyawarah dengan kakek, nenek, saudara, paman, bibi, dengan tetap
memperhatikan syarat-syarat di atas. Tahap berikutnya, musyawarah bisa
dilakukan dengan seorang mu’min yang berwawasan luas dan dapat dipercaya
terutama teman dan kerabat.
Di sini kami merasa harus
memberikan nasehat kepada siapapun yang diajak bermusyawarah. Adalah sudah
menjadi tanggung jawab agama, akal, dan kemanusiaan Anda untuk ikut
memperhatikan dan menjelaskan masalah yang dipaparkan oleh orang yang mengajak
bermsyawarah tersebut. Anda juga harus menjalankan tugas ini dengan penuh
kejujuran tanpa harus menutup-nutupi kenyataan. Seandainya Anda berbohong dalam
bermusyawarah, maka ketahuilah bahwa Anda harus bertanggung jawab di hadapan
Allah. Maka katakanlah yang sebenarnya walaupun membahayakan diri, kerabat,
ataupun teman Anda. Amirul Mukminin Ali a.s. berkata, “Siapapun yang menipu
kaum muslimin dalam bermusyawarah, maka aku berlepas diri darinya (jika ia
sampai mendapatkan azab dari Allah).”
Peran Istikharah dalam
Perkawinan
Banyak orang yang
mempercayai istikharah (meminta pilihan kepada Allah) dalam perkawinan
anak-anak mereka. Kami di sini akan membahas masalah istikharah ini.
Sebelumnya kami ingatkan di sini bahwa istikharah tidak akan berguna
bagi siapapun kecuali setelah ia berusaha dan bermusyawarah. Karenanya, ada
sejumlah langkah yang dilakukan terlebih dahulu oleh seseorang.
Pertama-tama, wanita, lelaki, serta keluarga mereka harus melihat dan
mencari tahu tentang calon suami dan istri mereka masing-masing. Jika mereka
ragu, maka segeralah bermusyawarah dengan orang yang dapat dipercaya. Kalaupun
mereka sampai pada keyakinan setelah melakukan musyawarah ini, maka hendaknya
perkawinan segera dilangsungkan. Namun, bila keraguan dan kebingungan tidak
juga hilang setelah mereka melakukan kedua langkah tadi, maka istikharah merupakan
jalan yang terakhir.
Istikharah, seperti
yang nampak dari namanya, adalah doa dan permohonan kebaikan kepada Allah.
Manusia mengangkat tangannya untuk berdoa ketika dalam keadaan bingung dan
meminta kepada Allah agar mengaruniai hidayah kepadanya demi kebaikan agama,
dunia dan akheratnya. Ketika itulah ia melepaskan diri dari kebingungan dan
memulai bertawakal kepada Allah SWT serta mengharapkan agar doanya terkabul.
Sebagai penutup, kami
ingatkan lagi bahwa usaha dan musyawarah lebih diutamakan dari pada istikharah.
Sebagian orang telah terbiasa ber-istikharah untuk setiap perbuatannya.
Padahal, istikharah yang bukan pada tempatnya kadang-kadang menyebabkan
kebingungan dan malah membuatnya terhalang untuk melakukan pekerjaan. []
__________
Diterjemahkan dari kitab Ikhtiar
al-Jauz karya Ayatullah Ibrahim Amini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar