BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG.
Islam (Arab: al-islam "berserah diri
kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu tuhan, yaitu Allah. Dengan
lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan
Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen. Islam memiliki arti
"penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Pengikut
ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang
tunduk kepada Tuhan", atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki
dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan
firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini
dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang
diutus ke dunia oleh Allah.
Islam memberikan banyak amalan keagamaan.
Para penganut umumnya digalakkan untuk memegang Lima Rukun Islam, yaitu lima
pilar yang menyatukan Muslim sebagai sebuah komunitas. Di dalam agama islam ada yang namanya hukum
islam ( syariah). Dalam makalah ini kami akan membahas tentang apa itu syariah
B.
RUMUSAN MASALAH.
1.
Jelaskan
apa yang di maksud dengan syariah ?
2.
Sebutkan
aspek-aspek yang terkandung dalam maqasid syariah ?
BAB II
PEMBAHASAN
MAQASID AL
SYARIAH
Suatu waktu
Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam
batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun
kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad itu dilanggar oleh para
sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Beliau membenarkan
tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging
kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri
dari orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah
itu, Nabi Muhammad bersabda, "Sekarang simpanlah daging-daging kurban
itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya".
Dari kasus
tersebut terlihat, adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan tujuan
syariat dapat dicapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari
dusun-dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada
lagi, maka larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi SAW.
Dari
ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi Muhammad, Maqasid Al
Syariah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Upaya demikian
terlihat jelas dalam beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar Ibn al
Khattab. Kajian Maqasid Al Syariah ini kemudian mendapat tempat dalam ushul
fiqh, yang dikembangkan oleh para ushuli dalam penerapan qiyas,
ketika berbicara tentang Masalik Al Illah. Kajian demikian terlihat
dalam beberapa karya ushul fiqh, seperti Ar-Risalah oleh Al
Syafii, Al-Musthafa karya Al Ghazali, Al-Mu'tamad karya Abu Al
Hasan Al Bashri, dan lain-lain. Kajian ini kemudian dikembangkan secara luas
dan sistematis oleh Abu Ishaq Al Syathibi.1
Dalam
kelanjutannya, Maqasid Al Syariah malah menjadi bahasan yang kurang
populer atau bahkan diabaikan dalam banyak buku referensi yang berbicara
tentang ushul fiqh. Penelusuran tentang bahasan Maqasid Al Syariah
menjadi tidak mudah didapat. Sejauh ini pembahasan Maqasid Al Syariah
lebih banyak diidentikkan dengan Abu Ishaq al Shathibi.
Sedikitnya
kitab-kitab ushul fiqh salaf terutama dari ulama madzhab Syafi'i
yang membicarakan Maqasid Al Syariah atau bahkan mengabaikannya dalam
pokok bahasan mereka, tersebab keterkaitan bahasan ini dengan teologi yang
diyakininya.
Sebagaimana
dijelaskan Shatibi, doktrin Maqasid Al Syariah menjelaskan bahwa tujuan
akhir hukum adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan
umat manusia.2 Teologi
Islam menerima pengertian umum dan lahir dari mashlahah ini, tetapi
mereka saling berbeda pendapat jika mashlahah dipahami dalam kerangka
kausalitas. Kaum Asy'ariah menolak secara eksplisit maupun implisit, kausalitas
dalam hubungannya dengan Tuhan. Bagi mereka, premis ini mengimplikasikan bahwa
Tuhan diwajibkan karena pertimbangan mashalah, untuk bertindak dalam
suatu cara tertentu. Karena kewajiban semacam itu berarti membatasi
kemahakuasaan Tuhan, maka kaum Asy'ariah menolak ide bahwa mashlahah adalah
'Illal Al Syar'i. Kendatipun demikian, mereka menerima premis ini dengan
menafsirkan mashlahah sebagai 'rahmat' Tuhan, dibanding sebagai 'sebab'
bagi tindakan-tindakanNya. Di sisi lain kaum Mu'tazilah walaupun juga
mempertahankan kemahakuasaan Tuhan. Tetapi menyakini bahwa Tuhan berkewajiban
melakukan kebaikan. Sebagai konsekwensinya, mereka menerima premis diatas,
mengenai mashlahah sebagai 'Illat Al Syariah.
Argument-argumen
teologis yang merambat ke dalam ushul fiqh ini, karena banyak penulis
dalam bidang ushul fiqh juga menulis di bidang teologi.3 Namun
demikian, ushul fiqh menuntut suatu cara berpikir dan metode penalaran
yang berbeda dari metode kalam. Pemikiran hukum mengharuskan bahwa kehendak
bagi tindakan-tindakan sukarela manusia harus dihubungkan dengan manusia itu
sendiri jika ia secara hukum harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya.
Karena ketaatan kepada perintah-perintah Tuhan tergantung pada kehendak
manusia, maka perintah itu harus diperlihatkan dimotivasi oleh perkembangan
kepentingan-kepentingan manusia. Sebagai konsekwensinya, premis mashlahah
harus diterima dalam ushul fiqh dalam kerangka sebab, motif dan tujuan.
Perdebatan
mengenai Maqasid Al Syariah ini, tidak saja terkait dengan teologi,
tetapi juga terkait dengan kehujjahan Maqasid Al Syariah sebagai sumber
pengembangan hukum. Metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas
Maqasid Al Syariah seperti istihsan dan mashlahah murskalah,4 adalah
metode pengembangan yang diperselisihkan keberadaannya. Imam Syafi'i contohnya,
atas istihsan dia menyatakan:
من إستحسن
فقد تشرع
"Barang
siapa yang menggunakan istihsan maka ia telah benar-benar mencipta
syara'".5
Pengertian
dan Cakupan Maqasid Al Syariah
Maqasid Al
Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum Islam.6 Sementara
menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan
sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari
hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan
dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap
ketentuan hukum.7 Menurut
Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.8
Maqasid Al
Syariah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan,
menurut al Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al
syari' (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf).
Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al Syariah mengandung empat
aspek, yaitu:9
1.
Tujuan awal dari Syari'
menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
2.
Penetapan syariah sebagai sesuatu
yang harus dipahami.
3.
Penetapan syariah sebagai hukum taklifi
yang harus dilaksanakan.
4.
Penetapan syariah guna membawa
manusia ke bawah lindungan hukum.
Begitu pula
dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah mengandung
empat aspek pula, yaitu:10
1.
Pembicaraan mashlahah,
pengertian, tingkatan, karakteristik, dan relativitas atau keabsolutannya.
2.
Pembahasan dimensi linguistik dari
problem taklif yang diabaikan oleh juris lain. Suatu perintah
yang merupakan taklif harus bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak
saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman
linguistik dan kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara
menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah
(bisa dipahami orang awam).
3.
Analisa pengertian taklif
dalam hubungannya dengan kemampuan, kesulitan dan lain-lain.
4.
Penjelasan aspek huzuz dalam
hubungannya dengan hawa dan ta'abud.
Mayoritas
peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua macam, kemashlahatan akhirat yang
dijamin oleh akidah dan ibadah dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh
muamalat. Tetapi dalam pembahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang
mengharuskan untuk memperhatikan pembagian ini. Karena pada hakekatnya segala
hal yang terkait dengan akidah, ibadah dan muamalat dalam syariat Islam
menjamin segala kemashlahatan umat baik sisi dunia maupun akhirat.11
Kemashlahatan
yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs,
akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal
ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut
mafsadah.12
Adapun
setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga
tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.13
Kebutuhan dhoruriyat
Definisinya
adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer.
Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia
akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal
yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan,
keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam
diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan
pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas.
Seperti kewajiban qisas:
ولكم فى
القصاص حياة يأولى الألباب لعلكم تتقون
"Dan
dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang
bertakwa"14
Dari ayat
ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu
ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.
Kebutuhan al
hajiyat
Al Syatibi
mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi
keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan.
Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah
(keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh
kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak
berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh
secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang
mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
Kebutuhan al
tahsinat
Definisinya
adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok
tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat
kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi
seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang
tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan
norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah,
dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan
kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid,
anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/
muslah.
Al Syatibi
juga membagi mashlahah dalam tiga hal:15
1.
Mashlahah muktabar, yaitu
kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana
diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah
pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya
diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh
yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas
untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain.
2.
Mashlahat mulgha, yaitu
sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat
yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan.
Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia,
meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah
membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi
memfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut.
Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau
memberi makan 60 oarang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka
dikawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam
kasus ini adalah kemashlahatan agama.
3.
Mashlahat mursalah, yaitu
kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau
melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas
barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka
atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban
mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual
beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.
Batasan Maslahah
Al Syatibi
memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:16
·
Tujuan legislasi (tashri')
adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di akhirat.
·
Syari' menghendaki
masalih harus mutlak
Alasan bagi
kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus abadi,
universal (kull), dan umum (amm) dalam hubungannya dengan segala
macam kewajiban (takalif), subjek hukum (mukallafin) dan
kondisi-kondisi (ahwal).
Ketiga
karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan universal.
Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif.
Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah
satu dari kondisi kesenangan pribadi, keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan
nafsu dan kepentingan individu. Semua pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah
akan makna relatif dan subjektif, yang bukan merupakan pertimbangan syari'
dalam mashlahah, meski mungkin dipertimbangkan dalam budaya adat.
Unsur
universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf
(memperkecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan
berdasarkan ketentuan universal bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari
melakukan kejahatan dengan mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun
dihukum, tidak dapat menahan diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan
orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi validitas ketentuan umum tentang
hukuman.
Kemashlahatan
asasi bagi al Buthi, sebenarnya hanyalah satu yaitu terciptanya penghambaan
seorang mukallaf kepada Allah dan ma'rifat billah.17 Al Buthi mendasarkan
pada dalil:
وابتغ فيما
أتاك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا.......
"Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
…".18
Al Buthi
menandaskan bahwa mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa pernyataan la tansa
nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia yang berfaedah bagi
akhiratnya.
Dalam
memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan dua hal yang keluar
dari kriteria mashlahah:19
·
Segala hal yang keluar dari
substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima hal contoh melepaskan
ketentuan diri dari ketentuan ibadah, menginginkan kenikmatan berzina,
melampaui batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang dibenarkan syara'
dan lain-lain.
·
Segala sesuatu yang tidak
bertentangan dengan substansi mashlahah tetapi menjadi berubah karena
tujuan yang tidak baik berdasar hadits: "innamal a'malu binniyat".
Kehujjahan Maqasid
Al Syariah (mashlahah)
Mashlahah dalam
bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas
dalil-dalil syara' sebagaimana Al Qur'an, Al Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan
demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan
berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang universal
yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari
dalil-dalil atau dasar syariah.
Kesendirian mashlahah
sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap
makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan
dua hal:20
·
Kalau akal mampu menangkap Maqasid
Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah
penentu/hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut
mayoritas ulama.
·
Kalau anggapan bahwa akal mampu
menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan
hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek
dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah
bagi mayoritas akal manusia.
Bagi Abdul
Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk
memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang
bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al
Qur'an dan Al Hadits.21
Dari apa
yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al Syariah
tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan
hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, sebagaimana
disinggung dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak
disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN.
Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan
Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Seperti yang
kita ketahui bahwa dasar ditetapkannya sayariah yaitu untuk kemashlahatan
ummat manusia. Mayoritas peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua
macam, kemashlahatan akhirat yang dijamin oleh akidah dan ibadah dan
kemashlahatan dunia yang dijamin oleh muamalat. Kemashlahatan
yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs,
akal, keturunan dan harta. Adapun setiap hal
yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan
kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.
Al Syatibi juga membagi mashlahah
dalam tiga hal:15
1.
Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang
berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas.
2.
Mashlahat
mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas
lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar
sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan.
3.
Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak
terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya
Maqasid Al
Syariah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan, menurut al Syathibi
dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al syari' (tujuan
Tuhan). Kedua maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf).
Batasan Maslahah
Al Syatibi
memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:16
·
Tujuan legislasi (tashri')
adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di akhirat.
·
Syari' menghendaki
masalih harus mutlak.
Kehujjahan Maqasid
Al Syariah (mashlahah).
Mashlahah dalam
bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas
dalil-dalil syara' sebagaimana Al Qur'an, Al Hadits, Ijma' dan Qiyas.
Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i)
dengan berdasar kemashlahatan saja.
B.
SARAN.
Dengan adanya penulisan makalah
ini, maka penulis berharap mahasiswa bisa memahami apa itu Maqasid Al-Syariah
dan agar mahasiswa bisa mengembangkan pembahasan tentang Maqasid Al-Syariah
yang pada saat ini sangat sulit dicari referensinya.
C.
Referensi
1 Nasrun
Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam
di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999, hal.42-43
2 Muhammad
Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan
oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal. 225
3 Ibid. hal
226
4 Taufik
Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002, juz 3 hal.294
5 Wahbah
Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2 hal 748
6 Taufik
Abdullah (ketua editor), op.cit, hal. 292
7 Wahbah
Zuhaili, op.cit. hal.225
8 Muhammad
Khalid Mas'ud, op.cit hal. 225
9 Nasrun
Rusli, op.cit hsl 43
10 Muhammad
Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf Qardhawi, _Al Qur'an dan Sunnah
Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta: Robbani Press, 1997 hal 251
11 Muhammad
Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah,
Beirut: Dar al Muttahidah, 1992 halaman 71.
12 Ibid. hal.
110.
13 Ibid, baca
juga: Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit, hal 292-294.
14 Al Qur'an,
surat Al Baqarah ayat 179.
15 Peunoh
Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf
Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1988, hal 153
16 Muhammad
Khalid Mas'ud, Op.cit. hal. 238.
17 Muhammad
Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.
18 Al qur'an:
Al Qashash 77.
19 Muhammad
Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.
20 Ibid, hal
108.
21 Taufik
Abdullah (ketua editor), op cit. hal 294.
From: http://maqasid-syariah.blogspot.com/2009/01/maqasid-al-syariah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar