Oleh: Muhammad Hadidi*
Pendahuluan
Diskursus mengenai agama dalam konteks situasi yang sekarang ini disebut modern
dan post-modern sangat marak dikalangan sosiolog, filosof dan pemikir
keagamaan. Akbar S. Ahmed,[1]
Ernest Gellner,[2]
David Griffin,[3]
and Huston Smith[4],
adalah sedikit contoh dari mereka yang membahas masalah ini. Diskursus ini menjadi marak bukan karena
semakin meningkatnya peran agama dalam kehidupan masyarakat post-modern, akan
tetapi karena post-modernisme itu telah menjelma menjadi gerakan yang bermuatan
doktrin-doktrin filsafat dan bahkan ditunggangi oleh kepentingan politik. Yang
jelas menurut Gellner post-modernisme telah mempengaruhi kajian antropologi,
kesusasteraan, filsafat dan agama.[5]
Untuk memahami makna agama dalam pemikiran Barat post-modern diperlukan
elaborasi mengenai pemikiran yang berkembang di Barat era modern. Sebab,
seperti yang disinyalir Akbar, pemahaman kita tentang Barat modern merupakan
pra-kondisi bagi pemahaman Barat post-modern.[6]
Bahkan bagi Silverman makna penting post-modernisme adalah memarginalkan (to marginalize),
membatasi (delimit) dan mengesampingkan (decentre) kerja-kerja
yang telah dilakukan oleh modernis.[7]
Oleh sebab itu untuk memahami pemikiran post-modern diperlukan kajian tentang
pemikiran modernis, sebab pemikiran post-modernis itu “menelan” pemikiran
modernis. Konsekuensinya, untuk mengkaji konsep dan makna agama dalam pemikiran
post-modernis perlu menelusuri kembali pandangan pemikir yang post-modern yang
dianggap telah menyerang pemikiran keagamaan modern Barat. Untuk itu akan
dipaparkan disini pemikiran filosof post-modern yang sangat berperan dalam
meruntuhkan tradisi keagamaan melalui wacana-wacana filsafat mereka yang
spekulatif itu. Filosof seperti Nietzsche (1844-1900), Wittgenstein (1889-1951)
dan Heidegger (1889-1976), adalah tokoh penting yang memiliki pandangan cukup
berpengaruh di masa itu dan karena itu cukup representatif untuk dirujuk.
Munculnya post-modernism
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pandangan para post-modernis
mengenai agama, perlu disinggung sedikit mengenai munculnya gerakan
post-modernisme di Barat. Post-modernisme hakekatnya istilah yang masih
kontorversial. Tonggak sejarah Barat yang dimulai dari aktifitas seni itu tidak
jelas kapan bermula dan dalam bentuk apa. Ia merupakan proses perubahan dan
reformasi yang panjang yang benih-benihnya telah ada pada zaman modern itu
sendiri. Tapi meskipun terjadi perdebatan tentang hal itu, asumsi yang diterima
umum adalah bahwa pertanda bangkitnya post-modernisme adalah berakhirnya
modernitas. Pertanda yang menarik untuk dicermati adalah dalam pemikiran
tentang agama. Perubahan pemikiran keagamaan yang mencolok dari era pra-modern
kepada zaman modern dan post-modern nampak dari beralihnya pendekatan yang
bersifat teistik kepada pendekatan sekuler ateistik. Artinya perubahan konsep
Tuhan dari era pra-modern kepada era modern dan post-modern di Barat sangat
drastis.
Pendekatan
yang bersifat teistik pada pemikir Barat, menurut Huston Smith hanya berjalan
hingga abad ke sebelas dan ini ditandai oleh adanya trend pemikiran yang
berkembang dikalangan filosof dan teolog yang memposisikan konsep Tuhan secara
sentral dalam berbagai diskursus.[8]
Pada abad-abad berikutnya pemikiran Barat yang kemudian disebut dengan “akal
modern” (modern mind), telah membawa angin baru yang ditandai oleh “cara
baru” dalam melihat sesuatu yang menghasilkan kelahiran sains modern. Pada saat
itulah pandangan hidup orang Barat telah berubah secara fundamental.[9]
Diskursus yang meletakkan Tuhan secara sentral hanya terbatas pada para teolog,
sedangkan para filosof lebih tertarik pada sains. Modernisme terus berjalan dan
berkembang pada abad-abad berikutnya. Habermas menyatakan bahwa proyek
modernisasi berkulminasi pada abad ke
18 M, di saat mana model pemikiran rasional menjanjikan liberalisasi masyarakat
dari mitologi irrasional, agama dan takhyul.[10]
Inilah gerakan sekular sebenarnya yang berupaya untuk menyuntikkan gagasan
desakralisasi ilmu dan organisasi sosial. Menurut James E. Crimmins, proses
desakralisasi, atau dalam istilah Weber ‘disenchantment’ ini memang
sengaja diarahkan untuk melawan agama dan digambarkan sebagai agen utama untuk
menggusur dan menggeser agama tradisional.[11]
Hasil dari gerakan ini adalah desakralisasi agama itu sendiri dan peminggiran
agama dari fungsinya yang sentral dalam berbagai diskursus. Alain Finkielkraut
dalam bukunya The Defeat of the Mind menggambarkan kondisi agama pada
era modern sbb:
What they called God was no
longer the Supreme Being, but collective reason……From now on God existed within
human intelligence, not beyond it, guiding people’s action and shaping their
thoughts without their knowing it. Instead of communicating with all creatures,
as His namesake did, by means of the Revelation, God no longer spoke to man in
a universal tongue; He now spoke within him, in the language of his nation. [12]
Artinya apa
yang disebut Tuhan bukan lagi Zat Yang Maha Kuasa, tapi merupakan akal
kolektif. Maksudnya, Tuhan berada dalam akal manusia itu sendiri, Ia memberi
bimbingan tanpa diketahui oleh manusia sendiri. Sarana komunikasi Tuhan dengan
makhluknya bukan lagi wahyu, Tuhan tidak lagi bicara dalam bahasa universal, Ia
berbicara dalam bahasa nasional. Ini berarti bahwa Tuhan tidak diperlukan lagi
oleh manusia, karena manusia telah “merasa” mampu menyelesaikan masalah-masalah
dunia tanpaNya.
Gambaran ini
menunjukkan bahwa dengan dihapusnya nilai-nilai transendental, maka Tuhan telah
direduksi menjadi semangat kebangsaan dan kebudayaan. Ini juga berimplikasi
pada pembebasan pemikiran rasional dari agama dan segala macam kepercayaan yang
ada di masyarakat. Pada zaman ini (yakni
modern) pemikiran yang mendiskusikan apakah Tuhan itu ada atau tidak, sebagaimana
pada zaman pra-modern sudah tinggal sedikit, yang ada hanya diskusi yang justru
menggugat agama. Meskipun demikian Alain sendiri percaya bahwa pada abad ke 18
itu masih dapat dianggap abad metafisika,[13]
namun fondasi metafisis yang menjadi pembela kebenaran agama perlahan-lahan
mulai tidak dapat dipertahankan lagi dan tinggal menunggu penghapusan
metafisika pada abad berikutnya.
Abad
kesembilan belas adalah era dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh suatu
gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki
struktur yang dapat difahami oleh manusia. Ini adalah pengingkaran terhadap
absolutisme dan sekaligus merupakan serangan yang serius terhadap salah satu
disiplin ilmu filsafat yang terpenting, yaitu metafisika obyektif. Munculnya
eksistensialisme dan filsafat analitik, yang merupakan dua gerakan yang sangat
dominan pada waktu itu, merupakan buah ciptaan akal post-modern (postmodern
mind). Inilah yang kemudian menggantikan sistim metafisika. Silverman
menyatakan bahwa penutupan jalan pemikiran metafisika bertepatan dengan
berakhirnya era modernisme.[14]
Sistim yang baru ini disebut dengan Post-Modernisme, yaitu suatu sistim yang
tanpa pemikiran metafisis. Namun munculnya post-modernisme tidak hanya ditandai
oleh penghapusan metafisika obyektif dengan sistim baru, tapi juga
mengesampingkan atau malah meremehkan doktrin keagamaan yang berdasarkan pada
metafisika. Titik perubahan dari metode berfikir metafisis kepada metode
berfikir analitis dapat dirujuk kepada pandangan-pandangan Karl Marx dan
Nietzsche tentang agama.[15]
Jadi, seperti yang telah disebutkan diatas, di era postmodern agama didekati
dengan pemikiran yang telah bersifat ateistik. Pandangan para postmodernis
tentang agama tercermin dari doktrin-doktrin mereka tentang nilai.
Konsep nilai post-modernisme
Doktrin yang dipergunakan para pemikir post-modern untuk menggugat agama
adalah konsep mereka tentang nilai. Seperti disebutkan diatas, program
post-modernisme adalah penghapusan nilai (dissolution of value)
dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan
mereduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh
agama dan masyarakat.[16]
Doktrin penghapusan nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh
Nietzsche (1844-1900) adalah doktrin nihilisme. Dalam karyanya Will to Power Nietzsche menggambarkan
nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari pusat ke arah titik X”,
artinya “nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya.[17]
Heidegger (1889-1976) dengan nada yang sama mendefinisikan nihilisme sebagai
“suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa”[18]
Keduanya mempunyai mindset dan kecenderungan yang sama saja. Dalam
pandangan Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang
membawa pada kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”. Dalam pandangan Heidegger
nihilisme menunjukkan penghapusan Being dengan sedemikian rupa sehingga
menjelma menjadi nilai. Disini realitas tidak lagi difahami dalam bentuk suatu
susunan dimana sang pencipta berada pada puncak hirarki yang absolut. Keduanya
menuju suatu titik dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai,
nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi
berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, relijius ataupun mengandung unsur ketuhanan
(divine).
Meskipun doktrin yang kemudian dinamakan European nihilism ini
mengusung proyek devaluasi nilai, namun mereka masih menganggap hal ini sebagai
suatu jalan baru dalam menentukan konsep nilai yang berbeda dari kepercayaan
dalam agama. Nilai tidak lagi berkaitan dengan agama dan kepercayaan. Jadi nihilisme,
kata Snyder, berhubungan dengan perubahan kebenaran ke dalam nilai, tapi nilai
yang telah diwarnai oleh kepercayaan dan opini manusia.[19]
Dalam terminologi Nietzsche perubahan kebenaran menjadi sekedar nilai berbentuk
apa yang dia istilahkan “will to power.”
Ini berarti bahwa filsafat nihilism bertujuan untuk mengkaji dan kemudian
menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional.
Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan fondasi pemikiran dan nilai
dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, seperti yang dinyatakan oleh Nietzsche,
ketika metafisika telah mencapai suatu poin dimana kebenaran telah dianggap
seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana kepercayaan
dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan
salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya
tidak dapat diandalkan. Maka dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga
harus menolak kebenaran. Membuang yang satu berarti juga harus membuang yang
lain (to do away with one is to do away with other too).[20] Berdasarkan pada doktrin ini maka Nietzsche
mendefinisikan metafisika secara pejoratif sebagai “ilmu yang membahas tentang
kesalahan manusia yang fundamental, seakan-akan semua itu kebenaran yang
fundamental”.[21]
Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas
serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.
Teori tentang European nihilism dapat dilihat dengan lebih jelas
lagi dari apa yang kini disebut sebagai “the philosophy of difference”, yang
dinisbatkan kepada Nietzsche and Heidegger. Segala perbedaan antara kepalsuan
dan kebenaran, rasional dan irrasional harus di letakkan di luar jangkauan
bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Difference adalah
produk dari “will to power” (kehendak
untuk berkuasa) yang ada dalam diri manusia atau kehendak untuk
menafsirkan (will to interpret). Ini berarti bahwa segala sesuatu yang
kita hadapi dalam pengalaman kita di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari
suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri sesuai dengan nilai-nilai subyektif dalam
diri kita. Karena kecenderungan untuk selalu menafsirkan itulah maka bagi
post-modernis dunia yang dapat diketahui hanyalah dunia yang berbeda-beda atau
dunia interpretasi. The philosophy of difference ini kemudian menjadi
salah satu penghubung antara nihilisme dan hermeneutika (filsafat
interpretasi).[22]
Jadi, singkatnya nihilisme dan filsafat perbedaan (philosophy of
difference) merupakan tanda berkembangnya post-modernisme yang pada
perkembangan berikutnya menjadi penolakan terhadap kebenaran transenden. Ernest
Gellner menyatakan bahwa atmosfir pemikiran post-modern dapat digambarkan
melalui pernyataan bahwa “segala sesuatu adalah teks, dan materi dasar teks itu
yang berupa masyarakat dan bahkan nyaris segala sesuatu difahami sebagai makna,
dan makna itu harus didekonstruksi; pernyataan tentang realitas obyektif harus
dicurigai”.[23] Formulasi Gellner adalah tepat sebab dalam
diskursus para pemikir post-modernis dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan
segala sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu, dan hermeneutika
adalah “nabinya”. Dalam kondisi yang seperti ini, Gellner bahkan sampai pada
kesimpulan bahwa post-modernisme cenderung memihak kepada relativisme dan
bahkan menunjukkan peperangan terhadap ide kebenaran yang ekslusif, obyektif
dan transenden. Sebab pikiran post-modern berpegang pada pendapat bahwa
kebenaran adalah sesuatu yang internal dan subyektif sifatnya, sedangkan dunia
ini bukan sebagai totalitas dari sesuatu, tapi sebagai totalitas fakta.
Singkatnya, filsafat post-modern melebur nilai tertinggi, menyingkirkan
Tuhan dan rujukan segala bentuk nilai sebagai fondasinya. Nilai baru yang
diperkenalkan post-modernisme adalah nilai yang memiliki hubungan dengan
nilai-nilai lain atau bahkan saling tukar menukar, karena ia memiliki status
yang sama dalam wajah yang universal. Oleh sebab itu bentuk segala macam nilai
adalah nilai yang layak untuk saling tukar menukar antara satu peradaban dengan peradaban lain.
Disini lagi-lagi nampak bahwa metafisika tradisional mulai melebur dan
tenggelam.
Masalahnya, jika dalam pandangan post-modernis segala sesuatu direduksi
menjadi nilai yang relatif, yang berimplikasi pada adanya kemungkinan
penafsiran terhadap realitas secara tak terbatas, maka di sana tidak ada lagi nilai yang diakui dan
memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Akibatnya setiap orang akan terlibat
dalam kerja intepretasi terhadap setiap aspek wujud yang tiada ada habisnya.
Agama tidak lagi berhak mengklaim punya kuasa lebih terhadap sumber-sumber
nilai yang dimiliki manusia seperti yang telah di formulasikan oleh para
filosof. Jadi agama difahami sebagai sama dengan persepsi manusia sendiri yang
tidak mempunyai kebenaran absolut. Oleh sebab itu ia mempunyai status yang
kurang lebih sama dengan filsafat. Jika demikian maka agama dalam pemikiran
post-modern telah digambarkan dalam bentuk dan sifat yang sangat berbeda dari
sebelumnya. Bagaimana sejatinya detail tentang pandangan itu, berikut ini kita
akan paparkan.
Pandangan
post-modernis tentang agama
Dalam uraian di atas telah jelaslah bahwa pemikiran Barat tentang agama
telah mengalami perubahan yang menyolok: dari sifatnya yang teistik dan
kemudian pada era modern difahami dengan pendekatan sekular dan pada akhirnya
pada era post-modern menjadi ateistik. Pemikiran postmodernis di Barat itu
tidak hanya diwarnai oleh sikap ateistik, tapi juga ditandai oleh kecenderungan
di kalangan filosofnya untuk mereduksi teologi menjadi antropologi,[24]
yang dengan itu Tuhan orang-orang Kristen digambarkan sebagai produk dan
refleksi dari pikiran manusia yang luar biasa (supernatural human mind).
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa gambaran Tuhan secara antropologis
berkembang menjadi penjelasan situasi sejarah manusia. Karl Marx, misalnya,
berhujjah bahwa agama itu mengekspresikan penderitaan manusia yang disebabkan
oleh perubahan ekonomi atau pemisahan kehidupan manusia yang egoistis dalam
masyarakat sipil dari kehidupannya sebagai makhluk manusia dalam masyarakat
politik.[25]
Nietzsche juga beranggapan bahwa agama adalah ekspresi penderitaan, tapi
penderitaan yang jenisnya berbeda. Manusia menderita karena ia adalah hewan
yang sakit (sickly animal); ia menderita karena internalisasi instingnya
sendiri oleh sebab kehidupan sosialnya. Apa yang membuat manusia menderita
adalah eksistensinya yang tidak berarti itu. Jadi, dari situ mereka
berkesimpulan bahwa manusia menderita karena problem tentang makna dirinya.[26]
Ide ini menjelaskan bahwa realitas, nilai dan kekuasaan yang absolut, yakni
Tuhan, telah diremehkan dan diganti dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena
itu Alfred North Whitehead mencatat bahwa tren pemikiran baru pada abad ke dua
puluh adalah “jauh dari keimanan” (away of faith).[27]
Kesimpulan yang sama digambarkan oleh Akbar, yaitu bahwa kecenderungan
pemikiran post-modern adalah penolakan terhadap agama yang telah mapan.[28]
Foucoult menggambarkan keadaan era post-modern dari melalui
konsekuensi-konsekuensi logisnya:
Most of us no longer believe that ethic is founded in religion, nor do we want a legal system to intervene in our moral, personal, private life. Recent liberation movements suffer from the fact that they cannot find any principle on which to base the elaboration of a new ethic. They need an ethic, but they cannot find any other ethic than an ethic founded on so-called scientific knowledge of what the self is, what desire is, what the unconscious is and so on.[29]
Artinya,
kebanyakan kita tidak lagi percaya bahwa etika itu berdasarkan pada agama. Kita
juga tidak ingin jika suatu sistim hukum mengintervensi kehidupan moral,
pribadi, dan privat. Gerakan liberalisasi yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan
oleh suatu kenyataan bahwa mereka tidak
dapat menemukan prinsip apapun untuk mengelaborasi prinsip etika baru. Mereka
membutuhkan etika, tapi mereka tidak dapat menemukan etika yang lain kecuali
etika yang didasarkan pada apa yang disebut dengan pengetahuan ilmiah tentang
apa itu diri, apa itu keinginan, apa itu kesadaran dan lain-lain.
Jadi gambaran yang menonjol tentang agama dalam pandangan post-modernis adalah agama yang telah diputuskan dari status terdahulunya sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia. Pendekatannya sekarang telah berubah menjadi konsep akal yang dipisahkan dari konsep kepercayaan atau konsep Tuhan dan karena itu ia menjadi ateistik. Pendekatan ini akan menggoyang konsep kepercayaan, keberagamaan, dan kebenaran yang selama ini dipegang oleh masyarakat beragama.
Sebenarnya,
pendekatan yang atheistik terhadap agama tersebut disebabkan oleh kegagalan
Para pemikir post-modern dalam memahami konsep Tuhan. Pernyataan Nietzsche
tentang “kematian Tuhan” yang lebih merupakan pernyataan filosofis ketimbang
teologis, merupakan bukti yang jelas tentang kegagalan itu. Dalam bukunya Beyond
Good and Evil, Nietzsche mengkiritik konsep Tuhan (para teolog) yang kabur
itu bertanggung jawab terhadap theisme di Eropa. Baginya, Tuhan dalam Kristen
tidak dapat mendengar, dan jikapun dapat, Ia tidak tahu bagaimana untuk
menolong. Tuhan juga tidak dapat menjadikan dirinya mudah dimengerti dan Ia
sendiri juga kabur tentang diriNya dan tentang apa yang Ia maksud.[30] Tapi anehnya, karena ia tidak dapat memahami
Tuhan maka ia memformulasikan konsepnya sendiri tentang Tuhan berdasarkan pada
persepsinya sendiri. Menurutnya, Tuhan adalah persepsi manusia tentang sesuatu
yang kuat dan agung dalam dirinya. Ia mengatakan:
…religion is the product of a
doubt concerning the unity of person, an alteration of the personality: in so
far as everything great and strong in man has been conceived as superhuman and
external, man has belittled himself – he has separated the two side of himself,
one very paltry and weak, one very strong and astonishing into two sphere, and
called the former ‘man’, the latter ‘God’.[31]
Artinya, agama
adalah hasil dari suatu keraguan tentang kesatuan seseorang, perubahan
kepribadian: segala sesuatu yang dianggap agung dan kuat oleh manusia telah
difahami sebagai manusia super (superhuman) yang berada diluar dirinya,
manusia telah merendahkan dirinya – ia telah memisahkan dua sisi yang ada dalam
dirinya sendiri menjadi dua bidang, yang satu remeh dan lemah, yang lain sangat
kuat dan mengagumkan. Yang pertama disebut manusia dan yang kedua disebut
“Tuhan”.
Pernyataan
diatas sangat jelas menggambarkan cara pandangnya yang sangat ateistik, dan menunjukkan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa
Tuhan itu ada, riil dan berada di luar diri manusia, sebab bagi dia
Tuhan hanyalah persepsi manusia tentang sesuatu yang kuat. Mengenai ajaran
agama Kristen, seperti yang dia tulis dalam karyanya Will to Power, ia
menyatakan “keseluruhan ajaran Kristen yang harus diyakini itu dan juga
keseluruhan “kebenaran” Kristen itu sebenarnya adalah kepalsuan dan penipuan
yang tak berarti: dan ini persis kebalikan dari apa yang menjadi inspirasi
gerakan Kristen pada permulaannya. Pandangan hidup Kristen kurang lebih sama
dengan fantasi dalam pandangan hidup Buddha: ia adalah jalan menuju
kebahagiaan.[32]
Nampaknya,
Nietzsche mencurahkan rasa frustrasinya terhadap agama sehingga ide-ide yang
dikemukakannya tidak jauh dari apa yang dirasakannya. Hal ini terbukti ketika
ia menyatakan bahwa, ”Agama Kristen masih dapat diterima kapan saja, tapi ia
tidak semestiya bergantung kepada dogma, tidak memerlukan doktrin tentang Tuhan
yang personal dan juga doktrin tentang Tuhan yang azali, tidak pula memerlukan
doktrin pengampunan, doktrin keimanan dan sama sekali tidak memerlukan metafisika
[33]
Barangkali agama yang diinginkan Nietzsche adalah agama dalam bentuk pandangan
hidup dan bukan sistim kepercayaan dengan konsep-konsep yang diberikan dalam
bentuk doktrin. Yaitu agama yang memberitahu manusia bagaimana melakukan
sesuatu dan bukan apa yang harus dipercayai. Dan apa yang harus dilakukan hanya
terkait dengan masalah-masalah dunia ketimbang masalah-masalah kehidupan di
akherat.
Seperti
Nietzsche, penolakan Heidegger terhadap Tuhan yang metafisis sejalan dengan
persepsinya tentang Tuhan secara non-metafisis. Baginya akhir dari pemikiran
teologis adalah berhenti berfikir tentang Tuhan sebagai cause sui, yaitu
Tuhan yang dianggap sebagai kekuatan penyebab yang mencipta dan menjaga alam
kosmos, dan sebagai gantinya
adalah Tuhan yang manusia dapat menari dan melutut didepanNya. Inilah yang ia
sebut Tuhan yang sebenarnya (Truly Divine God).[34]
Pandangan Tuhan Heidegger yang metafisis dan non-metafisis sejalan dengan
pandangan Witgenstein. Ia mengaku bahwa ia memahami konsep Tuhan sejauh hal itu
menyangkut kesadaran individu tentang dosa dan kesalahan pribadinya, tapi ia
tidak memahami konsep Tuhan sebagai Pencipta.[35]
Sebagai seorang filosof Witgenstein tentu tahu apa konsekuensi filosofisnya
memahami Tuhan sebagai pencipta, penjaga dan penyebab terjadinya alam semesta
ini. Penolakan konsep Tuhan sebagai pencipta telah ada sejak zaman Aristotle
dan pengikut Aristotle di kalangan Muslim. Sebab jika Tuhan difahami sedemikian
itu akan mengakibatkan rusaknya sistim filsafat mereka.
Dalam bukunya Notebooks
terbit tahun 1916 Witgenstein mengatakan bahwa berbicara tentang dunia
adalah bicara tentang maknanya, dan berdoa adalah berfikir tentang arti
kehidupan; dan beriman kepada Tuhan sama dengan melihat bahwa hidup ini mempunyai suatu makna. Sebab Tuhan tidak menampakkan
diriNya di dunia ini. [36] Disini jelas sekali Witgenstein ingin
mengganti keimanan kepada Tuhan dengan makna kehidupan, dan berdoa diganti
dengan berfikir tentang makna kehidupan. Dia tidak menjelaskan makna dan esensi
berdoa dalam kegiatan keagamaan, khususnya makna berfikir itu sendiri dalam
kegiatan beragama.
Dalam karyanya
yang diberi judul Lecture and Conversation ia mengatakan bahwa ketika
pemikiran tentang kehidupan manusia ditemui dalam peribadatan dalam bentuk
pujian dan pujaan, ia tidak mengarah atau merujuk kepada Tuhan, ia sekedar
ibadah (worship) kepada Tuhan.[37] Yang janggal disini adalah bahwa di satu sisi
ia mengakui kegiatan ritual dalam agama dan di sisi lain ia menolak Tuhan; yang
menjadi obyek, yang menjadi tujuan dari kegiatan itu. Menerima agama dan
melaksanakan peribadatan tanpa percaya akan adanya Tuhan, adalah tidak masuk
akal. Yang nampak janggal dalam pemikiran Wittgenstein dan Nietzsche adalah
penolakan mereka terhadap konsep bahwa agama itu bergantung kepada asas metafisika,
tapi ketika mereka mengaplikasikan penolakan ini dalam kehidupan beragama
ataupun dalam hal-hal yang non-metafisis argumentasi mereka tidak dapat
dipertahankan.
Cara-cara
pemikir post-modernis memahami Tuhan dan agama membawa berbagai
konsekuensi. Artinya jika agama difahami
seperti itu maka religiusitas akan dimaknai selaras dengan pemahaman itu. Bagi
Witgenstein religiusitas bukan sifat yang diambil dari kegiatan ritual
keagamaan yang biasanya ditandai oleh banyaknya doa, tapi diandai oleh kegiatan
sosial, seperti misalnya menolong orang lain:
But remember that Christianity
is not a matter saying a lot of prayers; in fact we are told not to do that. If
you and I are to live religious lives, it mustn’t be that we talk a lot about
religion, but that our manner of life is different. It is my belief that only
if you try to be helpful to other people will you in the end of your way to
God.[38]
Konsep
keberagamaan Witgenstein secara kebetulan sama dengan pengertian Nietzsche
tentang agama. Jika bagi Witgenstein menganggap keberagamaan merujuk kepada
kegiatan sosial dan bukan ritual, Nietzsche menyatakan bahwa agama tidak
semestinya berdasarkan pada keimanan, dogma atau kepercayaan pada Tuhan yang
personal. Tapi, dalam pendapat ini tidak dijelaskan apa yang menjadi asas bagi
kegiatan sosial itu. Jika kegiatan sosial hanya berdasarkan ketentuan manusia
dan tidak berhubungan dengan keseluruhan konsep agama, ia tidak lagi dapat
disebut religius, sebab agama dan Tuhan tidak ada kaitannya dengan kegiatan
itu. Jika menjadi sosial dimaksudkan sebagai ciri dari keberagamaan maka secara
koseptual harus berdasarkan pada perintah agama itu. Perintah dalam agama
mengharuskan adanya konsep keimanan kepada Tuhan. Disini problematiknya konsep
Wittgenstein, sebab ia sendiri memiliki keyakian bahwa bukti filosofis tentang
eksistensi Tuhan tidak dapat membawa seseorang kepada keimanan kepadaNya.
Meskipun seseorang itu dapat membuktikan eksistensi Tuhan dalam analisa ilmiyah
ia sendiri tidak akan pernah percaya dengan pembuktian itu. Sebab, kilahnya,
seseorang hanya dapat meyakinkan orang lain tentang eksitensi Tuhan melalui
proses pendidikan, dengan mengarahkan kehidupannya dengan jalan pengamalan.[39]
Selain itu pernyataan ini mengindikasikan bahwa Wittgenstein melihat
religiusitas dari kuantitas kerja, tapi masalahnya karena kerja-kerja itu
dipisahkan dari konsep dan kepercayaan, maka ia tidak lagi menjadi bagian dari
konsep keimanan.
Sejalan dengan
konsepnya tentang pemisahan aktifitas sosial dari agama, ia mempredikasi bahwa
di masa depan kehidupan keagamaan tidak akan bergantung kepada gereja dan
pendeta lagi. Maka dari itu nanti harus hidup nyaman tanpa terikat dengan
gereja.[40]
Di sini sudah mulai dapat dibaca bahwa ia mulai menolak otoritas keagamaan.
Suatu semangat post-modern yang berakar pada doktrin nihilisme. Penyataan
Snyder di atas bahwa kebenaran agama melebur menjadi nilai yang muncul dalam
bentuk kepercayaan manusia dan opini kini telah terbukti. Tapi pandangan ini
ditentang oleh Dupre, segala upaya rasional untuk mengukuhkan atau menggoyakan
kebenaran agama pada akhirnya akan membawa distorsi terhadap kebenaran itu
sendiri.[41] Sekarang marilah kita lihat bagaimana
pandangan post-modernis tentang kebenaran agama.
Dalam karyanya
Will to Power Nietzsche menyatakan bahwa kebenaran dalam pengertian lama
adalah benar hanya karena didukung oleh sistim moralitas lama, oleh karena itu
kita saat ini tidak lagi memerlukan kebenaran yang berlaku di masa lalu.
Kebenaran itu bergantung kepada moral dan moral adalah nilai luhur yang ditetapkan
oleh adanya dekadensi. Oleh sebab itu, ia menyimpulkan, kita harus menghapuskan
nilai-nilai luhur itu dan kemudian moralitas itu sendiri. Sebagai pengganti
dari nilai-nilai metafisis dan religius ia memperkenalkan apa yang ia namakan
nilai alami “naturalistic value”, yang dikukuhkan oleh “presupposisi
tentang apa dan seperti apa seharusnya nilai itu kita kenal”.[42]
Pernyataan ini jelas sekali tidah hanya menunjukkan doktrin nihilismenya, tapi juga usahanya untuk meleburkan kebenaran agama ke alam nilai atau mengganti kebenaran agama dengan kebenaran filosofis. Ia ingin mengganti kualitas ontologis dan moral dari kebenaran itu dengan kualitas yang melulu kognitif.
Pandangan ini cukup dominan di kalangan filosof post-modernis sehingga banyak yang pesimis dengan prospek kebenaran agama. Untuk menghindarkan masalah yang akan terjadi maka mereka terpaksa mencari dukungan dari pengetahuan empiris dan memperkenalkan suatu teori baru tentang kebenaran yang disebut teori bahasa (linguistic theory). Reputasi Witgenstein dalam teori ini sangat menonjol melalui karyanya Philsophical Investigation. Akan tetapi karena teori bahasa ini hanya membenarkan suatu diskursus dalam lingkup kebahasaan saja dan terlepas dari wacana lain, maka teori-teori itu mesti dikaitkan dengan apa yang secara tradisional difahami sebagai kebenaran agama. Untuk itu diperlukan beberapa syarat. Diantaranya adalah bahwa teori-teori itu harus koheren, bukan hanya dalam dirinya tapi juga dengan teori lain. Interpretasi pengalaman hendaklah sejalan atau tidak bertentangan dengan sistim interpretasi yang lebih tinggi yang dibangun dari kebenaran agama. Di sini para filosof itu menghadapi masalah, sebab kebanaran agama dan filsafat bagi mereka tidak dapat disatukan. Di satu sisi, agama tidak dapat menjustifikasi kebenaran filsafat dan di sisi lain filsafat menolak untuk menerima kebenaran agama. Di sini agama ditantang untuk berkongsi dalam beberapa asumsi dasarnya dengan area kebenaran yang lain. Jika tidak maka istilah kebenaran di dalamnya tidak akan dapat dipertahankan lagi.
Untuk memenuhi tantangan itu para filosof terpaksa kembali kepada wacana kebenaran ontologis. Karena itu, Heidegger berusaha untuk menformulasikan teori kebenaran agama yang memprioritaskan kebenaran ontologis dari kebenaran epistemis. Ia menganggap bahwa kebenaran yang diambil dari pemahaman terhadap sesuatu, meskipun itu benar, tidak lebih penting daripada sikap “keterbukaan” (openness) atau pretensi (pretense) yang berkaitan dengan eksistensi kita. Berdasarkan hal inilah kita dapat membuat keputusan penting yang menentukan kemurnian hubungan kita dengan orang lain. Jadi, kebenaran tidak mempunyai tempat dalam proposisi, tapi ia ada dalam pengungkapan (disclosure) yang diwarnai oleh sikap keterbukaan.[43] Artinya esensi kebenaran tidak berfokus pada subyek tapi pada sikap terbuka yang pada giliranya akan muncul sesuatu apa yag disebut Being. Dengan teori ini diarahkan untuk mendekati esensi kebenaran agama dan dianggap berasal dari agama itu sendiri. Namun karena teori ini bergantung kepada pandangan agama yang tradisional, filsafat tidak akan menerimanya. Seakan-akan teori pengungkapan ini (disclosure theory) menunggu kedatangan atau perkembangan filsafat hermeneutika, yang berupaya untuk memberi justifikasi dengan suatu analisa yang cermat tentang model pemahaman (cognition) tanpa dibatasi oleh syarat-syarat epistemologis dari sains positif.
Menyimpulkan kondisi ini Huston Smith menyatakan bahwa dalam pemikiran post-modern tidak ada kebenaran dalam realitas, bahkan para post-modernis ragu apakah kebenaran itu mempunyai arti.[44] Dari pembahasan di atas dan juga kesimpulan Smith dapat dinyatakan bahwa makna kebenaran dalam pemikiran post-modern itu problematik, karena itu ia memerlukan suatu evaluasi dan perubahan sebab kebenaran tidak lagi dianggap absolut.
Kesimpulan
Poin yang perlu dicatat di sini adalah bahwa post-modernisme membangun suatu “teologi” berdasarkan pada asasnya sendiri, meskipun tidak disebut teologi. Dalam “teologi” ini Tuhan dimasukkan ke dalam sistim penjelasan rasional yang tertutup (closed system of rational explanation), seperti yang terdapat dalam pemikiran modern. Karena akal manusia tidak dapat memahami hakekat Tuhan, pikiran post-modern merobohkan jalan berfikir matafisis. Akibatnya, post-modernis memahami agama dengan cara yang sangat berbeda dari dan bertentangan dengan kepercayaan yang dianut para teolog. Konsep-konsep mereka tentang Tuhan, religiusitas dan kebenaran agama tidak sesuai lagi dengan doktrin-doktrin keagamaan. Sebenarnya, seperti halnya modernisme, post-modernisme dihadapkan secara vis a vis dengan agama dalam bentuk yang antagonistis dan bahkan bentuk pertarungan. Kemenangan bukan pada keduanya, namun yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah keduanya. Filsafat post-modern gagal memahami konsep agama tentang Tuhan, tentang kebenaran dan tentang aktifitas keagamaan. Agama, dalam hal ini Kristen, tidak dapat menunjukkan dirinya dalam bentuk penjelasan rasional yang terbuka sehingga dapat dipertahankan dari serangan filsafat apapun. David Harvey menunjukkan bahwa karena akal dalam pikiran postmodern dimaknai tanpa tujuan spiritual dan moral, maka krisis yang terjadi pada zaman ini disebabkan oleh absennya kebenaran Tuhan. Oleh sebab itu, katanya, proyek teologis post-modernisme adalah menegaskan kembali kebenaran Tuhan tanpa meninggalkan kekuatan akal.[45] Jadi rekonsiliasi antara teori kebenaran para teolog dan para filosof adalah tugas yang perlu dikerjakan agar terhindar dari malapetaka.
* Hamid Fahmy Zarkasyi, memperoleh gelar Master
of Art in Education dari University of the Punjab, Lahore
Pakistan. Gelar Master of Philosophy (M.Phil)
dari Department of Theology Faculty of Art, University of Birmingham,
Inggeris. Kini ia sedang menyelesaikan disertasinya tentang konsep kausalitas
al-Ghazzali di ISTAC Kuala Lumpur, Malaysia.
[1] Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam, Routledge, London,
1992.
[2] Ernest Gellner, Postmodernism, Reason
and Religion, Routledge, London,
1992.
[3] Griffin,
David, God and Religion in Postmodern World, Albany,
N.Y. State
University of New York Press, 1989.
[4] Smith, Huston, Beyond The Post-Modern
Mind, Quest Book, The Theosophical Publishing House, Wheaton, Illinois, USA, 1989.
[5] Ernest Gellner, Postmodernism, Reason
and Religion, 23.
[6] Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam,
6.
[7] Hugh J.Silverman, “The Philosophy of
Postmodernism”, dalam Hugh J.Silverman (ed) Postmodernism-Philosophy and the
Art, London,
Routledge, 1990, 1.
[10] David Harvey, The Condition of Postmodernity,
Cambridge,
Blackwell, 1991, 12-3.
[11] James E.Crimmins, (ed) Religions,
Secularizatin dan Political Thought, London,
Routledge, 1990, 7.
[12] Alain Finkielkraut, The Defeat of The
Mind, (trans. by Judith Friedlander,
New York Columbia University
Press, 1995, 18.
[14] Hugh J.Silverman, “The Philosophy of
Postmodernism”, 5.
[15] Untuk diskusi yang lebih detail mengenai
hal ini lihat Nancy Love, Marx, Nietzsche, and Modernity, New York, Columbia University Press, 1986, khususnya
bab satu, 1-7 dan empat, 113-134.
[18] Gianni Vattimo, The End of Modernity,
19.
[19] Jon R.Snyder, (trans.) in Gianni Vattimo, The
End of Modernity, , xi.
[20] Nietzsche, Friedrich, Twilight of the
Idol, trans. R.J. Hollingdale (Harmondsworth: Penguin, 1968), 41. Dalam Will
To Power, dia mengatakan, “Truth is the kind of error”, lihat Nietzsche, Friedrich, The
Will To Power, 493.
[21] Jon R.Snyder, in Gianni Vattimo, The
End of Modernity, xii.
[23] Pernyataan aslinya adalah sbb: everything
is text, that the basic material of text, societies and almost anything is
meaning, that meaning are there to be decoded or ‘deconstructed’, that the
notion of objective reality is suspect. Lihat Ernest Gellner, Postmodernism,
Reason and Religion, 23.
[24] Fuerbach, Ludwig, The Essence of
Christianity, terjemahan George Eliot, New York:Harper and Row, 1957, xii, xli.
[25] Karl Marx, Early Writing, Quinton
Hoare, ed.; Gregor Benton and Rodney Livingston, trs. New York: Random House, 1975, 1:378.
[26] Sebagaimana dikutip oleh Nancy S.Love,
dalam Nancy S.Love, Marx, Nietzsche, and Modernity, 124.
[27] Huston Smith, Beyond The Post-Modern
Mind, 8
[28] Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam,
27.
[29] P. Rabinow, Harmonsworth, ed. “The
Foucoult Reader”, Penguin, 1984, seperti dikutip oleh David Owen, dalam Maturity
and Modernity, London, Routledge,
1994, 200.
[30] Nietzsche, Friedrich, Beyond
Good and Evil, trans. by R.J.Hollingdale, London, Penguin Classic, 1972, 62.
[31] Nietzche, Friedrich, The Will To Power,
86-87.
[32] Cuplikan
pernyataannya adalah sbb:“The Christian way of life is no more a fantasy than
the Buddhist way of life: it is a means to being happy“ Ibid, 98.
[33] Pernyatannya
penuh sbb: “Christianity is still possible at any time”, but it does not
necessarily rely on dogma, require neither the doctrine of personal God nor
that of immortality, nor that of redemption, nor that of faith and it has
absolutely no need of metaphysics. Ibid, 124-125.
[34] John D.Caputo, “Heidegger and Theology”,
dalam Charles B.Guignon ed. The Cambridge
Companion to Heiddeger, (Cambridge, Cambridge University Press, 1993), 285
[35] Engelmann, Paul, “Letter from Ludwig
Wittgenstein with a Memoir”, ed. B.F.McGuinness, diterjemahkan oleh Lfurtmuller,
Oxford, Blackwell,
77. Cf. Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, ed.
Peter Winch, Ithaca,
Cornell University Press, 1994, 9.
[36] L.Wittgenstein, “Notebooks 1914-1916” , edisi ke 2,
ed. G.H.von Wright and G.E. M.Anscombe, diterjemahkan oleh G.E. M.Anscombe,
Oxford, Blackwell, 1979, 74, dikutip
dalam Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 10.
[37] L. Wittgenstein, Lecture and
Conversation on Aesthetics, Psychology and Religious Belief, ed. C.Barret,
(Oxford, Blackwell, 1966), 56.
[38] Norman Malcolm, Wittgenstein: A
Religious Point of View, 11.
[39] Wittgenstein’s Vermischte
Bemerkungen, 85-6, dikutip dari Norman Malcolm, Wittgenstein: A
Religious Point of View, 19
[40] Rush Rhees (ed)
“Ludwig Wittgenstein’s Personal Collections”, 129, dikutip dari
by Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 20.
[41] Louis Dupre, “Truth in Religion and Truth
of Religion” dalam Daniel Guerriere (ed), Phenomenology of the Truth Proper
to Religion, New York, SUNY, 1990, 19, 28.
[42] Nietzsche, Will to Power, 249-255.
[43] Martin Heidegger, “On The Essence of
Truth” diterjemahkan oleh John Sallis, dalam Basic Writings, ed.David
F.Krell (New York: Harper & Row, 1976) 129-33. Juga lihat dalam Magda King,
Heidegger’s Philosophy, New
York, The Macmillan Company, 1964, 148-49. Cf. Ernst
Tugendhat, “Heiddeger’s Idea of Truth”, dalam Christopher Macann (ed), Martin
Heidegger, vol.III:Language, London,
Routledge, , 1992, 80.
[44] Huston Smith, Beyond The Post-modern
Mind, 233.
[45]
David Harvey, The Condition of Postmodernity, 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar