Oleh
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah UMM
Sunnatullah yang diperkenalkan al-Qur'an
sebagaimana diuraikan di atas tidaklah terbatas
pada ketentuan-ketentuan yang mengatur alam materi saja, tapi juga menjangkau alam nonmateri,
bahkan dalam al-Qur'an, pemakaian kata sunnatullah lebih banyak mengacu pada
apa yang disebut oleh ilmu pengetabuan sebagai
"hukum sejarah." Ayat-ayat
di dalam surah-surah al-Isra', al-Kahf,
al-Ahzab, Fathir, Ghafir, al-Fath, Ali 'Imran, al-Nisa,
al-Anfal, dan lain sebagainya, yang berbicara
tentang sunnatullah dengan berbagai formulasi seperti sunnat alawwalin,
sunnata man arsalna qablak, sunana al-ladzina min qablikum, semuanya
berkaitan dengan peristiwa sejarah yang
dialami para Nabi/Rasul dengan umatnya masing-masing,
yang diminta al-Qur'an supaya diamati, direnungkan dan mengambil pelajaran
daripadanya. Dalam rangka itu al-Qur'an memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah zaman
lampau seperti Fir'aun, Haman, Jalut, Tubba', al-Tsamud, Quraisy, dan sebagainya.
Demikian pula halnya dengan
tempat-tempat bersejarah seperti Badr,
Uhud, Hunain, Thur, Hijr,
Ahqaf, Saba', dan sebagainya.
Dari sejarah itu tergambar bagaimana proses kebangkitan suatu umat dan
bagaimana proses kehancurannya, apa faktor-faktor kemenangan dan apa faktor-faktor
kegagalan dalam satu perjuangan. Bagaimana pertarungan antara pahlawan-pahlawan
kebenaran dan akibat-akibat apa yang dialami para penentang kebenaran yang melakukan
kezaliman, yang mengabaikan nilai-nilai moral, yang memeras golongan lemah,
yang hidup bergelimang kemewahan, dan seterusnya. Sejarah mempunyai hukumnya sendiri dalam hal-hal tersebut
di atas.
Hukum yang berlaku sepanjang sejarah kehidupan manusia, merupakan
sebagian dari sunnatullah, yang berlaku secara pasti, sebagaimana berlaku
natuurwet.
Selain itu, aspek kesejarahan mempunyai
juga arti penting dalam hukum-hukum syar'iyyah. Apa yang dikenal dalam ilmu hukum
dengan historis-interpretasi cukup jelas padanannya dalam ilmu ushul fiqh yang
lazim dipakai dalam mengolah hukum Islam, dengan adanya hukum nasikh-mansukh,
asbab al-nuzul, asbab al-wurud dan status makkiyah atau madaniyah dari ayat-ayat, semuanya itu adalah untuk memperjelas proses terbentuknya
suatu hukum dan latar belakang sejarah yang mendorong kehadiran hukum tersebut.
Sunnah Rasullullah saw yang menggambarkan
perjuangannya selama dua dasawarsa
lebih, yang banyak dicatat dalam al-Qur'an menerjemahkan dengan jelas sunnatullah yang berlaku dalam sejarah.
Sukses besar berupa keberhasilan
membangun dan membina suatu umat teladan, dan memenangkan suatu perjuangan besar
dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta mewujudkan kesejahteraan yang
memberi arti bagi kemanusiaan, semua
itu tidaklah lahir dalam sehari
dengan kilatan lampu aladin, tapi merupakan hasil kerja keras yang lama
dan berkesinambungan, yang didorong
oleh rasa percaya diri dan semangat juang yang tinggi sebagai perwujudan
iman dan taqwa. Sunnah Rasulullah dalam perjuangan itu mendidik umatnya supaya memahami dan menghayati
sunnatullah yang berlaku dalam sejarah.
Dalam hubungan ini Syeikh Mahmud Syaltut mengomentari, ayat-ayat yang berbicara
tentang perjuangan Rasulullah,
mengungkapkan sesungguhnya Allah hanya memenangkan suatu perjuangan
sesuai dengan ketentuan sunnahNya yang berlaku atas segenap mahluk-Nya.
Siapa
yang menolong/membela agama Allah dengan jalan menegakkan keadilan, memantapkan
keamanan, menyebarkan ketentraman, tidak menjadikan kekuatan/kekuasaan itu
sebagai alat menindas dan merusak, tapi hanya sebagai alat menciptakan kemakmuran
dan untuk menegakkan hukum Allah dalam
hal memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar. Lebih lanjut
beliau menjelaskan bahwa dalam
al-Qur'an banyak ayat memuat janji Allah
untuk membantu memenangkan perjuangan orang-orang mukmin,
tapi tidak mewujudkan janji itu dalam bentuk suatu keajaiban yang
langsung turun dari langit, hanya karena mereka sudah mengaku beriman/percaya
kepada Allah, atau karena sudah memeluk agama Allah, tapi dalam bentuk kesadaran keimanan yang menjadikan mereka
menyadari kewajibannya dan melaksanakan perjuangan dengan gigih tanpa pamrih.
Sikap yang demikian membuktikan bahwa
mereka sudah memenuhi janjinya kepada Allah. Dan Allah pun mewujudkan janjinya
pada mereka. [16]
Ciri utama agama Islam, ialah ajarannya
yang cukup praktis dan realistis menghadapi kenyataan sosial dengan
langkah-langkah pemecahan yang praktis
pula. Maka dengan adanya perjuangan antara kebenaran dengan kebatilan, yang menandai kehidupan sosial,
maka keharusan memenuhi segala persyaratan-persyaratan itu adalah suatu hal
yang mutlak. Sebab-sebab keberhasilan dan kemenangan dalam suatu perjuangan
dapat dipelajari dari sejarah dan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya
juga segala penyebab terjadinya suatu kegagalan atau kehancuran harus disadari
dan dihindari.
Hukum sejarah sejalan dengan hukum alam. Keduanya mempunyai titik temu dalam hukum
sebab-akibat. Pesan dan petunjuk yang diberikan al-Qur'an pada manusia, demikian pula sunnah Rasulullah yang
memberikan penjelasan praktis pada pesan al-Qur'an itu, membimbing kita supaya
menyadari keterkaitan segala sesuatu dengan penyebabnya, sebagai syarat bagi terjadinya.
Ada sebagian pendapat yang kurang memahami sunnatullah dalam bentuk hukum
alam dan hukum sejarah, melihat
adanya semacam kontradiksi antara hukum sebab-musabab (hukum kausal)
dengan hukum teologis yang
disebut tauhid, atau hukum moral
yang disebut tawakkal. Dianggapnya
hukum tauhid itu cenderung memberikan cap syirik (mempersekutukan Allah) jika seseorang
menganggap ada penyebab (faktor penentu) selain Allah. Atau dianggapnya hukum tawakkal bertentangan dengan hukum sebab-musabab
(kausal). Keraguan seperti itu sejak dini telah muncul, lalu diluruskan oleh
sunnah Rasulullah dalam praktek sebagaimana tercermin dengan jelas dalam cara-cara
perjuangan Rasul saw.
yang menempuh segala persyaratan dan mengkaitkan segala
sebab dengan musababnya, disamping menjelaskan hal itu dalam petunjuk lisannya pada mereka yang
segan berobat di kala ia sakit, karena
khawatir kalau-kalau upaya
berobat untuk menghindarkan
penyakit bertentangan dengan iman tauhudnya dan tidak menjadikan ia bertawakkal
kepada Allah.
Dalam hubungan itu Nabi saw. bersabda, Bertobatlah kalian, karena
sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan menciptakan juga obat. [l7] Dalam
sabdanya yang lain, ketika Beliau ditanya tentang pengobatan,
apakah itu bertentangan dengan qadar (taqdir)? Lalu Beliau menjawab, Itu (pengobatan) adalah sebahagian dari qadar
Allah. [18] Imam Ghazali menjelaskan, sebab-musabab itu adalah sunnatullah dan penyimpangan
dari sunnatullah bukanlah persyaratan dalam tawakkal bahkan ada kalanya merupakan
kebodohan yang dicela agama. Demikian ulasan al-Ghazali dalam Kitab Tawhid dan
Tawakkal. [39]
Penjabaran yang merinci hukum-hukum al-Qur'an yang dilakukan fiqh memperlihatkan adanya empat
bidang utama yang menjadi sasaran dari
hukum itu, yakni bidang 'ibadat, bidang mu'amalat, bidang
munakahat dan bidang jinayat. Hubungan manusia sebagai
makhluk dengan Khaliqnya (Allah) diatur penataannya
melalui hukum ibadat. Tata hubungan antara manusia dengan sesamanya dalam
lalulintas pergaulan dan hubungan sehari-hari
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, diatur dalam hukum mu'amalat. Tata hubungan
manusia dalam kehidupan berkeluarga dalam suatu
lingkungan rumah tangga, diatur melalui
hukum munakahat, dan terakhir tata hubungan keselamatan, keamanan serta
kesejahteraannya yang ditegakkan oleh pemegang kekuasaan umum atau badan
peradilan, diatur melalui hukum jinayat.
Adanya hukum-ibadat dalam
batang tubuh hukum
Islam yang bersumber dari
al-Qur'an itu merupakan ciri utama hukum Islam. Ibadat tidak lain adalah perwujudan dari akidah yang
diimani. Di sinilah terlihat secara nyata keterkaitan hukum itu dengan akidah/keimanan. Hubungan
antara makhluk (manusia) dengan Al-Khaliq,
diatur secara pasti. Adanya hukum niat yang diberi peran menentukan nilai
perilaku manusia, memperlihatkan dengan jelas peran moral dalam hukum itu. Di
sini pula tampak titik awal perbedaan antara
pemahaman hukum menurut ilmu hukum dengan hukum Islam yang bersumber
dari al-Qur'an. Menurut ilmu hukum, hukum itu hanya sekedar mengurus dan
mengatur hubungan antar sesama manusia.
Di luar itu tidak diperlukan hukum. Selain itu, masih ada perbedaan asasi
antara kedua jenis hukum itu. Menurut
ilmu hukum, hukum itu terdiri dari suruhan/perintah dan larangan
serta hak dan kewajiban. Apa yang
dimaksud dengan nilai moral dan akhlak tidaklah tergolong hukum. Dengan
demikian tidaklah mengherankan akibatnya dalam rangka pembinaan hukum, hanya
diarahkan supaya tidak melanggar rambu-rambu
hukum. Kepatuhan mentaati hukum menjadi kepatuhan yang semu dan bersifat
lahiriah belaka. Sebaliknya hukum menurut
ajaran al-Qur'an penegakkannya berjalan sekaligus dengan penabinaan moral dan akhlak yang bersumber dari akidah/keimanan. Karena itu penegakkan hukum menurut ilmu hukum
selama tidak diawasi dan diketahui pejabat/aparat hukum selalu terjadi
pelanggaran hukum. Pembinaan hukum di sini tidak diarahkan kepada pembinaan
diri manusianya. Dalam penegakkan hukum
menurut ajaran al-Qur'an selalu
ditekankan suatu pesan sebagai berikut, Wahai orang-orang yang
berilmu! jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak
dan keluarga kerabatmu; kaya
maupun miskin, Allah jualah yang lebih tabu keadaannya.
Maka janganlah kalian mengikuti
hawa nafsumu, supaya kalian tidak menyimpang (dari kebenaran). Dan jika kalian
memutarbalikkan (kebenaran) atau enggan menjadi saksi. Maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala apa yang kalian lakukan. [20] Itulah pesan al-Qur'an, bagaimana
seyogyanya seorang berbuat adil. Tidak dituntut dari dan terhadap orang lain
saja, yang pertama ialah dari dan terhadap dirinya sendiri.
Kemungkinan seorang pencari keadilan berlaku memperdaya hakim, atau
adanya aparat hukum yang menyalahgunakan kedudukannya, secara dini al-Qur'an
memperingatkan, Dan janganlah sebagian dari kalian memakan harta benda
sebagian yang lain dengan jalan batil dan jangan pula mempergunakan
harta itu sebagai umpan (guna menyuap) para hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian
mengetahui. [2l]
Dalam hubungan adanya kemungkinan seseorang berlaku memperdayakan hakim, sunnah Rasulullah memperjelas sebagai berikut,
Sesungguhnya kalian mengajukan perkara-perkara kepadaku (untuk diputus).
Mungkin sebahagian dari kalian lebih mampu dari yang lain (lawannya)
mengemukakan alasan-alasan untuk memperkuat tuntutannya, lalu aku memutus
perkara itu atas dasar apa yang saya dengar (dari alasan/keterangan) itu. Maka
barang siapa menerima putusan perkara
(yang ia sendiri tahu) bahwa itu hak saudaranya (lawannya dalam perkara) maka janganlah
ia mengambil (hak) itu. Karena sesungguhnya ia hanya mengambil (menerima
dariku) sepotong api neraka. Demikian sabda
Rasulullah. [22] Dengan demikian maka jelaslah, al-Qur'an memperkenalkan satu konsepsi
hukum yang bersifat integral. Di
dalamnya terpadu antara sunnatullah
dengan sunnah Rasulullah, sebagaimana terpadunya antara aqidah/keimanan dan
moral/ahklak, dengan hukum dalam rumusan yang diajarkan al-Qur'an.
Dengan sifatnya yang demikian itu, maka hukum dari ajaran al-Qur'an
itu mempunyai kekuatan sendiri yang tidak sepenuhnya tergantung pada
adanya suatu kekuasaan sebagai kekuatan pemaksa dari luar
hukum itu. Ide hukum yang
diajarkan al-Qur'an berkembang terus dari kurun ke kurun, melalui jalur ilmu.
Seandainya hukum yang diajarkan al-Qur'an itu tergantung pada suatu kekuasaan,
maka sudah lama jenis hukum ini terkubur dalam perut sejarah atau
sekurang-kurangnya menjadi barang pajangan
di lemari-lemari museum. Karena kita
semua cukup mengetahui betapa hebat upaya dari kekuasaan-kekuasaan yang mampu
menaklukkan wilayah-wilayah Islam dan umatnya disertai upaya melikwidasi budaya
dan hukumnya. Tapi ternyata hukum Islam
dari ajaran al-Qur'an itu dapat memperlihatkan daya tahannya yang ampuh.
Ia tetap bertahan bahkan berkembang dalam bentuk baru melalui proses taqnin
(dirumuskan menjadi positif melalui yurisprudensi dan adakalanya melalui
berbagai bentuk perundang-undangan).
Di lain pihak, perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat,
yang terjadi di negara-negara maju dapat pula mencari pandangan yang
negatif terhadap Islam dan al-Qur'an,
yang sangat mendominasi bangsa-bangsa Barat. Salah satu gejala dari perkembangan
tersebut adalah minat para ilmuwan Barat untuk mempelajari Islam/Qur'an,
sebagai ilmu. Dalam rangka itu para ahli hukum dari mereka, dari kongres ke
kongres mulai terbuka pandangan terhadap Islam, yang tidak lain wujud nyatanya
dan terinci adalah fiqh (hukum Islam) itu sendiri. Maka Fiqh ini dijadikan
agenda tetap dalam pengkajian-pengkajian
mereka di bidang hukum.
Sebagai contoh dapat kita lihat dari hasil Kongres Ahli-ahli
Hukum Internasional yang berlangsung di London (2-7 Juli 1951) yang antara lain
menetapkan, pokok-pokok hukum (undang-undang) yang terdapat dalam agama Islam
merupakan undang-undang yang bernilai tinggi dan sulit dibantah kebenarannya.
Disamping itu, adanya berbagai madrasah dan madzhab di dalamnya menunjukkan,
perundang-undangan Islam kaya dengan berbagai teori hukum dan teknik hukum yang
indah, sehingga perundang-undangan ini dapat memenuhi kebutuhan hidup modern.
[23] Dalam rangka pembangunan hukum di negara kita Republik Indonesia,
pembangunan dan pembinaan hukum nasional diarahkan kepada pembaharuan hukum yang sesuai dengan kesadaran
hukum yang berkembang
dalam masyarakat. Sebagai kelanjutan dari pokok pikiran ini, sejak
1978 sampai dengan 1983 telah
dilaksanakan pengkajian hukum yang meliputi antara lain Hukum Islam.
Terakhir kita mendengar selesainya upaya kompilasi Hukum
Islam yang dilakukan Mahkamah Agung bersama Departemen Agama.
Hukum yang diperkenalkan al-Qur'an hidup terus, sekali pun harus mengalami
pasang surut dan pasang naik dan penerapannya, karena memang demikianlah hukum sejarah dalam sunnatullah sendiri. Namun harus diakui, perkembangan segi-seginya tidaklah seimbang.
Seginya yang menyangkut hukum sosial kemasyarakatan (ahkam
syar'iyah 'amaliyah/fiqh) lebih banyak mendominasi perkembangan itu. Dan
seginya yang menyangkut sunatullah
berupa hukum alam dan sejarah, kurang mendapat perhatian dalam pengembangannya.
Tetapi bagaimana pun juga, perkembangan segi fiqhnya yang
merumuskan hukum sosial kemasyarakatan itu, sangat berjasa dalam
menumbuhkan kesadaran hukum dan sikap normatif dalam kehidupan umat Islam.
Selain itu, wawasan hukum yang diperkenalkan al-Qur'an, penerapannya
ternyata juga kurang terpadu antara hukum-hukumnya yang menyangkut
segi sosial kemasyarakatan, dengan
hukum-hukumnya yang menyangkut sunnatullah yang
berupa hukum alam dan hukum sejarah. Dua hal yang disinggung terakhir ini,
yakni keseimbangan dan keterpaduan dalam hal
pemahaman, pelaksanaan dan pengembangan wawasan hukum yang diperkenalkan
al-Qur'an itu merupakan tantangan bagi
para ulama dan
para
cendekiawan Muslim.
Sumber :KH. Ali Sfei
1) QS. al-A'raf:87; Hud:45.
2) QS. al-Mumtahanah:10; al-Maidah:43; dan lain-lain.
3) QS. al-Nisa':68.
4) QS. al-Maidah:42
5) QS. al-Maidah:8.
6) UUD 1945, Penjelasan Umum.
7) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
8) QS. 'Ali 'Imran.83; Al-Ra'd:15.
9) Jonathan Rutland, Human Body.
10) QS. Fusshilat:53.
11) QS. Yunus:101.
12) QS. al-A'raf: 185.
13) QS. 'Ali 'Imran:190/191.
14) Taisir Ibn' Katsir, I/440.
15) QS. Yunus:15.
16) QS. Yasln:38/40.
17) QS. Fathir :43.
18) QS. al-Ahzab:38.
19) QS. al-Qamar:49.
20) Ilmu Pengetahuan Populer, Grolier Internasional Inc.
IV/146.
21) QS. al-Furqan:2
22) Ihya 'Ulum al-Din, al-Ghazali, LV/89.
23) Min Taujuhat al-Islam, Syaltut, h.272.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar