JENIS-JENIS
BELAJAR
(Oleh Muhammad Hadidi )
A. Jenis-Jenis
Belajar
Walaupun
belajar dikatakan berubah, namun untuk mendapatkan perubahan itu bermacam-macam
caranya. Setiap perbuatan belajar mempunyai cirri-ciri masing-masing. Para ahli
dengan melihat ciri-ciri yang ada di dalamnya, mencoba membagi jenis-jenis
belajar ini, disebabkan sudut pandang. Oleh karena itu, sampai saat ini belum
ada kesepakatan atau keragaman dalam merumuskannya. A. De Block misalnya berbeda dengan C. Van Parreren dalam merumuskan
sistematika jenis-jnis belajar. Demikian juga antara rumusan sistematika
jenis-jenis belajar yang dikemukakan oleh C. Van Parreren dengan Robert M.
Gagne.
Jenis-jenis belajar yang diuraikan dalam
pembahasan berikut ini merupakan penggabungan dari pendapat ketiga ahli di atas.
Walaupun begitu, dari pendapat ketiga para ahli di atas, ada jenis-jenis
belajar tertentu yang tidak dibahas dalam kesempatan ini, dengan pertimbangan
sifat buku yang dibahas.
Oleh karena itu, jenis-jenis belajar yang diuraikan berikut ini
menyangkut masalah belajar arti kata-kata, belajar kognitif, belajar menghafal,
belajar teoritis, belajar kaedah, belajar konsef/pengertian, belajar
keterampilan motorik, dan belajar estetik. Untuk jelasnya ikutilah uraian
berikut.
1. Belajar arti kata-kata
Belajar arti kata-kata maksudnya adalah orang
mulai menangkap arti yang terkandung dalam kata-kata yang digunakan. Pada mulanya suatu kata sudah dikenal, tetapi belum
tahu artinya. Misalnya, pada anak kecil, dia sudah mengetahui kata “kucing”
atau “anjing”, tetapi dia belum mengetahui bendanya, yaitu binatang yang
disebutkan dengan kata itu. Namun lama-kelamaan dia mengetahui juga apa arti
kata “kucing” atau “anjing”,. Dia sudah tahu bahwa kedua binatang itu berkaki
empat dan dapat berlari. Suatu ketika melihat seekor anjing dan anak tadi
menyebutnya “kucing”. Koreksi dilakukan bahwa itu bukan kucing, tetapi anjing.
Anak itu pun tahu bahwa anjing bertubuh besar dengan telinga yang cukup
panjang, dan kucing itu bertubuh kecil dengan telinga yang kecil dari pada
anjing.
Setiap pelajar atau mahasiswa
pasti belajar arti kata-kata tertentu yang belum diketahui. Tanpa hal ini, maka
sukar menggunakannya. Kalau pun dapat menggunakannya, tidak urung ditemukan
kesalahan penggunaan. Mengerti arti kata-kata merupakan dasar-dasar terpenting.
Orang yang membaca akan mengalami kesukaran untuk memahami isi bacaan. Karena
ide-ide yang terpatri dalam setiap kata. Dengan kata-kata itulah, para penulis
atau pengarang melukiskan ide-idenya kepada siding pembaca. Oleh karena itu,
penguasaan arti kata-kata adalah penting dalam belajar.
2. Belajar Kognitif
Tak
dapat disangkal bahwa belajar kognitif bersentuhan dengan masalah mental.
Objek-objek yang diamati dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan,
gagasan, atau lambang yang merupakan sesuatu bersifat mental. Misalnya,
seseorang menceritakan hasil perjalanannya berupa pengalamannya kepada
temuannya. Ketika dia menceritakan pengalamannya selama dalam perjalanan, dia
tidak tidak dapat menghadirrkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama dalam
perjalanan itu di hadapan temannya itu, dia hanya dapat menggambarkan semua
objek itu dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Gagasan atau tanggapan tentang
objek-objek yang dilihat itu dituangkan dalam kata-kata atau kalimat yang
disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.
Bila tanggapan berupa
objek-objek materiil dan tidak materiil telah dimiliki, maka seseorang telah
mempunyai alam pikiran kognitif. Itu berarti semakin banyak pikiran dan gagasan
yang dimiliki seseorang, semakin kaya dan luaslah alam pikiran kognitif orang
itu.
Belajar kognitif penting dalam
belajar. Dalam belajar, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan
belajar kognitif. Mana bisa kegiatan mental tidak berproses ketika memberikan
tanggapan terhadap ojek-objek yang diamati. Sedangkan belajar itu sendiri
adalah proses mental yang bergerak kea rah perubahan.
3. Belajar Menghafal
Menghafal
adalah suatu aktivitas menanamkan suatu materi verbal dalam ingatan, sehingga
nantinya dapat diproduksikan {diingat} kembali secara harfiah, sesuai dengan
materi yang asli, dan menyimpan kesan-kesan yang nantinya suatu waktu bila
diperlukan dapat diingat kembali kealam dasar.
Dalam menghafal, ada beberapa
syarat yang perlu diperhatikan, yaitu mengenai tujuan, pengertian, perhatian, dan
ingatan. Efektif tidaknya dalam menghafal dipengaruhi oleh syarat-syarat
tersebut. Menghafal tanpa tujuan menjadi tidak terarah, menghafal tanpa
pengertian menjadi kabur, menghafal tanpa perhatian adalah kacau, dan menghafal
tanpa ingatan adalah sia-sia.
4. Belajar Teoritis
Bentuk
belajar ini bertujuan untuk menempatkan semua data dan fakta {pengetahuan}
dalam suatu kerangka organisasi mental, sehingga dapat difahami dan digunakan
untuk memecahkan problem, seperti terjadi dalam bidang-bidang studi ilmiah. Maka, diciptakan konsep-konsef, relasi-relasi di
antara konsep-konsep dan struktur-struktur hubungan. Missalnya, “bujur sangkar”
mencakup semua persegi empat; iklim dan cuaca berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman; tumbuh-tumbuhan dibagi dalam genus dan species. Sekaligus dikembangkan
dalam metode-metode untuk memecahkan problem-problem secara efektif dan
efesien, misalnya dalam penelitian fisika.
5. Belajar Konsep
Konsep atau pengertian adalah satuan arti yang
mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama, orang yang memiliki
konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapinya,
sehingga objek ditempatkan dalam golongan tertentu. Objek-objek dihadirkan
dalam kesadaran orang dalam bentuk repressentasi mental tak berperaga. Konsep
sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata {lambang bahasa}.
Konsep dibedakan atas
konsep konkret dan konsep yang harus didefinisikan. Konsep konkret adalah
pengertian yang menunjuk pada objek-objek dalam lingkungan fisik. Konsep ini mewakili
benda tertentu, seperti meja, kursi, tumbuhan, rumah, mobil, sepeda motor dan
sebagainya. Konsep yang didefinisikan adalah konsep yang mewakili realitas
hidup, tetapi tidak langsung menunjuk pada realitas dalam lingkungan hidup
fisik, karena realitas itu tidak berbadan. Hanya dirasakan adanya melalui
proses mental. Misalnya, saudara sepupu, saudara kandung, paman, bibi, belajar,
perkawinan, dan sebagainya, adalah kata-kata yang tidak dapat dilihat dengan
mata biasa, bahkan dengan mikroskop sekalipun. Untuk memberikan pengertian pada
semua kata itu diperlukan konsep yang didefinisikan dengan menggunakan lambang
bahasa.
Ahmad adalah saudara
sepupu Mahmud; merupakan kenyataan {realitas}, tetapi tidak dapat diketahui
dengan mengamati Ahmad dan Mahmud. Kenyataan itu dapat diketahui dengan
menggunakan lambang bahasa. Kata “saudara sepupu” dijelaskan. Penjelasan
atas kata “saudara sepupu” itulah yang dimaksudkan disini dengan konsep yang didefinisikan.
Berdasarkan konsep yang didefinisikan, didapatkan pengertian, sauadara sepupu
adalah anak dari paman atau bibi.
Akhirnya, belajar konsep
adalah berfikir dalam konsep dan belajar pengertian. Taraf ini adalah taraf
konprehensif. Taraf kedua dalam taraf berfikir. Taraf pertamanya adalah
taraf pengetahuan, yaitu belajar reseptif atau menerima.
6. Belajar Kaidah
Belajar kaidah {rule} termasuk dari jenis
belajar kemahiran intelektual {intellectual skill}, yang dikemukakan oleh
Gagne.[2] Belajar
kaidah adalah bila dua konsep atau lebih dihubungkan satu sama lain, terbentuk
suatu ketentuan yang mereprensikan suatu keteraturan. Orang yang telah
mempelajari suatu kaidah, mampu menghubungkan beberapa konsep. Misalnya,
seseorang berkata, “besi dipanaskan memuai”, karena seseorang telah menguasai
konsep dasar mengenai “besi”, “dipanaskan” dan “memuai”, dan dapat menentukan
adanya suatu relasi yang tetap antara ketiga konsep dasar itu {besi,
dipanaskan, dan memuai}, maka dia dengan yakin mengatakan bahwa “besi
dipanaskan memuai”.
Kaidah adalah suatu pegangan
yang tidak dapat diubah-ubah. Kaidah merupakan suatu representasi {gambaran}
mental dari kenyataan hidup dan sangat berguna dalam mengatur kehidupan
sehari-hari. Hal ini berarti bahwa kaidah merupakan suatu keteraturan yang
berlaku sepanjang masa. Oleh karena itu, belajar kaidah sangat penting bagi
seseorang sebagai salah salah satu upaya penguasaan ilmu selama belajar di
sekolah atau di perguruan tinggi {universitas}.
semoga uraian di atas dapat menjadi
penghubung dalam memahami belajar kaidah-kaidah di dalam menuntut ilmu..
7. Belajar Berpikir
Dalam belajar ini, orang
dihadapkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan, tetapi tanpa melalui
pengamatan dan reorganisasi dalam pengamatan.masalah harus dipecahkan melalui
operasi mental, khususnya menggunakan konsep dan kaidah serta metode-metode
bekerja tertentu.
Dalam konteks ini ada
istilah berpikir konvergen dan berpikir divergen. Berpikir konvergen adalah
berpikir menuju satu arah yang benar atau satu jawaban yang paling tepat atau
satu pemecahan dari suatu masalah.berpikir divergen adalah berpikir dalam arah
yang berbeda-beda, akan diperoleh jawaban-jawaban unit yang berbeda-beda tetapi
benar.
Konsep
Dewey tentang berpikir menjadi dasar untuk pemecahan masalah adalah sebagai
berikut.
a. Adanya kesulitan yang dirasakan dan kesadaran akan
adanya masalah.
b. Masalah itu
diperjelas dan dibatasi.
c. Mencari informasi
atau data dan kemudian data itu diorganisasikan.
d. Mencari
hubungan-hubungan untuk merumuskan hipotesis-hipotesis, kemudian
hipotesis-hipotesis itu dinilai, diuji, agar dapat ditentukan untuk diterima
atau ditolak.
e. Penerapan
pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus berlaku sabagai pengujian
kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai pada kesimpulan.
Menurut
Dewey, langkah-langkah dalam pemecahan masalah adalah sebagai berikut.
a. Kesadaran akan adanya masalah.
b. Merumuskan
masalah.
c. Mencari data dan
merumuskan hipotesis-hipotesis.
d. Menguji hipotesis-hipotesis
itu.
e. Menerima hipotesis
yang benar.
Meskipun
diperlukan langkah-langkah, menurut Dewey, tetapi pemecahan masalah itu tidak
selalu mengikuti urutan yang teratur, melainkan meloncat-loncat antara
macam-macam langkah tersebut. Lebih-lebih apabila orang berusaha memecahkan
masalah-masalah yang kompleks.[3]
B. Prinsip-Prinsip Belajar
Telah dipahami belajar adalah
berubah. Berubah berarti belajar, tidak berubah, berarti tidak belajar. Itulah
sebabnya hakikat belajar adalah perubahan. Tetapi tidak semua perubahan berarti
belajar.
Agar setelah melakukan kegiatan
belajar didapatkan hasil yang efektif dan efesien tentu saja diperlukan
prinsip-prinsip belajar tertentu yang dapat melapangkan jalan kea rah
keberhasilan.[4] Maka calon guru/pembimbing seharusnya sudah
dapat menyusun sendiri prinsip-prinsip belajar, ialah prinsip belajar yang
dapat terlaksana dalam situasi dan kondisi yang berbeda, dan oleh setiap siswa
secara individual. Namun demikian marilah kita susun prinsip-prinsip belajar
itu, sebagai berikut:Dalam belajar setiap siswa harus diusahakan partisipasi
aktif, meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan intruksional;
1. Belajar
bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur, penyajian yang
sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya;
2.
Belajar
harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat pada siswa untuk
mencapai tujuan intruksional;
3. Belajar
itu proses kontinyu, maka harus tahap demi tahap menurut perkembangannya;
4. Belajar
adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery;
5.
Belajar harus dapat
mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus
dicapainya;[5]
6.
Belajar memerlukan sarana
yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang;
7. Belajar
memerlukan lingkungan yang menantang di mana anak dapat mengembangkan
kemampuannya bereksplorasi dan belajar yang efektif;
8. Belajar
perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya;
9.
Belajar
adalah proses kontiguitas {hubunagan antara pengertian yang satu dengan
pengertian yang lain} sehingga mendapatkan pengertian yang diharapakan.
Stimulus yang diberikan menimbulkan response yang diharapkan;
10.
Repetisi, dalam proses
belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian/keterampilan/sikap itu
mendalam pada siswa;
[1] . Drs. Syaiful Bahri Djamarah “Psikologi Belajar”, Rineka Cipta,
Jakarta. 2002, Hal. 27
[2] . Drs. Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., Hal. 32
[3] . Drs. Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., Hal.
34
[4] . Drs. Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., Hal. 6
[5] .Drs. Slameto “Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya”,
Rineka Cipta, Jakarta, 1988. Hal.
29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar