Metodologi Penelitian (Metpen)
Reviw buku Abdul Munir Mulkhan
Islam Murni dalam
Masyarakat Petani
Disusun
Oleh:
MohdHadidi
201010020311017
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG
2012
Secara
garis besar dalam buku “Islam Murni dalam Masyarakat Petani” yang di tulis oleh Abdul Munir
Mulkhan di angkat beberapa permasalahan dan di jawab lewat penelitian lapangan bertempat
di kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember
Jawa Timur. Diantara masalah yang di angkat dalam penelitian beliau secara
garis besar ada beberapa poin penting
adalah sebagai berikut :
Pertama
Bagaimana Muhammadiyah meluas dan berkembang kedaerah–daerah pedesaan, sehingga
di terima oleh masyarakat petani desa yang cendrung sinkretis? Kedua Bagaimana
kondisi sosial dan politik pada saat Muhammadiyah menyampaikan
(mendakwakan) pahamnya “Islam Murni”
kepada masyarakat pedesaan yang sangat dominan dengan paham keagamaan
tradisionalis atau ke NU-an. Ketiga apa respon petani dan respon Muhammadiyah
terhadap tradisi keagamaan petani yang
ada di kecamatan Wuluhan kabupaten Jember Jawa Timur. Keempat bagaimana posisi
pengikut Muhammadiyah yang konsisten dan yang tidak konsisten terhadap paham Muhammadiyah
yang dalam hal ini yang di sebut “Islam murni”.
Kemudian selanjutnya perlu kita ketahui juga
apa tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Islam Murni
Dalam Masyarakat Petani, di kecamatan Wuluhan Jember Jawa Timur adalah sebagai berikut :
a) Menjelaskan kontek sosial politik meluasnya
Muhammadiyah dalam masyarakat petani di daerah pedesaan dan hubunganya dengan
tesis rasionalisasi Weber (1972)
b) Menjelaskan hubungan perluasan Muhammadiyah dalam
masyarakat petani dengan modernisasi pendidikan Islam yang semula di pelopori gerakkan ini.
c) Menemukan hubungan pemberantasan TBC dan penyebaran
Muhammadiyah ke daerah pedesaan dan tesis berlansung islamisasi.
Kemudian setelah kita mengetahui tujuan dan manfaat dari penelitian Munir Mulkhan, diatas
lebih lanjut, kita melihat bagaimana pendekatan yang di gunakan beliau dalam
meneliti masyarakat petani di pedesaan khususnya di kecamatan Wuluhan yang
menjadi objek penelitianya. Kalau kita lihat dalam bukunya Islam Murni
Dalam Masyarakat Petani, Munir Mulkhan cenderung memakai pendekatan
struktural-fungsional tradisi Weberian meskipun hal ini perna di kritik Murata
(1998) karena tidak sesuai untuk memahamkan kesadaran kesatuan dan hierarkis
realita dalam Islam. Namun, pendekatan ini menurut beliau tetap relevan guna
menjelaskan gejala plularitas dalam komunitas Islam diantara pengikut
Muhammadiyah di daerah pedesaan. Karena itu, keberlakuan fungsi pendekatan
struktural-fungsional akan di tentukan oleh respon masyarakat petani di
pedesaan yang menjadi pengikut Muhammadiyah terhadap Islam murni, tradisi TBC
dan realitas sosial politik yang di hadapi.
Harapanya dengan penelitian kasus ini
berguna untuk menjelaskan fungsi dan model Islam petani-petani Muhammadiyah
sebagai dasar intekrasi sosial dalam masyarakat Indonesia yang demikian plural.
Karena itu, hasil penelitian akan diletakkan dalam persepektif teoritis
rasionalisasi dan the disenchantment of the world dari Weber, hubungan
dialektik kepercayaan dan dinamika sosial penganutnya, serta hungan fungsional
kepercayaan sturuktur sosial. Hasilnya diharapkan berguna untuk menumbuhkan
etos ekonomi pertanian yang lebih produktif dari masyarakat petani sebagai
mayoritas penduduk Indonesia melalui gerakan keagamaan dengan tetap memelihara
hubungan harmonis, membangun integrasi sosial dan mengatasi konflik akibat
perbedaan pemahaman keagamaan dan kesenjangan sosial. (Lihat Mulkhan 2000.hlm
15-16)
Temuan-temuan dalam buku beliau sangat
penting, karena membahas tentang realitas keberagaman pemahaman keislaman
masyarakat petani pedesaaan, terutama
penelitaian ini sanagat berguna bagi pengambil kebijakkan gerakkan
Muhammadiyah. Karena ada dua hal penting yang dikemukakan, yaitu analisi
tentang varian (macam) anggota Muhammadiyah dan tesis pribumisasi Islam di
kecamatan Wuluhan dan tidak tertutup kemungkinan keduanya dapat kita temukan di tempat lain, sekalipun penelitian itu belum dilakukan. Secara sosiologis sering
dikatan bahwa Muhammadiyah adalah gejalah kota. Kalau itu benar pastilah ada
jarak sosial orang kota dan orang desa. Perbedaan terjadi karena jarak sosial
antara masyarakat kota dengan masyarakat desa.
Sebagaimana di katakan tadi empat varian
anggota Muhammadiyah yaitu (Al-Ikhlas, Kiai Dahlan, Munu, dan Marhenis) lebih
jelasnya sebagai berikut kelompok pengelompokkan anggota Muhammadiayah menurut
Munir Mulkhan yaitu :
1.
Pertama kelompok
Al-Ikhlas, yang benar-benar mengamalkan Islam murni dan anti kepada TBC.
2.
Kedua kelompok
Kiai Dahlan cirinya yang toleran
terhadap peraktek TBC
3.
Ketiga kelompok
Neotradisionalis biasa di sebut kelompok Munu, (Muhammadiyah NU); dan
4.
keempat kelompok
Neosinkretis atau disebut marmud, (Marhaenis- Muhammadiyah).
Klasifikasi ini penting untuk mengetahui
varian pengikut Muhammadiyah yang ada di masyarakat terutama masyarakat
pedesaan yang ada di kecamatan Wuluhan Jember Jawa Timur, karena banyak orang
beranggapan bahwa Muhammadiyah hanya
terdiri dari suatu kelompok saja, di kemukakan bahwa selama ini Muhammadiyah
selalu digambarkan sebagai gerakkan pemurnian Islam (James L.Peacock) atau
gerakkan islamisasi (Mitsuo Nakamura, Riaz Hassan, Irwan Abdullah). Dengan
pribumisasi buku ini ingin mengatakan bahwa dominasi petani di pedesaan telah
menyebabkan perubahan dalam peraktek keagamaan
anggota perserikatan, ada “teologi petani”. Praktik yang di pandang
sebagai TBC telah diakomodasi dalam gerakkan Muhammadiyah, walaupun dengan
perubahan-perubahan penting.
Dalam buku ini juga membahas bagaimana
gerakkan Muhammadiyah di Wuluhan bercermin dari gerakkan K.H Ahmad Dahlan setelah
hilanag dominasi ahli syariah, akibat kemajuan pendidikan Muhammadiyah sendiri,
hal ini tidak perlu di cemaskan, hanya saja kepada pengurus cabang atau ranting
Muhammadiyah perlu terus menerus dijelaskan komitmen Muhammadiyah sebagai
gerakkan Amar ma’ruf nahi munkar dan gerakan “kembali kepada Al Quran
dan As- Sunnah.”
Menganai
“kembali kepada Al Quran dan As-
Sunnah.” Inilah orang sering berbeda pendapat, dan tidak sedikit orang Muhammadiyah berpendapat bahwah “kembali
kepada Al Quran dan As- Sunnah.” Berarti
pembatasan artinya apabila tidak ada dalam Al- Quran dan As-Sunnah berarti
tidak boleh dilakuakan. Tentu saja itu baik, karena menunjukkkan kehati-hatian dalam mencari rida Tuhan. Akan tetapi hal
itu, menyimpang dari maksud ungkapan “ Tidak ada tuntunanya”. Warisan K.H Ahmad
Dahlan menunjukkan bahwa ungkapan itu berarti pembebasan. Karenanya hilangnya
dominasi ahli syariah dan keberadaan Munu dan Marmud di Wuluhan
juga harus dinilai positif, meskipun banyak hal yang tidak ada tuntunanya.
Dalam buku ini juga peneliti menyebutkan bahwa
sebenarnya “ jalan baru” itu secara nasional sudah ada, yaitu speritualisasi
syariah yang dicanagkan dalam Mukhtamar Muhammadiyah di Banda Aceh pada tahun1995. Speritualisasi
syariah bermaksud untuk kembali pada Islam sejati K.H Ahmad Dahlan, yaitu Islam
dengan akal dan hati suci. Speritualisasi syariah sebenarnya tidak lain dari
syariah plus sufisme. Akan tetapi, sejak dulu Muhammadiyah memang menghindarkan
diri untuk menyebut sufisme, sebab intitusional sufisme secara formal kedalam
tarekat akan menjebak orang kedalam
indolatri dan mistifikasi Islam. Namun, sufisme secara informal dan substantif
sebenarnya diamalkan oleh Muhammadiyah( Mitsuo Nakamura), sufi elements in Muhammadiyah?;(
Note from field Observation, Konverensi Australian Association for the study of Religion,
Canberra, 11-15 mei 1980). Sebagai ganti dari sufisme formal itu rumusan yang
sangat awal menggunakan istilah akhlaq mahmudah
atau akhlak terpuji ( Liahat Suara Muhammadiyah, Tahun 1, Nomor 3,1915).
Bukan sufisme tapi akhlak.
Selanjutnya
kita sedikit membahas tentang apa maksud dengan “Teologi Petani” dan “ Jalan
Baru” Islam yang mengakomodasi modernitas dan menghadirkan kembali “ Pesona Duniawi” melalui “Orang Saleh” kalau dalam bahasa Munir
Mulkhan itu penting ketika rasionalisasi
Weberian dari modernisasi menyaebabkan
dunia kehidupan dan keagamaan kehilangan pesona sakral. Hal ini menumbuhkan
kesadaran baru teori kritis dan komunikasi humanis Hebermas (1984;Siebert,1985, Geertz, 1992).
Melalui “ Teologi dan jalan barunya” itu, masyarakat petani pengikut
Muhammadiyah dalam kasus ini membangun harmoni dan integrasi sosial melampaui
batas penggolongan keagamaan dan politik lokal. Gejalah ini tampak mendahulu
perubahan pola pemurnian Islam di tingkat nasional tahun 1995 disusun di dalam program
speritualisasi syariah. Hal itu tampak merupakan praktik Islam sejati-nya Kiai
Ahmad Dahlan yang diletakkan diatas fondasi “ Akal dan hati suci”.
Karena
itu meluasnya Muhammadiyah kedaerah pedesaan dalam kasus ini, bukanlah bukti
berlansungnya islamisasi seperti tesis Nakamura (1983) dan Riaz Hassan (1985).
Sebaliknya, hal itu justru merupakan pribumisasi Islam murni, ketika fatwah
tarjih tidak lagi menjadi referensi
utama kehidupan keagamaan pengikut keagamaan atau pengikut Muhammadiyah. Sementara itu,
reformasi ekonomi tidak terjadi secara signifikan dengan meluasnya Islam murni
yang di perjuangkan Muhammadiyah seperti
temuan Irwan Abdullah (19940 di Jatinom. Etos ekonomi lebih produktif justru di perlihatkan oleh pengikut yang
cendrung sinkretik dan ambangan.
Program
speritualisasi syariah dan
meluasnya gejala neosingkretisme atau
neosufisme tersebut di atas memberi kemungkinan pengembangan hubungan sosial
terbuka dan pelibatan seluruh lapisan dan golongan masyarakat di dalam proses
pengambilan keputusan. Karena itu temuan kasus ini lebih berarti jika
diletakkan dalam sekalah penyebaran ide
demokrasi (Uhlin, 1995) dan pemikiran Islam inklusif yang muncul sejak
dekade okhir Orde Baru dan meluas sesudah pemerintahan Orde baru runtuh bulan Mei
1998, Hal ini tampak ketika partai yang
dibentuk oleh elite aktivis Islam atau
gerakan Islam menyatakan diri sebagai partai inklusif
Keagamaan
inklusif itu bersumber dari semangat mencari kebenaran tampa final dengan
mencintai sesama ( kalimatun sawa), menumbuhkan kebebasan asasi, pemberhalaan
simbul keagamaan dan alienasi di
hindari. Ketulusan mencari kebenaran
(hanifiyyah samhah) adalah sikap toleran
dan lapang dada, sementara fundamentalisme memanipulasi agama bagi
kepentingan golonganya sendiri, fundamentalisme ini akan mencair jika doktrin
Islam ditinjau ulang melalui
a.
Pembenasan
sosialisasi Islam dari pola budaya Timur Tangah
b.
Pengembangan
dimensi kerohanian Islam seperti sufisme
c.
Mengembangkan
jiwa kritis dan dimensi sosial Islam
d.
Pembebasan
pengajaran Islam dari formalisme
e.
Mengakhiri
mentalitas isolatif
f.
Memperluas
kasadaran tanggung jawab peribadi kepada Tuhan ( Kemanusiaan,1995,hlm.146-157).
Islam inklusif menempatkan keagamaan sebagai
wacana budaya dengan tujuan etik syariah sebagai basis tindakkan, berbeda dari
legal syariah yang membagi dunia kedalam
pertentangan benar-salah secara eksklusif. Hal ini terlihat dalam konflik
aktivis politik Islam mengenai dasar negara dalam BPUPKI 1945 dan dalam
radikalisme DI/TII. Malah ini terus muncul, seperti beda pendapat di antara
pendukung dan penentang sidang MPR 1998. Bagi fundamentalisme, nasionalisme
gagal sebagai dasar pemerintahan, dan Islam inklusif sebagai depolitisasi
Islam.
Selain
itu, fundamentalisme juga memandang kegagalan pemberlakuan syaraiah adalah akibat reakayasa kekuatan “ anti-
Islam” yang sulit diakui sebagai akibat tidak sesuai kepentingan mayoritas. Hal
ini berbeda dari Islam inklusif yang di dukukung mayoritas anggota BPUPKI, jika
argumen Soekarno tentang pemisahan negara dari problem syariah dapat di
tempatkan sebagai representasi Islam inklusif.
Di satu
sisi, Islam inklusif mendorong sterategi
“ bekerja dari dalam” pemerintahan yang sah. Namun belum tersedianya pemikiaran
sosial alternatif membangkitkan “revivalisme” syariah, terutama ketika aktivis
Islam merasa lebih kuat atau sebaliknya “terancam” kekuatan “anti Islam”( PPM,
Islam dan Dakwah 1988). Akibatnya Islam inklusif sebagai dasar demokrasi
menjadi sulit bebas dari sikap eksklusif terhadap petani, buruh dan ambangan
atau pemeluk lain. Karena itu, ide pemerintahan bersih, kesejatraan dan
keadilan sosial serta pembebasan kemiskinan
yang tumbuh bersama ide domokrasi dari
elite aktivis Islam (Uhlin,1995), bisa terperangkap kembali pada model
pembagian masyarakat dalam dua wilayah
pertentangan eksklusif syraiah.
Terakhir
kita coba menuju intekrasi sosial demokratis. Islam inklusif, bisa dikembangkan
sebagai dasar intekrasi sosial jika syaraiah didesakrasasi atau didekonsturuksi
( lihat An-Na’im, 1994) menjadi wacana budaya. Demikian pula, pengkajian
kembali terhadap sufisme hanya efektif jika bisa bebas dari fatalisme Sunni, sehingga tumbuh etos duiawi yang
berakar kesalehan moral dan pengabdian tampa batas pada Tuhan. Dan ijtihad
serta pemberantasan TBC, bisa bebas dari doktrin syariah skriptual dan
penghormatan yang berlebihan pada ulama yang dianggap suci (Bellah, 1976,
Abdullah 1987). Dalam hubungan itulah , siakap kritis, terbuka dan prakmatis
Kiai Ahmad Dahlan berdasar kesalehan moral lebih dari ketaatan syariah, perlu
dipertimbangkan guna mendorong kerja produktif, petani atau bukan ditengah
kehidupan dunia yang semakin terbuka.
Karena
itu, hubungan kelas dan kepercayaan
tampak “menyimpang” dari pola hubungan sturuktural fungsional. Struktur fisik
penguasaan tanah, pekerjaan dan pendidikan, bisa berfungsi efektif mengubah
kepercayaan jika hadir penafsir ajaran yang fatalis. Hal ini memungkinkan
hubungan segitiga triadik antara Islam doktrinal, fakta historis kepercayaan
menganut yang konstektual dan elite penafsir, munculnya paham sunnni yang fatalis di pedesaan atau
perkotaan tergantjung dominasi budaya lokal seperti variabel patrimonialnya
Weber (1972; Turner,1984).
Jika
Ijtihad bisa dikembangkan sebagai proses soal induktif, Islam inklusif bisa
berfungsi sebagai dasar hubungan sosial Islam yang lebih demokratis. Dari sini,
teologi dan jalan baru” islam petani mempunyai landasan sturuktural dan
kultural sebagai kritik terhadap tesis Weber (1972;Tuner, 1984) mengenai
kurangnya prasyarat tumbuhnya sistem hubungan rasional di dalam masyarakat Islam
yang patrimonialistik. “Teologi petani” atau “Jalan baru” Islam itu juga bisa
mendorong etos kerja produktif dan pemikiaran sosial Islam sebagai alternatif
dari doktrin syariah. Dari sini demokratisasi bisa dikemabangkan dalam
kehidupan masyarakat global yang terbuka dan plural yang bebas dari konflik
keagamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar