DAFTAR ISI
Halaman
Daftar
isi………………………………………………………………………….1
Kata
Pengantar……………………………………………………………………2
BAB
I ……………………………………………………………………………3
Pendahuluan………………………………………………………………………3
Latar
belakang………………………………………………………………….3 -5
Rumusan
maslah…………………………………………………………………5-6
Tujuan
Pembahsan………………………………………………………………..6-7
BAB
II…………………………………………………………………………….6
A. Pembahasan Surat…………………………………………………………............6-7
B. Asbabul Nuzul ……………………………………………………………..........8-15
C. Penjelasan Hukum……………………………………………………….............15-20
BAB III
Penutup………………………………………………………………………….21
Kesimpulan……………………………………………………………………..22
Pendapat penulis…………………………………………………………………23
Daftar pustaka…………………………………………………………………...24
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan
taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
inisemoga lewat malah ini penulis mendapat pengetahuan
dan tidak kalah pentingnya juga bagi yang membacanya.
Sholawat
serta salam tetap terlimpahkan kepada nabi agung Muhammad SAW. yang senantiasa
menjadi tumpuan dan harapan bagi umat Islam
yang telah memperjuangkan ummat manusia dari kelakuan jahiliah menujuan manusia
yang berakhlaqul Qarimah, sebagaimana yang telah di ajarkan Nabi Muhammad SAW
bagi seluruh ummat manusia.
Dalam
penyusunan makalah ini penulis menyadari atas kemampuan yang ada, dimana
penulisan tidak terlepas dari hambatan, gangguan dan kesulitan yang muncul baik
dari dalam maupun dari luar diri penulis. Untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dan
akhirnya besar harapan saya lewat
makalah ini dapat bermanfaat bagi saya dan untuk
yang mau membacanya, karena makalah
ini masi jauh dari kesempurnaan.
Karena itu penulis berharap ada kritik dan saran dari pembaca sekalian.
Hormat Saya
Mohd Hadidi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata
poligami berasal dari bahasa Yunani dari kata poly atau polus yang berarti banyak, dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa
poligami berarti ”suatu perkawinan yang banyak” atau “suatu perkawinan lebih
dari seorang”. dan po.li.ga.mi : sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya
dalam waktu yang bersamaan.
Poligami
biasa dibagi atas tiga yakni poliandri, poligini dan group marriage (group family).
Poliandri berasal dari bahasa Yunani Polus=banyak,
aner=negative, dan andros=laki-laki.
Jadi, poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari satu
orang laki-laki, sedangkan poligini berasal dari kata polus=banyak dan gune=perempuan.
Jadi poligini adalah seorang laki-laki yang mengambil lebih dari seorang
perempuan. Polandri tidak lazim dibicarakan oleh para pakar perkawinan yang
lebih banyak diperbincangkan adalah poligini. Sedangkan group marriage atau
group family merupakan gabungan dari
poligini dengan poliandri, misalnya dalam satu rumah ada lima laki-laki dan
lima wanita, kemudian bercampur secara bergantian. Pembagian poligami tersebut diatas
adalah ditinjau dari segi antropologi sosial yang dalam perkembangannya istilah
dalam antropologi sosial tersebut jarang sekali digunakan bahkan bisa dikatakan
istilah tersebut tidak dipakai lagi dikalangan masyarakat, kecuali dikalangan
antropologi saja, sehingga istilah poligami secara langsung menggantikan
istilah poligini dengan pengertian perkawinan antara seorang laki-laki dengan
beberapa perempuan disebut dengan poligami dan kata ini digunakan sebagai lawan
dari kata polyandry.
Sampai
saat ini ternyata masalah poligami masih merupakan topik yang menarik untuk
dibahas diberbagai tempat, situasi dan kondisi yang sarat dengan pro dan
kontra, poligami tetaplah poligami yaitu urusan mu’amalah atau sosial. Lewat makalah ini
penulis juga ikut mengapreseasi dengan cara mengadopsi pendapat ulama’ sesuai
batas kemampuan penulis.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan pembahasan makalah ini hanya dibatasi pada :
1. Bagaimana kita mengaji Poligami menurut
SuratNisa’ [04] : 01-03 ?
2. Bagaimana Asbab an Nuzul an Nisa’ [04] :
01-03?
3. Bagaimana Hukum Syari’at Yang Bisa Diambil
Dari an Nisa’ [04] : 01-03 ?
4. Bagaimana Hikmah Poligami ?
C. Manfaat
membaca makalah ini
Manfaat
membaca makalah ini adalah untuk
memudahkan kita mengatahui tentang hukum poligami. Bagaimana asal-usul poligami
sehingga dengan kita mengetahui, landasan hukumnya, maka kita mendapat pengetahuan dan bisa kita terapkan
dalam kehidupan bermasyarakat dan dapat memberikan pendapat bagi masyarakat
yang bertanya-tanya tentang hukum poligami serta asal usul poligami. Sebagaimana kita temukan
dimasyarakat poligami merupkan hal yang tabu dan dianggap aneh, padahal alquran
sendiri mempunyai landasan hukum bolehnya berpoligami tentu dengan
syarat-syarat yang telah di tentukan, untuk itu makalah ini sangat cocok dibaca
oleh orang yang ingin berpoligami. Serta
oleh para istri yang suaminya menikah lagi (poligami). Kadang-kadang di masyarakat kita sekarang
ini, para figur (Ulama) apabila berpoligami menjadi suatu hal yang tabu dan
masyarakat kita lansung breaksi dan tidak jarang banyak yang mengatakan bahwa
poligami merupakan pelanggaran HAM yakni mengecewakan pihak istri pertama.
Padahal apabila kita kembali lagi kepada ayat alquran poligami ini, sudah
diatur demikian rupa dan merupakan hal yang sudah jelas boleh dilakukan
apabilah telah memenuhi syarat diantaranya suami boleh berpoligami apabila
istrinya sudah tidak lagi menjalankan kewajibanya sebagai seorang istri.
D. Tujuan Pembahasan
Mengacu
pada rumusan masalah di atas, penulis mempunyai tujuan lewat makalah ini kita dapat
mengtahui
hukum poligami menurut hukum islam dan
bagaimana asal usul poligami sehingga harapanya dapat diterimah oleh masyrakat
sekurang-kurangya mengetahui bagaimana dasar hukum tentang poligami
:
1. Mengetahui tafsiran ayat Poligami yang terdapat pada
an Nisa’ [04] : 01-03.
2. Mengetahui Asbab an Nuzul an Nisa’ [04] :
01-03. Yang merupakan landasan berpoligami dan bagaimana
pendapat para ulama tentang poligami serta apa syarat-sayarat berpoligami.
3.
Mengetahui Hukum Syari’at tentang poligami yang dari
an Nisa’ [04] : 01-03.
4.
Mengetahui Hikmah Poligam dan pendapat Ulama tentang poligami
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Materi Pembahasan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ
وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ
إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوب كَبِيرًا (2) وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)
Artinya: “ Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim itu harta-harta mereka. Dan janganlah kalian
mengganti yang buruk dengan yang baik, jangan mencampurkan harta mereka ke
dalam harta kalian, sesungguhnya (perbuatan itu) merupakan dosa yang besar.Dan
apabila kalian takut tidak bisa berbuat adil kepada anak-anak perempuan yang
yatim (untuk kalian jadikan istri), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain)
yang kalian senangi, dua atau tiga atau empat. Bila kalian takut tidak bisa
berbuat adil, maka nikahilah satu perempuan saja atau budak-budak kalian. Yang
demikian itu lebih membuat kalian tidak berbuat zhalim.( An-Nisa’ 2-3)
B.
Asbab an-Nuzul Surat An Nisa ayat 1-3
Menurut
Imam
Muqotil : ayat ini turun karena seorang bernama Ghotfan yang memelihara
keponakannya yang yatim, ketika ia telah dewasa, ia meminta kekayaannya kepada
Ghotfan, dan Ghotfan tidak langsung memberikannya, lalu keduanya memaparkan hal
tersebut kepada Baginda Nabi S.A.W, dan turunlah ayat ini, ketika Ghotfan
mendengarnya dari Nabi, ia berkata : “Aku taat kepada Allah dan Rosul-Nya, aku
berlindung dari dosa besar”. Nabi S.A.W pun bersabda :
“مَنْيُوْقَشُحَّنَفْسِهِوَرَجَعَبِهِهٰكَذَا،فَإِنَّهُيَحُلُّدَارَهُ،يَعْنِيْجَنَّتَهُ “ Insya Allah Artinya : Siapapun
yang menjaga kebakhilan dirinya dan menghilangkannya seperti ini, niscaya ia
menempati rumahnya yaitu surga”.
An
Nisa’[04]: 03 :
Pendapat para
ulama tentang asbabul nuzul ayat
poligami diantara perbedaan nya sebagai berikut :
1. diriwayatkan dari Siti Aisyah, bahwa dia
berkata : ayat ini turun karena kasus anak yatim yang ada dalam asuhan walinya
lalu walinya tertarik pada kekayaan dan kecantikannya dan menginginkan untuk
menikahinya dengan mahar yang kurang dari wannita
sepadannya, maka hal itu dilarang kecuali ia memberi mahar sesuai umumnya wanita yang sepadan dia.
Dan diperintahkan untuk menikahi wanita lain boleh sampai bilangan 4 wanita
namun apabila khawatir
tidak akan bisa berbuat adil maka menikahilah satu wanita saja selain yatim
tadi.
2. Ibnu
Abbas dan Ikrimah berkata : sesungguhnya para lelaki pada saat itu menikahi
empat, lima, enam sampai sepuluh wanita, lelaki tadi berkata : “apa yang
melarangku untuk menikah sebagaimana fulan menikah?. dan apabila kekayaan
laki-laki tadi habis untuk menafkahi para istrinya maka dia berpindah kepada
kekayaan anak yatim untuk menafkahi para istrinya.
3. Imam
Sa’id bin Jabir, as Sudiy, Qotadah, Rubayi’, Dhohak dari salah satu riwayat
berkata : para lelaki saat itu sangat serius dalam mengurus anak yatim namun
tidak demikian halnya dengan para wanita, salah satu dari mereka menikahi banyak wanita dan tidak bisa berbuat adil,
maka Allah berfirman : “ Sebagaimana
kamu semua hawatir terhadap anak yatim, maka hawatirlah pada para wanita, maka
nikahilah (wanita) satu sampai empat saja. Dan apabila takut tidak bisa berbuat
adil maka nikahilah satu wanita saja.
D.
Hukum Syariat
An
Nisa’[04]: 01
Hukum
saling meminta dengan menggunakan hubungan silaturrahim
Firman
Allah وَاتَّقُوااللهَالَّذِيتَسَاءَلُونَبِهِوَالْأَرْحَامَ menunjukkan
kebolehan saling meminta menggunakan hubungan silaturrahim, terlebih bila
mengikuti bacaan imam Hamzah yang membacanya dengan jar (وَالْأَرْحَامِ),
berdasarkan pendapat ini sebagian ulama berkata : karena hal itu bukanlah
sumpah akan tetapi hal itu hanya mengharap simpati, semisal seorang berkata : “
Demi hubungan silaturrahim kita, aku memintamu untuk berbuat begini, hal ini
tidak bisa diartikan sebagai sumpah yang terlarang, akan tetapi sebagai
permintaan demi kehormatan silaturrahim yang mana Allah memerintahkah untuk
menyambungnya, mereka berhujjah pada hadis…
اللهمإِنِّيْأَسْأَلُكَبِحَقِّالسَّائِلِيْنَعَلَيْكَ,
وَبِحَقِّمَمْشَايَهٰذَا....... الحديث.
Sebagian
ulama yang lain memakruhkan sumpah demi hubungan silaturrahim, dan berkata :
sesungguhnya ada hadis shohih yang menolak pendapat di atas, yaitu :
“
مَنْكَانَحَالِفًافَلْيَحْلِفْبِاللهِأَوْلِيَصْمُتْ“
dan contoh tersebut di atas adalah salah
satu dari beberapa macamnya sumpah, hal ini adalah pendapat Ibnu ‘Athiyah.
Imam
Az Zujaj berkata : qira’ah Hamzah yang lemah dan buruk dalam bahasa arab itu
adalah kesalahan yang besar menurut disiplin ilmu ushul fiqh, karena Nabi
Muhammad S.A.W. telah bersabda :لَاتَحْلِفُوْابِآبَائَكُمْ ,
bilasaja tidak boleh bersumpah dengan selain Allah bagaiman bisa diperbolehkan
bersumpah dengan hubungan silaturrahim.
Imam Qurthubi
memindah pendapat Imam Mubarrod
berkata : andaikan aku bermakmum pada imam yang membaca وَاتَّقُوْااللهَالَّذِيْتَسَاءَلُونَبِهِوَالْأَرْحَامِ niscaya
aku langsung pergi (membubarkan sholat saya).
Imam Qusyairi berkata :
ucapan semacam ini (memojokkan pendapat Imam Hamzah) adalah ucapan yang di
tolak oleh para imam, karena Qira’at al Qur’an yang dipakai oleh Imam Qurro’
adalah berasal dari Nabi secara mutawatir yang hal ini diketahui oleh para
ulama, dan apabila telah nyata dari Nabi tentang sesuatu, maka bagi yang
menolak berarti telah menolak Nabi dan menjelekkan apa yang telah dibaca oleh
Nabi, dan hal ini adalah posisi yang sangat menghawatirkan dan tidak bisa
dikuti oleh ulama lughah dan nahwu, karena bahasa arab bersumber secara
langsung dari Nabi, dan tidak satupun orang yang meragukan kefasihan Beliau;
kemudian hal dilarang adalah terkait sumpah dengan selain Allah, dan hal ini
merambah sampai pembahasan bersumpah dengan selain Allah yaitu hubungan
silaturrahim, maka dalam hal ini tidak ada keharaman.
An
Nisa’[04]:02
Apakah
anak yatim diberi harta kekayaannya sebelum ia baligh?
Firman
Allah “وَآتُواالْيَتَامَىأَمْوَالَهُمْ “ menunjukkan atas hukum wajib untuk
memberi harta anak yatim, dan para ulama’ sepakat bahwa anak yatim sebelum
baligh tidak diberi harta kekayaannya. Sebagaimana firman Allah
“وَابْتَلُواالْيَتَامَىحَتَّىإِذَابَلَغُواالنِّكَاحَفَإِنْآنَسْتُمْمِنْهُمْرُشْدًافَادْفَعُواإِلَيْهِمْأَمْوَالَهُمْ
]النساء/6
Yang
dalam ayat ini disyaratkan baligh dan pandainya anak yatim. Hikmahnya bahwa
anak kecil belum baik dalam mengelola kekayaannya yang terkadang menggunakannya
dalam hal yang tidak bermanfaat. Dalam ayat 6
inipun ulama’ ada yang berbeda pendapat :
1.
yang dimaksud yatim di sini adalah yatim yang sudah baligh yang pandai.
Penggunaan kata yatim dalam ayat ini adalah majaz dengan segi mengakomodir
keadaan sebelumnya.
2.
yang dimaksud yatim di sini adalah anak kecil, yang belum baligh, dan yang
dimaksud memberikan adalah mengalokasikan kekayaan untuk dia dalam segi makanan
dan pakaian, atau yang dimaksud memberikan adalah tidak mengelola kekayaanya
dan menjaganya sambil tidak berniat jelek. Pendapat ini adalah pendapat yang
kuat. Yang mana sebagian orang yang mengelola kekayaan yatim bersegera dalam
mengalokasikan kekayaannya dan menghambur-hamburkannya, sehingga diperintahlah
untuk menjaga terlebih dahulu dan mengembangkannya yang kemanfaatnya kembali
untuk anak yatim, bila ia mencapai umur pandai maka diserahkanlah secara
sempurna.
Komentar
Ali as Shobuni terkait dua pendapat di atas adalah pendapat yang pertama lebih
unggul.
An
Nisa’[04]: 03
Apakah
perintah dalam فَانْكِحُوامَاطَابَلَكُمْ berfaidah wajib ?
mayoritas
ulama berpendapat bahwa perintah dalam فَانْكِحُوا menunjukkan kemubahan sebagaimana perintah
dalam firman Allah وكلواواشربوا (البقرة 187)
dan كلوامنطيباتمارزقناكم
( البقرة 57)
Ahlu
Dzohir berpendapat : hal itu menunjukkan hukum wajib, berhujjah pada dzahirnya
ayat, karena perintah pada dasarnya adalah berfaidah wajib, dan mereka
melalaikan ayat :
وَمَنْلَمْيَسْتَطِعْمِنْكُمْطَوْلًاأَنْيَنْكِحَالْمُحْصَنَاتِالْمُؤْمِنَاتِفَمِنْمَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْمِنْفَتَيَاتِكُمُالْمُؤْمِنَاتِ.....
وَأَنْتَصْبِرُواخَيْرٌ [النساء/25]
“Dan
barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk menikahi wanita merdeka lagi beriman, ia boleh menikahi wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian
yang lain [Maksudnya: orang merdeka dan
budak yang dinikahinya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan hawa dan
sama-sama beriman], Karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan
berilah mahar mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang
memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki
lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan nikah,
Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo
hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan menikahi
budak) itu adalah bagi orang-orang yang takut berzina di antara kamu, dan
kesabaran itu lebih baik bagimu”.
Imam
Fakhru ar Razi berpendapat : dalam keadaan demikian (an Nisa’[04]) tidak
menikah itu lebih baik daripada menikah, maka ayat (an Nisa’[04]:) ini
menunjukkan hukum (menikah) bukan sunnah terlebih-lebih wajib.
Tafsiran Ayat An Nisa’[04]: 03 menurut para ulama.
Apa
yang dimaksud dari مَثْنَىوَثُلَاثَوَرُبَاعَ
Ulama
sepakat bahwa kalimat tersebut menunjukkan bilangan, dan menunjukkan atas satu
dari setiap kalimat tersebut disebutkan sesuai dengan sebutan dalam jenisnya,
maka مثنى menunjukkan إثنينإثنين (dua
dua), ثلاث menunjukkan ثلاثةثلاثة (tiga tiga), dan رباع menunjukkan أربعةأربعة empat-empat. Dan
artinya adalah nikahilah wanita yang kamu sukai dua dua, tiga tiga dan empat
empat sesuai dengan keinginan kamu.
Imam
Zamakhsyari berpendapat : karena khitabnya adalah kolektif, maka mestilah
pengulangan kalimat tersebut, supaya setiap orang yang menikah yang
menginginkan poligami bisa mendapatkan khitab sesuai dengan bilangan yang
tersebut dalam ayat. Hal ini sama dengan ucapan kamu : “ bagilah oleh mu
sekalian uang 100 dirham ini dua dua, tiga tiga dan empat empat, apabila hal
ini di mufrodkan, maka ucapan ini tidaklah sesuai yang dimaksud. Jelasnya
adalah apabila kamu berkata kepada sekelompok orang “ bagilah harta yang banyak
ini dua dirham” maka ucapan ini tidaklah jelas. Andaikan kamu bilang dua dirham
dua dirham, maka yang dimaksud adalah sesunggunya setiap satu orang mengambil
dua dirham saja. Ayat tersebut menunjukkan keharaman beristri melebihi dari
empat wanita; Dan ulama serta ahli fiqih telah sepakat terkait hal tersebut,
serta kesepakatan ini tidaklah cacat
dengan adanya pendapat dari ahli bid’ah yang mengatakan boleh menikahi sembilan
wanita dengan memfungsikan huruf wawu pada ayat tersebut sebagi penambahan
(2+3+4=9). Dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah setiap manusia boleh
menikahi dua wanita atau tiga wanita atau empat wanita.
Imam
Qurthubi berpendapat: ketahuilah bahwa bilangan ini (مَثْنَىوَثُلَاثَوَرُبَاعَ)
tidak menunjukkan kebolehan beristri 9 wanita seperti ucapan mereka yang jauh
dari kebenaran al Qur’an dan as Sunnah dan perpaling dari yang telah ditetapkan
oleh ulama salaf, serta mengira huruf wawu di ayat ini berfungsi penambahan,
yang menginspirasi hal tersebut bahwa nabi menikahi 9 orang wanita dan
mengumpulkannya dalam masa yang sama, sehingga menyebabkan kelompok ini menjadi
salah penafsiran. Dan yang mengatakan kebolehan mengikahi 9 wanita ini adalah
kelompok Rafidhoh dan sebagian pengikut Imam Dawud Ad Dzhohiri, serta yang
lebih parah dari pendapat sebagian pengikut Dawud ad Dzhohiri adalah yang
memperbolehkan menikahi 18 wanita (2+2+3+3+4+4=18), semua ini adalah kebodohan
dalam mengetahui bahasa dan Sunnah, dan tidak sesuai dengan ijma’ Ulama’ karena
tidak pernah didengar dari seorang sahabat dan tabi’in pun yang mengumpulkan
lebih dari empat orang istri, diceritkan bahwa Ghoilan baru masuk islam dan
memiliki 10 orang istri, maka nabi memerintahkannya untuk memilih empat wanita
dari mereka dan menceraikan yang lainnya.
Dan
Allah telah mengkhitabi orang arab dengan bahasa yang paling fashih, dan orang
arab pun tidak pernah membiarkan dalam pengucapan 9 dengan ucapan 2 dan 3 dan
4, begitu juga mereka menganggap jelek terhadap orang yang berkata “ berilah
fulan 4, 6 dan 8, yang mana orang tadi tidak mengucapkan 18.
Komentar
Ali as Shobuni : sesungguhnya ijma’
telah memutuskan keharaman menikahi lebih dari 4 wanita (dalam satu masa) dan
masa ulama’ yang menyepakatinya telah usai sebelum keanehan-keanehan yang
menyimpang ini muncul. Maka ucapan nyleneh itu tidaklah bisa diakomodir karena
hal itu murni karena kebodohan atau ketololan sebagaimana ungkapan sya’ir :
Siapapun
yang mencari ilmu tanpa guru # niscaya akan tersesat dari jalan kebenaran
Banyak
sekali orang yang mencela ucapan yang benar # hal ini berasal dari akal yang
tidak sehat.
Mudah-muadahan
Allah melindungi kita dari kejelekan kebodohan dan pengaruh dari orang-orang
yang bodoh.
An
Nisa’[04]: 03
Firman
Allah فَإِنْخِفْتُمْأَلَّاتَعْدِلُوافَوَاحِدَةً
Menurut
Imam ad Dhohak dan yang lain, yaitu tidak bisa berbuat adil dalam urusan
kecondongan, cinta, mensetubuhi, berbaur/gaul, membagi giliran pada istri empat
atau tiga atau dua. فواحدة :
hal ini adalah larangan dari menambah istri yang bisa menyebabkan tidak bisa adil,
dan larangan ini berarti dalil sebagai kewajiban beristri satu.
Selanjutnya
Imam Qurthubi pada an Nisa[04]:129 : berkata :
وَلَنْتَسْتَطِيعُواأَنْتَعْدِلُوابَيْنَالنِّسَاءِوَلَوْحَرَصْتُمْفَلَاتَمِيلُواكُلَّالْمَيْلِفَتَذَرُوهَاكَالْمُعَلَّقَةِوَإِنْتُصْلِحُواوَتَتَّقُوافَإِنَّاللهَكَانَغَفُورًارَحِيمًا
[النساء/129]
Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan
ayat ini Allah memberi tahu bahwa ketidak mampuan laki-laki untuk berbuat adil
pada para istrinya dari segi kecondongan watak dalam cinta, menyetubuhi dan
perhatian. Dengan ayat ini Allah menerangkan sifat manusia bahwa mereka pada
dasarnya tidak mempunyai kemampuan untuk
menyamakan kecondongan hati kepada dua hal. Karena itu Nabi Muhammad S.A.W.
berdo’a :
«اللهمإِنَّهٰذِهِقِسْمَتِيْفِيْمَاأَمْلِكُفَلَاتَلُمْنِيْفِيْمَاتَمْلِكُوَلَاأَمْلِكُ».
Yang
insya Allah artinya : Ya Allah, inilah usahaku membagi terhadap apa yang aku
mampu, maka janganlah Engkau cela aku terhadap apa yang Engkau mampu sedangkan
aku tidak mampu. (keadilan dalam cinta).
Kemudian
Allah S.W.T. melarang Nabi dengan firman-Nya : [فَلَاتَمِيلُواكُلَّالْمَيْلِ].
Imam Mujahid berkata : arti dari sepenggal ayat ini adalah janganlah kamu
menyengaja untuk berebuat jelek akan tetapi konsistenlah pada kesamaan dalam
jatah gilir dan nafkah; karena hal inilah yang bisa dilakukan manusia. Dan hal
ini akan dibahas dalam al Ahzab[33]: 51, (Tafsir al Qurthubi Juz IV hal 214,)
secara panjang lebar. Diriwayatkan dari Imam Qotadah dari an Nadlr bin Anas
dari Basyir bin Nahik dari Abi Ghuroiroh : Nabi bersabda yang isnya Allah
artinya : “Laki-laki yang mempunyai dua istri dan tidak berbuat adil terhadap
dua istrinya di hari qiyamat nanti dia akan dibangkitkan dalam keadaan tubuh
miring ke salah satu sisi”.
Menurut
Ibnu ‘Arabiy : menurut para ulama’ makna dari adil adalah dalam hal jatah gilir
dan kesamaan dalam hak-hak pernikahan, dan hal ini adalah wajib. Nabi S.A.W.
menyengaja untuk berbuat adil dalam hal itu, dan memang mampu, ketika Nabi
melakukan kewajibian Dzahir dari hal di atas dan menemukan hati beliau condong
kepada Dewi Aisyah, Nabi S.A.W. pun berdo’a :
«اللهمإِنَّهٰذِهِقِسْمَتِيْفِيْمَاأَمْلِكُفَلَاتَلُمْنِيْفِيْمَاتَمْلِكُوَلَاأَمْلِكُ».
Yang
dimaksud adalah ketidak punyaan untuk bisa berbuat adil dari segi hati beliau,
karena Allah tidak memerintahkan makhluk untuk memalingkan hatinya dalam urusan
kecondongan, karena hal itu sangat sulit dilakukan, bahkan tidak bisa
dilakukan. Dan memerintahkan makhluk sesuai dengan kemampuan Dzahir supaya
mudah dilakukan oleh orang-orang yang berakal.
An
Nisa’[04]: 03
Firman
Allah أَوْمَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْ
Yang
dimaksud adalah wanita yang tidak bersuami. Sebagai athaf dari فواحدةً maksudnya
apabila hawatir tidak bisa berbuat adil maka nikahilah satu wanita atau
budakmu. Hal ni menunjukkan bahwa budak wanita (yang dinikahi) tidak punya hak
untuk di setubuhi dan mendapatkan jatah gilir, karena yang dimaksud dari إِنْخِفْتُمْأَلَّاتَعْدِلُوا dalam urusan
giliran فَوَاحِدَةًأَوْمَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْ,
hal ini perbudakan diposisikan dalam satu tempat, yang kemudian bagi budak
(yang dinikahi) tidak punya hal untuk disetubuhi dan mendapatkan giliran. Hanya
saja budak (yang dinikahi mendapatkan keadilan berdasar pada kewajiban berbudi
baik dan berbelas kasihan terhadap budak. Allah dalam perbudakan menggunakan
kata ملكاليمين karena tangan kanan adalah simbul terpuji, dan tangan kanan di
khususkan untuk hal yang baik-baik saja. Hal ini bisa kita lihat dari bahwa
tangan kanan dipakai untuk pengalokasian harta (Nafkah) sebagaimana sabda Nabi
: حتىلاتعلمشمالهماتنفقيمينه ,
dan tangan kanan adalah untuk penepatan janji dan untuk janji setia, sehingga
perbudakan dikatakan dengan kepemilikan tangan kanan.
An
Nisa’[04]: 03
Firman
Allah ذٰلِكَأَدْنَىأَلَّاتَعُولُوا maksudnya
bagaimana ?
Ayat
tersebut mengisyaratkan hanya memilih satu wanita saja yang pilihan dan lafadz أدنى mempunyai arti
paling dekat, dan lafadz العول arti asalnya
adalah kecondongan yang bisa diindra , seperti ucapan عالالميزانعولا apabila timbangan itu
condong ke salah satu sisi, kemudian dipindah kepada condong/cenderung (yang
tidak bisa diindra) yang mempunyai arti menyeleweng, yang dimaksud dalam ayat
ini adalah kecenderungan yang dilarang sebagai sisi lain dari keadilan. Dan
maksud dari ayat terkait adalah memilih satu wanita itu lebih dekat supaya
tidak berbuat berat sebelah yang diharamkan ketika dibandingkan lebih dari satu
wanita. Maka sesungguhnya laki-laki yang memilih satu wanita saja maka telah
hilanglah darinya rasa berat sebelah yang melenceng dari kebenaran. Dan
siapapun yang memilih satu wanita saja berarti telah hilanglah darinya kemauan
untuk berat sebelah. Sedangkan lelaki yang memilih lebih dari satu maka berat
sebelah yang haram lebih nyata baginya.
Dan
diriwayatkan dari Imam Syafi’i RA. Bahwa
Ia menafsirkan lafadz ألاتعولوا dengan
supaya keluarganya tidak menjadi banyak dan hal ini disalahkan oleh imam al
Jasshosh sepertihalnya Imam Al Mubarrod dan mereka berdua menyangka bahwa
lafadz عال tidak boleh diartikan
keluarganya menjadi banyak yang semestinya dengan عاليعيل,
akan tetapi Imam Zamakhsyari berkata : di nuqil dari Imam al Kisa’iy dari orang
arab yang fasih-fasih dengan kata عاليعول apabila keluarganya menjadi banyak dan ulama
yang menuqil semacam ini antara lain Imam Ashmu’i dan Imam al Azhuriy,
penafsiran semacam ini dinuqil dari Ibnu Abi Hatim dari Zaid bin Aslam, dia
adalah salah satu dari pembesar Tabi’in, sedangkan bacaan imam Thowus adalah ألاتعيلوا sebagai penguat
pendapat Imam Syafi’i dan yang lain. Maka jelaslah tidak ada jalan untuk
mengatakan bahwa para Imam itu jelek dalam Ilmu bahasa dan Hadis.
E.
Hikmah Poligami
Menurut
Wahbah az Zuhaili :
Keadaan
yang bisa diterima saat ini adalah apabila tidak ada hajat yang diterima syara’
atau keterpaksaan hendaknya suami untuk menikahi satu wanita. Karena kecemburuan
itu selalu menyelimuti antar suami istri, sebagaimana suami cemburu terhadap
istrinya, begitu pula istri cemburu kepada suaminya :
Akan
tetapi Islam memperbolehkan bagi laki-laki berpoligami karana terpaksa, atau
kebutuhan. Dan hal ini mempunyai batasan yaitu mampu menafkahi, bisa berbuat
adil, kemarmonisan hubungan keluarga. Kebolehan ini pun mempunyai sisilain
yaitu :
1. Istri mandul. Secara naluri seorang suami
mendambakan adanya anak dan bisa mengalokasikan kekayaannya dan jerih payahnya
kepada sang anak. Ketika istri mandul, mana yang lebih utama antara
menceraikannya dan berpoligami? tidak diragukan lagi bahwa beristri lagi itu
lebih ringan bahayanya untuk istri pertama dengan syarat tetap terjaga
kehormatannya (istri pertama) dan bisa terpenuhi hak-haknya secara sempurna
tidak kurang sedikitpun.
2.
Banyaknya kaum wanita. Sesunggunya di
sebagian negara angka kelahiran perempuan lebih banyak dibanding jumlah
laki-laki, dan terkadang berkurangnya jumlah laki-laki bisa sedikit karena peperangan,
bila demikian yang lebih utama adalah berpoligami sebagai aplikasi atas
penghormatan perempuan dan menjaga mereka dari berbuat yang tidak sesuai syara’
serta membersihkan masyarakat dari perzinaan yang bisa menimbulkan berbagai
jenis penyakit, anak-anak terlantar dan aborsi.
3. Seksualitas. Terkadang wanita menjadi
dingin dalam hubungan biologis terlebih ketika mereka mencapai usia menopouse
atau pengangkatan rahim sebab penyakit. Dan terkadang kebutuhan hubungan
biologis lelaki bisa meningkat atau
tidak meningkat tapi terus berkesinambungan tidak ada masa hentinya, bila
demikian maka tidaklah cukup baginya hanya satu wanita saja, karena si istri
tadi sudah tidak berselera melakukan hubungan biologis, atau wanita mengalami
menstruasi seminggu dalam satu bulan. Maka keadaan menuntut untuk berpoligami
karena bisa membatasi suami dari berbuat zina yang berarti telah menyia-nyiakan
agama, harta benda dan kesehatan serta memperjelek reputasi.
Adapun
prilaku jelek sebagian orang islam yang memperbolehkan berpoligami karena
demdam terhadap istri lamanya atau hanya menuruti syahwat saja, tidak karena
tujuan yang telah lewat, hal itu adalah kasuistik yang tidak akan bisa
memperjelek pada pondasi dan pokok-pokok agama serta prinsip-prinsip keislaman yang
memperbolehkan berpoligami yang dibatasi dengan batas-batas yang sangat jelas.
Dan
dalam setiap masa, para pemikir barat mengajak beristri lebih dari satu, dan
mereka tidak ragu dalam keutamaan banyak istri dibanding banyak pacar dan teman
wanita, adapun talak sering terjadi di negara barat karena banyak hal, dan hal
itu gampang mencuat kepada kaum muslimin karena mengidolakan mereka.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sesungguhnya
poligami dalam islam adalah sesuatu yang berpangkal dari keadaan yang mendesak
atau didorong oleh demi maslahah ‘aammah (kebaikan universal), atau demi
kebaikan individu. Dan memperbaiki kerusakan itu lebih baik daripada membiarkan
kerusakan. Dan seseorang dilarang untuk mencoba membiarkan kerusakan
berkelanjutan. Karena dalil Nash telah secara jelas memperbolehkan poligami, tidak mengamalkan dalil Nash atau
keluar dari ketentuan dalil Nash adalah kemungkaran yang haram dalam syari’at
Allah dan agama-Nya.
Sekian
makalah ini, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Bagi yang membaca,
untuk lebih tepatnya bila dipadukan dengan ayat dan hadis terkait.
B.
Pendapat Penulis
Poligami
adalah salah satu dari pembahasan hukum yang terkandung dalam al Qur’an yang
dalam memahaminya perlu penalaran yang jernih oleh orang yang berakal sehat
tanpa desertai dengan kepentingan selain memahami nash al Qur’an atau mencari
Ridlo Allah S.W.T. Dan untuk pelaksanaan di lapangan pastilah mempunyai beberapa
pertimbangan yang mesti terpenuhi.
Bertaqwalah
kepada Allah S.W.T. yang hanya milik-Nya lah kebenaran yang telak.
Semoga
Allah S.W.T. selalu menambahkan Hidayah-Nya kepada kita tanpa henti.
( Mohd Hadidi)
DAFTAR PUSTAKA
__________Tafsir Ibnu Katsir/ Mukadimah Tafsir Ibnu
Katsir
pengantar“Syekh Imam Al-Hafiz,
Imaduddin Abul Fida Ismail ibnul Khatib Abu Hafs, Umar ibnu Kasir”
__________ Tafsir
http://ibnukatsir.wordpress.com dan bilma’sur
didownload dari http://www.vbaitullah.or.id.Kumpula PDf tafsir bil ma’sur mufassir diuplod tgl 29/maret 2011
__________Tafsir Ath Thabari
_________ Kumpulan hukum dalam tafsir surat Ali Imran ayat 28-29, “Mengakat
pemimpin daro orang kafir”oleh Arif Fathul Ulum bin
AhmadSaifullah”2004.
_________Tafsir Al
Misbah penulis Qurais Shihab.
_________ http: Hukum Poligami dan Asal Usul Poligami.wordpress.com di donload
internet pada (11/07/2012) (Hukum poligami Html dan PDF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar