HUKUM BERWUDHU
UNTUK MEMEGANG AL-QUR’AN
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah Universitas Muhammadiyah Malang
عن عمربن حزم رضي الله عنه قال:ان النبي صلى الله عليه وسلم كتب الى
اهل اليمن كتا با وكا ن فيه: لا يمس القران الاطاهر(رواه الاثرم والدرقطنى)
Artinya: " Amir ibn Hazm
ra.menerangkan :” Bahwa nabi SAW, mengirim surat kepada penduduk yaman .Di
dalam suratnya terdapat perkataan “ Al qur’an tiada boleh di sentuh selain oleh
orang yang suci”(HR.Al -atsram dan Ad-
daraqutni)
PENJELASAN
HADIS:
Hadis [254] di
riwayatkan oleh al-atsram dan ad-daruqutni dari amir ibn hazm dari ayah nya
dari kakeknya.Hadits ini di perselisihkan oleh para muhaditsin .Kata Abu Daud:
saya tidak akan meriwayatkan hadis ini.Kata Ibnu Hazm surat yang terdapat pada
amir ibnu Hazm itu, tidak bisa di jadikan hujah.Demikian pula dari ahmad,bahwa
beliau berkata: saya harap hadis ini shahih.segolongan ahli hadits mensahihkan
hadis ini ,mengingat kemasyharannya , bukan mengingat sanadnya .Abul asybal
dalam syarah At-tahqiq menegaskan kesahihan sanad hadis ini .Hadis ini
menyatakan bahwasannya mushhaf ,hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang
tidak berhadas.
Kata ibnu
qudamah : Mushaf tidak boleh disentuh atau dipegang melainkan oleh orang-orang
yang suci dari kedua-dua hadas .pendapat ini diriwayatkan dari ibnu umar
,Al-hasan ,Atha, Thaus, Asy-Sya’bi dan al-Qasim Ibnu Muhammad.Dan ini pulalah
pendapat Malik , Asy-Syafi’i dan pengikut-pengikut Abu hanifah ,Daud
membolehkannya.
Ibnu abbas
,Ad-Dhahhak,Zaid ibn Ali dan Daud berpendapat bahwa orang-orang yang berhadast
kecil boleh menyentuh mushhaf .
Kata An-Nawawi
: Menurut Mazhab kami, Musshaf haram di sentuh dan di bawa oleh orang yang
berhadas.Demikianlah pendapat Abu Hanifah , Malik dan jumhur ulama.
Diriwayatkan
oleh Al-Hakam dari Hammad dan daud : boleh menyentuh dan membawannya .
An-nawawi berkata
: orang yang berhadast atau berjunub , boleh menulis musshaf , asal saja yang
di tulis itu tidak di pegang dan tidak dibawannya . dan apabila ditulis
al-qur’an di sesuatu kepingan papan ,kepingan itu hukumnya sebagaimana
al-qur’an.
Kata al-qadhi
husain husain : Di makruhkan bagi orang yang berhadas , Melekatkan jimat , di
bagian dadanya (maksudnya : ayat al- Qur’an yang di tulis dan di ikat di
badannya)
Walaupu
hadis yang di atas di pandang shahih , namun tak dapat juga kita jadikan alasan
untuk menidak bolehkan orang yang berhadas menyentuh al-qur’an ,Karena:
a.
Perkataan” yang suci” di sini adalah kata yang mempunyai beberapa
arti,antara lain;
1)
Yang suci dari syirik
2)
Yang suci dari hadas besar
3)
Yang suci dari hadas kecil, dan
4)
Yang suci dari najasah
Di sini kita tak dapat menunjuk kepada sesuatu makna
tersebut,sebelum ada keterangan yang di tunjukkan baginnya .
Menurut
kaidah ushul: tiap- tiap lafadz musytarak ( yang banyak maknannya )tidak boleh
di maknakan dengan seluruh maknanya , untuk menentukan makna yang di pakai ,
haruslah mempunyai dalil.Maka menentukan yang suci di sini dengan yang suci
dari hadast , perlu kepada keterangan .
b.
Orang yang mukmin walaupun ia sedang berhadast , atau berjanabah
zatnya tetap tidak najis.
Dan jika di
maksudkan :tidak boleh di pegang oleh orang yang musyrik , maka berita sahih
dari Nabi Muhammad SAW .seperti yang di riwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim,Bahwa beliau mengirim surat kepada
Heraclius , yang di dalamnya terdapat ayat –ayat Al qur’an .
c.
Sebagaimana pengertian hadis ini ,demikian pulalah pengertian ayat:
La yamassuhu illal mutthaharun “= tiadalah disentuh akan dia melainkan oleh
orang-orang yang disucikan .orang-orang yang disucikan itu,boleh diartikan
:malaikat ,boleh pula:orang yang telah bersih dari hadas ,najasah dan orang
syirik .Tak ada keterangan untuk menunjuk kepada sesuatu makna.
Lantaran itu, kita berpaham bahwa dimaksud dengan “ Tiada disentuh
akan dia melainkan oleh orang-orang yang disucikan “bahwa Al qur’an ini tidak
di pahamkan isinya selain oleh orang-orang yang telah suci,bersih
jiwanya.Demikianlah pemaknaan ayat ini.
PERBEDAAN PENDAPAT MADHAB
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah –kitab Ensiklopedia Fiqih-
disebutkan,
Orang
yang berhadats (hadats besar atau hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf
seluruh atau sebagiannya. Inilah pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari
hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ
إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Begitu
pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
لاَ تَمُسُّ
القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Tidak
boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.”
Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab
sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar
maupun kecil selama tidak menyentuhnya.
Yang
dimaksud menyentuh mushaf menurut mayoritas ulama adalah menyentuhnya dengan
bagian dalam telapak tangan maupun bagian tubuh lainnya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa menyentuh mushaf Al Qur’an
tidak dibolehkan oleh para ulama madzhab.
Menyentuh
Mushaf bagi Orang yang Berhadat Besar dan Kecil
Larangan menyentuh mushaf di sini berlaku bagi orang yang berhadats
besar seperti wanita yang sedang haidh, nifas dan orang yang junub. Mengenai
larangan menyentuh mushaf bagi yang berhadats besar terdapat riwayat dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Al Qosim bin Muhammad, Al Hasan Al Bahsri, ‘Atho’,
dan Asy Sya’bi. Bahkan sampai-sampai Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak
mengetahui ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud (salah satu ulama
Zhohiriyah).”
Begitu pula larangan menyentuh mushaf di sini berlaku bagi orang
yang berhadats kecil seperti orang yang sehabis kentut atau kencing dan belum
bersuci. Inilah mayoritas pendapat pakar fiqih. Bahkan Ibnu Qudamah
sampai-sampai mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada ulama yang menyelisihi
pendapat ini kecuali Daud Azh Zhohiri.”
Al Qurthubi mengatakan bahwa ada sebagian ulama yang membolehkan
menyentuh mushaf tanpa berwudhu.
Al Qolyubi, salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan, “Ibnu Sholah
menceritakan ada pendapat yang aneh dalam masalah ini yang menyebutkan tidak
terlarang menyentuh mushaf sama sekali (meskipun keadaan hadats kecil maupun
hadats besar)”
Orang yang berhadats di sini diperbolehkan menyentuh Al Qur’an
setelah mereka bersuci, untuk hadats besar dengan mandi wajib sedangkan hadats
kecil dengan berwudhu.
Menyentuh
Mushaf Al Qur’an dengan Pembatas Ketika Berhadats
Tentang menyentuh mushaf Al Qur’an dengan pembatas ketika berhadats,
maka terdapat perselisihan di antara para ulama. Ada ulama yang membolehkan dan
ada yang tidak.
Namun yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan menyentuh
mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan pembatas selama pembatas
tersebut bukan bagian dari mushaf (artinya: tidak dibeli beserta mushaf seperti
sampul). Seperti yang digunakan sebagai pembatas di sini adalah sarung tangan.
Karena larangan yang dimaksud adalah larangan menyentuh mushaf secara langsung.
Sedangkan jika menggunakan pembatas, maka yang disentuh adalah pembatasnya dan
bukan mushafnya. Demikian pendapat yang dipilih oleh ulama Hambali.
Membawa
Mushaf Al Qur’an Ketika Berhadats Tanpa Menyentuh
Misalnya, saja seorang yang dalam keadaan berhadats membawa mushaf
Al Qur’an di tasnya, tanpa menyentuhnya secara langsung. Apakah seperti ini
dibolehkan?
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan. Yaitu
dibolehkan bagi yang berhadats (seperti orang yang junub) untuk membawa mushaf
tanpa menyentuhnya secara langsung, dengan menggunakan pembatas yang bukan
bagian dari Al Qur’an. Karena seperti ini bukanlah disebut menyentuh. Sedangkan
larangan yang disebutkan dalam hadits adalah menyentuh mushaf dalam keadaan
tidak suci. Sedangkan di sini sama sekali tidak menyentuh. Inilah pendapat
ulama Hanafiyah, ulama Hanabilah dan menjadi pendapat Al Hasan Al Bashri,
‘Atho’, Asy Sya’bi, Al Qosim, Al Hakam dan Hammad.
Yang
Dibolehkan Menyentuh Mushaf Meskipun dalam Keadaan Berhadats
-
Pertama: Anak kecil.
Ulama Syafi’iyah mengatakan, “Tidak terlarang bagi anak kecil yang
sudah tamyiz[8] untuk menyentuh mushaf walaupun dia dalam keadaan hadats besar.
Dia dibolehkan untuk menyentuh, membawa dan untuk mempelajarinya. Yaitu tidak
wajib melarang anak kecil semacam itu karena ia sangat butuh untuk mempelajari
Al Qur’an dan sangat sulit jika terus-terusan diperintahkan untuk bersuci.
Namun ia disunnahkan saja untuk bersuci.”
-Kedua: Bagi guru dan murid yang butuh untuk mempelajari Al Qur’an.
Dibolehkan bagi wanita haidh yang ingin mempelajari atau mengajarkan
Al Qur’an di saat jam mengajar untuk menyentuh mushaf baik menyentuh seluruh
mushaf atau sebagiannya atau cuma satu lembaran yang tertulis Al Qur’an. Namun
hal ini tidak dibolehkan pada orang yang junub. Karena orang yang junub ia
mudah untuk menghilangkan hadatsnya dengan mandi sebagaimana ia mudah untukk
berwudhu. Beda halnya dengan wanita
haidh, ia tidak bisa menghilangkan hadatsnya begitu saja karena yang ia alami
adalah ketetapan Allah. Demikian pendapat dari ulama Malikiyah.
Akan tetapi yang jadi pegangan ulama Malikiyah, boleh bagi orang
yang junub (laki-laki atau perempuan, kecil atau dewasa) untuk membawa Al
Qur’an ketika mereka hendak belajar karena keadaan yang sulit untuk bersuci
ketika itu. Ia dibolehkan untuk menelaah atau menghafal Al Qur’an ketika itu.
Yang lebih tepat, untuk laki-laki yang junub karena ia mudah untuk
menghilangkan hadatsnya, maka lebih baik ia bersuci terlebih dulu, setelah itu
ia mengkaji Al Qur’an. Adapun untuk wanita haidh yang inginn mengkaji Al
Qur’an, sikap yang lebih hati-hati adalah ia menyentuh Al Qur’an dengan
pembatas sebagaimana diterangkan pada pembahasan yang telah lewat. Wallahu
a’lam.
Menyentuh
Kitab-kitab Tafsir dalam Keadaan Berhadats
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa diharamkan menyentuh mushaf jika
isinya lebih banyak Al Qur’an daripada kajian tafsir, begitu pula jika isinya
sama banyaknya antara Al Qur’an dan kajian tafsir, menurut pendapat yang lebih
kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak kajian tafsir daripada Al Qur’an, maka
dibolehkan untuk menyentuhnya.
An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab
tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an
sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa
pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa
disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Menyentuh
Kitab Fiqh dan Kitab Hadits dalam Keadaan Berhadats
Menyentuh kitab fiqh dibolehkan dalam keadaan berhadats karena
kitab tersebut tidaklah disebut mushaf dan umumnya, isinya lebih banyak selain
ayat Al Qur’an. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Begitu pula dengan kitab hadits diperbolehkan untuk menyentuhnya
walaupun dalam keadaan berhadats. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Intinya, jika suatu kitab atau buku tidak disebut mushaf dan isinya
lebih banyak tulisan selain ayat Al Qur’an, maka tidak mengapa orang yang
berhadats menyentuhnya.
Menyentuh
Al Qur’an Terjemahan dalam Keadaan Berhadats
Jika yang disentuh adalah terjemahan Al Qur’an dalam bahasa non
Arab, maka itu tidak disebut Al Qur’an. Namun kitab atau buku seperti ini
disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu
tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti ini karena hukumnya sama
dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak
atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh
dalam keadaan berhadats sebagaimana keterangan yang telah lewat.
Menyentuh
Sampul Mushaf dan Bagian Lainnya
Mayoritas ulama menyatakan bahwa termasuk yang terlarang ketika
berhadats di sini adalah menyentuh sampul mushaf yang bersambung langsung
dengan mushaf, halaman pinggirannya yang tidak ada tulisan ayat di sana,
celah-celah ayat yang tidak terdapat tulisan dan bagian lainnya dari mushaf secara
keseluruhan. Karena bagian-bagian tadi semuanya termasuk mushaf dan ikut serta
ketika dibeli, sehingga dikenai hukum yang sama.
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Pendapat yang menyatakan tidak terlarang
menyentuh sampul mushaf ketika hadats lebih dekat pada qiyas (analogi).
Sedangkan pendapat yang menyatakan terlarang, alasannya adalah untuk
mengagungkan mushaf Al Qur’an. Pendapat yang menyatakan terlarang, itulah yang
lebih tepat.”
Berikut pembahasan terperinci mengenai menyentuh mushaf tanpa wudhu
sesuai dengan pendapat para imam mazhab:
-
Mazhab Maliki
diperbolehkan
menyentuh mushaf seluruhnya atau sebagiannya dengan syarat sebagai berikut:
1. Tertulis dengan tidak menggunakan bahasa arab, adapun jika
tertulis dengan menggunakan bahasa arab maka tidak boleh menyentuhnya dengan
keadaan apapun, walaupun tertulis dengan khat Kufiy atau Maghribiy atau
selainnya.
2. Menjadi ukiran dalam mata wang, sama ada dalam dinar, dirham
atau selainnya (yang menjadi alat untuk pertukaran)
3. Diperbolehkan memegang qur’an seluruhnya atau sebagiannya untuk
menyelamatkan (terjatuh dilantai atau dimana saja) tanpa memiliki wudhu.
Sebagian dari para Malikiah mengatakan diperbolehkan memegangnya apabila qur’an
itu hanya sebagian saja dan jika sempurna qur’an tersebut maka dilarang. Dan
syarat memegangnya ada dua: 1. hendaknya orang yang memegang qur’an adalah
muslim, 2. hendaknya qur’an tersebut tertutup (terbungkus) agar tidak ternodai
dari segala macam kotoran.
4. Yang menyentuhnya atau yang memegangnya adalah seorang guru atau
murid, dan tidak ada perbezaan apakah mereka itu sudah mukallaf atau belum,
begitu juga wanita yang haidh dan yang selain itu.
Maka,
bagi Maliki, selain dari empat syarat tadi, orang yang tidak memiliki wudhu
tidak diperbolehkan untuk menyentuh atau memegang qur’an, sama ada menggunakan
alas ataupun tidak. Begitu juga tidak diperbolehkan memegang sesuatu yang
diatasnya ada qur’an (bantal, kursi, kotak, dll). Dan apabila qur’an tersebut
dicampurkan dengan barang-barang lain dan dimasukkan dalam satu tempat (kardus)
maka diperbolehkan untuk memegang tempat tersebut.
Adapun
membaca qur’an tanpa memegangnya diperbolehkan bagi orang yang tidak memiliki
wudhu akan tetapi lebih afdhol agar memiliki wudhu.
-
Hanabilah(mazhab Hanbali)
Apabila orang yang menyentuh qur’an atau yang membawanya dan tidak
memiliki wudhu maka hendaknya qur’an tersebut diberikan bungkus (diletakkan
dalam kantong, sapu tangan, dll), atau diletakkan dalam kotak, atau diletakkan
dalam suatu tempat yang tempat tersebut mudah untuk dipindah-pindahkan (contoh
didalam rumah, qur’an tersebut diletakkan didalam almari, sehingga mudah saja
qur’an diletakkan dimana tempat sama ada itu disengaja untuk menyentuhnya
ataupun tidak), maka dalam keadaan tersebut dibolehkan untuk memegang qur’an
tanpa memiliki wudhu. Diperbolehkan juga tanpa wudhu memegang qur’an untuk
menyelamatkan dengan syarat menjadikan sesuatu dari yang bersih dan suci
sebagai pelindungnya dari hal-hal yang kotor dan najis. Anak yang belum
mukallaf (belum baligh) tidak diwajibkan berwudhu untuk menyentuh atau memegang
qur’an, akan tetapi diwajibkan atas walinya (orang tua) untuk memerintahkannya
untuk berwudhu sebelum menyentuh, memegang, atau membawa qur’an.
-
Mazhab Hanafi
Diperbolehkan
menyentuh qur’an seluruhnya atau sebagiannya atau tulisannya dengan syarat
sebagai berikut:
1. Dalam keadaan darurat, seperti apabila qur’an terjatuh kedalam
air dan akan tenggelam atau akan terbakar, maka dibolehkan untuk memegang
qur’an untuk menyelamatkan walaupun tanpa wudhu.
2. Hendaknya qur’an tersebut terbungkus (diletakkan dalam kantong,
dll).
3. Yang menyentuhnya adalah orang yang belum baligh dengan tujuan
untuk mempelajari qur’an . Adapun orang sudah baligh dan orang yang haidh,
entah sebagai guru ataupun murid tidak diperbolehkan memegang qur’an.
4. Muslim, maka tidak diperbolehkan bagi selain muslim untuk
memegang qur’an. Menurut pendapat Muhammad (pengikut mazhab Hanafi) :
dibolehkan selain muslim memegang qur’an apabila telah mandi terlebih dahulu,
adapun jika selain muslim menghafal dari qur’an tidak dilarang. Sehingga
apabila tidak sesuai dengan syarat ini. Maka tidak dibolehkan bagi orang yang
tidak suci dan tidak berwudhu untuk menyentuh qur’an ( dengan menggunakan
anggota tubuh manapun). Adapun membaca qur’an tanpa mushaf maka dibolehkan bagi
orang yang tidak memiliki wudhu, dan diharamkan bagi orang yang junub dan
haidh, akan tetapi mustahab (digalakkan sekali) untuk berwudhu terlebih dahulu
sebelum membaca qur’an.
Makruh
menyentuh tafsir tanpa wudhu, sama ada dalam bentuk kitab fiqh, hadis dan lain
sebagainya dibolehkan tanpa wudhu kerana hal ini masuk dalam hal Rukhsoh
(peringanan).
-
Mazhab Shafie:
Dibolehkan
orang yang tidak wudhu menyentuh, membawa seluruh qur’an atau sebagiannya
dengan syarat sebagai berikut
1. Membawanya hirzan (menjaga).
2. Tertulis (terukir) dalam dirham, dinar atau junaih.
3. Qur’an tersebut tertulis dalam buku-buku pelajaran.
Adapun
tafsir dibolehkan menyentuhnya tanpa wudhu dengan syarat tafsir lebih banyak
daripada qur’an, dan jika qur’an lebih banyak daripada tafsir maka tidak boleh
menyentuhnya apabila tidak memiliki wudhu.
4. Ayat qur’an tertulis dalam pakaian, seperti contoh pakaian yang
diletakkan pada ka’bah (kiswah untuk ka’bah).
5. Memegangnya untuk mempelajarinya, maka dibolehkan bagi walinya
agar membiarkan untuk memegangnya dan membawanya untuk belajar walaupun telah
dihafalnya. Apabila tidak sesuai dengan syarat-syarat diatas maka diharamkan
untuk menyentuh qur’an, walaupun hanya satu ayat saja.
1. Hukum memegang atau menyentuh al-Qur'an tanpa wudhu' adalah
haram kecuali dalam keadaan darurat seperti menyelamatkannya daripada kebakaran
,menjaganya dsb.
2. Yang dimaksudkan dengan al-Qur'an ialah mashaf al-Qur'an itu
sendiri. oleh itu, tafsir al-Qur'an boleh dipegang tanpa wudhu' jika kandungan
tafsirnya lebih banyak daripada ayat-ayat al-Qur'an di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar