Jilbab
Yang Membebaskan
|
oleh: Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah Semister III FAI UMM
|
Catatan:
Pada tanggal 4 Juni 2003 yang lalu, website Jaringan
Islam Liberal memuat sebuah tulisan mengenai jilbab yang berjudul Kritik
Atas Jilbab yang ditulis oleh Nong Darol Mahmada. Berikut ini, kami sarikan
beberapa poin penting dari tulisan Nong Darol Mahmada tersebut.
Nong Darol Mahamada memulai tulisannya dengan pertanyaan
“Benarkah jilbab itu adalah syariat Islam?” Kemudian, dengan menelaah buku “Kritik
Atas Jilbab” karya Muhammad Said Al-Asymawi yang diterbitkan oleh
JIL bulan April 2003, Nong Darol menemukan jawabannya, yaitu sebagai berikut.
“Sebenarnya konsep hijab bukanlah milik Islam. Dalam
kitab Taurat, Injil, bahkan sebelum munculnya agama-agama Samawi, (seperti
zaman Asyria), tradisi penggunaan jilbab sudah dikenal. Pelembagaan hijab dalam
Islam didasarkan pada ayat 24 Surat An-Nur. Menurut Nong, kalimat dalam ayat
itu “hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” adalah
merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab jahiliah karena menurut
tafsir Ibnu Katsir, perempuan zaman jahiliah biasa memperlihatkan lehernya.
Artinya, ayat jilbab di atas bersifat kondisional.”
Lalu, dengan mengutip Abu Syuqqah, Nong menulis bahwa
kalimat “yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal…” dalam
ayat 33:59, menunjukkan bahwa maksudnya, penggunaan jilbab adalah untuk
membedakan perempuan merdeka dan perempuan budak. Bahkan lebih jauh lagi, Nong
mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan ambiguitas Islam dalam melihat posisi
budak.
Berikut ini tanggapan atas tulisan Nong Darol Mahmada
tersebut. Tulisan ini sudah pernah dikirim ke website JIL, namun hingga kini
tidak pernah dimuat.
Selamat membaca!
***
Sayang sekali, saya tidak (atau belum) bisa mendapatkan
buku “Kritik Atas Jilbab” yang ditulis M.Said Al-Asymawi. Namun, membaca
tulisan Nong Darol Mahmada yang diakuinya berdasarkan pengalaman subyektifnya,
saya jadi tergelitik untuk berbagi pengalaman subyektif saya sendiri. Dan
mungkin, pengalaman ini cukup menarik dibaca karena saya sudah empat tahun
hidup di Iran, sebuah negeri yang, kesannya, “serba hitam”.
Pertama kali saya datang ke Iran empat tahun yang lalu,
saya bertanya-tanya, apakah saya akan diwajibkan ber-chadur (kain hitam
yang diselubungkan di seluruh tubuh kecuali muka)? Ternyata benar, semasa saya
belajar bahasa Parsi di Int’l Univ. Of Imam Khomeini, kami-kami mahasiswa
asing, apapun agama dan mazhabnya, wajib ber-chadur. Baru sebulan
belajar, ada beberapa mahasiswa Kristen asal Afrika mempelopori surat protes
atas kewajiban pemakaian chadur terhadap mahasiswa asing. Alasannya, wong
orang Iran saja tidak wajib ber-chadur mengapa mahasiswi asing
diwajibkan? Akhirnya, kami dibebaskan dari chadur.
Namun, lulus kuliah bahasa Parsi, saya pindah ke Tehran
University, saya kembali diikat oleh kewajiban ber-chadur ini. Saya
masuk fakultas teologi dan semua mahasiswi teologi wajib ber-chadur.
Sebagian mahasiswi Iran dengan patuh mengenakan chadur di lingkungan
kampus, tapi, di luar kampus, chadur-nya dilepas dan dimasukkan ke tas
(dan ini pun terkadang saya lakukan karena saya merasa ribeut ber-chadur).
Chadur memang tidak diwajibkan oleh pemerintah Iran, yang wajib adalah
berjilbab. Semua perempuan di atas sembilan tahun, apapun agamanya, apapun
warga negaranya, yang berada di Iran harus mengenakan jilbab bila keluar rumah.
Inipun, akhir-akhir ini tidak begitu dipatuhi lagi oleh banyak perempuan
Iran (khusunya di Teheran). Sebagian dari mereka kini lebih suka mengenakan
jilbab ala Mbak Tutut, artinya sebagian rambutnya tetap terlihat. Mode baju
yang semakin ketat juga mulai meraja-lela, sampai-sampai akhir-akhir ini
pemerintah mengadakan razia ke toko-toko baju dan menyita baju-baju yang
dianggap tidak sesuai syariat.
Walhasil, Iran memang tidak bisa dijadikan contoh sebagai
negara yang –secara praktis-- benar-benar ketat menerapkan aturan hijab. Tapi,
ada satu bukti tak terbantahkan yang berhasil ditunjukkan Iran, yaitu: jilbab
dihadirkan bukan untuk mengekang perempuan. Apa buktinya? Di Iran, semua
lapangan pekerjaan bisa dipegang oleh perempuan, mulai dari wakil presiden
(menjadi presiden memang belum pernah terjadi, meskipun dibenarkan oleh
undang-undang), pilot, insinyur, dokter, sopir taksi, petani, penyanyi,
olahragawan, dan bintang film. Jangan bayangkan bahwa film Iran berkisar pada
tema-tema religius atau diperankan anak-anak melulu sebagaimana beberapa film
pemenang festival yang pernah diputar di Indonesia. Tema film apapun, termasuk
kisah cinta ala Rano Karno dan Yessi Gusman bisa dibuat di Iran dengan bintang
film berjilbab atau ber-chadur sekalipun. Tentu saja adegan pelukan dan ciuman
antar bintang film tidak dilakukan, tapi itu sama sekali tidak mengurangi
keseruan—kecuali kalau niat kita menonton film adalah menyaksikan adegan-adegan
panas demi memuaskan nafsu syahwat. Pada Asian Games di Busan yang lalu,
seorang perempuan Iran –lengkap dengan jilbabnya—berhasil meraih medali
perunggu taekwondo.
Karena itu, kalimat yang ditulis Nong “Bila jilbab itu
wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar....Implikasinya, perempuan tidak
bisa melakukan apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba
manusia.” jelas bertentangan dengan realitas di sebuah negara yang jilbab
bukan saja dianggap sebagai kewajiban agama, tetapi juga diwajibkan oleh
pemerintah.
Meminjam logika Murtadha Muthahhari (di bukunya “Hak-Hak
Wanita dalam Islam”), bila perempuan diwajibkan oleh Islam untuk
berkurung diri di rumah, tidak perlu ada aturan berjilbab. Buat apa? Toh yang
melihat si perempuan hanya suaminya sendiri atau ayahnya. Jilbab itu justru dipakai
bila perempuan akan keluar rumah. Artinya, wajib jilbab berarti ‘wajib’ keluar
rumah dan wajib beraktivitas untuk memaksimalkan potensi kemanusiaannya.
Nah, bila diskusi ini diteruskan dari poin ini, mungkin akan melebar ke
mana-mana. Perkenankan saya agak “meng-ilmiahkan” tulisan saya ini. Namun, saya
tidak mau bersusah payah adu argumentasi ayat Quran atau hadis (atau,
sejujurnya, saya sedang malas membuka-buka buku-buku agama). Bisa dianalogikan
dengan orang Islam dan Kristen saling beradu argumen tentang kebenaran agamanya
masing-masing. Si Muslim menyodorkan ayat-ayat Quran sebagai argumennya,
sementara si Kristen menyodorkan ayat-ayat Injilnya. Jelas tidak akan ada
titik temu. Kalimat terakhir mereka akan berbunyi: bagimu agamamu, bagiku
agamaku. Diskusi antara mereka berdua hanya bisa mencapai titik temu bila alat
yang dipakainya adalah alat yang universal, dimiliki semua orang dari semua
agama, yaitu akal.
Tulisan saya ini pun hanya akan memberikan argumentasi mantiqi
(logika, akal). Karena, mungkin saya dan Nong, meskipun sama-sama muslim, tidak
sepakat dalam masalah teologis, masalah penafsiran ayat, hadis, sumber-sumber
hadis mana yang bisa dipercaya, dan sejenisnya. Jadi, tidak ada gunanya
berdebat dari sudut ini. Setuju?
Premis pertama yang harus sama-sama diakui ketika kita ingin membicarakan
masalah jilbab adalah apakah Islam itu agama hukum (syariat) atau bukan?
Artinya, apakah kita mengakui Islam itu adalah agama dengan seperangkat aturan
hukum atau tidak? Bila tidak, jilbab malah sama sekali tidak perlu dibahas.
Buat apa? Ketika kita menganggap bahwa ayat-ayat Al-Quran tidak bisa dijadikan
landasan utama batasan atau hukum – atau dalam istilah Ulil Abshar-Abdalla
dalam artikelnya Agama, Akal, dan Kebebasan, wahyu hanyalah sekedar ”...membawa
suatu wawasan tertentu mengenai yang baik dan yang jahat. Wahyu dapat
mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk
dapat lebih memahami batas-batas. “—adalah non-sense membicarakan aspek-aspek
hukum dalam Islam. Artinya, sah-sah saja bila kita menafikan semua aturan yang
(dianggap) ada dalam Islam. Tidak perlu kita capek-capek sholat lima kali
sehari semalam bila kita tidak meyakini adanya syariat itu. Tidak perlu takut
dianggap kafir, karena istilah kafir itupun akan menjadi bias dalam konteks
ini.
Murtadha Muthhari dalam bukunya Keadilan Tuhan menulis
bahwa orang yang tidak kenal Tuhan sekalipun bisa masuk surga bila memang orang
itu telah mengerahkan segala daya upayanya untuk menemukan Tuhan, tapi tetap
tak bertemu dengan Tuhan.
Bila kita sudah menyepakati bahwa Islam adalah agama yang
memberikan segenap aturan yang berupa syariat, mana yang boleh, mana yang
tidak, (dengan pembahasan filosofis yang panjang, dan saya kira amat dangkal
bila disimpulkan “O...kalau begitu, Islam itu hanya buat keledai, yang harus
diatur-atur, dikasih tahu mana yang benar, mana yang salah), kita bisa
melangkah ke premis kedua, bagaimana proses tasyri’ (penetapan hukum)
terjadi?
Proses tasyri’ dalam masalah ibadah (misalnya,
mengapa haji harus mengelilingi Ka’bah) terjadi –ringkasnya—secara arbitrer
alias: suka-suka Tuhan, Dia yang menentukan. Tapi, proses tasyri’ dalam
masalah sosial selalu bersifat kontekstual (dan masuk akalnya memang seharusnya
begitu). Proses ini bisa saja berupa imdha’ (pengukuhan—budaya yang ada
memang sesuai dengan prinsip islam lalu diadopsi dan ditetapkan sebagai hukum
Islam) atau sebaliknya, berupa rad (penolakan). Seluruh fenomena budaya
direspons secara proaktif oleh hukum Islam (kadang-kadang hukum yang muncul
melebar melebihi keperluan temporer). Justru inilah yang menjadi salah satu
ciri progresivitas hukum Islam.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa ayat jilbab (QS 33:59) memang kontekstual.
Bisa dicatat di sini, artinya, mengenakan jilbab bukan berasal dari budaya
orang Arab, tapi, justru Islam yang memerintahkan kepada perempuan Arab saat
itu untuk mengubah cara berpakaiannya. Nah, di sinilah proses tasyri’ Islam
terjadi. Ketika sudah ditetapkan, maka akan menjadi hukum abadi, tidak peduli
bagaimana asalnya dan bagaimana konteksnya ketika diturunkan.
Bila kita membantah proses ini, pada saat yang sama akan terbantah pula seluruh
proses tasyri’ yang lain dalam bangunan Islam. Misalnya dalam budaya
Arab Jahiliah, anak angkat tidak ada bedanya dengan anak kandung. Tuhan
memberikan respon syar’i dengan memerintahkan Rasul menikahi Zainab
binti Jahsy, mantan istri anak angkatnya. Dengan demikian terjadi aturan syar’i
baru bahwa anak angkat tetaplah anak angkat, yang bukan muhrim dan tidak berhak
dimasukkan dalam pembagian warisan mendapatkan warisan (tentu saja, berhak
mendapat hibah harta dari orang tua angkatnya—hibah berbeda aturannya dengan
waris). Atau, kaum Arab Jahiliah dulu tidak punya aturan dalam menikah (boleh
berapa saja), Islam memberi aturan, maksimal empat.
Dengan demikian, pernyataan Mernisi yang dikutip Nong
bisa dijawab “So, what?”. Nong menulis, “Seperti yang dikemukakan Fatima
Mernisi dalam buku Wanita dalam Islam, dalam masa-masa awal kehidupan Islam,
ruang yang diciptakan Nabi sepertinya tidak ada dikotomi antara ruang privat
Nabi dan isteri-isterinya dengan kaum muslimin lainnya. QS 33:53 menegaskan
akan ruang privat Nabi dan isteri-isterinya yang berarti diduga sebelumnya
tidak dikotomi publik dan privat.”
Ya, so what? Memang mungkin, sebelum Islam datang,
tidak ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam interaksi publik
maupun privat. Lalu? Ketika kita memeluk agama Islam, apa itu artinya kita
bersedia mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan setelah Islam turun atau lebih
memilih melaksanakan kebiasaan sebelum Islam turun? Jangankan soal agama,
ketika kita bekerja di sebuah instansi, kita harus mau mematuhi
peraturan-peraturan di instansi itu, bila tidak, direktur pasti bilang,
“Silahkan keluar.”
Saya tergelitik juga untuk mengomentari pendapat Nong tentang ayat jilbab (QS
33:59). Nong menulis: ... Inilah yang dipahami bersifat elitis dan
diskriminatif. Karena dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan dengan
budak. Di sini dapat dilihat ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu
sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain masih mempertahankannya dalam
strata masyarakat Islm misalnya dalam perbedaan pakaian di atas
Saya yakin, Nong bukanlah ahli tafsir –dalam keilmuan
konvensional Islam, yang berhak menjadi penafsir Al-Quran haruslah orang yang
sudah menguasai berbagai cabang keilmuan Islam, bukan sekedar paham bahasa
Arab—begitu pula saya. Tapi, karena dalam wacana Islib sepertinya semua orang
berhak menafsirkan ayat Quran sesuai pemahamannya sendiri, saya pun tidak mau
ketinggalan memberikan kemungkinan penafsiran menurut versi saya sendiri,
dengan basis logika.
Pertama, sebagaimana saya sebutkan di atas, syariat Islam memang
responsif terhadap kondisi masyarakat. Di zaman jahiliah, yang namanya budak
itu dikuasai sepenuhnya, jiwa dan raga oleh tuannya. Islam hadir dengan seruan
memerdekakan budak, atau bila tidak, izinkan budakmu untuk memeluk keyakinannya
sendiri. Tenaga si budak memang milik tuannya, tapi jiwa dan nuraninya adalah
miliknya sendiri. Bahkan, dalam hukum waris disebutkan, bila si tuan tidak
punya ahli waris (dan disebutkan perinciannya,siapa saja yang berhak menjadi
ahli waris), maka warisan itu akan jatuh ke tangan budaknya yang digunakannya
untuk memerdekakan dirinya. Walhasil, saya menolak adanya kesan ambigu itu.
Kedua, bila ayat jilbab boleh ditafsirkan sebagai pembeda antara budak
dengan orang merdeka, berarti boleh pula ditafsirkan dengan cara lain, misalnya
“Lho... maksudnya, bukan membedakan antara budak dengan merdeka, (toh ayat itu
sama sekali tidak menyebut kata budak, berarti sah-sah saja, dong, saya
memberikan kemungkinan penafsiran yang lain) tapi, membedakan antara yang
muslim dengan yang bukan muslim.”
Mungkin sampai di sini perdebatan akan dilanjutkan dengan argumen Nong bahwa
penafsiran ayat itu berasal dari ahli tafsir Abu Syuqqah. Masalahnya, saya
tidak mengakui kevalidan Abu Syuqqah, sebagaimana mungkin Nong tidak akan mau
mengakui kevalidan Muhsin Qiraati, misalnya, seorang ahli tafsir kontemporer
Iran yang sangat saya akui kehebatannya. Jadi, terpaksa kita kembali ke
fasilitas universal yang sudah disediakan Tuhan untuk semua umat manusia, yaitu
akal dan logika.
Terakhir, penafsiran Nong tentang ayat itu bisa saya simpulkan sebagai berikut:
kaum perempuan Jahiliah punya kebiasaan pakai kain di kepala tapi tidak
ditutupkan ke dadanya (ini juga diakui oleh Murtadha Muthahhari yang mengutip
catatan sejarah Will Durrant “Sejarah Peradaban”). Berarti, ayat yang berbunyi
“hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” adalah perintah
bagi “mereka” itu yang memang asalnya sudah mengenakan kain di kepalanya.
Kesimpulannya, perintah jilbab bukan untuk semua muslimah sepanjang zaman.
Argumen bantahan untuk ini, bisa dari dua sisi. Pertama,
dalam ilmu ushul (yurisprudensi Islam), ada pembahasan khusus tentang
redaksi hukum dan ini amat berkaitan dengan logika. Misalnya, dalam
Al-Quran hanya disebutkan ”Wa la taquuluu lahuma uffin” –janganlah
berkata “uff” (kepada orangtuamu). Logikanya, kalau berkata uff
saja tidak boleh, apalagi memaki, memukul, atau menelantarkan orangtua. Dari
sudut pandang ini, sangat masuk akal bila ayat-ayat Quran seringkali hanya
berupa isyarat hukum dan tidak terperinci. Adalah sangat tidak masuk akal bila
sebuah undang-undang dasar harus memuat segala aturan secara detil dan
terperinci, karena pasti akan memakan ribuan atau puluhan ribu halaman.
Berarti, masuk akal pula bila dalam ilmu Islam puluhan ribu buku telah
ditulis—dan akan terus ditulis—untuk menafsirkan Quran.
Sehubungan dengan jilbab, bila diperintahkan untuk
mengulurkan kain (yang semula sudah melekat di kepala) ke dada, logikanya,
mengenakan kain jilbab (yang tadinya sama sekali tidak ada di kepala) lebih
wajib lagi.
Argumen kedua, Nong (atau siapa saja yang menganggap
jilbab tidak wajib dalam Islam) berdalil bahwa perintah itu adalah untuk
“mereka”, bukan kamu (meskipun, selengkapnya ayat ini berbunyi, “Hai Nabi,
katakanlah kepada istrimu, anak-anakmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, yang demikian itu supaya mereka
mudah dikenal dan tidakdiganggu dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”—artinya, yang dimaksud dengan “mereka” itu sudah amat eksplisit).
Dalam ilmu tafsir Quran, kita bisa pelajari bahwa
kata perintah dalam Quran tidak selalu menggunakan kata ganti kedua (kamu) atau
dhamir mukhatab, melainkan kadang-kadang dipakai juga kata ganti orang
ketiga (dhamir ghaib). Jika perintah dalam Al-Quran harus menggunakan dhamir
yang jelas, baru dianggap berterima, maka banyak sekali perintah dalam Quran
yang tertolak. Contoh gampangnya, qul huwallahu ahad. (Katakanlah
[hai Nabi] bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.) Bisa saja kita berdalih,
“Lho...yang disuruh berkata bahwa tidak ada tuhan selain Allah itu cuma Nabi
kok, bukan kita...”
Surat Al-Hajj ayat 29 juga bisa dipakai sebagai bukti
bahwa perintah Tuhan tidak selalu menggunakan kata ganti orang kedua. “Walyatawwafuu
bil baitil atiiq” (dan hendaklah mereka bertawaf di sekitar Ka’bah).
Artinya, ada hukum bahwa dalam haji, bertawaf itu bukan di dalam Ka’bah,
tapi mengelilingi Ka’bah. Perintah itu bukan buat “mereka”saja, tapi,
seluruh umat Islam sampai hari ini tidak ada yang bertawaf di dalam Ka’bah,
melainkan mengelilingi Ka’bah.
Walhasil, bisa disimpulkan bahwa perintah jilbab itu
bukan hanya buat “mereka” tetapi juga buat “kamu”, yaitu muslimah
sepanjang zaman.
Dari sini, mungkin kita bisa menyepakati bahwa memahami
syariat tidaklah semudah membaca satu buku saja. Banyak cabang ilmu yang harus
dijadikan pertimbangan. Karena itu, bila perdebatan ini dilanjutkan pada
pertanyaan, “Yang jadi masalah, manakah yang kita akui sebagai syariat, mana
yang bukan? Mana yang benar-benar diturunkan Tuhan, mana yang
di-institutionalized oleh sebagian ulama picik?”, ada sederet proposisi yang
harus disepakati dulu. Bila proposisi-proposisi itu tidak disepakati, hasilnya
adalah debat kusir yang tidak akan berujung kemana-mana. Di antara proposisi-proposisi
tersebut adalah: mana yang diakui sebagai sumber hukum dalam Islam?
Sebagian orang akan menjawab: Quran, sunnah, ijma’,
qiyas. Sebagian akan menolak sunnah, sebagian malah mungkin menolak Quran itu
sendiri. Yang saya pelajari di Iran, sumber hukum itu ada empat, yaitu Quran,
dua sunnah, yaitu sunnah Nabi (tapi itupun dengan batasan-batasan tersendiri
versi Syiah yang jelas berbeda dengan mazhab lainnya) dan sunnah 12 Imam (12
keturunan Rasul), ijma’ (dengan batasan bahwa yang dimaksud ijma’ adalah
kesepatan para ulama tentang apa yang terkandung dalam Quran dan Sunnah, bukan
kesepakatan arbitrer di antara para ulama), dan akal (juga dalam pengertian
yang khas, yaitu berbagai kaidah akal untuk memahami logika hukum, bukannya
pendapat akal an sich). Untuk memutusan mana syariat, mana yang bukan,
semua fasilitas itu harus dikuasai (dan itu artinya sebuah proses belajar
puluhan tahun dan “menelan” ribuan buku).
Dalam mazhab Syiah, kesulitan ini teratasi dengan konsep
“taklid”, artinya, orang-orang yang memang tidak berkesempatan (atau tidak
mampu) mempelajari semua itu, diwajibkan untuk patuh kepada kata-kata para
ulama yang memang sudah diakui oleh civitas akademi keilmuan Islam sebagai
ulama tingkat tinggi yang sudah boleh ditaklidi. Dan, proses penetapan syariat
itu hingga kini terus berjalan karena dalam mazhab ini, pintu ijtihad tidak
dinyatakan tertutup. Hal ini jelas lebih masuk akal karena zaman berputar dan
banyak masalah-masalah baru yang timbul, misalnya bolehkah kloning pada
manusia, dll?
Terlepas dari apapun mazhab saya (saya tidak ingin
dianggap mempropagandakan Syiah), tapi, inilah yang menurut saya jalan keluar
terbaik dan cenderung mengurangi perbedaan pendapat di antara umat. Masuk akal
karena, bila semua orang sibuk mempelajari agama, siapa yang harus jadi dokter,
insinyur, tukang becak, tukang bangunan, presiden, politikus, dll? Karena
itulah, di Iran, saya lihat orang cenderung tidak pusing-pusing soal fiqih.
Bila dia ber-taklid pada Ayatullah Sistani, misalnya, (ulama besar yang juga
ditaklidi sebagian besar umat Syiah Irak), dia akan membuka buku petunjuk fiqih
yang ditulis oleh sang Ayatullah (atau, menelpon langsung ke kantor perwakilan
sang Ayatullah) dan tidak perlu repot-repot berdebat dengan sesama orang
awam atau orang yang sedikit-sedikit tahu agama lalu mengaku sebagai ustadz.
Dan, saya pikir ini adalah salah satu yang diberontak oleh islib, bukan? Dunia
ini ruwet ketika hampir semua orang merasa berhak memutuskan ini haram, ini
halal.
Terakhir, bila di Iran kini sebagian perempuan dan
beberapa orang yang mengaku ulama menyuarakan agar dibebaskannya kaum perempuan
Iran dari jilbab, itu sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah (argumen)
benar atau tidaknya sebuah negara mewajibkan pemakaian jilbab. Pengalaman
subyektif saya yang ingin saya sampaikan terakhir adalah masalah keterbebasan
dari mode (dan inilah yang saya angkat sebagai judul tulisan ini).
Ya, berjilbab di Iran (yang artinya juga mengenakan
pakaian panjang dengan warna yang gelap atau minimalnya kalem) saya lihat
justru membebaskan kaum perempuan dari mode. Pergi kuliah atau ke kantor
memakai baju dan jilbab yang itu-itu selama bertahun-tahun bukanlah aib atau
aneh. Tidak ada yang peduli. Bahkan, bila seorang perempuan ber-chadur,
dia akan lebih merdeka lagi dari yang namanya mode. Mau pakai pakaian apapun
tidak akan terlihat orang. Tapi, fitrah perempuan pun bukannya hilang.
Berdandan adalah fitrah perempuan. Kompensasinya, perempuan Iran cenderung
berpakaian cantik dan seksi di rumah. Hasilnya, secara sosial kaum laki-laki
(terutama yang belum menikah) terbebas dari “siksaan batin” menonton keindahan
tubuh perempuan yang tidak bisa dia “jamah”, kaum perempuan tidak perlu
sibuk-sibuk berdandan ketika akan keluar rumah, dan di rumah, suami-suami
disuguhi istri dengan pakaian seksi.
Saya merasakan sendiri kemerdekaan berpakaian seperti
ini. Tidak ada yang peduli saya pakai apa, atau bila saya pakai baju dan jilbab
yang sama selama tiga hari berturut-turut sekalipun. Juga, bila saya pakai baju
dan jilbab baru pun, tak ada yang peduli, karena ketiadaan mode membuat orang
sulit mengenali mana jilbab baru, mana jilbab lama. Menurut saya, inilah satu
versi lain dari kebebasan. Tentu, kebebasan seperti ini tidak didapat bila
seseorang yang berjilbab pun ingin tetap menarik perhatian orang lain dengan
jilbabnya itu. Dan, kebebasan seperti ini jelas tidak didapatkan oleh mereka
yang tidak berjilbab, yang tiap saat harus pusing dengan penampilan dan model
(atau minimalnya, kerapihan) rambutnya.
Tehran, Akhir Musim Semi, 2003
Penulis adalah karyawati IRIB (Islamic Republic of Iran
Broadcasting)
NB: Karena saya 99,9% yakin bahwa tulisan ini tidak akan
dimuat karena isinya melawan main-stream JIL (dan bila prasangka saya ini
benar, boleh dong, saya mempertanyakan, se-liberal mana sih Islib itu?), maka
99,9% tujuan saya menulis ini adalah buat Nong Darol Mahmada pribadi. Oleh
karena itu, empat kali empat enam belas, muat tak dimuat harap dibahas [bukan dibalas].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar