Sentimen Anti Hijab, Sebuah Pelanggaran HAM
Oleh Muhammad Hadidi
Jurusan Syariah/ Konsentrasi Family Law FAI UMM
Dewasa ini, sebagian besar media massa Barat, baik cetak
maupun elektronik, berusaha untuk menampilkan wajah Islam secara tidak benar.
Contoh nyata dari upaya ini adalah kesan terorisme yang ditujukan kepada gerakan
intifadah rakyat Palestina dalam menghadapi aksi kejahatan rezim Zionis Israel
atau diperkenalkannya Islam sebagai biang terorisme selepas peristiwa 11
September. Masalah hak asasi manusia dalam Islam juga merupakan salah satu
sasaran serangan media massa Barat. Apalagi, sebagian besar media massa di
Barat, seperti Perancis, Jerman, dan Inggris, umumnya berada dalam genggaman
para kapitalis Yahudi yang menyimpan dendam mendalam terhadap Islam yang
berakar sejak mulai munculnya Islam berabad-abad yang lampau.
Jika kita melihat secara teliti, akan tampak bahwa
negara-negara yang secara zahir mengumbar isu hak asasi manusia dan demokrasi,
justeru yang pertama-tama melecehkan kehormatan bangsa-bangsa lain dan
melanjutkan kezaliman dan diskriminasi terhadap yang lain. Dengan melihat
kepada beberapa pasal dari Piagam Hak Asasi Manusia, kita akan melihat bahwa
sesungguhnya sentimen anti hijab yang terjadi di negara-negara Eropa adalah
sebuah pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal ketiga Piagam Hak Asasi Manusia menyebutkan,
“Setiap orang mendapat hak kebebasan individu dan keamanan.” Sedangkan dalam
pasal kelima disebutkan: Tidak ada siapapun yang boleh disiksa atau dianiaya
secara tidak manusiawi, atau menjadi sasaran penghinaan. Pasal 18 dan 19 dari
piagam itu mengungkapkan: Setiap orang mempunyai hak kebebasan agama,
berpendapat, berkeyakinan, dan kebebasan bersuara.
Selain Piagam HAM, perjanjian lain seperti perjanjian Hak
Asasi Manusia Eropa turut mendukung hal itu. Tetapi adakah perjanjian ini
dilaksanakan secara benar seperti apa yang tertuang dalam undang-undang dasar
negara-negara tersebut atau tidak? Hal ini merupakan masalah yang memerlukan
penelitian yang lebih mendalam.
Undang-undang dasar seluruh negara Eropa Barat menjamin
kebebasan beragama. Tentunya jaminan hak yang disebut dalam undang-undang dasar
itu tidak mencakup umat Islam. Karena di negara-negara ini penganut Islam tidak
dibenarkan melaksanakan aktifitas sosial agama mereka yang amat konstruktif dan
bermanfaat. Negara-negara Eropa Barat hanya membenarkan umat Islam mendirikan
masjid, melangsungkan ibadah, dan membentuk organisasi atau penerbitan agama.
Masalah hijab di beberapa negara Eropa boleh disebut
sebagai contoh dari pelanggaran hak asasi manusia yang disebutkan dalam
undang-undang dasar negara-negara tersebut. Di Jerman, para pelajar muslim
tidak mungkin ikut serta dalam beberapa cabang pelajaran olahraga, khususnya
renang. Tetapi para pelajar itu terpaksa ikut dalam pelajaran tersebut.
Fereshteh Laden, imigran muslim yang menamatkan studi di Jerman, kini mempunyai
hak untuk bekerja sebagai guru. Tetapi dikarenakan ia mengunakan jilbab, dia
tidak diterima oleh pusat pendidikan manapun dan usahanya berulang kali tidak
membuahkan hasil.
Di Inggeris yang mengklaim sebagai negara demokrasi, umat
Islam mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Mereka tidak mendapat hak
seperti yang diperoleh oleh umat Yahudi dan Kristen. Apa yang terjadi pada diri
ibu Faridah Kanuni merupakan satu contoh nyata dari perkara tersebut. Ibu
Kanuni, 22 tahun bekerja sebagai insinyur listrik di sebuah pabrik di kawasan
Latun. Sekembalinya dari Mekah, dia membuat keputusan untuk memakai hijab.
Faridah Kanuni di-PHK dari tempat kerjanya hanya karena alasan hijabnya bisa
tersangkut pada gerigi mesin di pabrik tersebut.
Di Perancis, krisis serius pertama yang berhubungan
dengan hijab bermula pada tahun 1989 saat massa media meliput berita
dikeluarkannya tiga orang pelajar yang mengenakan pakaian Islami dari sekolah
mereka. Pada tahun 1990, di pinggiran kota Paris, lima orang pelajar berhijab
diberhentikan dengan alasan melanggar ketentuan sekolah. Peristiwa ini terus
berlanjut pada tahun-tahun seterusnya hingga saat ini. Dan belum ada keputusan
apapun di Prancis yang memihak kepada pelajar muslimah berhijab.
Reaksi keras dalam menghadapi hijab yang dikenakan wanita
muslim di negara-negara Eropa itu mungkin saja dikarenakan rasa khawatir akan
pengaruh dan infiltrasi jihab pada diri kaum wanita yang selama bertahun-tahun
menyaksikan budaya bebas Barat. Jamilah Briggite, warga Hamburg Jerman yang
telah memeluk agama Islam mengatakan, “Menurut pandangan saya, hijab memberikan
kekuatan yang menakjubkan kepada wanita. Seolah-olah ia adalah tanda yang
memberi peringatan kepada orang lain bahwa saya tidak ingin menjadi fokus pandangan.”
Ibu Fatimah Harnes, adalah salah seorang wanita Austria
yang baru memeluk agama Islam mengatakan, “Hari ini saya mengetahui bahwa hijab
merupakan pelindung bagi kaum perempuan. Dalam realitanya, hijab Islam yang
tidak memperlihatkan bentuk tubuh manusia, telah menunjukkan nilai-nilai
spiritual dan insani seseorang, dan ini adalah suatu yang amat indah.”
Zahra Shahrbarman, salah seorang perempuan yang baru
memeluk agama Islam berkata, “Wanita dalam masyarakat Barat terpaksa bersaing
dengan wanita-wanita lain untuk menarik perhatian suami mereka, dan berupaya
untuk tidak memiliki kekurangan apapun dari yang lain. Wanita Barat senantiasa
merasa khawatir suami mereka akan dirampas oleh wanita lain. Berkembangnya
kebebasan tanpa batas di Barat membuat satu dari dua keluarga, memiliki
hubungan seks tak sah. Jika melihat dengan teliti, kita akan dapat membuat
kesimpulan bahwa wanitalah yang selalunya dirugikan dan inilah yang mereka
sebut dengan persamaan hak perempuan dan pria.”
Jika manusia keluar dari jeratan dugaan dan prasangka dan
merujuk kepada akal, tentu ia akan mendapatkan bahwa hijab yang ditekankan oleh
Islam adalah suatu hal yang logis dan benar. Karena akal manusia cenderung
kepada sesuatu yang menjamin kepentingannya atau menyelamatkannya dari bahaya
melalui jalan yang paling benar. Dalam hal ini, pakaian yang menutupi tubuh
wanita memberi kesan atau meninggalkan pengaruh positif seperti ketenteraman
jiwa, keselamatan dan imunitas dari kerusakan moral. Selain dari itu, ia dapat
memperkokohkan sendi-sendi keluarga dan menyelamatkan generasi.
Ungkapan bahwa hijab tidak sejalan dengan produktifitas,
hanyalah pernyataan miring yang keluar dari orang-orang jahil atau yang sengaja
melecehkan hak-hak para wanita muslimah. Karena di dunia hari ini, khususnya
pengalaman dari revolusi Islam Iran menunjukkan bahwa wanita yang berpakaian
layak bisa hadir secara aktif di semua sektor sosial, ekonomi, ilmiah, seni dan
hukum, tanpa halangan apapun. Realitasnya, hijab merupakan sebuah penghargaan
kepada kedudukan dan martabat wanita sekaligus sebuah perhatian kepada kaum
Hawa sebagai bagian dari umat manusia. Sedangkan proses hedonisme yang lazim di
Barat, tidak sesuai dengan kemuliaan dan kedudukan mulia kaum perempuan.M-Adid.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar