1. Surat Ali Imran ayat 28-30
larangn Mengangkat Pemimpin Dari Orang
Kafir
(28) Janganlah mengambil orang-orang yang mukminin orangorang yang
kafir jadi pemimpin lebih daripada orang-orang yang beriman. Dan barang siapa,
yang berbuat demikian itu maka tidaklah ada dari Allah sesuatu juapun. Kecuali
bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas. Dan Allah memperingatkan,
kamu benar-benar akan diriNya.Dan kepada Allahlah tujuan kamu.
(29) Katakanlah: Jika kamu
sembunyikan apa yang ada dalam dada kamu, ataupun kamu nampakkannya, namun
Allah mengetahuinya juga, dan Diapun mengetahui apa yang ada disemua langit
dan apa yang di bumi. Dan Allah atas tiaptiap sesuatu Maha Kuasa.
(30) (Ingatlah) akan hari yang tiap-tiap orang akan menerima
ganjaran amal baik yang telah tersedia. Dan amalan-amalan yang burukpun,
inginlah dia (kiranya) di antara balasan amal buruknya itu dengan dirinya
diantarai oleh masa yang jauh. Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan
dirNya. Dan Allah amatlah sayang kepada hamba-hambanya.
v Tafsirnya
Ibnu kasir sebagai berikut :
لا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنينَ
"Janganlah
mengambil orang-orang yang mu'iminin akan orang-orang kafir jadi pemimpin ,
lebih daripada orang-orang yang beriman." (pangkal
ayat 28).
Di sini terdapat perkataan aulia'. Arti kata
wali, yang berarti pemimpin atau pengurus atau teman karib, ataupun sahabat
ataupun pelindung. Di surat al-Baqarah ayat 256 kita telah diberikan pegangan,
bahwasanya wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung dan pengurus orang
yang beriman hanya Allah. Di ayat itu Tuhan memberikan jaminannya sebagai wali,
bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari gelap kepada terang. Dan di
dalam ayat itu juga diterangkan bahwa wali orang yang kafir adalah Thaghut dan
Thaghut itu akan mengeluarkan mereka dari terang kepada gelap.
Maka di dalam ayat yang tengah kita bicarakan
ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman, agar mereka jangan
mengambil orang kafir menjadi wali. Jangan orang yang tidak percaya kepada
Tuhan dijadikan wali sebagai pemimpin, atau wali sebagai sahabat. Karena
akibatnya kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam suasana thaghut Kalau
dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya menyembah
thaghut. Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan diajaknya kepada jalan
sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.
v Pendapat
Ulama Mengenai Ayat di Atas
Menurut Hathib bin Abi Balta'ah termasuk
sahabat besar, namun demikian sekali-sekali orang besarpun bisa terperosok
kepada satu langkah yang merugikan negara dengan tidak disadari, karena lebih
mengutamakan memandang kepentingan diri sendiri. Maka dalam surat al-Mumtahanah
ayat 1 diperingatkan supaya orang-orang beriman jangan mengambil orang kafir
menjadi wali, karena menumpahkan kasih-sayang.
v Asbabun Nuzul Ayat Diatas
Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu
Jarir dan Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu Abbas berkata: "Al-Hajjaj bin 'Amr
mengikat janji setia kawan dengan Ka'ab bin al-Asyraf (pemuka Yahudi yang
terkenal sebagai penafsir) dan Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid. Ketiga orang
ini telah bermaksud jahat hendak mengganggu kaum Anshar itu lalu ditegur oleh
Rifa'ah bin al-Mundzir dan Abdullah bin Jubair dan Sa'ad bin Khatamah, supaya
mereka menjauhi orang-orang Yahudi yang tersebut itu. Hendaklah mereka berawas
diri dalam perhubungan dengan mereka, supaya agama mereka jangan difitnah oleh
orang-orang Yahudi itu. Tetapi orang-orang yang diberi peringatan itu tidak
memperdulikannya." Inilah kata Ibnu Abbas yang menjadi sebab turunnya ayat
ini.
Ada lagi suatu riwayat lain yang
dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari beberapa
jalan riwayat, bahwasanya tafsir ayat ini ialah bahwa Allah melarang orang-orang
yang beriman bersikap lemah-lembut terhadap orang kafir dan mengambil mereka
jadi teman akrab melebihi sesama beriman, kecuali kalau orang-orang kafir itu
lebih kuat daripada mereka. Kalau demikian tidaklah mengapa memperlihatkan
sikap lunak, tetapi hendaklah tetap diperlihatkan perbedaan di antara agama
orang yang beriman dengan agama mereka. Untuk mendekatkan kepada faham kita,
bacalah pula tafsir surat al-Mumtahanah (Surat 60 ayat 1). Seorang sahabat Nabi
yang terkemuka, pernah turut dalam peperangan Badar, bernama Hathib bin Abi
Balta'ah, seketika Rasulullah saw menyusun kekuatan buat menaklukkan Makkah,
dengan secara diam-diam dan rahasia telah mengutus seorang perempuan ke Makkah,
membawa suratnya kepada beberapa orang musyrikin di Makkah, menyuruh mereka
bersiap-siap, sebab Makkah akan diserang.
Maksudnya
ialah untuk menjaga dirinya sendiri. Sebab kalau serangan itu gagal, dia
sendiri tidak akan ada yang memperlindunginya di Makkah. Dia tidak mempunyai
keluarga besar di Makkah, seperti sahabatsahabat rasulullah s.a.w, yang lain.
Dengan mengirim surat itu dia hendak mencari perlindungan. Syukurlah Tuhan
memberi isyarat kepada Rasulullah tentang kesalahan Hathib itu, sehingga beliau
suruh kejar perempuan itu, sampai digeledah surat itu di dalam sanggulnya.
'Umar bin Khattab telah meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh Hathib
karena perbuatannya yang dipandang berkhianat itu. Untuk kepentingan diri
sendiri dia telah membuat hubungan dengan orang kafir. Perbuatannya itu salah.
Sebab dia telah membocorkan rahasia peperangan, syukurlah suratnya itu dapat
ditangkap. Kalau bukanlah karena jasanya selama ini, terutama karena dia telah
turut dalam peperangan Badar, niscaya akan berlakulah atas dirinya hukuman
berat.
وَ
مَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ في شَيْءٍ
"Dan
barangsiapa yang berbuat demikian itu , maka tidaklah ada dari Allah sesuatu
juapun."
Tegasnya,
dengan sebab mengambil wali kepada kafir, baik pimpinan atau persahabatan,
niscaya lepaslah dari perwalian Allah, putus dari pimpinan Tuhan, maka
celakalah yang akan mengancam.
إِلاَّ
أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقاةً
"Kecuali
bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas."
Beratus-ratus tahun lamanya
negeri-negeri Islam banyak yang dijajah oleh pemerintahan yang bukan Islam,
karena terpaksa. Karena tergagah, karena senjata untuk melawan dan kekuatan
untuk bertahan tidak ada lagi. Maka tetaplah larangan pertama, yaitu tidak menukar
wali dari Allah kepada mereka. Kalau ini tidak dapat dinyatakan keluar,
hendaklah disimpan terus di dalam hati dan hendaklah selalu awas sebenar-benar
awas, supaya dengan segala daya-upaya bahaya mereka itu untuk membelokkan dari
Allah kepada Thaghut dapat ditangkis. Pendeknya , sampai kepada saat yang
terakhir wajib melawan , walaupun dalam hati.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ
وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ
إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوب كَبِيرًا (2) وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)
Artinya:
Dan berikanlah kepada
anak-anak yatim itu harta-harta mereka. Dan janganlah kalian mengganti yang
buruk dengan yang baik, jangan mencampurkan harta mereka ke dalam harta kalian,
sesungguhnya (perbuatan itu) merupakan dosa yang besar.Dan apabila kalian takut
tidak bisa berbuat adil kepada anak-anak perempuan yang yatim (untuk kalian
jadikan istri), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kalian senangi,
dua atau tiga atau empat. Bila kalian takut tidak bisa berbuat adil, maka
nikahilah satu perempuan saja atau budak-budak kalian. Yang demikian itu lebih
membuat kalian tidak berbuat zhalim.( An-Nisa’ 2-3)
v Tafsir
Surat An-Nisa’ ayat 2-3
Ayat 2.
Ayat
ini ditujukan untuk para pengurus anak-anak yatim. Baik itu individual ataupun
di bawah satu kelompok atau yayasan. Ayat ini berisi, peringatan dari
Allah untuk memberikan harta anak-anak yatim sesuai dengan hak mereka dan tidak
menguranginya sama sekali. Larangan dari Allah untuk mengambil harta
anak yatim yang baik-baik dan digunakan untuk kepentingan diri sendiri
sedangkan anak-anak yatim malah diberi yang buruk-buruk, larangan untuk mencampur
harta kita dengan harta anak yatim. Mengapa? Karena perbuatan tersebut akan
menyebabkan berbagai
kedholiman yang merugikan hak-hak anak yatim.
Ayat
3.
Terkadang pengasuh anak
yatim perempuan ada yang tertarik dengan anak yatim tersebut. Mungin karena
cantiknya atau hartanya. Boleh saja menikahi mereka. Tetapi kalau dikhawatirkan
tidak bisa bersikap adil setelah menikahinya, maka sebaiknya jangan menikahi
anak yatim tersebut.
Sebaiknya menikahi perempuan-perempuan lain yang menyenangkan dan yang kamu sukai, dua, tiga, empat, tapi
jangan lebih, Akan tetapi, bila di
khawatirkan
tidak bisa adil terhadap istri yang lebih dari satu, maka menikahlah dengan
satu perempuan saja, atau dengan budak kalian. Hal yang demikian lebih membuat
kalian bisa berlaku adil dan tidak menzhalimi orang lain. Untuk lebih rincinya
sbb:
1.
الْيَتَامَى adalah bentuk jamak dari al-yatiim, yang
berarti anak yatim. Yatim secara bahasa diartikan dengan yang ditinggal oleh
bapaknya baik sebelum atau sesudah baligh. Tetapi menurut pengertian syara’,
yatim adalah anak yang belum baligh dan ditinggal mati oleh bapaknya. Yatim
berlaku untuk anak lelaki atau perempuan. Bila ditinggal mati oleh ibu, seorang
anak tidak dinamakan yatim. Karena fungsi bapak sebagai punggung kehidupan dan
pengayom keluarga masih tetap berjalan. Selain itu kondisi seorang anak yang
ditinggalkan oleh ayah secara sosial ekonomi sangat berbeda dengan ditinggalkan
oleh seorang ibu.
2. وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ dan berikanlah
kepada anak-anak yatim itu harta-harta mereka. yang dimaksud dengan pemberian
di sini bukan untuk dipasrahkan kepada mereka, karena mereka
masih kecil, belum bisa menggunakan harta mereka sendiri dengan benar. Yang
dimaksud dengan pemberian di sini adalah menjaga dan merawat harta mereka
supaya tidak habis sehingga bisa diberikan kepada mereka bila sudah tiba
waktunya nanti.
3. وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ Janganlah
kalian itu menukar harta kalian yang buruk (berkualitas rendah) dengan harta
anak yatim yang baik. Kalian menikmati enaknya harta anak yatim sedangkan
mereka kalian beri yang buruk-buruk dari harta kalian. Ringkasnya, Allah
melarang segala jenis dan bentuk kezhaliman terhadap harta anak yatim.
4. Kita
harus berhati-hati jangan sampai harta kita tercampur dengan harta anak-anak
yatim yang kita urus. Sebab, apabila harta mereka itu tercampur dengan harta
kita, maka ditakutkan kita nanti akan memakan harta mereka dan mereka
terzhalimi. Padahal dalam surat Al-Ma’un disebutkan bahwa:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2)
Apa
pendapatmu tentang orang yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang
menghardik anak yatim (2).
v Pendapat Ulama Menurut Imam al-Alusi dalam tafsirnya, yang dimaksud
menghardik anak yatim dalam ayat (QS. Al-Dluha: 9). Adalah segala bentuk ucapan
maupun perbuatan yang menyakiti dan menghina anak yatim termasuk berwajah
masam, berbicara kasar (Tafsir al-Alusi, 30/163). Apalagi sampai memakan
hartanya tanpa hak, menzalimi haknya, tidak memberi makanan dan
memperdagangkannya.
5. Rasulullah saw. sangat
menghargai dan menyayangi anak-anak yatim. Sehingga, besok di akhirat beliau
menjanjikan kelebihan bagi orang yang mau menyantuni anak yatim:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
Artinya: Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang menanggung anak yatim baik itu kerabatnya atau dari orang lain, aku dan dia seperti 2 hal ini.” Malik memberi isyarat dengan jari telunjuk dan tengahnya. (H.R. Muslim)
Ayat
3:
1. Seorang lelaki
yang mengasuh anak yatim perempuan boleh saja menikahi anak yatim yang dia asuh
bila dia tertarik pada anak yatim tersebut. Namun, apabila dia merasa nanti
setelah menikah malah akan menzhaliminya dengan berbuat tidak adil padanya,
maka sebaiknya dia tidak menikah dengan anak yatim tersebut. Hendaklah dia
menikahi perempuan-perempuan lain dan menarik menurut dirinya. Boleh saja
menikahi 2 atau 3 atau 4 perempuan. Adapun selebihnya tidak diperbolehkan.
Berbuat zhalim terhadap anak yatim misalnya dengan tidak memberikan mahar yang
selayaknya atau tidak menyerahkan harta yang seharusnya menjadi harta istrinya
(bekas yatim). Intinya
menikahi anak yatim yang menjadi asuhannya menjadi haram, apabila dikhawatirkan
akan terjadi kedhaliman terhadap anak tersebut.
2. وَإِنْ خِفْتُمْ dan kalau
kalian khawatir. Kata khawatir di sini ada makna ‘tahu’. Jadi bukan hanya
khawatir saja. Dia juga tahu bahwa bila dia berpoligami, dia tidak akan bisa
adil. Dia tahu kalau dia menikahi yatim, dia tidak bisa adil. Maka dari itu,
dia menghindarinya. (tafsir Thanthawi)
3. فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ maka nikahilah
perempuan-perempuan yang kalian sukai. Kalimat ini memang berupa perintah.
Tetapi tidak setiap perintah itu bermakna wajib. Dalam ayat ini perintah untuk
menikah lebih dari satu wanita adalah mubah. Hal sama dengan perintah makan dan minum yang terdapat dalam
surah al-`Araf:31.
4. Huruf waw dalam مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ berarti atau
bukan dan. Sehingga batas maksimal untuk poligami adalah 4. Tidak boleh lebih
dari itu. Lantas mengapa Rasulullah saw mempunyai 11 istri? Itu hanya khusus
untuk Rasulullah saw. ada sebagian sunnah beliau yang tidak boleh ditiru oleh
umat beliau. Salah satunya adalah ini.
6.
Apabila kalian tidak
menjamin bisa berbuat adil kepada istri yang lebih dari satu, maka hendaknya
kalian menikah hanya dengan satu istri saja. Tetapi ini bukan berarti
mengingkari dan melarang poligami. Yang bisa menjamin keadilan untuk istri yang
lebih dari satu, maka tidak ada larangan baginya. Setiap orang yang bertaqwa kepada Allah ia
lebih tahu terhadap kemampuan yang dimiliki. Bukan hanya sekedar memenuhi
keingainan berpoligami.
Berpoligami
boleh-boleh saja. Asal hal kedepan juga harus dipikirkan; bisa adil atau tidak
dan bisa mencukupi lahir batin atau tidak. Tidak boleh berpoligami hanya
sekadar menuruti hawa nafsu saja.
3.
Hukum Perkawinan dengan orang Non-
Muslim
وَلاَ تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلاَئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {221
Artinya :“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya
(perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221).
Tafsir Ayat : 221
Maksudnya, { وَلاَ تَنْكِحُوْا } “Dan janganlah kamu menikahi”
wanita-wanita, { الْمُشْرِكَاتِ } “musyrik” selama mereka masih dalam
kesyirikan mereka, { حَتَّى يُؤْمِنَّ } “hingga mereka beriman”;
karena seorang wanita mukmin walaupun sangat jelek parasnya adalah lebih baik
daripada seorang wanita musyrik walaupun sangat cantik parasnya. Ini umum pada
seluruh wanita musyrik, lalu dikhususkan oleh ayat dalam surat al-Maidah
tentang bolehnya menikahi wanita ahli Kitab, sebagaimana Allah berfirman,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا
ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِاْلإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ صَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلُُّ
لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ {5}
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah : 5)
{ وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى
يُؤْمِنَّ } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” Ini bersifat umum yang tidak
ada pengecualian di dalamnya. Kemudian Allah menyebutkan hikmah dalam hukum
haramnya seorang mukmin atau wanita mukmin menikah dengan selain agama mereka
dalam firmanNya, { أُوْلئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ } “Mereka
mengajak ke neraka”, yaitu, dalam perkataan-perkataan,
perbuatan-perbuatan, dan kondisi-kondisi mereka. Maka bergaul dengan mereka
adalah merupakan suatu yang bahaya, dan bahayanya bukanlah bahaya duniawi, akan
tetapi bahaya kesengsaraan yang abadi. Dapat diambil kesimpulan dari alasan
ayat melarang dari bergaul dengan setiap musyrik dan pelaku bid’ah; karena jika
menikah saja tidak boleh padahal memiliki maslahat yang begitu besar, maka
hanya sebatas bergaul saja pun harus lebih tidak boleh lagi, khususnya
pergaulan yang membawa kepada tingginya martabat orang musyrik tersebut atau
semacamnya di atas seorang muslim seperti pelayanan atau semacamnya.
Dalam
firmanNya, { وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ } “Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)” terdapat
dalil tentang harus adanya wali dalam nikah. [ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ ] “Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan”,
maksudnya, menyeru hamba-hambaNya untuk memperoleh surga dan ampunan yang di
antara akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala siksaan. Hal itu dengan
cara mengajak untuk melakukan sebab-sebabnya berupa amal shalih, bertaubat yang
sungguh-sungguh, berilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya.{ وَيُبَيِّنُ
آيَاتِهِ } “Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya)”
maksudnya, hukum-hukumNya, dan hikmah-hikmahnya, { لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ } “k epada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Hal tersebut mewajibkan mereka untuk mengingat apa yang telah mereka lupakan
dan mengetahui apa yang tidak mereka ketahui serta mengerjakan apa yang telah
mereka lalaikan.
Kesimpulan :- Diharamkan bagi seorang mukmin menikahi wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahli Kitab (baik Yahudi ataupun Nashrani) sebagaimana di nyatakan dalam firman Allah Ta’ala yang tersebut diatas (“…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik….” (QS. Al-Maidah : 5)), akan tetapi walaupun hal itu dibolehkan yang lebih utama adalah hendaknya seorang mukmin tidak menikah dengan mereka (wanita ahli kitab), karena akan berakibat kepada anak keturunannya (akan mengikuti agama dan akhlak ibunya yang musyrikah), atau bisa jadi berakibat buruk bagi dirinya, karena kecantikan, kecerdasan, atau akhlaknya yang akan menjadikan laki-laki tersebut hilang akal sehingga menyeretnya kepada kekufuran.
- Terdapat kaidah ‘Berlakunya sebuah hukum itu tergantung ada atau tidak adanya penyebab’, karena dalam firman Allah “..sebelum mereka beriman..”. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Ketika label –musyrikah- pada seseorang telah hilang maka halal dinikahi, dan sebaliknya ketika label –musryikah- masih ada maka haram menikahinya’. Ayat diatas menunjukkan bahwa seorang suami adalah ‘wali’ bagi dirinya. Diharamkan bagi seorang wanita muslimah menikah dengan seorang kafir secara mutlaq tanpa terkecuali. Baik dari Ahli Kitab dari lainnya, dalam firman Allah yang lain ditegaskan : “…. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka….” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
- Syarat adanya seorang wali bagi seorang wanita ketika menikah, sebagaimana firmanNya “…Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman…”, ayat tersebut ditujukan untuk para wali bagi wanita mukminah, dengan demikian tidak sah hukumnya menikah tanpa wali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan dalam sabda beliau, “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali”, dalam hadits shahih riwayat Abu Daud beliau bersabda, “Wanita mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, batal, batal (3x).”.
4. Hukum Haramnya memakan Daging Babi
Al-Baqarah Ayat
172-173
يايهاالذين امنواكلوامن طيبت مارزقنكم واشكروالله ان كنتم اياه تعبد ون
انما حرؐم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير ومااهلَ به لغيرالله ۚ فمن اضطر غير با غ وَلاعادفلا اشم عليه ۗ انَ الله غفورحيم
انما حرؐم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير ومااهلَ به لغيرالله ۚ فمن اضطر غير با غ وَلاعادفلا اشم عليه ۗ انَ الله غفورحيم
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang
baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”. “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembilih)
disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Tafsir ayat
Tafsir ayat
Penjelasan tentang
makanan-makanan yang di haramkan tersebut dikemukakan dalam konteks mencela
masyarakat Jahiliyah, baik di Mekkah maupun di Madinah, yang memakannya. Mereka
misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan
bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa
haram yang di cabut sendiri nyawanya oleh Allah.
Tafsir Al-Baqarah Ayat
236-237 Tentang Talaq Sebelum Mencampuri dan telah Menyebutkan Mahar
Setelah menjelaskan tentang hukum yang terkait dengan talak
sebelum mencampuri dan belum menentukan mahar, dalam ayat berikut ini Allah
Ta’ala menjelaskan tentang hukum talak sebelum mencampuri dan telah menyebut
atau menentukan mahar, serta hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengannya.
Allah Ta’ala berfirman.
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ
لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا
الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَن تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ
تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِ.
Artinya: "Jika kamu menceraikan
istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh
orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada
takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan." (Al-Baqarah: 237).
Tafsir Ayat : 237
Yaitu apabila kalian mentalak
istri-istri kalian sebelum bercampur dan setelah menentukan maharnya, maka
wanita-wanita yang diceraikan itu memiliki hak dari mahar yang telah ditentukan
tersebut setengahnya dan bagi kalian setengahnya lagi. inilah yang wajib selama
tidak ada kata maaf maupun kelapangan dada, di mana wanita itu memaafkan (haknya
yang) setengah tersebut untuk diberikan kembali kepada suaminya tersebut
apabila maafnya itu sah adanya, { أَوْ يَعْفُوَا الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ } "atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah", yaitu suami menurut pendapat yang paling benar karena
ditangannyalah tergantung keputusan melepas ikatan nikah itu, dan karena wali
tidak sah memaafkan apa yang wajib untuk wanita, karena posisinya bukan orang
yang berhak untuk itu dan tidak pula wakil dalam hal itu, pendapat lain berkata,
bahwa yang memegang ikatan nikah itu adalah ayah, dan itulah yang ditunjukkan
oleh lafazh ayat yang mulia ini .
Kemudian Allah menganjurkan untuk
memaafkan dan bahwasanya tindakan memaafkan itu lebih dekat kepada ketakwaan
kepadaNya, karena hal itu adalah kebajikan yang mengakibatkan kelapangan dada,
dan juga karena manusia itu tidaklah sepatutnya melalaikan dirinya untuk
berbuat kebaikan dan hal yang layak, lalu melupakan keutamaan yang merupakan
setinggi-tingginya derajat pergaulan. Karena bergaul dengan manusia itu ada dua
tingkatan; pertama, keadilan dan kejujuran yang wajib, yaitu mengambil yang
wajib dan memberikan yang wajib, dan kedua, keutamaan dan kebajikan yaitu
memberikan sesuatu yang bukan wajib dan toleransi dalam hak serta mengendalikan
apa yang ada dalam nafsu pribadi. Maka seyogyanya manusia tidak melupakan
tingkatan yang satu ini walaupun hanya pada beberapa kesempatan saja, khususnya
bagi orang yang di antara anda dan dirinya ada sebuah pergaulan atau hubungan.
Karena Allah akan memberikan ganjaran terhadap orang-orang yang berbuat baik
dengan keutamaan dan kemuliaan. Allah Ta’ala berfirman, { إِنَّ اللهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ } "Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa
yang kamu kerjakan".
Penjelasan tentang hukum wanita yang di
talak sebelum dicampuri dan telah ditentukan atau disebutkan maharnya, maka
baginya (wanita yang di talaq tersebut) berhak (wajib) mendapatkan separuh dari
mahar yang tersebut kecuali apabila ia merelakan untuk tidak memintanya,
demikian juga bagi suami yang telah menceraikannya tersebut apabila merelakan
untuk memberikan seluruh mahar yang tersebut kepadanya maka hal itu adalah
lebih baik. Mengajak kepada langgengnya saling cinta mencintai, memuliakan dan
saling berbuat baik antara dua keluarga; keluarga wanita yang diceraikan dan
keluarga suami yang menceraikan. Sehingga perceraian bukan menjadi penyebab
permusuhan dan perpecahan atau putusnya hubungan.
Bahwa apabila seseorang menceraikan istrinya sebelum di campuri dan
telah menentukan maharnya maka wajib baginya memberikan setengah dari mahar
yang tersebut kepada istri yang dicerai tersebut. Bahwa apabila ia telah
berkhalwat (berduaan di tempat tertutup, pen), dan belum mencampurinya maka
tidak ada kewajiban baginya kecuali setengah dari mahar yang tersebut; akan
tetapi dalam hal ini para sahabat menyepadankan hukum khalwah dengan hukum yang
telah mencampurinya (jima’) dalam masalah wajibnya iddah, dan menqiaskan kepada
hal tersebut sehingga wajib baginya membayar mahar secara keseluruhan walaupun
hanya berkhalwah.
Bolehnya mentalak sebelum mencampuri istrinya dan telah menentukan mahar
baginya. Bahwa penentuan mahar adalah ditentukan oleh suami bukan oleh istri,
sebagaimana ayat, “padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya”.
Bolehnya bagi seorang wanita menggugurkan hak maharnya yang merupakan kewajiban
bagi suaminya, baik sebagian atau seluruhnya dari mahar yang harus diberikan
kepadanya. Dengan syarat wanita tersebut adalah wanita yang merdeka (bukan
budak), baligh, berakal, dan rasyidah (mampu membelanjakan hartanya dengan
baik). Bolehnya bagi seorang wanita membelanjakan hartanya –walaupun dengan
cara disedekahkan atau tabaru’at-.
Bolehnya bagi seorang suami memaafkan dan memberikan seluruh mahar
kepada mantan istrinya yang ia cerai sebelum ia mencampurinya dan mahar telah
ditentukan. Bahwa pernikahan adalah termasuk ‘Aqad’ (perjanjian), yang mana
memiliki konsekwensi bolehnya mewakilkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah mewakilkan di dalam perjanjian (aqad); maka boleh pula
seseorang mewakilkan kepada seseorang untuk melakukan aqad nikah baginya. Anjuran untuk memberikan maaf, sebagaimana
ayat, “dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa”. Menjelaskan ahwa
amal-amal itu bertingkat-tingkat kemuliaannya dan keutamaannya. Sudah
sepatutnya bagi seorang insan untuk tidak melupakan keutamaan bersama
saudara-saudaranya didalam muamalah sehari-hari. Bahwa ilmu Allah dan
penglihatanNya meliputi segala sesuatu dari apa-apa yang kita perbuat. Wallahu
a’lam
Kesimpulan
Ayat
Seperti penegasan pada
ayat-ayat al quran bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu, Dialah pencipta alam
semesta ini; juga telah dijelaskan siapa saja yang mengambil Tuhan selain Allah
maka dia akan mendapat balasannya yang setimpal. Dan pada ayat sebelumnya
menjelaskan bahwa Allah adalah pemberi rezeki kepada manusia dan makhluk yang
lain, sekaligus Allah menerangkan mana makanan yang halal dan mana yang haram.
Allah
juga membolehkan manusia seluruhnya memakan makanan yang telah di berikan Allah
di bumi ini, yang halal dan yang baik saja, serta meninggalkan yang haram,
sebab yang haram itu sudah jelas. Juga agar manusia tidak mengikuti
langkah-langkah setan, dalam hal makanan, sebab setan itu adalah musuh mereka.
Oleh sebab itu, setan tidak pernah menyuruh kepada kebaikan. Bahkan dia hanya
menyuruh kepada kejelekan. Dan setan itu juga menyuruh manusia agar
menghalalkan atau mengharamkan sesuatu sesuai dengan kehendak manusia tanpa
perintah dari Allah. Bahkan menyuruh manusia agar mengatakan bahwa itu adalah
syariat Allah, sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan
musyrikin Quraisy.
5. Laki-laki adalah Pemimpin Bagi Kaum
Wanita
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar.”
“Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Asbab An-Nuzul
Diceritakan dari Hasan beliau berkata : “Ada seorang wanita
datang kepada Nabi SAW lalu berkata : “Sesungguhnya suamiku telah
menampar mukaku,” lalu Nabi bersabda, ‘Diberlakukan qishash di
antara kalian.’ Lalu Allah menurunkan ayat :“Dan janganlah engkau
(Muhammad) tergesa- gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum diwahyukan kepadamu. Jabir Bin Khazm
berkata : “Saya mendengar Hasan membacanya : “ mãômur ” dengan menashabkan pada“wahyah”
Sedangkan Hajjaj berkata : “Kemudian Nabi SAW menahan sebentar hingga turun
ayat : "Arrijaalu qawwaamuna 'alannisa......."
Makna yang terkandung dalam ayat
Nusyuz pada asalnya berarti “terangkat” atau tertinggi.
Seorang perempuan yang keluar meninggalkan rumah dan tidak melakukan tugasnya
sebagai seorang istri dan menganggap ia lebih tinggi dari suaminya, singkat
kata yaitu istri yang durhaka pada suaminya.
Secara bahasa, nusyuz berarti penentangan. Sedangkan
istilah, Istri nusyuz adalah istri yang telah keluar dari ketaatan kepada
suaminya dan tidak menjalankan segala kewajiban yang telah diperintahkan
kepadanya, seperti: tidak memenuhi kebutuhan biologis suami, tidak menjauhkan
dirinya dari hal-hal yang tidak disukai dan menyebabkan suami tidak bergairah
kepadanya, tidak berhias dan membersihkan dirinya padahal suami menginginkannya
dan keluar rumah tanpa izin suaminya. Oleh karenanya, seorang istri tidak masuk
dalam katagori nusyuz hanya dengan meninggalkan ketaatan atas sesuatu yang
tidak diwajibkan pada seorang istri.
Maka, jika ia tidak
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah dan segala kebutuhan suami yang tidak
berkaitan dengan kebutuhan biologis seperti: menyapu, menjahit, memasak dan
selainnya—walaupun menyiapkan air minum dan menyiapkan tempat tidur—semua itu
tidak masuk katagori nusyuz.“Nusyuz pun
dapat terjadi pada seorang suami. Yaitu, jika seorang suami tidak menjalankan
kewajiban yang menjadi hak-hak istri, seperti tidak memberikan nafkah dan lain
sebagainya”Syiqaq adalah perselisihan, percekcokan dan permusuhan yang
berkepanjangan dan meruncing antara suami istri. Syiqaq merupakan perselisihan
yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak suami dan istri secara bersama-
sama, dengan demikian syiqaq berbeda dengan nusyuz, yang perselisihannya hanya
berawal dan terjadi pada salah satu pihak, suami atau istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar