BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia
sudah mengenal syariat (undang-undang) sejak zaman dahulu kala. Tidak ada satu
komunitas manusia pun yang lepas dari kenyataan ini, bahkan sebuah peradaban
juga memerlukan aturan. Ini karena syariat dengan segala perangkatnya merupakan
perkara penting dan aturan utama yang menjadi kebutuhan demi keberlangsungan
hidup manusia, menjadi suatu keniscayaan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama,
menjadi sebuah keharusan untuk menghasilkan pertumbuhan dan kestabilan dalam
menjalin berbagai bentuk hubungan sesama manusia dalam setiap aspek kehidupan. Jika manusia menjalankan urusannya tanpa ada syariat
atau aturan sebagai payung hukum, niscaya akan menjadi konflik dan hubungan
sosial yang terputus. Manusia tidak ubahnya seperti binatang di hutan, yang
kuat memakan yang lemah dan pada ahirnya mereka hidup dalam perseteruan yang
tidak akan pernah berhenti sepanjang mereka hidup.
Dengan perkembangan jaman maka berkembang pulalah pola
hidup atau gaya hidup manusia yang semakin modern, Masyarakat senantiasa mengalami perubahan, dapat berupa perubahan tatanan
sosial, budaya, social ekonomi dan lainnya. Undang-undang (syariat) yang dibuat haruslah sesuai
dengan keadaan keadaan seperti itu, maka syariat dituntut untuk melakukan pembaharuan
hukum islam. Pembaruan hukum Islam telah terjadi
dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta
dengan tuntutan zaman. Hal ini disebabkan oleh karena norma-norma yang
terkandung dalam kitab-kitab fiqh sudah tidak mampu lagi memberikan solusi
terhadap berbagai masalah yang pada masa kitab-kitab fiqh itu ditulis oleh para
fuqaha, dimana masalah baru yang berkembang saat ini belum terjadi. Dan untuk membahas dan memahami permasalahan
tersebut di pelajarilah At Tsawabit dan Al Mutaghayyirat.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apakah
At
Tsawabit dan Al Mutaghayyirat?
2.
Apa
ruang lingkup dari At Tsawabit dan Al Mutaghayyirat?
3.
Bagaimanakah
At
Tsawabit dan Al Mutaghayyirat
dalam syariat Isl
BAB
II
AT
TSAWABIT DAN AL MUTAGHAYYIRAT
A. Definisi
At Tsawabit dan Al Mutaghayyirat
Tsawabit
adalah masalah-masalah prinsip yang berdalil qath’i (mutlak dan pasti), baik
qath’iyyuts-tsubut (kehujjahannya mutlak dan pasti serta tidak diperselisihkan
diantara para ulama), maupun qath’iyyud-
dilalah (makna dan pengertiannya mutlak, pasti dan tidak diperdebatkan di
antara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah). Adapun mutaghayyirat, ia adalah
hal-hal yang mungkin mengalami penggantian, perubahan, takwil, dan
pengembangan. Dan perubahan di dalamnya bukanlah merupakan pelanggaran terhadap
hal-hal pokok (ushul) dan asasi. Ia merupakan hal yang fleksibel. Sebab,
perubahan waktu dan tempat menuntut adanya fleksibilitas, adaptasi, dan respon,
sembari tetap menjaga tsawabit. Allah swt telah menitipkan dalam Islam tsawabit
yang menjamin keberlangsungan dan mutaghayyirat yang menjamin kelaikan dan
kesesuaian dengan segala kondisi dan situasi.
B. Dimensi
At Tsawabit Wal Mutaghayyirat :
1.
At tsawabit
Ruangan
ini bersifat tertutup, tidak boleh menerima pembaharuan, ijtihad dan perubahan dengan
sembarangan. Termasuk dalam ruangan ini adalah perkara-perkara akidah,
prinsip-rinsip umum, hukum-hukm qath’i (hukum yang jelas melalui dalil-dalil
al-Quran dan al-Sunnah yang tidak boleh ditakwilkan lagi) yang menyatukan
fikiran,perasaan dan suluk (peradaban ummah). Ia adalah tonggak kepada kesatuan
umat ini, oleh karena itu ia tidak boleh berubah berdasarkan zaman dan tempat.
Seperti :
v ‘Aqaid
(masalah-masalah keimanan)
v Ibadah
(rukun Islam yang lima)
v Akhlaq
(kumpulan pekerti yang utama seperti kejujuran, ihsan,
keikhlasan,
keberanian, dsb)
Namun
di dalam at tsawabit tidak menutup kemungkinan akan adanya hal-hal
mutaghayyirat, baik dalam dalam aqaid, ibadah, maupun akhlak. Karena dalam tiga
hal ini di dalamnya masih terbagi lagi secara lebih spesifik dalam hal yang
prinsip dan tidak prinsip. Contoh hal mutaghayyirat dalam aqaid adalah jumlah
sifat-sifat allah yang wajib diketahui. Menurut asy’ariah jumlah sifat allah
yang wajib diketahui ada dua puluh sifat, yang mustahil ada dua puluh sifat,
ditambah satu sifat jaiz. Yang dikenal dengan istilah aqaid lima puluh.
(ditambah empat sifat wajib rasul, empat sifat mustahil dan satu sifat jaiz).
Adapun sifat allah yang wajib diketahui menurut ulama selain as’ariah adalah
tak terhingga dan tak terbilang jumlahnya, karena sifat kesempurnaan bagi allah
tidak bisa disebutkan jumlahnya. Pada prinsipnya kedua kubu ulama ini sama,
karena menurut as’ariah aqaid lima puluh tersebut hanya yang wajib diketahui
saja, jadi perbedaannya hanya sebatas jumlah bilangan. Perbedaan dalam hal ini
tidaklah merusak akidah orang islam karena perbedaannya hanya pada hal-hal yang
tidak prinsip. Dan masih banyak contoh-contoh mutaghayyirat lain baik dalam
aqaid, ibadah, dan akhlaq.
2. al mutaghayyirat
Ruangan
yang boleh menerima perubahan, pembaharuan dan ijtihad. Ruangan ini amat luas
sekali. Kebanyakan hukum syara’ dan urusan kehidupan dunia termasuk dalam
ruangan ini seperti mana yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w;
"Kamu
lebih tahu tentang urusan dunia kamu".
Begitu
juga termasuk dalam ruangan ini ialah perkara-perkara yang tidak ada nashnya
atau sekedar mempunyai nash-nash umum dan nash-nash khusus yang boleh
ditafsirkan dan difahami berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad yang dimaklumi.
Berikut adalah hal-hal yang biasa
berubah :
v Politik
v Sosial
v Ekonomi
v Pendidikan
Sebagaimana
hal mutaghayyirat dalam persoalan at
tsawabit, hal yang sama juga terjadi dalam mutaghayyirat, yakni ada hal-hal tsawabit dalam ranah politik, sosial,
ekonomi, dan pendidikan. Yang demikian karena dalam hal-hal tadi terdapat hal
pokok yang menjadi dasar dan pondasi yang diatur oleh syari’ yang tidak bisa di
tafsir dan menerima ijtihad seperti kaidah “ kebijakan pemerintah terhadap
rakyat di orientasikan pada mashlahat” dalam hal politik, atau kewajiban
menghormati tamu dalm hal social, dan banyak contoh-contoh lain yang tidak kami
sebutkan semuanya disini.
C. Urgensi
At Tsawabit dan Mutaghayyirat Dalam Syariat Islam
Andai
tidak ada tsawabit, maka niscaya kita akan mendapatkan banyak umat di dalam
satu umat, banyak peradaban dalam peradaban Islam. Dan jadilah Islam bagaikan
adonan yang dapat dibentuk setiap orang sekehendak hati masing-masing. Jadilah
pada setiap masa ada persepsi khusus dan Islam khusus. Setiap negara mempunyai
Islam tersendiri. Setiap jamaah mempunyai Islam sendiri. Dan kita tidak
mempunyai satu Islam yang mempersatukan umat Islam yang menjadi pijakan
peradaban, melainkan banyak Islam sebanyak jumlah penggalan masa, tempat,
negeri, jamaah, bahasa, dan lapisan masyarakat. Jika demikian, maka akan
tercapailah target musuh-musuh Islam. Mereka akan mengatakan kepada
orang-orang, “Sesungguhnya Al-Quran
datang untuk hanya satu penggalan masa tertentu, yakni masa Rasulullah saw.
Jadi Islam bukanlah agama yang abadi. Dan Al-Quran bukanlah kitab yang diperuntukkan
bagi seluruh manusia. Makanya Islam tidak mempunyai peradaban yang mapan.”
Padahal sesungguhnya, risalah Islam datang untuk membimbing semua aspek
kehidupan seluruh manusia sepanjang zaman, dan bukan hanya untuk umat tertentu
saja.
Secara
garis besar, dapat kita katakan bahwa tsawabit
dalam Islam adalah apa- apa yang dijelaskan oleh Allah secara tekstual dan
dengan cara yang tegas, yang tidak memberikan celah untuk ijtihad
(multi-interpretasi). Ia tidak berubah meskipun zaman, tempat, lingkungan, dan
manusia berubah. Dan hukum-hukum yang bersifat tsawabit
itu dijelaskan dengan rinci agar tidak mengundang perdebatan. Hukum-hukum itu
dibangun di atas latar belakang yang tidak akan berubah sepanjang zaman. Contoh
tsawabit adalah wajibnya shalat, zakat, dan puasa; hukum waris yang telah
menetapkan porsi para ahli waris; haramnya perbuatan fahs ya, baik yang tampak
maupun yang tidak tampak, seperti: zina, menuduh orang lain berzina, minum
minuman keras, memakan harta orang lain secara tidak sah, membunuh tanpa alasan
yang dibenarkan, makan bangkai, makan daging babi; dan pokok akidah,
masalah-masalah iman.
Demikian
pula wajibnya melaksanakan apa yang Allah turunkan, wajib mengamalkan hadits shahih;
wajibnya berperangai dengan akhlak mulia dan wajib meninggalkan akhlak tercela.
Atau dengan kata lain,tsawabit adalah hukum-hukum yang dijelaskan oleh
nash-nash Al Quran dan Sunah mutawatir
yang qath’i (tegas, pasti) baik dari sisi tsubut (keabsahannya sebagai dalil)
maupun dari sisi dalalah
(hukum yang dikandungnya). Baik hukum-hukum itu menyangkut hal yang aksiomatik
dalam Islam, maupun hukum-hukum yang samar bagi sebagian orang seperti
pembagian waris. Atau hukum yang merupakan ketentuan-ketentuan syar’i yang tidak ada celah untuk
masuknya pendapat dan ditentukan oleh Sunah Mutawatir, seperti bilangan rakaat
dalam setiap shalat, waktu-waktu shalat, dan lain sebagainya. Di samping itu
semua, masuk dalam kategori tsawabit adalah ijma’ (konsensus) yang bersifat eksplisit
yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, dan tidak memperkenankan kita
berijtihad. Bahkan, adalah kufur orang yang menentang hukum yang telah
ditetapkan oleh ijma’ yang qath’i ini, bila hukum itu menurut satu dari tiga
pendapat para ulama termasuk hal yang aksiomatik dalam Islam.
Karenanya,
tsawabit ini adalah pemberi kata putus dan pembeda antara perilaku dan
keyakinan pemeluk agama Islam dengan yang lainnya. Sebab ia merupakan akidah
yang wajib diikuti oleh setiap orang. Maka siapa yang menolaknya adalah keluar
dari Islam, berdasarkan kaidah-kaidah hokum syara’. Dan dengan itulah seorang
mukmin dibedakan dari yang lainnya. Karenanya tidak boleh keluar dari lingkaran
yang qath’i itu. Berbeda halnya dengan hukum-hukum yang bersifat zhanni (asumtif),
atau yang berubah-ubah, atau yang mempunyai multi penafsiran. Maka dalam hal
ini siapa yang mengambil salah satu penafsirannya tetap berada dalam kawasan
Islam dan tidak dianggap keluar Islam.
Mutaghayyirat
merupakan lahan berpikir, perenungan, dan ijtihad dalam bingkai tsawabit yang
qath’i untuk akal. Sebab, mutaghayyirat bersifat zhanni. Maka siapa yang
mengingkari pemahaman dari sebuah ayat yang memang dikandung oleh ayat itu –
sebagaimana juga ayat itu mengandung pemahaman lain – maka ia tidaklah keluar
dari Islam. Sebab, ia telah beriman kepada tsawabit yang bersifat qath’i dan
tidak keluar darinya. Ia hanya menolak salah satu penafsiran dari hukum yang
bersifat zhanni yang menjadi kawasan ijtihad. Setiap mujtahid boleh mengikuti
apa yang dalam pandangannya lebih kuat. Jika ia memang berkompeten untuk
melakukan ijtihad, maka para pengikutnya pun berada dalam kebenaran.
Jika
semua dalil bersifat qath’i, itu sama saja dengan pembelengguan dan pembekuan
akal manusia. Manusia akan hidup dalam kesempitan dan kesulitan. Kita akan
tidak berdaya menghadapi berbagai problem yang senantiasa berkembang menuntut
manusia untuk mengetahui hukumnya. Penyikapannya tidak mungkin dilakukan secara
optimal, kecuali jika para mujtahid melakukan kajian terhadap nash yang
bersifat zhanni dan mengambil kesimpulan hukum-hukum atas kasus-kasus baru itu
darinya. Dengan demikian, syariat ini dapat berinteraksi dengan kepentingan
manusia di segala tempat dan waktu. Bahkan, andai nash-nash itu semuanya bersifat
qath’i niscaya akan ada orang berkata, “Mengapa nash-nash itu tidak fleksibel
sehingga kita, di hadapannya, menjadi mesin yang tidak punya kemauan, pilihan,
dan pemfungsian akal. Oleh karena itu, perbedaan pandangan dalam masalah fiqih
yang muncul sebagai buah dari ijtihad dalam mutaghayyirat tidaklah
membahayakan. Bahkan, itu merupakan keleluasaan untuk umat dalam melakukan
pilihan dan beramal. Mereka dapat mengambil dari hukum-hukum itu apa yang dapat
mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan sesuai dengan tuntutan kehidupan
mereka, serta menghilangkan kesulitan dan kesempitan dari mereka. Bahkan
perbedaan pandangan – dalam hal mutaghiyyirat – itu merupakan kekayaan agung
perundang-undangan Islam dan pusaka fiqih yang indah. Ia mencakup segala
kebutuhan manusia dalam naungan syariat Islam yang abadi selama kita memelihara
hal yang qath’i dan baku.
Dalam
hal ini ‘Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan, “Tidak membuat saya gembira jika
para sahabat tidak berbeda pandangan. Sebab jika mereka bersepakat atas satu pendapat
lalu ada orang yang berbeda dengan kesepakatan itu, maka ia adalah sesat.
Sedangkan jika mereka berbeda pendapat, lalu ada orang yang mengambil pendapat
ini dan yang lain mengambil pendapat itu, itu menunjukkan dalam hal itu ada
keleluasaan.” Karenanya Imam Ahmad mengatakan, “Perbedaan pendapat itu
merupakan keleluasaan.” Yahya Bin Sa’id mengatakan. “Orang yang berilmu adalah
orang yang memiliki keleluasaan. Dan selagi para pemberi fatwa berbeda
pendapat, yang satu menghalalkan ini dan yang lain mengharamkan itu, maka tidak
boleh saling mencela selama semua pihak berpegang pada tsawabit sedangkan
ijtihad mereka terjadi dalam mutaghayyirat.”
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian makalah di atas kita melihat bahwa al tsawabit adalah hal-hal yang pokok
dalam agama dan adapun al mutaghayyirat adalah hal-hal yang dinamis. Dua hal di
atas saling berkaitan satu sama lain saling berhubungan erat sehingga Islam
bisa bersifat dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. Kemajuan zaman yang pesat
dan menuntut maka hal ini diakomodir oleh agama sendiri sehingga adanya al
mutaghayyirat adalah salah satu solusi dari jawaban tersebut. Dalam al tsawabit
dapat dilihat bahwa terdapat kesatuan kaum muslimin dalam permasalahan pokok
dan prinsip.
B.
Saran
Selesainya makalah ini, maka akan menjadi bahan bacaan
bagi pembaca dan referensi yang sangat bermanfaat yang menyangkut hal-hal yang
pokok dan hal-hal yang yang dinamis dalam agama serta mampu mangamalkannya
dalam kehidupan sehari-sehari. Karena dengan makalah ini diharapkan
pembaca bisa membedakan hal yang prinsip dan tidak prinsip, yang bisa di
interpretasi dan yang non interpretasi sehingga bisa meminimalisir konflik
dalam masyarakat dan mendewasakan masyarakat dalam menyikapi
perbedaan-perbedaan dalam hal mutaghayyirat dan memantapkan diri dalam memahami
dan mengamalkan hal-hal at tsawabit, amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar