Hukum Dan Masail Haid
Oleh : Muhammad Hadidi
[ Mahasiswa Syariah Universitas Muhammadiyah malang ]
|
Dalam edisi terdahulu kami telah
menyebutkan tujuh dari hukum-hukum yang berkaitan dengan haid. Hukum yang
selanjutnya, kami sebutkan berikut ini :
Kedelapan : Cerai/Talak
Diharamkan
bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya dalam keadaan haid, berdasarkan
firman Allah Ta’ala :
“Wahai
Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri maka ceraikanlah mereka
pada saat mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya… .” (At Thalaq : 1)
Al
Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya membawakan ucapan Ali
bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala : “Fathalliquuhunna
li ‘iddatihinna”.
“Ibnu
Abbas menafsirkan : ((Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam
keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun
telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin
menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai
datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa
menceraikannya)).” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Ibnu
Katsir rahimahullah selanjutnya mengatakan : “Dari sini fuqaha (para
ahli fikih) mengambil hukum-hukum talak. Mereka membagi talak itu kepada
talak sunnah dan talak bid’ah. Talak sunnah adalah seseorang mentalak
istrinya dalam keadaan suci dan belum disetubuhi (ketika suci tersebut) atau
dalam keadaan istrinya telah dipastikan hamil. Sedangkan talak bid’ah adalah
seseorang mentalak istrinya ketika sedang haid atau ketika suci namun telah
disetubuhi, sehingga tidak diketahui apakah si istri hamil dengan sebab
hubungan badan tersebut atau tidak hamil… .” (Tafsirul Qur’anil Adhim
4/485)
Apabila
si istri dicerai dalam hari haidnya maka ia tidak dapat segera menghitung
masa ‘iddah-nya karena haid yang sedang ia alami tidak terhitung
sebagai ‘iddah. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa ‘iddah
wanita yang dicerai suaminya adalah tiga quru’ (tiga kali haid atau
tiga kali suci).
Allah
berfirman :
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’… .” (Al Baqarah : 228)
Demikian
pula apabila ia dicerai dalam keadaan suci setelah sebelumnya disetubuhi,
maka ia juga tidak dapat menghitung ‘iddah-nya secara pasti karena
belum diketahui apakah ia hamil dari hubungan itu hingga ia harus ber-’iddah
dengan kehamilannya ataukah ia tidak hamil hingga ia dapat ber-’iddah
dengan hitungan masa haidnya. Karena ada perbedaan antara ‘iddah-nya
wanita yang hamil dengan wanita yang tidak hamil. ‘Iddah wanita yang
hamil disebutkan dalam firman Allah Ta’ala :
“Dan
wanita-wanita yang hamil masa ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (Ath
Thalaq : 4)
Dengan
demikian apabila tidak terdapat keyakinan kapan masa ‘iddah dapat
dihitung maka diharamkan menjatuhkan talak kecuali setelah jelas perkaranya.
Apabila
seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid, maka si suami berdosa.
Ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala dan ia kembalikan si istri dalam
perlindungannya (rujuk) untuk ia ceraikan dengan cerai yang syar’i sesuai
dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Setelah ia rujuk, ia biarkan istrinya
sampai bersih dari haid tersebut (suci), kemudian ia tahan lagi (jangan
dijatuhkan talak) sampai datang haid berikutnya lalu suci. Setelah itu, ia
bisa memilih antara menceraikan atau tidak. Namun bila ia ingin menceraikan,
maka tidak boleh ia gauli istri tersebut dalam masa sucinya itu (yakni
dicerai sebelum digauli). (Risalah fi Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’.
Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin)
Dalil
dari penjelasan di atas disebutkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya
dengan sanad yang beliau bawakan sampai kepada Ibnu Umar radhiallahu
'anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar
menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam marah,
kemudian beliau bersabda :
“Perintahkanlah
ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya
suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid
berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak
diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang
diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin
dicerai, pent.).”
(HR. Bukhari nomor 5251 dan Muslim nomor 1, 2 Kitab Ath Thalaq)
Dalam
riwayat Muslim disebutkan : “Perintahkanlah dia agar merujuk istrinya,
kemudian hendaklah ia menceraikannya dalam keadaan suci atau (dipastikan)
hamil.”
Al Imam
Ash Shan’ani menyebutkan keharaman talak dalam masa haid ini dalam kitabnya Subulus
Salam (3/267), demikian juga Al Imam Asy Syaukani dalam Nailul
Authar (6/260)
Menurut
Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, ada tiga keadaan yang dikecualikan dalam
pengharaman talak ketika istri sedang haid (yakni dibolehkan mentalaknya
walaupun dalam keadaan haid) :
Pertama
: Apabila talak
dijatuhkan sebelum ia berduaan dengan si istri atau sebelum ia sempat
bersetubuh dengan si istri setelah atau selama nikahnya. Dalam keadaan
demikian tidak ada ‘iddah bagi si wanita dan tidak haram
menceraikannya dalam masa haidnya.
Kedua
: Apabila haid
terjadi di waktu istri sedang hamil dan telah lewat penjelasan hal ini.
Ketiga
: Apabila talak
dijatuhkan dengan permintaan istri dengan cara ia menebus dirinya dengan
mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan suaminya atau diistilahkan dengan
khulu’.
Hal ini
dipahami dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma. Disebutkan
bahwasannya istrinya Tsabit bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam lalu ia berkata : “Wahai Rasulullah, tidaklah aku
mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agamanya. Akan tetapi, aku tidak
suka kufur dalam Islam.”[1]
Maka
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada istrinya Tsabit :
[ “Apakah engkau mau mengembalikan
kebunnya kepadanya [yakni kepada Tsabit, pent]?” Wanita itu menjawab : “Ya.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada Tsabit : “Terimalah
kebun tersebut dan jatuhkan talak satu padanya.” (HR. Bukhari nomor 5273, 5374,
5275, 5276) ]
Dalam
hadits di atas Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menanyakan
kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.
Ibnu
Qudamah dalam Al Mughni ketika memberikan alasan dibolehkannya khulu’
(permintaan cerai dari wanita dengan mengembalikan mahar) pada masa haid,
beliau menyatakan : “Larangan dijatuhkannya talak ketika haid karena bermudlarat
bagi si wanita dengan panjangnya masa ‘iddah yang harus dia hadapi.
Sedangkan khulu’ dibolehkan untuk menghilangkan kemudlaratan bagi si wanita
berupa buruknya pergaulan dengan suami dan hidup bersama suami yang yang
tidak ia suka. Yang demikian ini lebih besar kemudlaratannya daripada
kemudlaratan panjangnya ‘iddah. Maka dibolehkan menolak kemudlaratan
yang lebih besar dengan kemudlaratan yang lebih kecil. Karena itulah Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam tidak menanyakan kepada istri yang mengajukan khulu’
tentang keadaannya (apakah ia haid atau suci, pent.).” (Al Mughni
7/247)
Kesembilan : Masa ‘Iddah Dihitung Dengan Haid
Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas bahwasannya ‘iddah wanita yang bercerai
dengan suaminya dan keduanya sudah pernah berduaan atau berhubungan adalah
tiga quru’, sedangkan wanita yang sedang hamil masa ‘iddah-nya
sampai melahirkan, sama saja apakah saat melahirkan masih panjang atau
pendek.
Apabila
si istri tidak mengalami haid karena usianya masih kecil misalnya atau si
istri telah menopause maka masa ‘iddah-nya selama tiga bulan
berdasarkan firman Allah :
“Wanita-wanita
yang sudah berhenti dari haid dari kalangan istri-istri kalian. Jika kalian
ragu, maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, demikian pula wanita-wanita yang
belum haid.”
(Ath Thalaq : 4)
Kata Asy
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin : “Apakah wanita tersebut masih mengalami haid namun
karena penyakit atau sedang menyusui hingga haidnya berhenti, maka ‘iddah-nya
seperti wanita yang mengalami haid yang normal walaupun masanya panjang untuk
datangnya haid itu hingga ia mulai ber-’iddah dengannya. Apabila sebab
terhentinya haid telah hilang, misalnya telah sembuh dari sakit namun haidnya
belum juga datang maka ia ber-’iddah selama satu tahun penuh sejak
hilangnya sebab tersebut. Ini merupakan pendapat yang shahih yang sesuai
dengan kaidah-kaidah syar’iyyah. ‘Iddah setahun tersebut dengan
perincian sembilan bulan darinya dalam rangka berjaga-jaga dari kemungkinan
hamil dan tiga bulan darinya untuk ‘iddah.” (Risalah fid Dima’)
Adapun
bila talak dijatuhkan setelah akad, sebelum berduaan dan bersetubuh maka
tidak ada ‘iddah bagi wanita tersebut berdasarkan firman Allah :
“Wahai
orang-orang yang beriman apabila kalian menikahi wanita-wanita Mukminah,
kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian sentuh maka tidak ada
kewajiban atas mereka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta
menyempurnakannya.”
(Al Ahzab : 49)
Kesepuluh : Bolehnya Wanita Haid Berdzikir Kepada Allah Dan Membaca Al
Qur’an
Al Imam
Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 971) meriwayatkan dengan sanadnya
sampai kepada Ummu ‘Athiyah radhiallahu 'anha, ia berkata :
“Kami
dulunya diperintah untuk keluar (ke lapangan shalat Ied, pent.) pada Hari
Raya sampai-sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya dan wanita-wanita
haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang (yang shalat), mereka
bertakbir dan berdo’a dengan takbir dan doanya orang-orang yang hadir. Mereka
mengharapkan berkah hari tersebut dan kesuciannya.” (Diriwayatkan juga oleh Muslim
nomor 10 : ‘Shalat Iedain’)
‘Aisyah radhiallahu
'anha berkata : “Aku datang ke Makkah dalam keadaan haid. Dan aku belum
sempat Thawaf di Ka’bah dan Sa’i antara Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal
itu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Perbuatlah sebagaimana yang
dilakukan seorang yang berhaji, hanya saja jangan engkau Thawaf di Ka’bah
sampai engkau suci (dari haid).”
(HR. Bukhari nomor 1650 dan Muslim nomor 120/ Kitab Al Hajj)
Dua
hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan untuk berdzikir
kepada Allah Ta’ala, dan Al Qur’an termasuk dzikir sebagaimana Allah
berfirman :
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikir (Al Qur’an) dan Kami-lah yang akan
menjaganya.”
(Al Hijr : 9)
Apabila
seorang yang berhaji dibolehkan membaca Al Qur’an maka demikian pula bagi
wanita haid, karena yang dikecualikan dalam larangan Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam kepada ‘Aisyah yang sedang haid hanyalah Thawaf.
Permasalahan
membaca Al Qur’an bagi wanita haid ini memang ada perselisihan di kalangan
ulama. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
Abu
Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca Al Qur’an dan ini merupakan
pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad, dan pendapat ini yang
dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka mengatakan : “Asal dalam perkara ini
adalah halal. Maka tidak boleh memindahkan kepada selainnya kecuali karena
ada larangan yang shahih yang jelas.”
Adapun
jumhur Ahli Ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid untuk membaca Al
Qur’an, akan tetapi boleh baginya untuk berdzikir kepada Allah. Mereka ini
mengkiaskan (atau menyamakan) haid dengan junub, padahal sebenarnya tidak ada
pula dalil yang melarang orang junub untuk membaca Al Qur’an.
Yang
kuat dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, dan ini bisa dilihat dalam Majmu’
Fatawa 21/460 dan Syarhuz Zad 1/291. (Nukilan dari Syarh
Umdatul Ahkam karya Abu Ubaidah Az Zaawii, murid senior Asy Syaikh
Muqbil bin Hadi Al Wadhi’i)
Asy
Syaikh Mushthafa Al Adhawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa’
(1/183-187) membawakan bantahan bagi yang berpendapat tidak bolehnya
wanita haid membaca Al Qur’an dan di akhir tulisannya beliau berkata : “Maka
kesimpulan permasalahan ini adalah boleh bagi wanita haid untuk berdzikir
kepada Allah dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang shahih yang
jelas dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang melarang dari
hal tersebut bahkan telah datang dalil yang memberi faedah bolehnya (wanita
haid) membaca Al Qur’an dan berdzikir sebagaimana telah lewat penyebutannya, Wallahu
A’lam.”
Kesebelas : Hukum Menyentuh Mushaf Bagi Wanita Haid
Al
Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/502) menyatakan bolehnya
wanita haid membawa Al Qur’an dan ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah.
Berbeda dengan pendapat jumhur yang melarang hal tersebut dan mereka
menyatakan bahwa membawa Al Qur’an dalam keadaan haid mengurangi pengagungan
terhadap Al Qur’an.
Berkata
Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi : “Mayoritas Ahli Ilmu berpendapat wanita haid
tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur’an. Namun dalil-dalil yang mereka bawakan
untuk menetapkan hal tersebut tidaklah sempurna untuk dijadikan sisi
pendalilan. Dan yang kami pandang benar, Wallahu A’lam, bahwasannya
boleh bagi wanita haid untuk menyentuh mushaf Al Qur’an. Berikut ini kami
bawakan dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang melarang wanita haid
menyentuh Al Qur’an. Kemudian kami ikutkan jawaban atas dalil-dalil tersebut
(untuk menunjukkan bahwasanya wanita haid tidaklah terlarang untuk menyentuh
mushaf, pent.) :
1)
Firman Allah Ta’ala :
“Tidaklah
menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al Waqi’ah : 79)
2) Sabda
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Tidaklah
menyentuh Al Qur’an itu kecuali orang yang suci.” (HR. Ath Thabrani. Lihat Shahihul
Jami’ 7880. Al Misykat 465)
Jawaban
atas dalil di atas :
Pertama
: Mayoritas Ahli
Tafsir berpendapat bahwa yang diinginkan dengan dlamir (kata ganti)
dalam firman Allah Ta’ala : ((Laa Yamassuhu)) adalah ‘Kitab Yang
Tersimpan Di Langit’. Sedangkan ((Al Muthahharun)) adalah ‘Para
Malaikat’. Ini dipahami dari konteks beberapa ayat yang mulia :
“Sesungguhnya
dia adalah Qur’an (bacaan) yang mulia dalam kitab yang tersimpan, tidaklah
menyentuhnya kecuali Al Muthahharun (mereka yang disucikan).” (Al Waqi’ah : 77-79)
Dan yang
menguatkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala :
“Dalam
lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan
para utusan yang mulia lagi berbakti (yakni para malaikat, pent.).” (Abasa : 13-16)
Inilah
pendapat mayoritas Ahli Tafsir tentang tafsir ayat ini.
Pendapat
Kedua : Tentang
tafsir ayat ini bahwasannya yang dimaukan dengan Al Muthahharun adalah
kaum Mukminin, berdalil dengan firman Allah :
“Hanyalah
orang-orang musyrik itu najis.”
(At Taubah : 28)
Dan
dengan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya
orang Muslim itu tidak najis.”
(HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116)
Dan Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melarang bepergian dengan membawa mushaf
ke negeri musuh, karena khawatir jatuh ke tangan mereka. (HR. Muslim dari
Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma)
Pendapat
Ketiga :
Bahwasannya yang dimaukan dengan firman Allah (yang artinya) : “Tidaklah
menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al Waqi’ah : 79) adalah
tidak ada yang dapat merasakan kelezatannya dan tidak ada yang dapat
mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang Mukmin.
Namun
adapula Ahli Tafsir (walaupun sedikit) yang berpendapat dengan pendapat
keempat, bahwa : “Yang dimaksudkan dengan Al Muthahharun adalah
mereka yang disucikan dari dosa-dosa dan kesalahan.
Dan
yang kelima : Al
Muthahharun
adalah mereka yang suci dari hadats besar dan kecil.
Sisi
keenam : Al
Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar (janabah).
Mereka
yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf memilih sisi yang pertama,
dengan begitu tidak ada dalil dalam ayat tersebut yang menunjukkan larangan
bagi wanita haid untuk menyentuh Al Qur’an. Sedangkan mereka yang melarang
wanita haid menyentuh Al Qur’an memilih sisi kelima dan keenam. Dan telah
lewat penjelasan bahwa mayoritas ahli tafsir menafsirkan Al Muthahharun
dengan malaikat.
Dalil
Kedua : Tidak aku
dapatkan isnad yang shahih, tidak pula yang hasan, bahkan yang mendekati
shahih atau hasan untuk hadits yang dijadikan dalil oleh mereka yang melarang
wanita haid menyentuh Al Qur’an. Setiap sanad hadits ini yang aku dapatkan,
semuanya tidak lepas dari pembicaraan. Lantas apakah hadits ini bisa
terangkat kepada derajat shahih atau hasan dengan dikumpulkannya semua
sanadnya atau tidak?
Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat, Asy Syaikh Albani rahimahullah
menshahihkannya dalam Al Irwa’ (91/158). Bila hadits ini
dianggap shahih sekalipun, maka pengertiannya sebagaimana pengertian ayat
yang mulia di atas. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/187-188)
Asy
Syaikh Al Albani rahimahullah sendiri ketika menjabarkan hadits di
atas beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘thahir’ adalah
orang Mukmin baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil ataupun
dalam keadaan haid. Wallahu A’lam.
Keduabelas : Bolehkah Wanita Haid Masuk Ke Masjid?
Dalam
masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan Ahli Ilmu, ada yang membolehkan
dan ada yang tidak membolehkan.
Asy
Syaikh Mushthafa Al Adawi membawakan dalil dari kedua belah pihak dan
kemudian ia merajihkan/menguatkan pendapat yang membolehkan wanita haid masuk
ke masjid. Berikut ini dalil-dalilnya :
Dalil
Yang Membolehkan
:
1) Al Bara’ah Al Ashliyyah, maknanya tidak ada larangan untuk
masuk ke masjid.
2) Bermukimnya wanita hitam yang
biasa membersihkan masjid, di dalam masjid, pada masa Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa
haidnya, dan haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.
3) Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu 'anha yang tertimpa haid
sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam :
“Lakukanlah apa yang diperbuat
oleh seorang yang berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari nomor 1650)
Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam tidak melarang ‘Aisyah untuk masuk ke masjid dan
sebagaimana jamaah haji boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid
(boleh masuk masjid).
4) Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam :
“Sesungguhnya orang Muslim itu
tidak najis.”
(HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)
5) Atha bin Yasar berkata : “Aku
melihat beberapa orang dari shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam duduk di masjid dalam keadaan mereka junub apabila mereka telah
berwudlu seperti wudlu shalat.” (Dikeluarkan oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya
dan isnadnya hasan)
Maka sebagian ulama mengkiaskan
junub dengan haid.
Mereka
yang membolehkan juga berdalil dengan keberadaan ahli shuffah yang
bermalam di masjid. Di antara mereka tentunya ada yang mimpi basah dalam
keadaan tidur. Demikian pula bermalamnya orang-orang yang i’tikaf di masjid,
tidak menutup kemungkinan di antara mereka ada yang mimpi basah hingga
terkena janabah dan di antara wanita yang i’tikaf ada yang haid.
Dalil
Yang Melarang
:
1) Firman Allah Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman
janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga
kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub
kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi.” (An Nisa’ : 43)
Mereka mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan kata ‘shalat’ dalam ayat di atas adalah tempat-tempat shalat,
berdalil dengan firman Allah Ta’ala :
“… niscaya akan runtuh
tempat-tempat ibadah ruhban Nasrani, tempat ibadah orang umum dari Nasrani,
shalawat, dan masjid-masjid.”
(Al Hajj : 40)
Mereka berkata : “((Akan runtuh
shalawat)) maknanya ((akan runtuh tempat-tempat shalat)).”
Di sini mereka mengkiaskan haid
dengan junub. Namun kata Asy Syaikh Mushthafa : “Kami tidak sepakat dengan
mereka karena orang yang junub dapat segera bersuci sehingga di dalam ayat
ini ada anjuran untuk bersegera dalam bersuci, sedangkan wanita yang haid
tidak dapat berbuat demikian.”
2) Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam kepada para wanita ketika beliau memerintahkan mereka untuk
keluar ke tanah lapangan pada saat shalat Ied. Beliau menyatakan :
“Hendaklah wanita-wanita haid
menjauh dari mushalla.”
(HR. Bukhari nomor 324)
Jawaban atas dalil ini adalah
bahwa yang dimaksud dengan ‘mushalla’ di sini adalah ‘shalat’ itu
sendiri, yang demikian itu karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
dan para shahabatnya shalat Ied di tanah lapang, bukan di masjid dan sungguh
telah dijadikan bumi seluruhnya untuk ummat ini sebagai masjid (tempat
shalat).
3) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam mendekatkan kepala beliau kepada ‘Aisyah yang berada di luar
masjid ketika beliau sedang berada di dalam masjid, hingga ‘Aisyah dapat
menyisir beliau dan ketika itu ‘Aisyah sedang haid.
Jawaban atas dalil ini adalah
tidak ada di dalamnya larangan secara jelas bagi wanita haid untuk masuk ke
dalam masjid. Sementara di masjid itu sendiri banyak kaum pria dan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentu tidak suka mereka sampai melihat
istri beliau.
4) Perintah-perintah yang ada untuk
membersihkan masjid dari kotoran-kotoran.
Dalam hal ini juga tidak ada
larangan yang tegas bagi wanita haid. Yang jelas selama wanita haid tersebut
aman dari kemungkinan darahnya mengotori masjid, maka tidak apa-apa ia duduk
di dalam masjid.
5) Hadits yang lafadhnya :
“Aku tidak menghalalkan masjid
bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi
2/442. Didlaifkan dalam Al Irwa’ 1/124)
Namun hadits ini dlaif (lemah)
karena ada rawi bernama Jasrah bintu Dajaajah.
“Sebagai akhir”, kata Asy Syaikh
Mushthafa, “kami memandang tidak ada dalil yang shahih yang tegas melarang
wanita haid masuk ke masjid, dan berdasarkan hal itu boleh bagi wanita haid
masuk masjid atau berdiam di dalamnya.” (Jami’ Ahkamin Nisa’
1/191-195, dengan sedikit ringkasan)
Ketigabelas : Wajibnya Mandi Setelah Suci Dari Haid
Apabila
wanita bersih dari haidnya maka ia wajib mandi dengan membersihkan seluruh
tubuhnya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada
Fathimah bintu Abi Hubaisy :
“Tinggalkanlah
shalat sekadar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan (jika telah
selesai haidmu) mandilah, dan shalatlah.” (HR. Bukhari nomor 325)
Yang
wajib ketika mandi ini adalah minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga
pokok rambut. Dan yang utama melakukan mandi sebagaimana yang disebutkan
dalam hasdits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika beliau ditanya
oleh seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam sebagaimana yang dikhabarkan oleh ‘Aisyah radhiallahu
'anha bersabda :
[ “Ambillah secarik kain yang diberi
misik lalu bersucilah dengannya”. Wanita itu bertanya : “Bagaimana cara aku
bersuci dengannya?” Nabi menjawab : “Bersucilah dengannya”. Wanita itu
bertanya lagi : “Bagaimana caranya?” Nabi berkata : “Subhanallah,
bersucilah”. ‘Aisyah berkata : Maka aku menarik wanita tersebut ke dekatku,
lalu aku katakan kepadanya : “Ikutilah bekas darah dengan kain tersebut”. (HR. Bukhari nomor 314 dan Muslim
nomor 60) ]
Atau
lebih lengkapnya disebutkan dalam riwayat Muslim (nomor
61), bahwasannya Asma bintu Syakl bertanya tentang tata cara mandi haid maka
beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengajarkan :
[ “Salah seorang dari kalian
mengambil air dan daun sidr (bidara), lalu ia bersuci dan
membaguskan bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke kepalanya dan ia gosok
dengan kuat hingga air tersebut sampai ke akar-akar rambutnya, kemudian ia
tuangkan air ke atasnya, kemudian ia ambil secarik kain yang diberi misik
(yakni sepotong kain yang diberi misik) lalu ia bersuci dengannya”.
Maka bertanya Asma : “Bagaimana cara ia bersuci dengannya?” Nabi menjawab :
“Subhanallah, engkau bersuci dengannya”. ‘Aisyah berkata kepada Asma dengan
ucapan yang pelan yang hanya didengar oleh orang yang diajak bicara : “Engkau
mengikuti bekas darah dengan kain tersebut”. (HR. Muslim nomor 61) ]
Al Imam
Nawawi rahimahullah ketika men-syarah hadits di atas menyatakan
: “Telah berkata Al Qadli ‘Iyadl rahimahullahu ta’ala : ((Bersuci yang
pertama (yang disebutkan dalam hadits ini) adalah bersuci dari najis-najis
dan apa yang terkena najis berupa darah haid)). Demikian dikatakan Al Qadli.
Namun yang lebih jelas, Wallahu A’lam, bahwasannya yang dimaksud
dengan bersuci yang pertama adalah wudlu sebagaimana hal ini disebutkan dalam
sifat/cara mandi (janabah) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” (Syarah
Shahih Muslim 4/15)
Hadits di atas juga menunjukkan
sunnahnya mengikuti bekas darah dengan kain/kapas yang diberi misik,
sementara perkara ini banyak dilalaikan oleh para wanita. Kata Al Imam Nawawi
rahimahullah : “Ulama berselisih tentang hikmah menggunakan misik
(ketika mandi haid). Pendapat yang shahih yang terpilih yang diucapkan oleh
jumhur ashab kami (ulama dalam madzhab Syafi’i) dan selain mereka
adalah maksud menggunakan misik itu untuk mengharumkan bekas tempat darah dan
mencegah/menghilangkan bau yang tidak sedap.”
Dan dipahami dari hadits riwayat
Muslim di atas bahwa penggunaan kain yang diberi misik tersebut dilakukan
setelah selesai mandi.
Selanjutnya Al Imam Nawawi berkata
: “Perkara ini disunnahkan bagi setiap wanita yang mandi dari haid atau
nifas, sama saja apakah ia memiliki suami atau tidak. Ia gunakan kain
bermisik tersebut setelah mandi. Apabila ia tidak mendapatkan misik maka
boleh ia menggunakan wewangian apa saja yang ia dapatkan. Apabila ia juga
tidak mendapatkan wewangian lain, maka disunnahkan baginya untuk menggunakan
tanah atau yang semisalnya dari benda-benda yang dapat menghilangkan aroma
tidak sedap. Demikian disebutkan oleh ashab kami. Apabila ia tidak
mendapatkan apapun, maka air cukup baginya. Akan tetapi, jika ia meninggalkan
pemakaian wewangian padahal memungkinkan bagi dirinya unutk memakainya maka
hal itu dimakruhkan baginya. Namun bila tidak memungkinkan maka tidak ada
kemakruhan bagi dirinya.” (Syarah Shahih Muslim 4/13-14)
Pemakaian wewangian ketika mandi
haid ini sangat ditekankan, sampai-sampai wanita yang sedang ber-ihdad[2]diberi rukhshah/keringanan
untuk mengoleskan wewangian pada daerah sekitar farji/kemaluan setelah
selesai mandi haid, sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari
(nomor 313) dari Ummu ‘Athiyah radhiallahu 'anha, ia berkata :
“Kami dilarang untuk ber-ihdad atas mayat lebih dari tiga hari kecuali
bila yang meninggal itu adalah suami maka ihdad-nya (istri) 4 bulan 10
hari. (Selama ber-ihdad) kami tidak boleh bercelak, tidak boleh
memakai wewangian, tidak boleh memakai pakaian yang dicelup kecuali pakaian ‘ashb
(dari kain Yaman, pent.). Dan kami diberi keringanan untuk menggunakan
sepotong kain yang diberi wewangian ketika salah seorang dari kami mandi
untuk bersuci dari haid. Dan kami juga dilarang untuk mengikuti jenasah.”
Apakah wajib bagi wanita yang
mandi haid untuk melepaskan ikatan rambutnya? Al Imam Muslim dalam Shahih-nya
(nomor 58) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ummu Salamah radhiallahu
'anha, bahwasannya ia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam :
[ “Aku adalah wanita yang sangat
kuat ikatan rambutku, apakah aku harus melepaskannya untuk mandi janabah?” Dalam riwayat lain : “… dan mandi haid?”[3] Beliau menjawab : “Tidak, hanya
saja cukup bagimu untuk menuangkan air di atas kepalamu tiga kali tuangan,
kemudian engkau alirkan air ke tubuhmu, dengan begitu maka engkau suci.” (HR.
Muslim nomor 58) ]
Al Imam Ash Shan’ani (dalam Subulus
Salam 1/142) dan Al Imam As Syaukani (dalam Nailul Authar
1/346) keduanya menyebutkan tidak wajibnya melepas ikatan rambut bagi
wanita ketika mandi wajib.
Kata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
: “Tidak wajib melepas ikatan rambut kepala ketika mandi kecuali bila
ikatannya sangat kuat sehingga tidak memungkinkan air mencapai pokok-pokok
rambut, berdasarkan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Muslim
(kemudian beliau menyebukan hadits yang tersebut di atas).” (Risalah
fid Dima’)
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah
berkata : “Yang shahih, tidaklah wajib bagi wanita untuk melepas ikatan
rambutnya ketika mandi haid berdalilkan keterangan yang datang dalam sebagian
riwayat Ummu Salamah yang dikeluarkan oleh Al Imam Muslim… .”
Jumhur ulama berpendapat apabila
air mencapai seluruh kepala bagian luarnya maupun dalamnya tanpa harus
melepas ikatan rambut maka tidak wajib melepasnya.
Berkata Asy Syaikh Muhammad bin
Ibrahim : “Yang kuat dalam dalil adalah tidak wajib melepas ikatan rambut
ketika mandi haid sebagaimana tidak wajib melepasnya ketika mandi janabah… .”
(Lihat Bulughul Maram min Adillatil Ahkam dengan catatan kaki yang
dinukil dari pembahasan Asy Syaikh Albani dan Asy Syaikh Abdullah Alu Bassam
serta sebagian ulama Salaf. Halaman 48-49)
Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi
menyatakan : “Termasuk perkara yang disunnahkan saja untuk wanita melepas
ikatan rambutnya ketika mandi haid, dan hal ini tidaklah wajib dan ini
merupakan pendapat mayoritas ahli fikih. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah
dalam Al Umm (1-227) mengatakan : ((Apabila seorang wanita
memiliki rambut yang diikat maka tidak wajib baginya untuk melepas ikatan
tersebut ketika mandi janabah. Dan mandinya dari haid sama dengan mandinya
dari janabah, tidaklah berbeda)).” Kemudian Asy Syaikh Mushthafa menyimpulkan
: “Hendaklah seorang wanita memastikan sampainya air ke pokok-pokok rambutnya
tatkala ia mandi haid, sama saja apakah dia dapat memastikan dengan melepas
ikatan rambut atau tanpa melepasnya. Apabila tidak dapat dipastikan sampainya
air ke pokok rambut kecuali dengan melepas ikatannya maka hendaklah ia
melepaskannya --tapi bukan karena melepas ikatan rambut itu hukumnya wajib--
hanya saja hal itu dilakukan agar air sampai ke pokok-pokok rambut.” (Jami’
Ahkamin Nisa’ 1/122)
Kesimpulan Tata Cara
Mandi Haid
1. Menyiapkan air dan daun sidr
atau yang bisa menggantikannya seperti sabun dan lainnya.
2. Berwudlu dengan baik.
3. Menuangkan air ke kepala lalu
digosok dengan sangat hingga air sampai ke adsar/pokok rambut (atau
mengenai seluruh kulit kepala).
4. Tidak wajib melepas ikatan rambut
kecuali bila melepas ikatan tersebut akan membantu untuk sampainya air ke
pokok rambut.
5. Menuangkan air ke seluruh tubuh.
6. Mengambil kain/kapas atau
sejenisnya yang telah diberi misik atau wewangian lain (bila tidak
mendapatkan misik), lalu mengoleskannya ke tempat-tempat yang tadinya dialiri
darah haid. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/123)
Apabila wanita haid telah suci di
tengah waktu shalat, wajib baginya untuk segera mandi agar ia dapat
menunaikan shalat tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak ada
air padanya atau ada air namun ia khawatir mudlarat (berbahaya) bila
memakainya atau ia sakit yang akan berbahaya bila ia memakai air, maka cukup
baginya bertayamum sebagai pengganti mandi hingga hilang darinya uzur. Maka
setelah itu ia mandi.
Sebagian wanita yang mendapatkan
suci di tengah waktu shalat mengakhirkan mandinya sampai waktu shalat yang
lain dan ia katakan tidak mungkin dapat menyempurnakan bersuci pada waktu
tersebut. Ucapan seperti ini bukanlah alasan dan bukan pula uzur karena
memungkinkan bagi dia untuk mandi sekedar terpenuhi yang wajib (dengan cukup
mengenakan air pada seluruh tubuh) dan ia menunaikan shalat pada waktunya. (Risalah
fid Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’. Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Masail Haid
1) Apa yang harus diperbuat oleh
seorang wanita bila ia melihat cairan berwarna kuning atau darah keluar dari farji-nya
sebelum tiba masa haid?
Asy Syaikh Abdullah bin Jibrin
ketika ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab : “Apabila seorang wanita
mengenali kebiasaan hari haidnya dengan hitungan atau dengan warna darah atau
dengan waktu, maka ia meninggalkan shalat di waktu kebiasaan tersebut.
Setelah suci ia mandi dan shalat. Adapun darah yang keluar mendahului darah
haid (sebelum datang waktu kebiasaan haid), maka teranggap darah fasid
(rusak/penyakit) dan ia tidak boleh meninggalkan shalat dan puasa karena
keluarnya darah fasid tersebut. Tetapi hendaklah ia mencuci darah
tersebut setiap waktu dan berwudlu setiap mau shalat dan ia tetap shalat
walaupun darah tersebut keluar terus menerus. Wanita yang mengalami seperti
ini teranggap seperti keadaannya wanita yang istihadlah.”
2) Apa yang harus diperbuat bila
pakaian yang dikenakan terkena darah haid?
Asma’ berkata : [ “Datang
seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam seraya
berkata : ‘Apa pendapatmu wahai Rasulullah apabila salah seorang dari kami
pakaiannya terkena darah haidnya, apa yang harus dia perbuat?’ Beliau Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam menjawab :
‘Hendaklah ia mengerik darah pada
pakaian tersebut, kemudian ia menggosoknya dengan air dan mencucinya.
(Setelah itu) ia dapat shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (HR. Bukhari nomor 227 dan Muslim
nomor 110/Kitab Ath Thaharah) ]
3) Wanita haid melihat dirinya telah
suci sebelum fajar namun ia belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar,
apakah ia boleh berpuasa pada hari itu?
Al Hafidh Ibnu Hajar menukilkan
tentang sisi perbedaan antara puasa dan shalat bagi wanita haid. Ia berkata :
“Wanita haid seandainya ia suci sebelum fajar dan ia berniat puasa maka sah
puasanya tersebut menurut pendapat jumhur. Puasa tersebut tidak tergantung
pada mandi berbeda dengan shalat (harus mandi terlebih dahulu apabila
seseorang ingin melaksanakan shalat).” (Jami’ Ahkamin Nisa’)
4) Wanita haid mendengarkan ayat
Sajadah, apakah ia boleh ikut sujud?
Apabila wanita haid mendengar ayat
Sajadah maka tidak diketahui adanya larangan baginya untuk sujud tilawah.
Bahkan boleh baginya sujud tilawah, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Az
Zuhri dan Qatadah. Wudlu bukanlah syarat untuk sujud tilawah. Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam pernah membaca surat An Najm maka beliau sujud dan ikut
sujud bersama beliau kaum Muslimin yang hadir, orang-orang musyrikin, jin,
dan manusia, sebagaimana hal ini disebutkan dalam riwayat Bukhari
(nomor 4862) dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma. (Jami’
Ahkamin Nisa’ 1/174)
5) Apa hukum menggunakan obat untuk
menghentikan haid?
Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata dalam Al Mughni (1/221) : “Telah diriwayatkan dari Imam
Ahmad rahimahullah bahwasannya beliau berkata : ((Tidak apa-apa
seorang wanita meminum obat untuk menghentikan haidnya, apabila obat yang
dipakai itu sudah dikenal)).”
Namun semua ini berputar pada
maslahat dan mudlarat, karena ada di antara obat penahan haid tersebut yang
memberi mudlarat bagi pemakainya. Maka dalam hal ini hendaklah si wanita
menyadari bahwa haid adalah ketetapan Allah bagi anak perempuan turunan Adam
hingga ia ridla dengan apa yang menimpanya. (Dinukil dari fatwa Asy Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
6) Seorang wanita keluar darah dari
farjinya melewati lama kebiasaan haidnya, lalu apa yang harus ia perbuat?
Misalnya kebiasaan haid seorang
wanita 6 hari, lalu suatu ketika bertambah menjadi 7, 8, atau 10 hari. Maka
ia melihat sifat darah yang keluar setelah 6 hari itu. Bila memang masih
seperti darah haid maka ia meninggalkan shalat dan puasa. Karena memang tidak
didapatkan batasan tertentu untuk hari-hari haid. Apabila darah yang keluar
itu warnanya dan aroma/baunya bukan seperti darah haid, maka ia mandi dan
shalat. Wallahu A’lam.
Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
ketika ditanyakan kepada beliau tentang masalah ini beliau menjawab :
“Apabila kebiasaan hari haid seorang wanita itu 6 atau 7 hari kemudian suatu
ketika lebih dari kebiasaannya menjadi 8, 9, 10, atau 11 hari (dan sifat
darahnya seperti darah haid, pent.), maka wanita tersebut tetap tidak boleh
shalat sampai ia suci. Yang demikian itu karena Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam tidak menetapkan batasan tertentu dalam hari-hari haid. Dan
Allah Ta’ala berfirman :
“Mereka bertanya kepadamu tentang
haid, katakanlah : ‘Haid itu adalah kotoran’ “ (Al Baqarah : 222)
Maka kapan saja darah itu keluar
dari farji, wanita yang mengalaminya tetap dikatakan haid sampai ia suci dan
mandi kemudian mengerjakan shalat. Apabila pada bulan berikutnya haidnya
datang kurang dari perhitungan hari pada bulan sebelumnya maka ia mandi
apabila telah suci. Yang penting kapan darah haid ada pada seorang wanita
maka ia meninggalkan shalat, sama saja apakah lama hari haidnya itu sama
dengan kebiasaannya yang dulu atau bertambah ataupun berkurang, dan apabila
ia suci maka ia shalat. (Jami’ Ahkamun Nisa’ 1/212-213)
7) Apabila seorang wanita suci
beberapa saat setelah fajar di bulan Ramadhan, apakah ia harus menahan diri
dari makan dan minum pada hari itu, apakah sah puasanya atau harus
mengqadlanya?
Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjawab
dalam kitabnya Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl : “Apabila
seorang wanita suci setelah terbit fajar maka dalam permasalahan menahan makan
dan minum bagi si wanita, ulama terbagi dalam dua pendapat :
Pertama : Wajib baginya untuk menahan dari
makan dan minum pada sisa hari itu, akan tetapi ia tidak terhitung melakukan
puasa hingga ia harus mengqadlanya di lain hari. Ini pendapat yang masyhur
dari madzhab Imam Ahmad.
Kedua : Tidak wajib baginya menahan makan
dan minum pada sisa hari tersebut karena pada awal hari itu ia dalam keadaan
haid hingga bila ia puasa maka puasanya tidak sah. Apabila puasanya tidak sah
maka tidak ada faidahnya ia menahan dari makan dan minum. Hari tersebut
bukanlah hari yang diharamkan baginya untuk makan dan minum karena ia
diperintah untuk berbuka pada awal hari (disebabkan haidnya), bahkan haram
baginya berpuasa pada awal hari tersebut. Puasa yang syar’i sebagaimana yang
sama kita ketahui adalah menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan
puasa dalam rangka beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari mulai
terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Pendapat yang kedua ini
sebagaimana yang engkau lihat lebih kuat dari pendapat pertama.” (Sittuna
Su’alan ‘an Ahkamil Haidl. Halaman 9-10)
8) Apakah wanita haid harus mengganti
pakaian yang dikenakannya setelah ia suci sementara ia tahu pakaian tersebut
tidak terkena darah atau najis?
Tidak wajib baginya mengganti
pakaian tersebut karena haid tidaklah menajisi badan. Hanyalah darah haid itu
menajisi sesuatu yang bersentuhan dengannya (mengenainya). Karena itu Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam memerintahkan para wanita apabila pakaian mereka
terkena darah haid untuk mencucinya dan setelah itu boleh dipakai shalat. (Sittuna
Su’alan ‘an Ahkamil Haidl. Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Halaman 21-22)
9) Adakah kafarah bagi
seseorang yang menggauli istrinya dalam keadaan haid?
Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma
meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang orang
yang menggauli istrinya dalam keadaan haid. Beliau bersabda :
“Hendaklah orang itu bersedekah
dengan satu dinar atau setengah dinar.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud,
Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Namun hadits ini diperselisihkan
apakah hukumnya marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam) atau mauquf (ucapan Ibnu Abbas saja, bukan
ucapan Nabi).
Al Imam Baihaqi rahimahullah
telah menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang mencukupi dalam kitabnya As
Sunanul Kubra (1/314-319) dan beliau menyebutkan dengan sanad
yang shahih sampai kepada Syu’bah bahwasannya Syu’bah rujuk dari pendapatnya
semula akan marfu’-nya hadits ini. Pada akhirnya Syu’bah menyatakan
hadits ini mauquf atas Ibnu Abbas (ucapan Ibnu Abbas).
Masalah seseorang menggauli
istrinya ketika haid maka ada dua keadaan :
1. Karena
yakin akan kehalalannya walaupun ia tahu dalil yang melarang. Orang seperti
ini berarti telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
2. Tahu
keharamannya tapi tidak dapat menahan dirinya. Dan ini terbagi lagi dalam dua
keadaan :
a. Ia lupa atau tidak tahu, maka
pelakunya tidaklah berdosa.
b. Ia melakukan dengan dorongan
dirinya sendiri maka jelas ia berbuat dosa besar.
Untuk point yang kedua ini
diperbincangkan apakah pelakunya harus membayar kafarah atau tidak.
Dalam hal ini ada dua pendapat :
1) Tidak
ada kewajiban kafarah baginya tapi cukup minta ampun kepada Allah.
Kata Al Imam Al Khathabi rahimahullah : “Berkata sebagian besar ulama
: ((Tidak ada kafarah baginya dan ia minta ampun kepada Allah. Mereka
menganggap hadits dalam permasalahan kafarah bagi yang menggauli istri
yang sedang haid itu adalah mursal atau mauquf atas Ibnu Abbas
dan tidak benar bila hadits tersebut dihukumi muttashil marfu’.”
Demikian pula dinukilkan dari Ibnu Qudamah dalam Al Mughni dari
mayoritas ulama bahwasannya tidak ada kafarah bagi pelakunya. Dan
pendapat ini dipegangi dalam madzhab Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan pendapat
Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Dihikayatkan pendapat ini oleh
Abu Sulaiman Al Khaththabi dari sebagian besar ulama. Ibnul Mundzir juga
menghikayatkan dari Atha’, Ibnu Abi Malikah, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Makhul,
Az Zuhri, Ayyub As Sikhtiyani, Abu Zinad, Rabi’ah, Hammad bin Abi Sulaiman,
Sufyan Ats Tsauri, dan Al Laits bin Sa’ad. (Jami’ Ahkamin Nisa’
1/181-182)
2) Dikenai
kafarah. Namun diperselisihkan lagi dalam hal jumlah kafarah-nya
:
a) Sebanyak satu dinar atau setengah
dinar, menurut pendapat Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Al Hasan Al Bashri,
Qatadah, Al Auza’i, Ishaq, Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat dan Syafi’i
dalam Al Qadim. (Syarh Umdatul Ahkam. Halaman 76. Az
Zaawii)
b) Bila masih keluar darah maka kafarah-nya
satu dinar, kalau sudah berhenti kafarah-nya setengah dinar. Ini
pendapatnya satu kelompok dari ahli hadits.
c) Kafarah-nya 1/10 dinar, menurut
pendapatnya Al Auza’i. (Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.
Halaman 54. Oleh Abul Walid Ibnu Rusyd Al Qurthubi)
d) Kafarah-nya membebaskan seorang budak,
menurut pendapat Said bin Jubair. (Syarh Al Umdah. Halaman 77. Az
Zaawii)
e) Kafarah-nya sama dengan kafarah
jima’ di siang hari Ramadlan, yaitu membebaskan budak atau puasa 2 bulan
berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Ini merupakan pendapatnya
Al Hasan Al Bashri. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/182)
Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi
berpendapat : “Yang benar adalah tidak ada kafarah bagi pelakunya, Wallahu
A’lam” (karena hadits Ibnu Abbas mauquf). Kemudian beliau
menukilkan ucapan Ibnu Hazm dalam Al Muhalla : “Masalah ((siapa
yang menggauli istrinya ketika haid)), maka sungguh ia telah bermaksiat
kepada Allah Ta’ala dan wajib baginya untuk bertaubat dan minta ampun
kepada-Nya. Dan tidak ada kafarah baginya dalam hal ini.” (Jami’
Ahkamin Nisa’ 1/182)
Wallahu A’lam Bishawwab.
Daftar Pustaka
1. Tafsirul Qur’anil Adhim. Al Hafidh Ibnu Katsir. Penerbit
Darul Faiha dan Darus Salam.
2. Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah
lin Nisa’.
Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin.
3. Subulus Salam. Al Imam Ash Shan’ani. Penerbit
Maktabah Al Irsyad. Shan’a.
4. Nailul Authar. Al Imam Asy Syaukani. Penerbit
Maktabah Al Imam.
5. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al
Asqalani. Penerbit Darul Haramain.
6. Al Mughni. Ibnu Qudamah Al Maqdisi.
Penerbit Darul Fikr.
7. Syarah Shahih Muslim. Al Imam An Nawawi. Maktabah Al
Ma’arif.
8. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam. Al Hafidh Ibnu Hajar Al
Asqalani. Maktabah Nazar Mushthafa Al Baz.
9. Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl. Asy Syaikh Shalih Al ‘Utsaimin.
Penerbit Dar Ibnu Khuzaimah.
10. As
Sunanul Kubra. Al Imam Al Baihaqi. Penerbit
Darul Fikr.
11. Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.
Abul Walid Ibnu Rusyd Al Qurthubi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
12. Jami’
Ahkamin Nisa’.
Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi.
13. Syarh
Umdatul Ahkam.
Asy Syaikh Abu Ubaidah Az Zaawii.
14. Shahih
Bukhari. Al
Imam Al Bukhari.
15. Shahih
Muslim. Al
Imam Muslim.
[1]
Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah : “(Maksud) ucapan istrinya Tsabit :
((Akan tetapi, aku tidak suka kufur dalam Islam)), yakni aku tidak suka
apabila aku tetap hidup bersamanya, aku akan jatuh dalam perkara yang
berkonsekuensi kekufuran.” Al Hafidh selanjutnya menukil ucapan Al Imam Ath
Thibi tentang ucapan istrinya Tsabit : “Makna : ((Aku mengkhawatirkan diriku
dalam Islam)), untuk terjatuh pada perkara yang menafikan/menyelisihi
hukumnya seperti perkara nusyuz, benci terhadap suami dan selainnya, yang
semuanya ini mungkin menimpa seorang wanita yang masih muda lagi cantik dan
ia benci dengan suaminya bila bertentangan/tidak sama dengan dirinya. Di sini
istrinya Tsabit memutlakkan perkara yang menafikan konsekuensi Islam dengan
kekufuran.” (Fathul Bari 9/483)
[2]
Meninggalkan perhiasan dan wewangian karena meninggalnya suami atau kerabat.
Lihat pembahasan hal ini dalam lembar Muslimah edisi sebelum
ini.
[3]
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah tentang sebagian riwayat Ummu
Salamah : “Yang shahih dalam hadits Ummu Salamah adalah sebatas penyebutan
mandi janabah tanpa menyertakan mandi haid… .” Asy Syaikh Albani rahimahullah
: “Penyebutan haid dalam hadits ini adalah syadz (artinya ganjil.
Hadits yang syadz termasuk hadits yang lemah, pent.) tidaklah tsabit.
(Lihat Bulughul Maram min Adillatil Ahkam dengan catatan kaki
yang dinukil dari pembahasan Asy Syaikh Albani dan Asy Syaikh Abdullah Alu
Bassam serta sebagian ulama Salaf. Halaman 48-49. Maktabah Nazar Mushthafa Al
Baz)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar