- DARI : :fika Andriani
- KEPADA : Muhammad Hadidi
Sabtu, 5 Mei 2012 17:17
Tak Layak dipandang Sebelah Mata
Sebagai Negara demokrasi, Indonesia, dalam membuat
kebijakan-kebijakan selalu memperhatikan aspirasi rakyat. Karena memang
kebijakan itu bukan hanyak diperuntukkan bagi kalangan pejabat pemerintah saja,
akan tetapi semua masyarakat mulai dari kaum bangsawan hingga rakyat jelata
akan merasakan imbas dari kebijakan tersebut. Sebagai contoh pengambilan
kebijakan pemerintah terkait kenaikan BBM ternyata berhasil mengundang sejuta
teriakan, terutama bagi mereka yang status ekonominya berada di garis menengah
ke bawah.
Menanggapi berbagai kebijkan pemerintah yang menuai beragam pro dan
kontra, mahasiswa yang digembor-gemborkan merupakan agen of change acap
kali menunjukkan geliatnya untuk melakukan demonstrasi. Sebagai wujud partisipasi
terhadap nasib rakyat, mereka menggembor-gemborkan kalimat-kalimat gugatan dan
penuh pengharapan terhadap pemerintah. Tidak peduli apakah aksi mereka berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah
tersebut ataukah justru tidak sama sekali.
Akan tetapi menurut beberapa kalangan masyarakat, kebanyakan aksi
yang mereka lakukan juga justru berwujud kekerasan, anarkis dan tidak tahu
sopan santun. Merusak spanduk-spanduk, menutup jalan raya, merusak fasilitas
lalu lintas dan bahkan membakar gedung-gedung. Dampaknya, jalan raya berubah
menjadi sesak dan kemacetan merajalela. Akhirnya yang timbul dalam mindset masyarakat
yakni mahasiswa itu kurang kerjaan dan aksi turun ke jalan itu tidak memiliki
landasan.
Padahal sebagai kaum intelektual, sebelum melakukan aksi, mahasiswa
melakukan kajian terlebih dahulu baik secara strategis maupun responsif dari
berbagai disiplin ilmu. Bahkan dalam mengkaji mereka tidak jarang melakukan
audiensi kepada para pakar. Kemudian hasil kajian ini akan
menghasilkan suatu rekomendasi. Rekomendasi tersebut diajukan ke stakeholder
melalui advokasi atau jalan diplomasi lainnya. Apabila segala jalan diplomasi
telah dilaksanakan dan tidak berhasil, barulah cara terakhir turun ke jalan
demonstrasi ditempuh.
Pada dasarnya mahasiswa melakukan aksi demonstrasi tidak lain hanyalah
untuk kepentingan rakyat. Ketika para pejabat dan wakil
rakyat tidak berpihak kepada rakyat sama sekali, lantas siapa yang akan membela
rakyat. Akan tetapi, tampaknya sebagian besar masyarakat tidak merasa kepentingannya
dibela oleh mahasiswa. Tidak semua rakyat merasa diuntungkan dengan aksi demonstrasi
mahasiswa tersebut bahkan ada yang merasa terganggu terutama dari kalangan
mahasiswa sendiri. Perbedaan cara pandang mengenai aksi demonstrasi itu
sesungguhnya merupakan hal biasa. Akan tetapi seharusnya toleransilah yang
menjembatani keduanya sehingga tidak akan da pihak yang merasa dirugikan atau
terdzalimi karena aksi mahasiswa.
Sebagai mahasiswa, menjadi ilmuwan, aktivis sosial, negarawan,
pengusaha, atau profesi lainnya merupakan suatu kenyataan. Suatu negara tidak
akan terbentuk secara normal apabila semua masyarakatnya menjadi negarawan
saja, atau menjadi ilmuan saja, atau menjadi pengusaha saja karena perbedaan
itu penting. Tak sedikit mahasiswa yang justru mengejek mahasiswa lainnya yang
ikut aksi turun jalan. Namun mereka yang tidak ikut aksi tidak punya hak sama
sekali untuk mencemooh karena perbedaan itu wajar sebagaimana semboyan Negara Indonesia,
bhineka tunggal ika.
Aksi yang dilakukan mahasiswa tersebut acap kali berujung kericuhan
dan kerusuhan yang akibatnya justru meresahkan masyarakat. Sebenarnya jika
direnungi, mahasiswa yang seperti itu pantas dipertanyakan status
kemahasiswaannya. Sejak SD hingga SMA kekerasan dan perkelahian tidak pernah dilegalkan
bahkan mereka akan mendapat hukuman karena merupakan pelanggaran. Begitupula
ketika menyandang status maha maka sepantasnya hokum itu lebih melekat dalam
jiwa mahaiswa bukan malah dilanggar seenaknya saja
Meski demikian, aksi turun jalan yang dilakukan mahasiswa tersebut
satu-satunya jalan terakhir yang bisa
ditempuh mahasiswa karena memang belum ada jalan lain untuk melakukan pembelaan
terhadap masyarakat. Akan tetapi justru masyarakat yang dibela menjadi trauma
akibat aksi anarkis tersebut. Ditambah lagi media-media massa yang seringkali
memberitakan aksi turun jalan dari segi negatifnya saja sehingga secara tidak
langsung akan tertanam dalam fikiran masyarakat bahwa memang mahasiswa
benra-benar manusi pembuat onar.
Kebanyakan media massa justru membicarakan peristiwa saja bahkan
yang diambil adalah sisi negatifnya karena demikian itulah yang akan mengundang
erhatian pembacanya. Mereka tidak melihat sisi lain dibalik itu semua yang jika
diberitakan, akan lebih bermanfaat bagi semua kalangan. Padahal media massa
seharusnya menjadi jembatan penghubung keinginan masyarakat, mahasiswa dan
pemerintah. Maka marilah kita semua menjadi mahasiswa-mahasiswa yang bermanfaat
bagi semua.
--
Posting oleh Fika Andriyani ke Jurusan Syari'ah UMM pada 5/05/2012 05:17:00 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar