Makalah
Hukum Tata
Negara
Eksistensi
Komisi Yudisial di Indonesia
Disusun
Oleh:
Mohd Hadidi
(201010020311017)
Syariah
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG
A. Latar
Belakang Pembentukan Komisi Yudisial
Secara
universal Komisi Yudisial lahir dilatar
belakangi oleh beberapa permasalahan pada kekuasaan kehakiman sehingga perlu di
bentuk Komisi Yudisial sebagai solusi
untuk mengatasinya diantranya sbb:
a) Lemhanya
monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring
hanya dilakukan secara internal saja.
b) Tidak
adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive
power)
c) Kekuasaan
kehakiman diangggap tidak mempunyai
efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masi disibukkan
dengan persoalan-persoalan teknis non hukum.
d) Tidak
hanya konsistensi putusan lembaga, peradilan karena setiap putusan kurang
memperoleh penilain dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
e) Pada
rekrutmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena
lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yakni
presiden dan parlemen.[1]
Berangkat
dari latar belakang tersebut diatas, maka untuk menanggulanginya didirikanlah Komisi Yudisial di beberapa negara
di antranya di negara kita Indonesia, yang memang gejolak politik di
lembaga-lemga politik yang berwenang salah satunya memilih hakim di takutkan adanya, politik
dagang sapi dan tidak objektif dalam pemilihan hakim tetapi hanya mengedepankan
kepentingn politik. Maka dari itu fungsi Komisi Yudisial di Indonesia untuk
menggulangi permalahan tersebut.
B.Tujuan
pembentukan Komisi Yudisial
Kehadiran komisi Yudisial dalam sturuktur
negara modern merupakan suatu perkembangan yang sangat
menarik dalam cabang kekuasaan yudikatif khususnya kekuasaan kehakiman
(Judicial Power). Keberadaanya juga merupakan trend yang terjadi pada abad-20
dalam sejarah demokrasi modren yang mengharuskan adanya lembaga peradilan yang
bebas dari kekuasaan campur tangan kekuasaan lain diluarnya.
Secara teoritis tujuan
pembentukan Komisi Yudisial adalah tidak lepas dari pembentukan negara
demokrasi yang adil dan terbuka, dan terlepas dari kekuasaan monarki dan
sewenag-wenag serta campur tangan kekuasaan antar lembaga. Apalagi di campuri
oleh kepentingan-kepentingan kelompok maka dari itu Komisi Yudisial hadir
sebagai solusi dalam memilih dan menyeleksi serta menguji para calon hakim yang
di tempatkan di pengadilan.
Sebagai mana kita ketahui sebelumnya komisi
Yudisial hadir menjadi mediator
kekuasaan pemerintah (executive power)
dan kekuasaan kehakiman (yudicial power) yang tujuan utamanya menjamin,
kemandirian kekuasaan kehakiman dari
pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah.[2]
Selanjutnya dengan adanya Komisi Yudisial,
tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman akan semakin tinggi dalam
banyak hal baik yang menyangkut rekrutmen dan monitoring hakim, agung serta
pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman. Dibentuknya Komisi Yudisial juga bertujuan untuk menjaga kualitas dan
konsistensi lembaga peradilan, karena diawasi secara intensif oleh lembaga yang
benar-benar independen. Disini diharapkan konsistensi putusan lembaga peradilan
tidak diselewengkan, adanya Komisi Yudisial
sebagai penilai setiap putusan yang di tetapkan hakim, apabilah
kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat di eliminasi bahkan
bisa jadi dapat di batalkan.[3]
Selanjunya di bentuknya Komisi Yudisial untuk
menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa
di awasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Disini
diharapkan inkonsistensi lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap
putusan akan memperoleh penilain dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial,
dengan demikian putusn-putusn yang di anggap kontroversial dan mencederai rasa
keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.[4]
C.
Tugas
dan wewenang Komisi Yudisial di Indonesia
Membicarakan tentang tugas Komisi Yudisial
di Indonesia sudah pasti harus merujuk pada ketentuan pasal 24B perubahan ketiga UUD 1945. Apalagi
samapai saat ini rangcangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial sebelum
ditetapkan sebagai undang-undang . Oleh karena itu, kontitusi menjadi
rujukan utama dalam melihat Komisi
Yudisial di Indonesia.
Pasal 2B berisi emapat ayat, yakni (1)
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenag mengusulkan pengkatan hakim
agung dan mempunyai wewenagn lain dalam rangka menjaga dan menegakan
kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim; (2). Anggota Komisi
Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta
memilikki integritas dan keperibadian yang tidak tercela; (3). Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) . (4). Susunan,
kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang dari
keempat ketentuan tersebut, ada dua hal yang berkaitan dengan tugas Komisi
Yudisial yakni mengusulkan pengkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan keluhuran,
martabat, serta perilaku hakim.
D.
Keorganisasian Komisi Yudisial di Indonesia
1. Status
kelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia
Persoalan
status kelembagaan komisi Yudisial di Indonesia sampai saat ini belum
sepenuhnya jelas.(Lihat Komisi Yudisil Ahsin Thori ;2004). Pasal 2B perubahan
ketiga UUD 1945 hanya
mengatakan bahwa Komisi Yudisial “Bersifat Mandiri”. Hal ini tidak memberikan
pengertian yang berarti pada status kelembagaan. Oleh karena itu sebaiknya
Undang- Undang Komisi yudisial di masa yang akan datang memberikan kejelasan terhadap status
kelembagaan Komisi Yudisial. Akan tetapi tampaknya Rancangan Undang- Undang
(RUU) Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung tidak memeberikan kejelasan status
kelembagaan Komisi Yudisial.[5]
Sturuktur ketatanegaraan
Indonesia setelah terjadi perubahan
terhadap UUD 1945 berubah secara radikal apabila dibandingkan dengan
sebelum perubahan[6].
Oleh karena itu, sebelum membehas status kelembagaan Komisi Yudisial lebih lanjut, kita terlebih dahulu sturuktur
kekuasaan kehakiman Indonesia setelah
perubahan terhadap UUD 1945 yang sampai empat kali.
Akan tetapi menurut Jimly
Asshidiqie, Komisi Yudisial tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman,
tetapi keberadaanya tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman.
Keberadaanya terkait dengan jabatan hakim yang merupakan jabatan kehormatan
yang harus di jaga dan ditegakkan kehormatanya oleh suatu lembaga yang bersifat
mandiri yang bernama Komisi
Yudisial.[7]
Sebagaimana yang kita ketahui
dewasa ini, erjadi suatu perkembangan yang sangat menarik dalam ketata negaraan
modern, yaitu munculnya lembaga-lembaga negara mendiri (stete auxilisries
instutions) dalam sturuktur ketatanegaraanya. Lembaga-lembaga ini biasanya di
awali dengan kata “Komisi” dalam konteks indonesia
Di
Indonesia sendiri, sebagaimana kita lihat ada
beberapa lembaga yang diawali dengan nama komisi selain Komisi Yudisial (KY),
yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasis Manusia (Komnas
HAM), Komisi Nasional anti kekerasan terhadap prempuan (Komnas Prempuan),
Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pengawal
Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Hukum Nasional (KHN), komisi Ombuddsman
Nasional (KON), Komisi kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) Komisi Pemberntasan Korupsi (KPK), Komisi Kepolisian
nasional (KKN), Komisi Kontitusi (KK), Komisi penyiaran Indonesia (KPI) dan
Komisi Perlindungan Anak indonesia (Komnas Anak) akan tetapi, pelaturan
undnag-undang tidak mengatur lebih
lanjut status kelembagaan komisi-komisi tersebut dalam sturuktur ketata
negaraan.
2. Kenggotaan
Komisi Yudisial di Indonesia
Pasal
15 (ayat 1) rancangan undang-undang tentang Komisi Yudisial versi mahkamah Agung
mengatakan bahwa Komisi Yudisial terdiri dari seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 5 (lima) orang anggota. Sedangkan(
ayat 2) menyatakan ketua dan wakil ketua dan wakil ketua dipilih oleh anggota
yang kemudian ditetapkan oleh presiden.
Dengan
demikian anggota Komisi Yudisial Menurut
Rancangan Undang-Undang tetang Komisi Yudisial tersebut, terdiri dari
tujuh orang anggota. Jumlah ini tergolong kecil apabila dibandingkan dengan
negara-negara lain ynag juga mempunyai komisi-komisi independen. Di indonesia
tidak jelas kenapa kemudian angka ini menjadi pilihan dari perancang Rancangan
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial tersebut, padahal kalau melihat di beberapa negara Uni Eropa
jumla anggota Komisi Yudisial berkisar
antra 8 anggota sampai 24 anggota. Salah
satunya Swedia tercatat sebagai negara yang jumlah Komisi Yudisialnya paling
sedikit yaitu 8 anggota Sementara itu Italia merupakan negara yang
tercatat sebagai negara yang anggota
Komisi Yudisialnya terbanyak, yaitu 24 anggota.[8]
Menurut
penelitian Ahsan thohari (Lihat Ahsan
Thari idealnya jumlah anggota Komisi Yudisial di
indonesia tidak jauh berbeda dengan negara-negara yang telah di sebut di atas,
karena telah mepunyai pengalaman dan sejarah yang lebih panjang dari pada
Indonesia. Tentus saja dalam hal ini harus mempertimbangkan aspek-aspek
partikular sesuai dengan kebutuhan yang sedang di hadapi Indonesia.
3. Tempat
kedudukan komisi Yudisial di Indonesia
Pasal 3 Rancangan Undang- Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah
Agung menyatakan bahwa Komisi Yudisial
adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam menjalankan tugasnya
bebas dari campur tangan kekuasaan lainya. Menurut penelitian, ketentuan ini
kurang memberikan penjelasan terhadap setatus kelembagaan Komisi Yudisial. Oleh
karena itu, sebaiknya pasal ini meberikan ketentuan yang tegas bahwa Komisi
Yudisial merupakan lembaga negara setingkat presiden sebagaimana telah
dikemukankan di atas.
Sementara
itu, pasal pasal 3 ayat 2 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung
menyetakan bahwa Komisi Yudisial berkedudukkan di ibu Kota negara di Indonesia
dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia. Sedangkan ayat 2 Menyatakan
bahwa dalam menjalankan fungsinya di daerah, Komisi Yudisial di bantu oleh
perwakilan Komisi Daerah.
Menurut peneliti
Komisi yudisial (Lihat Thari ;2004) tidak ada yang perlu dikritik dari ketentuan ini, karena idealnya memang
Komisi Yudisial harus mempunyai perwakilan perwakilan di daerah mengangat
wewenangnya dalam rangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat,
serta perilaku hakim, yang mencakup hakim di semua jenis dan tingkatan
peradilan. Oleh karen atu, sangat tidak
munkin kalau Komisi Yudisial tidak mempunyai perwakilan di daerah. Apalagi
menurut catatan mahkamah Agung, jumlah hakim kurang lebih 6000 (enam ribu)
orang.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan identifikasi masalah
dan analisis yang telah di kemukakan di makalah di atas, maka kita dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut
1.
Alasan-alasan
utama sebagai penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial di berbagai negara adalah :
a.
Lemahnya
Monitoring yang intensif terhadap kekuasaan
kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja;
b.
Tidak ada adanya
lembaga yang menjadi penghubung antra kekuasaan pemerintah (exutive power)
dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman (Judisial power)
c.
Kekuasaan
kehakiman di anggap tidak mempunyai efisiensi dan efektifitas yang memadai
dalam menjalankan tugas apa bila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan
teknis non hukum.
d.
Rendahnya
kualitas dan tidak adanya konsistensi
lembaga peradilan, karena tidak diawasi
secara intensif oleh lembaga yang
benar-benar independen.
e.
Pola rekrukmen hakim yang dilakuakn terlalu
bias dengan maslah politik karena
lembaga yang mengusuklkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politi yaitu presiden dan parlemen.
2.
Peran-peran yang dapat dilakukan Komisi
Yudisial di berbagai negara dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan
kehakiman yang bebas dari pengaruh
kekuasaan lain diluarnya adalah :
a)
Melakukan
monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan melibatkan
unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya
memonitoring secara internal saja, sebab
dikhawatirkan menimbulkankan semangat
korp (esprit de corps), sehingga objektifitasnya di ragukan.
b)
Menjadi pelantara (mediator)
antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman . Dengan demikian,
lembaga peradilan tidak perlu lagi
mengurus persoalan-persoalan
teknis non-hukum karena semuanya
telah di tangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus
melakukan sendiri hubungan tersebut,
sehingga hal yang ini mengkibatkan adanya hubungan pertanggung jawaban dari lembaga
peradilan kepada Departemen Kehakiman.
Hubungan pertanggung jawaban ini menempatkan lembaga perdilan sebagai sumbordinasi
Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
c)
Meningkatkan
efisiensi dan efektifitas lembaga peradilan
dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang
tidak berkaitan lansung dengan spek hukum
seperti rekrutmen dan monitoring
hakim serta pengolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian lembaga
peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan
intelektualitasnya yang di perlukan untuk memutus suatu perkara.
d)
Menjaga
kuwalitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senan tiasa diawasi
secara intensif oleh lembaga yang
benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsintensi putusan lembaga
peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilain dan pengawasan yang ketat dari
Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan- putusan yang dianggap kontroversional
dan mencederai rasa keadilan masyarakat
dapat dimilimalisasikan kalau bukan di eliminasi.
e)
Meminilisasi
terjadinya politisasi terhadap rekrutmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan
dan merekrutnya adalah lembaga hukum, bukan lembaga politik lagi.
3.
Kelembagaan
Komisi Yudisial di Indonesia dengan
mengdopsi aspek-aspek positif pengaturan
Komisi Yudisial di negara lain yang telah disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia harus mempertimbangkan dan mengakomodasikan dua hal sebagai berikut :
a)
Lima
alasan utama(sebagaimana yang telah disebut
dalam kesimpulan angka satu) yang menjadi penyebab munculnya gagasan
Komisi Yudisial di berbagai negara lima peran( Sebagaimana yang telah di sebut
pada angka dua) yang dapat dilakukan
oleh b. b). Komisi Yudisial di
berbagai negara. Lima peran ( Sebagaimana yang telah di sebut pada angka dua)
yang dapat dilakukan oleh Komisi
Yudisial di berbagai negara.
.
Daftar Pustaka
_____ Thori A. Ahsin
“Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan” ELSAM Oktober 2004
_____Assidiqie Jimli, dan Mustafa Fakhri. “ mahkamah Kontitusi : komplikasi
ketentuan kontitusi”. Jakarta Pusat .1990.
_____Mason , Sir Anthony “Judicial Independence in the separation of power” vol.13,
No.2,1990.
_____kusnardi, mohd.,
Bintan R.Saragih, Susunan pembagian kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Cet.Vi,
Jakarta :Gramedia, 1989
_____Mahkamah
Agung Republik Indonesia “Kertas Kerja Pembaharuan Sistem pendidikan dan
Pelatiahan Hakim” Mahkaman Agung Jakarta
2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar