Oleh:
Adian Husaini
(Ph.D.
Candidate, ISTAC-IIUM)
“All
power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” (Lord Acton)
“Beware of a
women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a priest
wether you are in front or behind”.
Sekularisasi memang merupakan
fenomena khas dalam dunia Kristen. Menurut Bernard Lewis, “Sejak awal mula,
kaum Kristen diajarkan -- baik
dalam persepsi maupun praktis -- untuk memisahkan
antara Tuhan dan Kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda
antara keduanya.” 1 Dalam bukunya, Christianity
in World History, Arend Theodor van Leeuwen, mencatat, bahwa penyebaran
Kristen di Eropa membawa pesan sekularisasi. Kata Leeuwen, “Christianization
and secularization are involved together in a dialectical relation.” Maka, menurutnya, persentuhan antara kultur
sekular Barat dengan kultur tradisional religius di Timur Tengah dan Asia,
adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab, kultur sekular
adalah hadiah Kristen kepada dunia.(Christianity’s
gift to the world). 2
Pandangan Lewis dan Leeuwen
merupakan babak baru dalam sejarah peradaban Barat, dimana ke-Kristenan telah
mengalami tekanan berat, sehingga dipaksa untuk memperkecil atau membatasi
wilayah otoritasnya. Gereja dipaksa menjadi sekular, dengan melepaskan wilayah
otoritasnya dalam dunia politik. Fenomena sekularisasi dan liberalisasi
pada peradaban Barat – yang kemudian diglobalkan ke seluruh dunia -- sebenarnya dapat ditelusuri dari proses
sejarah yang panjang yang dialami oleh
salah satu peradaban besar di dunia ini. Dalam buku The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century,
Owen Chadwick menulis satu bab berjudul “On
Liberalism”. Kata ‘liberal’ secara harfiah
artinya “bebas” (free),
artinya “bebas dari berbagai batasan” (free
from restraint). “The liberal state,”
tulis Chadwick, “must be the secular
state.” 3
Dalam sejarah Kristen Eropa, kata
“secular” dan “liberal” dimaknai sebagai
pembebasan masyarakat dari cengkeraman kekuasaan Gereja, yang sangat kuat dan
hegemonik di Zaman Pertengahan. Proses
berikutnya bukan saja dalam bidang sosial-politik, tetapi juga menyangkut
metodologi pemahaman keagamaan. Misalnya, muncul pemikiran Yahudi Liberal
(Liberal Judaism), dengan tokohnya Abraham Geiger. 4
Begitu juga merebaknya pemikiran teologi liberal dalam dunia Kristen. Proses
sekularisasi-liberalisasi agama, kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke
agama-agama lainnya, termasuk Islam.
Mengapa
Barat kemudian memilih jalan hidup sekular-liberal? Setidaknya, ada tiga faktor penting yang menjadi latar
belakang, mengapa Barat memilih jalan hidup sekular dan liberal dan kemudian
mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya ke seluruh dunia, termasuk di
dunia Islam. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi
agama (Kristen) di zaman pertengahan. Kedua,
problema teks Bible. Dan ketiga,
problema teologis Kristen. Ketiga problema itu terkait satu dengan lainnya,
sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya
melahirkan sikap berpikir sekular-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat
modern.
Pertama,
problem sejarah Kristen
Sejarah
Kekristenan, kata Bernard Lewis, banyak diwarnai dengan perpecahan (skisma) dan
kekafiran (heresy), dan dengan konflik antar kelompok yang berujung pada
peperangan atau persekusi. Sejarah bermula sejak zaman Konstantine, dimana
terjadi konflik antara Gereja Konstantinopel, Antioch,
dan Alexandria.
Lalu, antara Konstantinopel dan Roma; antara Katolik dan Protestan dan antara
berbagai sekte dalam Kristen. Setelah konflik-konflik berdarah banyak terjadi,
maka muncul kalangan Kristen yang berpikir, bahwa kehidupan toleran antar
kelompok masyarakat hanya mungkin dilakukan jika kekuasaan Gereja untuk
mengatur politik dihilangkan, begitu juga campur tangan negara terhadap Gereja.
5
Dalam
perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah
mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages). Mereka menyebutnya
sebagai ‘Zaman Pertengahan’ (the medieval
ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 dan
mulai munculnya Gereja Kristen sebagai
institusi yang dominan dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan munculnya
zaman reneissance sekitar abad ke-14.
Karena itu, mereka menyebut zaman baru dengan istilah “renaissance” yang artinya “rebirth”
(lahir kembali). Mereka seperti merasa, bahwa ketika hidup di bawah cengkeraman
kekuasaan Gereja, mereka mengalami kematian. Sebab, ketika itu Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil
Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan
melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Sejarah
dominasi kekuasaan Gereja bisa ditelusuri sejak awal mula tumbuhnya Kristen
sebagai agama negara di zaman Romawi. Besarnya kekuasaan yang dimiliki Gereja
melahirkan berbagai penyimpangan. Tahun
1887, Lord Acton seperti menyindir hegemoni
kekuasaan Gereja dan menulis surat
kepada Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: “All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” 6
Untuk memahami latar
belakang persekusi yang sangat brutal terhadap kaum non-Kristen dan
kelompok-kelompok heretics lainnya, yang kemudian melahirkan trauma keagamaan,
perlu ditelaah sejarah dan latar belakang upaya Gereja di zaman Petengahan
dalam membangun kekuatan hegemoniknya. Salah satu fenomena penting dalam
sejarah Abad Pertengahan di Eropa adalah upaya Gereja Kristen untuk memperoleh
dan memelihara kekuatan politiknya. Agama Kristen mulai mendapatkan peluang
kebebasan – setelah beratus-tahun mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi
– dari Kaisar Konstantine, yang pada tahun 313 M mengeluarkan Edict of Milan. 7 Dengan dikeluarkannya Edict of
Theodosius pada tahun 392, agama Kristen memegang posisi sebagai agama negara
(state-religion) dari Imperium Romawi (Roman Empire). 8
Di akhir masa
Kekaisaran Romawi, ketika institusi-institusi kenegaraan Romawi mengalami
kehancuran, institusi Gereja meraih
kekuatan dan signifikansinya. Organisasi Gereja tumbuh menjadi lebih kuat dan
keanggotannya semakin meningkat. Ketika itu, Agama Kristen (Christianity)
merupakan prinsip pemersatu dan Gereja menjadi insitusi yang dominan dan
sentral. Tidak ada satu pun aspek kehidupan di Abad Pertengahan yang tidak
tersentuh oleh pengaruh Gereja. 9
Ketika
Kekaisaran Romawi runtuh pada tahun 476, Gereja tetap mempertahankan sistem
administrasi Romawi dan memelihara elemen-elemen peradaban Yunani-Romawi
(Greeco-Roman civilization). Sebagai agen
pemersatu, Gereja menyediakan jawaban bagi masyarakat tentang konsep kehidupan
dan kematian. Dalam kehidupan social yang menuju kehancuran ketika itu, Gereja
merupakan satu-satunya institusi yang memberikanalternatif rekonstruksi
kehidupan. Karena itu, kemudian pengaruh
Gereja meluas begitu cepat di seluruh daratan Eropa, melibas berbagai pengaruh
pandangan dan kepercayaan tradisional Eropa. Sepanjang daratan Eropa, dari
Italia sampai Irlandia, sebuah masyarakat baru, berpusat pada Kekristenan,
terbentuk. Selama Abad Pertengahan,
ketika kota-kota mengalami kehancuran, biara-biara menjelma menjadi pusat-pusat
kebudayaan, dan tetap bertahan sampai munculnya kembali kota-kota di masa
kemudian. Ketika itu, biara-biara juga menyediakan perawatan dan bantuan bagi
orang-orang sakit dan miskin serta menyiapkan tempat bagi para pengembara. 10
Awal-awal
Abad Pertengahan merupakan periode pembentukan institusi Kepausan. Gereja
Romawi (Roman Church) mulai
teorganisasi dengan baik di zaman Paus Gregory I (590-604) – yang dikenal
sebagai “the Great”. Dialah yang membangun awal mula birokrasi kepausan masa
Pertengahan dan memperkuat kekuasaan kepausan (papacy’s power). Gregory menggunakan metode administrasi
Romawi untuk mengorganisasikan kekayaan Gereja di Italia, Sicilia, Sardinia, Gaul, dan wilayah lainnya. Ia meperkuat otoritas kepausan
atas bishops and para pastur lainnya,
mengirimkan misionaris ke Inggris untuk menaklukkan Anglo-Saxons, dan melakukan aliansi dengan Perancis. Paus Gregory
juga melakukan aktivitas ekonomi dengan mengimpor gandum untuk memberi makan
prajurit Romawi dan mengirimkan pasukan melawan kelompok heretic Lombards. Karena itu, Greorius I, dari sudut tertentu, dipandang sebagai
“penyusun kekuatan politik kepausan” (creator
of the political power of the popes).
Akhirnya, pada abad ke-8, aliansi antara Paus dan Raja Pippin dari Perancis,
berhasil mendirikan “Kerajaan Kepausan” (Papal States)
dan mengatur dukungan Paus untuk memberikan legitimasi terhadap keluarga
Pippin. Tahun 754, Pippin berjanji untuk mengembalikan teritori
patrimoni dari St. Peter the territories. Sebagai balasan, Paus Stephen III
menjanjikan akan memberikan hukuman pengucilan (excommunicated) terhadap
raja-raja Perancis yang tidak berasal dari keluarga Pippin. Tahun 800, Paus Leo
III, membuat keputusan besar dalam politik kepausan, dengan meletakkan mahkota
kerajaan kepada anak Pippin, Charlemagne, yang diangkat sebagai “Emperor of the
Romans”. Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari Kekaisaran
Romawi Timur (Byzantine) ke Barat. 11
Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne
kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan
kemudian juga memicu konflik politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini
berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari
dua institusi tersebut: negara dan Gereja.
Contoh yang menarik terjadi pada kasus konflik antara Paus Gregory VII
dan Raja Henry IV pada paruh abad ke-11. Konflik bermula ketika Gregory
melarang keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat gereja. Paus berargumen,
bahwa konsep Gereja sebagai monarkhi berasal dari tradisi Imperium Romawi. Paus
sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan bishops, mengadakan suatu Sidang Umum dan mengeluarkan peraturan
moral dan keagamaan. Jika Paus mengucilkan seorang penguasa, maka penguasa itu
berarti telah berdiri di luar tubuh Kekristenan, dan karena itu ia tidak dapat
menjadi penguasa di wilayah Kristen (Christendom). Raja Henry IV menolak klaim
Paus tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang langsung dari
Tuhan. Menghadapi tentangan itu, Gregory menyerukan kepatuhan pasif terhadap
Henry IV. Pada akhir pertarungan, Henry
IV takluk dan dipaksa menemui Gregory di Canossa pada 1077. Paus
kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya.
Kasus ini menunjukkan keefektivan kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi
kepausan, meskipun tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap Raja yang
sangat besar kekuasaannya di Eropa. 12
Kemenangan
Gregory tampaknya meningkatkan moral Gereja dalam menghadapi segala sesuatu
yang dipandang sebagai “musuh”. Apalagi, sejumlah penguasa Kristen juga
berhasil merebut kembali daerah-daerah yang sebelumnya direbut oleh Muslim.
Tahun 1091 Count Roger berhasil merebut Sicily.
Pada tahun 1085, Kristen Spanyol, dengan bantuan tentara Perancis berhasil
mempertahankan Toledo
dari serangan Muslim.Paus dan bishops kemudian
lebih jauh melangkah untuk mendorong masyarakat membentuk milisi-milisi. Salah
satunya adalah Bishop Toul yang kemudian menjadi Paus Leo IX tahun 1049. Dua
bulan setelah penobatannya, Paus Leo IX membentuk milisi Romawi untuk memerangi
bangsa Norman yang mengancam menyerbu
wilayahnya. Pada tahun 1053, ia sendiri yang memimpin pasukannya dalam
peperangan. Dua puluh tahun kemudian, Paus Gregory VII menyerukan semua rakyat
Eropa untuk membentuk milisi yang dia namakan sebagai “the Knight of St.
Peter”. 13
Di
zaman hegemoni kekuasaan Gereja inilah lahir sebuah institusi Gereja yang
sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya, yang dikenal sebagai
“INQUISISI”. Karen Armstrong, mantan
biarawati dan penulis terkenal,
menggambarkan kejahatan institusi Inquisisi Kristen dalam sejarah
sebagai berikut: “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari
institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrumen
teror dalam Gereja Katolik sampai dengan akhir abad ke-17. Metode inquisisi ini
juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan persekusi dan kontrol
terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka”. (Most of us would agree that one of the most evil of all Christian
institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the
Catholic Church until the end of seventeenth century. Its methods were also
used by Protestants to persecute and control the Catholics in their countries).
14
Ada sebagian
tokoh Gereja yang berusaha melakukan pembelaan (apologetic). Tentang upaya apologetik dalam soal Inquisisi itu,
Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of
Christ: The dark Side of the Papacy, mencatat, bahwa sikap itu hanya
menambah kemunafikan menjadi kejahatan. (it
merely added hypocricy to wickedness). Yang sangat mengherankan dalam soal
ini adalah penggunaan cara siksaan dan pembakaran terhadap korban. Dan itu
bukan dilakukan oleh musuh-musuh Gereja, tetapi dilakukan sendiri oleh
orang-orang tersuci yang bertindak atas perintah wakil Kristus (Vicar of Christ). Peter de Rosa mencatat: “How ever, the Inquisition was not only evil compared with the
twentieth century, it was evil compared with the tenth and elevent when torture
was outlawed and men and women were guaranteed a fair trial. It was evil
compared with the age of Diocletian, for no one was then tortured and killed in
the name of Jesus crucified.” (Betapa pun, inquisisi tersebut bukan hanya
jahat saat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-20, tetapi ini juga jahat
dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-10 dan ke-11, saat dimana penyiksaan
tidak disahkan dan laki-laki serta wanita dijamin dengan pengadilan yang fair.
Ini juga jahat dibandingkan dengan zaman Diocletian, dimana tidak seorang pun
disiksa dan dibunuh atas nama Jesus yang tersalib). 15
Ketika
pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya,
Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri
dalam biara mereka di Madrid.
Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui
adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah,
pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah
tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan
tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila.
Pasukan Perancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai
merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan
ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut. 16
Henry Charles Lea, seorang sejarawan
Amerika, menulis kejahatan Inquisisi di Spanyol dalam empat volume bukunya: A History
of the Inquisition of Spain, (New York: AMS Press Inc., 1988). Dalam
bukunya ini, Lea membantah bahwa Gereja tidak dapat dipersalahkan dalam kasus
Inquisisi, sebagaimana misalnya dikatakan oleh seorang tokoh Kristen, Father
Gam, yang menyatakan: “The inquisition is
an institution for which the Church has no responsibility.” (Inquisisi adalah satu institusi dimana
Gereja tidak memiliki tanggung jawab untuk itu). Ini adalah salah satu bentuk
apologi di kalangan pemimpin Kristen. Lea menunjuk bukti sebagai contoh bahwa
dalam kasus bentuk hukuman terhadap korban inquisisi, otoritas gereja
mengabaikan pendapat bahwa menghukum kaum “heretics” (kaum yang dicap
menyimpang dari doktrin resmi gereja) dengan membakar hidup-hidup adalah
bertentangan dengan semangat Kristus. Tapi, sikap gereja ketika itu menyatakan,
bahwa membakar hidup-hidup kaum heretics adalah suatu tindakan yang mulia. 17
Ketika melakukan berbagai bentuk
kekejaman itu, Gereja bertindak sebagai wakil Tuhan, dan mengatasnamakan Tuhan.
Karena itu, kesalahan yang dilakukan Gereja adalah kesalahan pada agama itu
sendiri. Ini berbeda dengan Islam, yang tidak mengenal institusi kekuasaan
agama (Theokrasi), sebagaimana yang terjadi pada sejarah Kristen. Para pemimpin Gereja diakui haknya untuk mengampuni dosa manusia.
Karena
itu, tidaklah tepat jika konsep politik dalam Islam, yang diterapkan selama
ratusan tahun, yakni konsep khilafah, disebut dengan istilah dalam tradisi
Kristen, yaitu “theokrasi”. Abul A’la Maududi malah menyebut Theokrasi sebagai
pemerintahan setan. Padahal, ketika
memegang hegemoni kekuasaan yang begitu besar, justru ketika itulah, terjadi
berbagai penyalahgunaan kekuasaan, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan dari
dalam tubuh Gereja sendiri. Mereka menyebutnya dengan istilah “reformasi”.
Salah satu yang mendorong Martin
Luther melakukan pemberontakan terhadap
Paus adalah praktik jual beli surat
pengampunan dosa. Pada 31 Oktober 1517,
Marthin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara
menempelkan 95 poin pernyataan (Ninety-five
Theses) di pintu gerejanya, di Jerman. Ia terutama menentang praktik
penjualan “pengampunan dosa” (indulgences)
oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan
doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya akibat
penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja
Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di
wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan geraja dan ajaran tersendiri terlepas
dari kekuasaan Paus. 18
Bahkan,
kata Luther, kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki secara bersamaan.
Kekuatan jahat dalam kehidupan haruslah memiliki tubuh dan nyawa. Nyawa dari
kekuatan Anti-Kristus adalah Paus, daging dan tubuhnya adalah Turki…Bangsa
Turki adalah bangsa yang dimurkai Tuhan. (Antichrist
is the Pope and the Turk together. A beast full of life must have a body and
soul. The spirit or soul of Antichrist is the Pope, his flesh and body the Turk
… The Turk are the people of the Wrath of God). 19
Berbagai penyelewengan penguasa
agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang
mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak
dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan. Pemberontakan demi pemberontakan
terus berlangsung, sehingga dunia Kristen Eropa kemudian terbelah menjadi dua
bagian besar, Katolik dan Protestan. Beratus-ratus tahun kedua agama ini
bersaing dan saling melakukan berbagai aksi pembantaian. Kisah perebutan tahta
di Inggris menarik untuk disimak, bagaimana Raja Henry VIII (1491-1547)
memisahkan diri dari Paus dan membentuk Gereja sendiri, hanya karena Paus
menentang perkawinannya dengan Anne Boleyn dengan menceraikan istrinya
terdahulu, Catharine of Aragon. Tahta Inggris akhirnya jatuh ke tangan
Protestan (Anglikan) setelah Vatikan gagal mencegah tampilnya Elizabeth I (1558-1603) sebagai ratu Inggris
menggantikan Queen Mary yang Katolik.
Sebuah film berjudul “Elizabeth”
yang dibintangi oleh Cate Blanchett menggambarkan perebutan tahta Inggris
antara Katolik dan Protestan yang diwarnai dengan berbagai tindakan kejam yang
di luar batas perikemanusiaan, baik yang dilakukan tokoh-tokoh Katolik maupun
tokoh Protestan.
Di Perancis, pertarungan antara
Katolik dan Protestan juga berlangsung sangat sengit. Salah satu kisah yang
paling mengerikan adalah pembantaian kaum Protestan – terutama Calvinists
-- di Paris, oleh kaum Katolik tahun
1572 yang dikenal sebagai “The St. Bartholomew’s Day Massacre”. Diperkirakan
10.000 orang mati. Selama berminggu-minggu jalan-jalan di Paris dipenuhi dengan
mayat-mayat laki-laki, wanita, dan anak-anak, yang membusuk. 20
Perancis
juga dikenal dengan Revolusi-nya (1789) yang dahsyat yang mengusung jargon “Liberty, Egality,
Fraternity”. Pada masa itu, para
agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para
bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai
hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil,
yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Perancis. 21
Dendam
masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan
penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap
Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul
sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai
penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada
abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu:, ialah: “Berhati-hatilah, jika
anda berada didepan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang
keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a women if you are in front of
her, a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or
behind).” 22
Trauma
pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan
paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik.
Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan
terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama
dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik;
agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Bukti-bukti penyimpangan kekuasaan politik oleh para penguasa agama di Eropa
dengan mudah ditemukan. Pada tahap selanjutnya, mereka terus mencari
dalil-dalil dan alasan teologis untuk memperkuat argumentasi sekularisasi,
khususnya ditemukan pada ayat-ayat tertentu pada Bible. Ini adalah trauma Barat
pada sejarah keagamaan mereka, yang sangat berbeda dengan pengalaman sejarah
Islam, atau peradaban lainnya. Menghadapi serangan yang sangat kuat tersebut
pihak Kristen akhirnya menyerah dan menerima proses sekularisasi sebagai bagian
dari kenyataan. Bahkan, banyak yang berargumen bahwa sekularisasi adalah bagian
dari ajaran Kristen itu sendiri. 23
Trauma
Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang
mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam
benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan
sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para
ilmuwan. Seorang psikolog Barat, Scott Peck, menyatakan: “Sekali kata
‘religion’ disebutkan di dunia Barat, ini akan membuat orang berpikir tentang:
… inquisisi, tahyul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri,
kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, pembakaran dukun, larangan-larangan,
ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, dan kegilaan. Apakah semua ini
yang Tuhan lakukan untuk manusia atau apa yang manusia lakukan terhadap Tuhan.
Ini merupakan bukti kuat bahwa percaya kepada Tuhan sering menjadi dogma yang
menghancurkan.” 24
Persepsi
tentang agama Kristen semacam itulah yang kemudian membentuk persepsi kolektif
tentang perlunya dilakukan “sekularisasi” dalam kehidupan masyarakat. Agama
(institusi Gereja) harus dipisahkan dari wilayah politik, karena kekuasaan Gereja
yang absolut sudah terbukti menyelewengkan dan memanipulasi kekuasaan untuk
kepentingan pemuka agama. Di zaman pertengahan, memang Gereja mendominasi
wilayah kekuasaan masyarakat. Kemampuan Paus Urban II untuk menggalang kekuatan
masyarakat Kristen Eropa menunjukkan bagaimana kuatnya pengaruh Gereja.
Institusi Inquisisi juga merupakan bukti kuatnya cengkeraman kekuasaan Gereja
tersebut. Kekuatan terpenting di Zaman Pertengahan adalah Gereja. Sebagai
sentral kekuatan, Gereja membutuhkan penjagaan atas hegemoninya untuk
memelihara kepentingan-kepentingannya. Maka, segala sesuatu yang dipersepsikan
sebagai ancaman, haruslah dihancurkan.
Kadangkala, Gereja mencoba menyatukan masyarakat Kristen dengan
menempatkan sesuatu sebagai “common enemy”,
sebagaimana yang terjadi dalam Crusade,
ketika Paus Urban II mengambarkan Muslim sebagai musuh Kristen. Institusi
Inquisisi juga dibentuk dalam kerangka membasmi musuh-musuh Gereja. Apa yang
dilakukan Gereja di Zaman Pertengahan dalam menghimpun dan mengkonsentrasikan kekuasaan
(power) dapatlah dikatakan sebagai
suatu bentuk pemeliharaan hegemoni. Paus sendiri ketika itu menempatkan dirinya
sebagai pusat dan sumber kekuasaan bagi seluruh wilayah Kristen. Dalam hal
kepercayaan Gereja, bahwa bumi adalah
pusat tata surya, Gereja pada abad ke-17 dan juga Inquisitor-General-nya,
secara terbuka menganut kepercayaan bahwa seluruh alam semesta bergerak
mengelilingi Mahkota Paus. 25 Robert N. Bellah mencatat, bahwa “The Pope in the early Middle Ages comes
close to claiming to be the head of an international super state to which all
secular political authorities had to bow.” 26
(Paus, di Abad-abad Pertengahan, hampir mengklaim sebagai ketua negara-super
internasional, dimana semua penguasa politik sekuler harus tunduk padanya). Di
Abad-abad Pertengahan, Gereja memang
merupakan kekuatan dominan dalam politik. Disamping memegang kekuatan agama,
Gereja juga mengendalikan kekuatan besar dalam ekonomi. Di abad ke-10, Gereja merupakan pemilik lahan terbesar di
Eropa Barat. Ketika itu Gereja memiliki hampir sepertiga wilayah Itali dan sejumlah besar kekayaan di
wilayah lain. 27
Kedua,
problema teks Bible
Problema
ini berkaitan dengan otentisitas teks Bible dan makna yang terkandung di
dalamnya. Ada
sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara al-Quran dengan
Bible, dengan menyatakan, bahwa semuanya adalah Kitab Suci, dan semuanya
mukjizat. Padahal, kalangan ilmuwan Barat yang jeli, bisa membedekan antara
kedua Kitab agama itu. Teks al-Quran tidak mengalami problema sebagaimana
problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam.”
28
Hebrew
Bible (Kristen menyebutnya Perjanjian Lama), misalnya, hingga kini masih
merupakan misteri. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang
sebenarnya menulis Kitab ini masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainty who
produced the book that has played a central role in our civilization). Ia
mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis
oleh Moses. Book of lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separoh Mazmur (Psalm)
ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana
penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan
teka-teki paling tua di dunia (It is one
of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah
yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalam teks-nya
dijumpai banyak kontradiksi. 29
Perjanjian Baru (The New Testament) juga menghadapi banyak problem otentisitas teks.
Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton
Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Satu
bukunya berjudul “The Text of the New
Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (Oxford
University Press, 1985). Dalam bukunya yang lain, yang berjudul “A Textual Commentaary on the Greek New Testament”, (terbitan United Bible Societies, corrected
edition tahun 1975), Metzger menulis di
pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh
penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini,
dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu
dengan lainnya.
Bahasa Yunani (Greek) adalah bahasa
asal The New Testament. Melalui
bukunya ini, Metzger menunjukkan, rumitnya problema kanonifikasi Teks Bible
dalam bahasa Greek. Banyaknya ragam teks dan manuskrip menyebabkan keragaman
teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible
dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya. Cetakan pertama The
New Testament bahasa Greek terbit di Basel
pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus. (Ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New
Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang
lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bible untuk melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Revelation) misalnya, ia
gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri
memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. 30
Dalam bukunya yang lain, The
Early Versions of the New Testaments,
Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul, “Limitation of Latin in Representing Greek”: “Although
the Latin language is in general very suitable for use in making a
translation from Greek, there still
remain certain features which can not be expressed in Latin.” 31
Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks
Bible dalam bahasa Greek. Teks in digunakan oleh Martin Luther dan William
Tyndale untuk menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris
(1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Greek yang berbasis pada
teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi
Bible dalam bahasa Greek. Dalam edisi Greek ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan
Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi
lainnya. 32 Meskipun sekarang telah
ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan
edisi lain dari The New Testament. (the
way is open for the possible edition of another book or epistle to the New
Testament canon). 33
Jadi,
menurut Prof. Metzger, adalah mungkin menghadirkan edisi lain dari The New
Testatement. Jelas, fakta semacam itu tidak terpikir kaum Muslimin, hingga
kini. Apalagi kaum Muslim juga tidak mengalami problema bahasa al-Quran. Mereka
masih membaca al-Quran dalam bahasa Arab dan beribadah dalam bahasa Arab,
sesuatu yang tidak dapat dinikmati oleh kaum Kristiani pada umumnya. Bagaimana
pun telitinya, satu terjemahan pasti tidak akan mampu mengekspresikan bahasa
asalnya dengan tepat. Apalagi, jika terjemahan itu sudah dilakukan ke berbagai
bahasa. Ambillah satu contoh ayat dalam Bible. Misal, Kitab 1 Raja-raja 11:1
dalam sejumlah versi Bible ditulis sebagai berikut: Versi Lembaga Alkitab Indonesia (2000) ditulis: “Ada
pun Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing. Disamping anak Firaun ia
mencintai perempuan-perempuan Moab,
Amon, Edom,
Sidon, dan
Het.” Dalam The Living Bible ditulis:
“King Salomon married any other girls
besides the Egyptian princess. Many of them came from nations where idols were
worshipped – Moab, Ammon, Edom,
Sidon and from
the Hittites.” Sedangkan Bible King James Version menulis: But King Solomon loved many strange women,
together with the daughter of Paharaoh, women of Moabites, Ammonites, Edomites,
Zidonians, and Hittites.” Ada
pun The Bible Revised Standard Version menulis: “Now
King Solomon loved many foreign women; the daughter of Pharaoh, and Moabites,
Ammonite, E’domite, Sido’niah, and Hittite women.” Ada
pun dalam edisi Latin ‘Vulgate’, ditulis: “rex
autem Salomon amavit mulieres alienigenas multas filiam quoque Pharaonis et
Moabitidas et Ammanitidas Idumeas et Sidonias et Chettheas.”
Perhatikan, bagaimana sejumlah versi
Bible menggunakan kata “mencintai” (loved/amavit), sedangkan The Living Bible menggunakan kata
“married”. Faktanya, Salomon memang mengawini wanita-wanita asing itu.
Kejahatan Salomon versi Bible digambarkan dalam Kitab 1 Raja-Raja 11:1-9,
digambarkan perilaku Salomo yang tidak patut dilakukan oleh seorang nabi utusan
Allah – dalam konsepsi Islam. Bagian dalam Bible ini diberi judul “Salomo Jatuh
ke dalam penyembahan berhala”.
“(1)
Ada pun Raja
Salomo mencintai banyak perempuan asing. Disamping anak Firaun ia mencintai
perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom,
Sidon, dan Het.
(2) Padahal tentang bangsa-bangsa itu Tuhan telah berfirman kepada orang Israel:
“Janganlah kamu bergaul dengan mereka dan mereka pun janganlah bergaul dengan
kamu, sebab sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah
mereka. Hati Salomo telah terpaut kepada mereka dengan cinta. (3) Ia mempunyai
tujuh ratus istri dan tiga ratus gundik; istri-istrinya itu menarik hatinya
dari pada Tuhan. (4) Sebab pada waktu Salomo sudah tua, istri-istrinya itu
mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh
hati berpaut kepada Tuhan, Allahnya, seperti Daud, ayahnya. (5) Demikianlah,
Salomo mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, dewa
kejijikan sembahan orang Amon, (6) dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata
Tuhan, dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan, seperti Daud, ayahnya.
(7) Pada waktu itu Salomo mendirikan bukit pengorbanan bagi Kamos, dewa
kejijikan sembahan orang Moab, di gunung di sebelah Timur Yerusalem dan bagi
Molokh, dewa kejijikan sembahan bani Amon. (8) Demikian juga dilakukannya bagi
semua istrinya, orang-orang asing itu, yang mempersembahkan korban ukupan dan
korban sembelihan kepada allah-allah mereka. (9) Sebab itu Tuhan menunjukkan
murkanya kepada Salomo, sebab hatinya telah menyimpang dari pada Tuhan, Allah Israel, yang
telah dua kali menampakkan diri kepadanya.”
Fakta semacam ini tentu tidak mudah
dipahami, sebab dalam konsepsi Bible, penyembah berhala harus dijatuhi hukuman
mati. Dalam Alkitab terbitan LAI, Kitab Ulangan 17:2-7 diletakkan di bawah
judul “Hukuman Mati untuk penyembah Berhala”:
(2)
Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu yang diberikan kepadamu oleh
Tuhan, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan
apa yang jahat di mata Tuhan, Allahmu, dengan melangkahi perjanjian-Nya, (3)
dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau
kepada matahari, atau bulan atau segenap tentara langit, hal yang telah
Kularang itu; (4) dan apabila hal itu diberitahukan atas terdengar kepadamu,
maka engkau harus memeriksanya baik-baik. Jikalau ternyata benar dan sudah
pasti, bahwa kekejian itu dilakukan diantara orang Israel, (5) maka engkau harus
membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu
keluar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus kau
lempari dengan batu sampai mati. (6) Atas keterangan dua atau tiga orang saksi
haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati; atas keterangan satu orang saksi
saja janganlah ia dihukum mati. (7) Saksi-saksi itulah yang pertama-tama
menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat.
Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.”
Ketiga, Problema Teologi Kristen
Dr. C. Groenen ofm, seorang teolog
Belanda, mencatat, bahwa “seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat
berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem”.
Setelah membahas perkembangan pemikiran tentang Yesus Kristus (Kristologi) dari
para pemikir dan teolog Kristen yang berpengaruh, ia sampai pada kesimpulan,
bahwa kekacauan para pemikir Kristen di dunia Barat hanya mencerminkan
kesimpangsiuran kultural di Barat. “Kesimpang siuran itu merupakan akibat
sejarah kebudayaan dunia Barat,” tulis Groenen. 34
Setelah
membahas puluhan konsep para teolog besar di era Barat modern, Groenen memang
akhirnya “menyerah” dan “lelah”, lalu sampai pada kesimpulan klasik, bahwa
konsep Kristen tentang Yesus memang “misterius” dan tidak dapat dijangkau oleh
akal manusia. Sebab itu, jangan dipikirkan. Kata dia: “iman tidak tergantung
pada pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus, relevansi dan
kebenaran abadi-Nya, akhirnya hanya tercapai dengan hati yang beriman dan
berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar dari otak manusia, meski
otak itu sangat cerdas dan tajam sekali pun.” 35
Sepanjang
sejarah peradaan Barat, terjadi banyak problema serius dalam perdebatan
teologis. Di zaman pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan
Kristen. Akal dan filosofi di zaman pertengahan tidak digunakan untuk
mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi
digunakan untuk mengklarifikasi,
menjelaskan, dan menunjangnya. Sejumlah ilmuwan seperti Saint Anselm,
Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba
memadukan antara akal (reason) dan teks Bible (revelation). Sikap para ilmuwan
dan pemikir abad pertengahan digambarkan:
“They
did not reject Christian beliefs that were beyond the grasp of human reason and
therefore could not be deduced by rational argument. Instead, they held thst
such truths rested entirely on revelation and were to be accepted on faith. To
medieval thinkers, reason did not have
an independent existence but ultimately had to acknowledge a
supra-rational, superhuman standard of truth. They wanted rational thought to
be directed by Christian ends and guided by scriptural and ecclesiastical
authority.” 36
Problema
yang kemudian muncul ialah, ketika para ilmuwan dan pemikir diminta
mensubordinasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bible dan
otoritas Gereja, justru pada kedua hal itulah terletak problema itu sendiri.
Disamping menghadapi problema otentisitas, Bible juga memuat hal-hal yang
bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sejumlah ilmuwan
mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengatahuan, seperti Gelileo
Galilei (1546-1642) dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno
(1548-1600), pengagum Nicolaus Copernicus, dibakar hidup-hidup. 37
Jika para ilmuwan dipaksa tunduk
kepada doktrin teologis yang mereka sendiri sulit memahaminya, tentu muncul
benturan pemikiran. Padahal, konsepsi teologis Kristen – terutama fakta dan
posisi ketuhanan Yesus -- telah menjadi
ajang perdebatan ramai di kalangan Kristen, sepanjang sejarahnya.
Kelompok-kelompok yang tidak menyetujui doktrin resmi Gereja dicap sebagai
heretics dan banyak diantaranya yang diburu dan dibasmi. Contohnya, adalah satu
kelompok yang bernama Cathary yang hidup di Selatan Perancis. Kelompok Cathary
adalah penganut Catharism, satu kelompok heresy radikal di Zaman Pertengahan.
Cathary percaya bahwa karena daging adalah jahat, maka Kristus tidak mungkin
menjelma dalam tubuh manusia. Karena itu, Kristus tidaklah disalib dan
dibangkitkan. Dalam ajaran Cathary, Yesus bukanlah Tuhan, tapi Malaikat. Untuk
memperhambakan manusia, tuhan yang jahat menciptakan gereja, yang
mempertontonkan “sihirnya” dengan mengejar kekuasaan dan kekayaan. Ketika kaum
ini tidak dapat disadarkan dengan persuasif, Paus Innocent III menyerukan
kepada raja-raja untuk memusnahkan mereka dengan senjata, sehingga ribuan orang
dibantai. 38
Doktrin teologi Kristen tidaklah
tersusun di masa Yesus, tetapi beratus tahun sesudahnya, yakni pada tahun 325
dalam Konsili Nicea. Adalah Kaisar Constantine yang memelopori Konsili Nicea,
yang menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja. Konsili menjadikan Roma
sebagai pusat resmi Christian orthodoxy.
Kepercayaan yang berbeda dengan yang resmi dipandang sebagai heresy. Dalam Konsili ini, aspek-aspek
Ketuhanan Yesus diputuskan melalui voting. Buku The Messianic Legacy,
mencatat, bahwa Kristen memang berhutang pada Constantine,
tetapi tidak dapat dikatakan Constantine
adalah seorang Kristen atau meng-Kristenkan Romawi. Cerita tentang ‘konversi’ Constantine
diperdebatkan. Ia tetaplah penganut paganisme. Tuhannya adalah Sol Invictus,
dewa matahari kaum pagan. Paganisme juga menjadi agama resmi Romawi ketika itu.
Buku ini menyebut pengaruh paganisme Constantine
terhadap Kristen. Tahun 321 M, keluar Edict yang menetapkan hari Minggu sebagai
hari istirahat. Padahal, sebelumnya, Kristen tetap menghormati hari Sabtu.
Sampai abad ke-4, hari kelahiran Yesus diperingati pada 6 Januari. Tapi, pada
tradisi persembahan Sol Invictus, hari terpenting adalah 25 Desember. 39
The
Interpreter’s Dictionary of the Bible menjelaskan, bahwa istilah ‘trinitas’
(Latin: trinitas, Inggris: trinity) merujuk pada pengertian: “the coexistence
of Father, Son, and Holy Spirit in the Unity of the Godhead”. Istilah ini bukan
merupakan istilah Biblical. Tapi, mewakili kristalisasi dari ajaran Perjanjian
Baru. Dalam Matius 3:17 disebutkan: "Maka suatu suara dari langit
mengatakan, "Inilah anakku yang kukasihi. Kepadanya Aku berkenan."
Juga, Lukas 4:41 menyebutkan bahwa Yesus itu adalah Anak Allah." Konsep Trinitas memang tidak mungkin dipahami
dengan akal. Tokoh pemikir Kristen abad ke-13, Thomas Aquinas mengungkapkan
dengan kata-kata: “… deum esse trinum et
unum est solum creditum, et nullo modo potest demonstrative probari” (That God
is three and one is only known by belief,
and it is in no way possible for this to be demonstratively proven by
reason). 40
Sejak
Konsili Nicea, problem serius dan kontroversial memang masalah ‘ketuhanan
Yesus’. Bagaimana menjelaskan kepada akal yang sehat, bahwa Yesus adalah
‘Tuhan’ dan sekaligus ‘manusia’. Apa yang disebut kaum Katolik sebagai
‘Syahadat Nicea’, secara eksplisit mengutuk pemikiran Arius, seorang imam Alexandria yang lahir
tahun 280. Arius – didukung sejumlah Uskup – menyebarkan pemahaman bahwa Yesus
bukanlah Tuhan adalah tunggal, esa, transenden, dan tak tercapai oleh manusia.
Yesus adalah ‘Firman Allah’ yang secara metafor boleh disebut ‘Anak Allah’
bukanlah Tuhan, tetapi makhluk, ciptaan, dan tidak kekal abadi. ‘Syahadat
Nicea’ menyatakan: “Kami percaya pada
satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang
tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal
yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah,
terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak
diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada…” 41
Tentang konsep ketuhanan Yesus, buku
The Messianic Legacy mencatat, bahwa
Kristen yang dikenal saat ini bukan berasal dari zaman Yesus, tetapi dari
Konsili Nicea, yang dicapai melalui voting. (At Nicea Jesus’s divinity, and the precise nature of his divinity, were
established by means of a vote. It is fair to state that Christianity as We
know It today derives ultimately not from Jesus’s time, but from the Council of
Nicea). 42
Soal
‘Syahadat Katolik’ juga menjadi perbincangan dan kontroversi hebat dalam
sejarah Kristen. Konsili Efesus, tahun 431, melarang perubahan apa pun pada
‘Syahadat Nicea’, dengan ancaman kutukan Gereja (anathema). Namun, Konsili Kalsedon, tahun 451, mengubah ‘Syahadat
Nicea’. Kutukan terhadap Arius dihapuskan. Naskah syahadat Konsili Kalsedon
berasal dari konsili lokal di Konstantinopel tahun 381. Sebab, naskah edisi
tahun 325 dianggap sudah tidak memadai untuk berhadapan dengan situasi baru.
Kalangan teolog Kristen ada yang menyebut bahwa naskah tahun 381 adalah
penyempurnaan naskah tahun 325, tanpa mengorbankan disiplin teologisnya. Naskah
syahadat itu di kalangan sarjana disebut “Syahadat dari Nieca dan
Konstantinopel” disingkat N-C. Naskah syahadat N-C ini hingga sekarang masih
menjadi naskah syahadat penting dari kebanyakan Gereja Kristiani. Namun, pada
Konsili Toledo III di Spanyol tahun 589, Gereja Barat melakukan tambahan frasa
“dan Putra” (Filioque), pada penggal kalimat “dan akan Roh Kudus … yang berasal
dari Bapa”. Penambahan itu dimaksudkan untuk menekankan keilahian dan
kesetaraan antara Putra dengan Bapa. Paus, yang mulanya menolak penambahan itu,
akhirnya menerima dan mendukungnya. Namun, Gereja Timur menolak, karena
melanggar Konsili Efesus. Penambahan ini kemudian menjadi penyebab utama
terjadinya skisma – perpecahan – antara dua Gereja (Barat dan Timur) pada abad
ke-11. Konsili Vatikan II juga membuat perubahan kecil pada Syahadat N-C,
dengan mengganti kata pembuka “Aku percaya” menjadi “Kami percaya”.43
The
Passion of theChrist. Hingga 2004, perdebatan seputar konsep teologi
yang berpangkal pada konsep “ketuhanan” Yesus masih bisa disimak. Maraknya
kontroversi terhadap film garapan Mel Gibson berjudul "The Passion of the Christ" pada
awal 2004 menunjukkan, bagaimana konsep seputar masalah teologi Kristen in
masih menjadi kontroversi hebat. Dalam teologi Kristen, peristiwa “penyaliban”
(crucifixion) menjadi faktor
mendasar,44 namun perdebatan seputar “siapa yang membunuh
Yesus” masih berlangsung hebat. Film Gibson mendasarkan pada teks Bible,
Yahudi-lah yang harus bertanggung jawab terhadap terbunuhnya Yesus. Vatikan
sendiri membela film Gibson dan menyatakan, film itu sudah sesuai dengan
Perjanjian Baru. "The Passion" mengisahkan sebagian kehidupan Yesus.
Tetapi film itu dinilai menggambarkan bangsa Yahudi bertanggung jawab besar
terhadap kematian Yesus. Paus menyatakan film itu sebagai “It is
as It was”, karena ceritanya memang
banyak merujuk pada The New Testament.
Namun, News Week edisi 16 Februari
2004 menulis, bahwa justru Bible itu sendiri yang boleh jadi merupakan sumber
cerita yang problematis. (But the Bible
can be a problematic source). Jika
Paus menyatakan film itu sesuai dengan apa adanya, sebagaimana paparan dalam
Bible, justru dalam film itu ditemukan berbagai penyimpangan dari cerita versi
Bible.
Dalam Perjanjian Baru, memang
dikatakan bahwa Yahudi bertanggung jawab terhadap pembunuhan Yesus. “Mengenai
Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan
mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang.” (Roma, 11:28). Di antara
New Testament, Matius dan Yohanes dikenal paling ‘hostile’ terhadap Judaisme.
Yahudi secara kolektif dianggap bertanggung jawab terhadap penyaliban Yesus.
“Dan seluruh rakyat itu menjawab: “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami
dan atas anak-anak kami.” (Matius, 27:25). Yahudi juga diidentikkan dengan
kekuatan jahat. “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan
keinginan-keinginan bapamu.” (Yohanes, 8:44). Sikap-sikap anti-Yahudi yang
dikembangkan tokoh-tokoh Gereja kemudian, adalah variasi atau perluasan dari
tuduhan-tuduhan yang tercantum dalam Injil.
Namun, kontroversi seputar
penyaliban Yesus itu memang terus berlangsung. John Dominic Crossan, professor
dalam Biblical Studies di DePaul University Chicago, menulis sebuah buku berjudul Who Killed Jesus? yang isinya
membuktikan bahwa pemahaman tradisional terhadap terbunuhnya Yesus, yang
digambarkan sebagai perbuatan kaum Yahudi, sebagaimana dipaparkan dalam
Perjanjian Baru, bukan hanya salah, tetapi juga berbahaya. Ia juga
mempertanyakan berbagai persoalan teologis yang mendasar, seperti “benarkah
Yesus mati untuk menebus dosa-dosa manusia?” juga “apakah keimanan kita sia-sia
jika tidak ada kebangkitan tubuh Yesus?”
“Penyaliban”
dan “Kebangkitan” adalah doktrin pokok dalam teologi Kristen. Namun, justru di
sinilah terjadi perdebatan seru di kalangan teolog Kristen. John Dominic
Crossan, menulis, bahwa cerita tentang
kubur Yesus yang kosong adalah “satu cerita tentang Kebangkitan dan bukan
kebangkitan itu sendiri”. (Empty tomb
stories and physical appearance stories are perfectly valid parables expressing
that faith, akin in their own way to the Good Samaritan story. They are, for
me, parables of resurrection not the
resurrection itself). Cerita tentang Yesus, seperti tertera dalam Bible,
menurut Crossan, disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu.
Termasuk cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Yesus. Itulah yang dibuktikan
oleh Crossan melalui bukunya tersebut. 45
Perdebatan seputar Yesus bahkan
pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok
Yesus itu benar-benar ada atau sekedar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat
seperti ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang
pengikutnya William Benjamin Smith (1850-1934). 46
Bahkan, perdebatan seputar Yesus itu kadangkala sampai menyentuh aspek
moralitas Yesus sendiri dalam aspek sexual. Marthin Luther sendiri dilaporkan menyebutkan,
bahwa Yesus berzina sebanyak tiga kali. Arnold Lunn, dalam bukunya, The Revold Against Reason, (London:
Eyre&Spottiswoode, 1950), hal. 233, mencatat: “Weimer quoted a passage from the Table-Talk, in which Luther states
that Christ committed adultary three times, first with the woman at the well,
secondly with Mary Magdalene, and thirdly with the woman taken adultary, “whom
he let off so lightly. Thus even Christ who was so holy had to commit adultary
before he died.” Bahkan, The Times, edisi 28 Juli 1967, mengutip
ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi tokoh-tokoh Gereja di Oxford
tahun 1967: “Women were his friends, but
it is men he is said to have loved. The stricking fact was that he remained
unmarried, and men who did not marry usually had one of three reasons: they
could not afford it; there were no girls, or they were homosexual in nature..” 47
Perdebatan
seputar Yesus memang tidak berkesudahan. Padahal, di atas landasan ‘Ketuhanan
Yesus’ inilah, teologi Kristen ditegakkan. Pada awal-awal kekristenan, mereka
ingin menonjolkan aspek ketuhanan Yesus. Tetapi, teolog-teolog modern kemudian
ingin menonjolkan aspek kemanusiaan Yesus, mendekati gagasan Arius yang dulu
dikutuk Gereja. Menyimak perdebatan
tentang Yesus yang tiada henti itu, maka teolog Kristen seperti Groenen membuat
teori “pokoknya”, bahwa meskipun pemikiran kaum Kristen tentang Yesus Kristus
berbeda-beda, tetapi Yesus tetap tidak berubah. “Yesus yang satu dan sama sejak
awal diwartakan dan – menurut keyakinan Kristen harus diwartakan – “sampai ke
ujung bumi” (Kis 1:8) dan “sampai ke akhir zaman” (Matius 28:20) kepada “segala
makhluk” (Markus 16:15)”. Menurut Groenen, iman memang membutuhkan pemahaman (fides
quaerens intellectum), tetapi iman mesti mendahului pemahaman dan selalu
melampaui pemahaman. Teologi, kristologi, hanyalah sarana. Kristologi tidak
membicarakan Yesus Kristus itu sendiri, tetapi pikiran orang tentang Yesus. 48
Memang, persoalannya bukan pada diri
Yesus – yang memang hakikatnya tidak
tergantung pada pemahaman manusia. Tetapi, yang jadi masalah bagi manusia
adalah bagaimana memahami Yesus. Benarkah atau salahkah pemahamannya. Tuhan
sendiri pada hekikatnya adalah Tuhan. Tidak berubah hakikat-Nya, apa pun
pemahaman manusia tentang Dia. Tetapi, bagaimana manusia memahami Tuhan, di
situlah masalahnya. Jika pemahamannya salah, maka dia pun menjadi salah, baik
dalam pemikiran maupun tindakan.
Argumentasi
Groenen semacam ini tentu sulit dipahami oleh kalangan teolog yang sejak dahulu
kala berusaha merumuskan pemahaman tentang Yesus, namun tidak pernah mencapai
titik temu. Kepelikan itu bisa dipahami, mengingat Yesus sendiri tidak pernah
menyatakan, bahwa dia adalah Tuhan. Paul Young mencatat, bahwa seluruh penulis
Perjanjian Baru menekankan hakikat kemanusiaan Yesus. Ia lapar, haus, dan
lelah, sebagaimana manusia lainnya. Ia juga punya emosi, bisa sedih dan senang.
Tetapi, beratus tahun kemudian, Yesus dirumuskan dan disembah sebagai Tuhan. “This Jesus, a real human being, is the
focus of Christian worship. Such worship contrasts sharply with all other great
world religion,” tulis Young. Tentang kepelikan seputar ‘misteri Yesus’,
Mark Twain membuat sindiran: “It’s not
the parts of the Bible which I can’t understand that bother me, it’s the parts
that I can understand.” Bukan bagian
Bible yang tidak dipahaminya yang meresahkannya, tetapi justru bagian yang ia
pahami. 49
Problema teologis Kristen, problema
teks Bible, dan juga pengalaman Barat yang traumatis terhadap hegemoni Gereja
selama ratusan tahun telah membentuk sikap ‘traumatis’ mereka terhadap Kristen.
Cara pandang terhadap agama yang lahir dari peradaban Barat adalah konsep yang
traumatis terhadap agama. Dari sinilah muncul paham sekularisasi – yang
meskipun tidak membunuh agama, tetapi menempatkan agama pada pojok kehidupan
yang sempit. Agama ditempatkan dalam wilayah personal dan membatasi wilayah
kekuasaan mereka. Tak hanya itu, mereka juga melakukan proses liberalisasi dan
dekonstruksi besar-besaran terhadap berbagai doktrin Kristen. Dalam bidang sosial-politik
mereka lahirkan konsep sekularisme yang menemukan aplikasi penting pasca
Revolusi Perancis, 1789. Dalam bidang Teologi, mereka mengembangkan konsep
Teologi Inklusif dan Pluralis yang menolak klaim Kristen sebagai satu-satunya
agama yang benar (extra ecclesiam nulla
salus). Dalam bidang organisasi keagamaan, mereka menghantam konsep ‘formal religion’ dan mengembangkan
konsep agama sebagai aktivitas. Dalam bidang kajian Kitab Suci, mereka
mengembangkan ‘hermeneutika’ yang mendekonstruksi konsep Bible sebagai ‘The Word of God’ (dei verbum) dan
mengembangkan metode historical criticism
terhadap Bible.
Melalui dominasi dan hegemoninya,
Barat berusaha mengglobalkan konsep-konsep keilmuan dalam berbagai bidang,
termasuk dalam bidang pemikiran Islam. Proses liberalisasi dan sekularisasi di
berbagai bidang yang terjadi di dunia Islam tidak lain adalah bagian dari
globalisasi yang berangkat dari pengalaman dan realitas Barat dengan berbagai
unsur yang membentuknya, seperti tradisi Judeo-Christian, tradisi Greek, dan
unsur-unsur suku-suku bangsa Eropa. Sebagai satu peradaban besar yang masih
eksis hingga kini, Islam memiliki banyak perbedaan fundamental dengan peradaban
Barat.
Jika perbedaan
konsepsi dan sejarah antara teologi Kristen dengan Islam, benar-benar dikaji
secara cermat, seyogyanya tidak perlu ada kalangan Muslim yang latah
menyebarkan paham sekularisme, pluralisme agama, metode kajian Bible untuk
al-Quran dan sebagainya. Penjiplakan yang membabi buta terhadap tradisi
Kristen-Yahudi – hanya karena terpesona oleh kemajuan fisik peradaban Barat –
bisa dikatakan sama dengan upaya bunuh diri (masuk ke lobang biawak) bagi
Islam. Jika peradaban Barat kemudian mengembangkan dan memaksakan paham
destruktif terhadap agama ini agar dianut oleh pemeluk agama-agama yang lain,
dapatlah dimaklumi. Sebab, peradaban Barat pada hakikatnya memang ‘emoh agama’
atau ‘anti-agama’. Muhammad Asad (Leopold Weiss)
mencatat, bahwa Peradaban Barat modern hanya mengakui penyerahan manusia kepada
tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tuhannya yang sebenarnya
bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, kenikmatan duniawi. Mereka
mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban Romawi Kuno. Konsep “keadilan” bagi Romawi, adalah
”keadilan” bagi orang-orang Romawi saja.
Sikap semacam itu hanya mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan
pada konsepsi hidup yang sama sekali materialistik. Asad menilai, sumbangan
agama Kristen terhadap peradaban Barat sangatlah kecil. Bahkan, saripati
peradaban Barat itu sendiri sebenarnya ‘irreligious’. (… so characteristic of modern Western Civilization, is as unacceptable
to Christianity as it is to Islam or any other religion, because it is
irreligious in its very essence). 50
Karena itu, sungguh sulit dipahami
dengan akal sehat, jika banyak cendekiawan dari kalangan Muslim yang latah dan
ikut-ikutan perilaku Barat dalam ‘membunuh agama’ mereka. Jika mereka “masuk ke
lobang biawak”, mengapa kaum Muslim harus mengikuti mereka?
1 Bernard Lewis, What Went Wrong?: Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix,
2002), hal. 115.
2 Pendapat Leeuwen
dikutip dari buku Mark Juergensmeyer,
The New Cold War?, (London:
University of California Press, 1993), hal. 16-17.
3 Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in
the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975), hal.
27.
4 Tentang
Abraham Geiger dan Liberal Judaism, lihat Max Wiener, Abraham Geiger and Liberal
Judaism, (The Jewih Publication Society of America, 1962).
5 Bernard Lewis, What Went Wrong?: Western Impact and Middle
Eastern Response, (London: Phoenix, 2002), hal. 115.
6 Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark
Side of the Papacy, (London:
Bantam Press, 1991), hal.
11.
7 Dengan Edict tersebut, Constantine melarang persekusi
terhadap semua jenis monoteisme di Romawi. Ia juga memberi kesempatan kepada
tokoh-tokoh gereja untuk menjadi bagian dari administrasi pemerintahan. Jasa
Constantine dalam sejarah perkembangan Kristen diakui banyak pihak. Ia
memelopori Konsili Nicea, 325 M, yang menyatukan atau memilih teologi resmi
Gereja. Konsili menjadikan Roma sebagai pusat resmi Christian orthodoxy.
Kepercayaan yang berbeda dengan yang resmi dipandang sebagai heresy. Dalam
Konsili ini, aspek-aspek Ketuhanan Jesus diputuskan melalui voting. (Lihat,
Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, The Messianic Legacy, (New York: Dell Publishing, 1986), hal.
36-42.
9 Joseph H. Lynch, The Medieval Church: A Brief
History, (London: Longman,
1992), back cover description; Marvin Perry, Western Civilization, hal. 149.
10
Marvin Perry, Western Civilization,
hal. 149-150.
11
Eric O. Hanson, The Catholic Church in
World Politics, (Princeton: Princeton
University Press, 1987), hal. 23-24; Marvin Perry, Western
Civilization, hal. 151; Luigi Sturzo, Church
and State, (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1962), hal. 52-54.
12 Eric O.
Hanson, The Catholic Church, hal. 24-26.
13
Karen Armstrong, Holy War…, hal.
62-63.
14 Lihat, Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s
World, (London: McMillan London Limited, 1991), hal. 456. Perlu dicatat,
bahwa kekejaman Inquisisi dilakukan oleh Gereja, yang memegang otoritas atau
wakil Tuhan. Kondisi in sangat berbeda dengan Islam yang tidak mengenal
institusi kekuasaan agama (rahbaniyyah). Paus adalah Wakil Kristus (Vicar of
Christ) yang diklaim mempunyai sifat infallible (tidak dapat salah). Dan ketika
Paus melegalisasikan berbagai kekejaman dan penindasan, maka hal itu dilakukan
sebagai wakil Tuhan. Inilah yang tidak terjadi pada tradisi Islam. Jika ada
penguasa Islam yang melakukan kesalahan atau kezaliman, maka itu dilakukannya
sebagai individu dan tidak atas legalitas keagamaan, meskipun ia mungkin
menggunakan alasan keagamaan tertentu. Misal, ada sejumlah laporan yang
menyebutkan adanya penguasa Muslim yang memaksa orang-orang Yahudi masuk Islam.
Tindakan seperti ini, jika benar, jelas tidak dapat dibenarkan menurut ajaran
Islam. Karen Armstrong mengakui, bahwa tidak ada tradisi persekusi dalam
sejarah Islam. “There was no tradition of
religious persecution in the Islamic empire,” tulis Armstrong. (Karen
Armstrong, Holy War … hal. 44).
15 Peter de Rosa, Vicars
of Christ: The Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal.
246-247.
16 Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark
Side of the Papacy, hal. 239. Robert Held, dalam bukunya, “Inquisition”,
memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan
Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dia paparkan lebih dari
50 jenis dan model alat-alat siksaan
yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji
pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor
vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya
lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara
tahun 1450-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup
di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.
17 Henry Charles
Lea, A History of the Inquisition of Spain, Vol. 1, hal.
35, Vol. 3, hal.183-185.
18 Lihat, Philip J. Adler, World Civilizations, (Belmont:
Wasworth, 2000), hal. 314-315. Tentang
riwayat Martin Luther, lihat Roland H. Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther,, (Nashville: Abingdon Press,
1977).
19 Bernard Lewis, Islam
and the West, (New York: Oxford University Press, 1993), hal. 73-75.
20 Philip
J. Adler, World Civilization, hal.
322. Seorang yang selamat dari pembantaian itu menggambarkan hari yang
mengerikan itu: “Tidak seorang pun dapat mengukur berbagai kekejaman yang
terjadi dalam pembunuhan-pembunuhan ini… Sebagian besar mereka dimusnahkan
dengan belati. Tubuh mereka ditikam, anggota tubuhnya dirusak, mereka dihina
dengan cemoohan yang lebih tajam dari pedang … mereka memukul sejumlah orang
tua tanpa perasaan, membenturkan kepala mereka ke batu di dermaga dan kemudian
melemparkan sosok setengah mati itu ke sungai. Seorang anak yang terbungkus
pakaiannya diseret di jalan dengan tali yang dililitkan di lehernya oleh
anak-anak berumur sekitar 9 atau 10 tahun. Seorang anak kecil lainnya,
digendong oleh seorang penjagal, memain-mainkan jenggotnya dan tersenyum ke
padanya, tetapi orang itu bukannya mengasihani si kecil, malahan kemudian
menikamnya dengan belati dan kemudian melemparkannya ke sungai, yang menjadi
merah karena darah dan tidak dapat kembali ke warna asalnya untuk waktu yang
panjang”.
21 Marvin Perry, Western Civilization, (Boston: Houghton
Mifflin Company, 1997), hal.312.
22 Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in
the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975), hal.
107-108.
23 Harian The Jakarta Post, edisi 26 Januari 2004, memuat profil Partai Damai
Sejahtera (PDS), satu-satunya partai Kristen di Indonesia yang lolos seleksi
sebagai kontestan Pemilu 2004. Beberapa program partai ini diantaranya
adalah: kebebasan beragama dan proteksi
terhadap kebebasan tersebut (Freedom of religion and protection for that freedom) dan menjamin pemisahan antara negara dengan agama (to ensure separation of state and religion).
PDS adalah partai misionaris yang dipimpin seorang pendeta bernama Ruyandi Hutasoit. Program sekularisasi pihak Kristen ini
sebenarnya bertentangan dengan hasil pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, yang menetapkan
sekulerisme sebagai musuh besar dari Geraja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk
mengkristenkan dunia, Gereja Kristen
bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan
sekularisme. (It was made clear that in
its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not
only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge
of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme
yang dipandang sebagai musuh besar Geraja dan misinya, serta musuh bagi misi
Kristen internasional. (Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: Finnish Missionary Society, 1980),
hal. 42-50.
24 Scott Peck, The Road Less Travelled, (London: Arrow
Books Ltd, 1990), hal. 237-238. Pendapat Peck dikutip dari tulisan Dr. Fatimah
Abdullah berjudul “Konsep Islam sebagai
Din, Kajian terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN al-Attas, di Majalah Islamia,
edisi ke-3, tahun 2004).
25 Robert
Lomas, The Invisible College, (London: Headline Book
Publishing, 2002), hal. 20.
26 Robert N. Bellah and Philip E. Hammoud, Varieties of Civil Religion, (New York:
Harper & Row Publishers, 1980), hal.
xi.
27 Marvin Perry, Western Civilization, hal. 169.
28 Norman Daniel, Islam and The West: The Making of an Image,
(Oxford:Oneworld Publications, 1997), hal. 53.
29 Richard Elliot
Friedman, Who Wrote the Bible, (New
York: Perennial Library, 1989), hal. 15-17.
30 Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New
Testament”, (Stutgard: United Bible
Societies, 1975), hal. xiii-xxi. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem,
(Nashville: Abingdon Press, 1972), hal. 40.
31 Bruce M. Metzger, The Early Versions of the New Testaments, (Oxford: Clarendon
Press, 1977), hal. 362-365.
32 Bruce M. Metzger, A
Textual Commentary on the Greek New Testament”, hal. xxii-xxiv.
33 Bruce M. Metzger, The
Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance,
(Oxford:Clarendon Press, 1987), hal. 273.
34 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan
Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, (Yogyakarta: Kanisius,
1988), hal. 286.
35 C. Groenen, Sejarah
Dogma Kristologi…, hal. 285.
36 Marvin Perry, Western Civilization: A Brief History, (New-York:
Houghton Mifflin Company, 1997), hal. 185-186.
37 E.A. Livingstone, Oxford Concise
Dictionary of Christian Church, (Oxford: Oxford University Press, 1996).
Tentang problema teks Bible, lihat artikel penulis “Hermeneutika dan Problema Teks Bible” (ISLAMIA edisi perdana,
2004).
38 Marvin Perry, Western Civilization, hal. 175; The
Encyclopedia Britannica, (London: The Encyclopaedia Britannica Company
Ltd., 1926).
39 Michael Baigent,
Richard Leigh, Henry Lincoln, The
Messianic Legacy, (New York: Dell Publishing, 1986), hal. 36-42.
40 The
Interpreter’s Dictionary of the Bible,
(Nashville: Abingdon Press, 1989; Douglas C.
Hall, The Trinity, (Leiden:
EJ Brill, 1992), hal. 67-68.
41 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi…, hal. 126-127.
Teks ‘Syahadat Nicea’ dikutip dari buku Konsili-konsili
Gereja karya Norman P. Tanner, hal.
36-37. Bandingkan teks ini dengan buku “Tanya
Jawab Syahadat Iman Katolik: “Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang
Mahakuasa, Pencipta hal-hal yang kelihatan dan tak kelihatan, Dan akan satu
Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah, Terang dari Terang, Hidup dari
Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang pertama lahir dari semua ciptaan,
Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala abad ... “ (Alex I. Suwandi PR, Tanya
Jawab Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 9-10.
42 The Messianic Legacy, hal. 40.
43 Norman P.
Tanner, Konsili-konsili Gereja, hal.
35-41
44 Paul Young, dalam Christianity, menulis, bahwa tanpa
‘resurrection’, maka tidak ada ‘kekristenan’. Ibarat potongan-potongan gambar
(jigsaw), maka jika resurrection dibuang, jigsaw itu tidak akan membentuk apa
yang disebut sebagai Christianity. (We can not remove a portion of the Christian
jigsaw labelled ‘resurrection’ and leave anything which is recognizable as
Christian faith. Subtract the resurrection and you destroy the entire picture.”
(Paul Young, Christianity, ((London:
Hodder Headline
Ltd., 2003), hal. 38.
45 Lihat, John Dominic
Crossan, Who Killed Jesus (New York: HarperCollins Publishers, 1995), hal.
216-217.
46 Lihat, Howard Clark
Kee, Jesus in History, (New York:
Harcourt, Brace&World Inc, 1970), hal. 29.
47 Lihat,
Muhammad Musthafa al-A’zhami, The History of The Quranic Text, from
Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament,
(Leicester: UK Islamic Academy, 2003), hal.
269.
48 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi…, hal. 13, 286.
49 Paul
Young, Christianity, hal. 15-19.
50 Muhammad Asad, Islam at The Crossroads, (Kuala Lumpur: The Other Press), hal. 26-29. Edisi pertama buku ini dicetak tahun 1934 oleh Arafat Publications Delhi and Lahore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar